Sabtu, 03 April 2010

Merenungkan Gerakan Mahasiswa


            Akhir-akhir ini eksistensi mahasiswa dengan hak protes atau hak kontrolnya kembali ramai dipertanyakan. Secara personal, mahasiswa merasa dirinya terkung­kung dalam “tembok almamater” yang sangat teguh, hingga sulit — bahkan terasa tidak mungkin — untuk menerobosnya. Darah muda mereka bergolak, jiwa pemba­haruan dan jiwa petualangannya menjerit, merintih, dan akhirnya berkata : “bu­barkan NKK - BKK, beri kami kebebasan menghirup udara politik, karena hal itu adalah bekal kami kelak ! Jangan halangi kami melakukan apa yang kami suka, dan jangan rintangi kami meluruskan keadaan-keadaan kebobrokan, keangkuhan dan kesenjangan sosial, yang semuanya itu dapat menimbulkan kebosanan dan kejenuhan sosial, sebuah penyakit masyarakat yang paling berbahaya !

            Begitulah barangkali suara “hati nurani” mahasiswa yang saat ini kondisinya memang mirip kerbau-kerbau yang diberangus mulutnya lalu digiring ke sawah untuk menyelesaikan satu pekerjaan, membajak sawah. Demi alasan-alasan keama­nan dan Ketahanan Nasional, pemanfaatan para pemuda khususnya mahasiswa, saat inipun hanya diarahkan kepada penguasaan kuliah secara optimal, tanpa adanya materi penajaman intuisi politis. Kalau dibandingkan permasalahannya dengan modernisasi pendidikan di Jepang pada zaman Restorasi Meiji, akan ditemui beberapa kontradiksi. Kasus di Jepang menunjukkan bahwa kewajiban belajar bagi seluruh warganya justru harus diimbangi dengan peningkatan kesadaran dan partisipasi politik. Keduanya ini akan menjadikan pelajar dan atau mahasiswa matang, baik dalam hal kemampuan berpikir maupun ketrampi­lan memecahkan masalah, mengambil keputusan dan merencanakan suatu sistem pengembangan institusi kemasyarakatan dan kenegaraan.

            Situasi dan kondisi yang dihadapi oleh setiap daerah atau negara memang tidak sama, namun bukan berarti bahwa setiap peristiwa harus berdiri sendiri. Antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain biasanya paling sedikit mengan­dung 2 (dua) hubungan, yaitu hubungan kausal atau saling pengaruh, dan hubun­gan yang sifatnya “pengambilan makna atau hikmah” terhadap peristiwa yang lebih dahulu terjadi. Untuk itulah maka tindakan berkaca terhadap pengalaman negeri atau orang lain tidaklah memalukan. Dan ulasan dalam bab ini memang ditujukan untuk mengetahui bagaimana mestinya manajemen pendidikan dan terutama bagaimana cara memanfaatkan potensi generasi muda (baca : mahasiswa) guna menciptakan insan akademis yang berilmu tinggi sekaligus memberikan bekal bagi mereka berupa perasaan peduli atas nasib yang menimpa saudara-saudaranya yang belum beruntung.

            Mahasiswa — yang dalam dirinya melekat predikat golongan intelektual — sebagai kaum muda, tidak bisa tidak, pastilah memiliki sifat dinamis, ingin maju, kreatif, dan mungkin sedikit radikal. Dan sebagai komunitas yang dianggap memiliki pengetahuan diatas rata-rata, mahasiswa merasa dituntut dan memikul tanggung jawab untuk mencoba memperbaiki, dan bila mungkin menyelesaikan, kegelisahan-kegelisahan sosial ataupun perubahan-perubahan sosial yang tidak menguntungkan. Bagaimana cara mahasiswa khususnya dan pemuda umum-nya untuk mengatasi problema-problema sosial itu? Salah satunya adalah dengan memberi kebebasan “mimbar” kepada mereka. Ini berarti ada kemerdekaan untuk menyalurkan sumbangan pemikiran kepada the rulling class dalam bentuk saran-saran maupun kritik. Dan apabila memang benar-benar diperlukan, mahasiswa dan pemuda bolehlah kiranya melakukan aksi protes atau unjuk rasa, asal memenuhi syarat-syarat terten­tu.

            Kebebasan untuk mengajukan kritik dan melancarkan protes itu pada dasarn­ya merupakan hak yang harus dimiliki oleh masyarakat akademis. Oleh karenanya, sudah sewajarnyalah apabila pemerintah memberikan kebebasan ini kepada maha­siswa, karena dari padanya bisa diharapkan datangnya pengawasan sosial (social control) terhadap jalannya kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hanya sayangnya, pada tahun-tahun terakhir ini kebebasan semacam itu “agak” dibatasi ruang geraknya, meskipun tidak menunjukkan gejala-gejala destruktif. Pada umumnya gerakan mahasiswa justru menunjukkan bahwa diantara mereka telah terjadi proses kreatif dan positif, sehingga mereka bukanlah makhluk yang “mati”.

            Sartono Kartodirdjo menulis bahwa pergerakan sosial sebagai aktivitas kolek­tif bertujuan hendak mewujudkan atau sebaliknya, menolak suatu perubahan dari susunan masyarakat, sering kali ditempuh dengan jalan radikal dan revolusioner. Memang benar bahwa apabila mahasiswa diberi kesempatan untuk protes, jalan yang paling disukai yang dianggap paling efektif adalah melalui gerakan-gerakan demonstrasi.

            Jika diamati secara lebih cermat, gerakan mahasiswa itu sebenarnya tidak mempunyai tujuan-tujuan politik, sebagaimana gerakan-gerakan sosial pada abad 17 hingga 19 (periksa Bab I - II). Gerakan mahasiswa masa kini sifatnya hanya berupa reaksi-reaksi spontan saja. Meskipun demikian, agaknya pemerintah atau aparat keamanan merasa kuatir, apabila gerakan-gerakan itu dibiarkan, para aktivis yang tergabung didalamnya akan melakukan pengacauan dan pengrusak-an. Adalah tidak salah bahwa suatu gerakan terdiri dari sekelompok orang yang bersifat emosional, tetapi kerusuhan pastilah dapat dihindari dengan adanya saling pengertian antara yang dikritik dengan yang mengkritik. Dan oleh sebab itu pula, gerakan mahasiswa harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

1.    Gerakan mahasiswa harus mempunyai konsep yang jelas tentang sesuatu yang dianggap kurang benar dan perlu perbaikan. Mengapa mereka bergerak, apa tujuannya, dan alternatif apa yang mereka ajukan sebagai acuan penyelesaian masalah, adalah beberapa pertanyaan yang wajib dijawab sebelum dilaksana­kannya suatu gerakan. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa harus diorganisasi secara ilmiah dan profesional, bukan sekedar kegiatan ikut-ikutan dan “asal bunyi”.
2.    Para aktivis gerakan harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang ada, serta meme­gang teguh asas itikad baik. Ini berarti bahwa apa-apa yang mereka lakukan benar-benar dilandasi oleh niat untuk memperjuangkan kepentingan bersama, bukan ambisi pribadi, terlebih lagi bukan kepentingan yang “dititipkan” oleh kelompok tertentu.
3.    Mahasiswa harus lebih memperluas wawasan dan mempertimbangkan asas kebijaksanaan dengan mengubah pandangan bahwa segala sesuatu yang men­yangkut rakyat jelata pasti benar dan harus diperjuangkan. Memang benar bahwa “arus bawah” adalah kelompok masyarakat yang perlu dibela dan dilindungi, tetapi dalam kasus-kasus tertentu, kadang-kadang kita terpaksa merelakan mereka berkorban untuk kepentingan yang lebih besar lagi.

            Selanjutnya Sartono berpendapat bahwa pemakaian konsep-konsep dan analisa dari sosiologi akan dapat membantu mengungkapkan proses-proses sosial yang ada dibawah proses-proses politik, hubungan kausal antara pergerakan sosial dengan perubahan sosial yang disertai oleh kegelisahan sosial, desintegrasi sosial dan konflik sosial. Hal ini akan diuraikan dalam contoh dibawah, namun sebelumn­ya akan dikemukakan mengenai ciri-ciri gerakan mahasiswa.

            Menurut Marsilam Simanjuntak, gerakan mahasiswa semestinya merupakan suatu aksi massa, didahului oleh rapat umum yang dihadiri oleh ribuan mahasiswa, membawakan suara hati nurani rakyat, serta didukung oleh seluruh masyarakat mahasiswa dalam jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan. Disamping itu harus dikoordinir secara resmi melalui saluran organisasi mahasiswa, dan sedapat mu­ngkin mencerminkan mufakat bulat antara seluruh orga-nisasi ekstra dan intra universiter. Dan yang terakhir, gerakan mahasiswa harus bebas dari vested inter­est, tidak mempunyai tujuan politik, tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentin­gan politik tertentu, serta berdasarkan kebenaran, keadilan dan memperhatikan aturan main (the rule of game) atau bersifat konstitusional.

            Ada lagi yang menambahkan syarat, gerakan mahasiswa harus mampu mengubah situasi dan kondisi sosial ekonomi dalam masyarakat. Tetapi apakah hal ini memungkinkan? Mengingat bahwa gerakan tersebut hanya bersifat spontan dan insidentil (sporadis), tanpa komando yang tegas, serta tidak didukung oleh dana dan kuasa yang cukup, sedang dilain pihak situasi sosial ekonomi tidak mungkin berubah hanya dalam waktu sekejap dan tanpa campur tangan pemerin­tah, maka langkah maksimal yang dapat ditempuh adalah menawarkan suatu konsep atau bentuk tertentu yang menurut mereka baik.

            Mengenai syarat bahwa demonstrasi harus membawakan suara hati nurani rakyat, ada beberapa pihak yang keberatan. Alasan mereka adalah bahwa dalam setiap demonstrasi akan selalu — setidaknya sering — meminta korban dari rakyat. Jika demikian, apakah itu bearti merupakan amanat penderitaan rakyat. Akan tetapi sesungguhnya, jatuhnya korban dalam setiap aksi adalah wajar, karena korban adalah konsekuensi logis dari suatu gerakan. Disinilah dituntut kedewasaan bertin­dak dari para demonstran dalam melakukan aksinya dan dari pemerintah dalam menghadapinya, guna menekan jatuhnya korban serendah mungkin.

            Satu keadaan yang sulit — bahkan hampir tidak mungkin — dihindari adalah bahwa suatu gerakan bebas dari kepentingan tertentu. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa sering “ditunggangi” oleh pihak-pihak tertentu untuk “memancing di air keruh”. Memang harus diakui bahwa gerakan mahasiswa dapat mengadakan peru­bahan sosial dengan self-groupnya. Di Korea Selatan dan Birma, mahasiswa berkoa­lisi dengan buruh. Sedang di Indonesia pada tahun 1966, mahasiswa bergandengan dengan militer. Jadi yang pasti, ada penunggangan diatas aksi-aksi sosial. Pertan­yaannya sekarang, siapa menunggangi siapa? Marsilam Simanjuntak dalam hal ini memberikan ukuran, siapa yang menjadi korban, dialah yang ditunggangi. Dan siapa yang mencapai tujuannya dengan resiko yang lebih kecil, dialah yang menung- gangi.

            Dalam kaitannya dengan “tunggang-menunggang” itu, pertanyaan yang muncul kemudian, mestikah dalam setiap gerakan disertai oleh penunggangan? Bagaimana caranya agar suatu aksi protes tidak tercemar oleh aksi penunggangan? Apa tujuannya dan siapa dalang dibalik penunggangan itu? Kesemuanya ini akan selalu menjadi persoalan-persoalan aktual yang dapat dipastikan mencuat pada “musim-musim” demonstrasi. Jawaban atas pertanyaan tersebut tidak pernah memuaskan, juga tidak pernah sama, tergantung dari “beratnya” substansi yang dijadikan materi gerakan, luasnya cakupan wilayah gerakan, dan serius tidaknya dampak-dampak yang sedang atau telah dirasakan masyarakat, serta sikap yang diberikan oleh pemerintah dalam menghadapi gerakan-gerakan tersebut.

            Secara rinci tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas masalah-masalah diatas, tetapi secara singkat akan mencoba meneropong gerakan mahasiswa di Indonesia tahun 1966, dari faktor-faktor penyebabnya hingga akibat-akibat yang dihasilkannya.

            Hingga saat ini, gerakan mahasiswa di Indonesia telah berkali-kali terjadi, antara lain Gerakan Anti Kebodohan yang diprakarsai mahasiswa ITB tahun 1977 yang mempersoalkan 8 (delapan) juta anak Indonesia yang tidak sempat menikmati pendidikan; Gerakan Malari tahun 1974 yang melawan materialisme; aksi maha­siswa Jakarta yang menentang kenaikan harga karcis bis kota  aksi mahasiswa untuk meminta sumbangan kepada para pejabat yang sedang main golf di lapangan Rawamangun guna membantu bencana kelaparan di Krawang, dan sebagainya. Namun dari berbagai macam dan bentuk gerakan mahasiswa, yang tercatat paling berhasil dan paling besar adalah gerakan mahasiswa tahun 1966 yang tergabung dalam aksi-aksi KAMI - KAPI - KAPPI.

            Sebagaimana kita ketahui bersama, terjadinya demonstrasi yang terdiri dari unsur pemuda dan mahasiswa itu dilatar belakangi oleh buruknya situasi-situasi sosial politik yang terjadi akibat sistem politik yang diterapkan oleh rezim Orde Lama. Orang-orang yang mendalami Hukum Tata Negara mengatakan bahwa apara­tur pemerintah waktu itu menyimpangi ketentuan-ketentuan UUD 1945 dan Panca­sila. PKI yang anti Tuhan mendapatkan kedudukan politis yang mantap serta memil­iki kesempatan luas untuk mengembangkan sayap dan menyebarkan pahamnya. Hutang luar negeri melonjak, ekonomi negara anjlok akibat mentalitas yang kurang terpuji dari beberapa “pemegang kekuasaan”, dan ditambah lagi dengan penga­cauan dibidang ekonomi oleh orang-orang Cina pendukung PKI, menyebabkan Indonesia berada pada jurang kehancuran serta kemelaratan. Dan puncak dari kerawanan tersebut adalah dilakukannya coup d’etat oleh PKI pada tanggal 30 September 1965.

            Proses-proses politik seperti itulah yang menyebabkan mahasiswa turun kejalan-jalan menuntut dikembalikannya keadaan seperti semula. Proses aksi yang timbul sebagai reaksi atas proses-proses politik ini disebut dengan proses sosial. Dalam proses sosial tersebut para mahasiswa mengajukan tuntutan yang dinama­kan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), yaitu turunkan harga, reshuffle kabinet dan bubarkan PKI.

            Parakitri Tahi Simbolon menyebutkan bahwa nama asli tuntutan tersebut adalah Suara Hati Mahasiswa Indonesia dalam bentuk Kebulatan Tekad Mahasiswa yang merupakan Tri Tuntutan Mahasiswa sekaligus merupakan Tri Tuntutan Ra­kyat. Jadi disini terdapat hubungan positif antara mahasiswa dengan rakyat, sehingga gerakan semacam itu bagaimanapun pasti mencerminkan kehendak ra­kyat.

            Masalahnya sekarang, mengapa mereka mengadakan tuntutan itu? Hal ini disebabkan karena setelah gagalnya pemberontakan PKI, timbullah kegelisahan massal dan disintegrasi sosial, sehingga seperti disebutkan diatas, mahasiswa merasa terpanggil atau merasa wajib untuk mengatasinya, minimal menyalurkan aspirasi rakyat. Mereka bergerak dengan radikal. Dan karena mereka bekerja sama dengan pihak militer, maka keamanan bagi para aktivisnya menjadi terjamin. Hubungan yang saling menguntungkan antara mahasiswa dan militer ini diyakini merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan aksi-aksi protes.

            Apabila proses-proses sosial politik tersebut dikaitkan dengan pernyataan Sartono sebagaimana dikemukakan pada bagian awal bab ini, maka dapatlah disim­pulkan bahwa gerakan sosial — dalam hal ini gerakan mahasiswa Indonesia 1966 — bertujuan menolak keadaan sosial atau tatanan politik yang ada, dan mewujudkan keadaan sosial atau tatanan politik yang lebih baik, dan tentu saja yang diinginkan. Dan memang, setelah sekian lama melakukan protes atau unjuk rasa dengan segala konsekuensinya, akhirnya gerakan mahasiswa ini mampu membawa hasil nyata, yaitu lahirnya Orde Baru atau tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan yang ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Inilah jasa terbesar mahasiswa kepada bangsa dan rakyatnya.

            Tanpa peran dan campur tangan mahasiswa, keadaan akan menjadi lain. Jika saja pihak militer yang melakukan social control atau political therapy dengan kekuatan senjata, mau tidak mau akan menimbulkan anggapan bahwa militer telah melakukan perebutan kekuasaan. Oleh karena itu, andil dan partisipasi mahasiswa adalah sangat vital, tidak saja pada peristiwa yang telah menjadi “sejarah”, terlebih lagi untuk peristiwa yang sedang dan akan “menyejarah”. Mahasiswa ditantang untuk itu, dan tantangan itu harus dijawab dengan mantap, penuh kesungguhan dan pengabdian kepada rakyat.

Jumat, 02 April 2010

KRISIS KEPEMIMPINAN DAN KEHANCURAN MAJAPAHIT (Refleksi Realitas Politik Indonesia Kontemporer)


SEMENJAK runtuhnya rejim pemerintahan Soeharto, suhu politik di Indonesia belum juga reda dari “demam tinggi” yang berkepanjangan. Bahkan agenda sepenting Sidang Umum Tahunan (SUT) MPR yang seharusnya menjadi forum rembug dan rekonsiliasi nasional, justru disikapi dengan ancang-ancang dari kekuatan atau kelompok kepentingan tertentu untuk unjuk gigi dan pasang jurus demi memperjuangkan aspirasi politisnya. Tidaklah mengherankan jika kemudian terdapat pihak-pihak yang menghendaki agar SUT dimodifikasi menjadi Sidang Istimewa (SI), dengan sasaran akhir terjadinya suksesi kepemimpinan nasional. Disisi lain, terdapat pihak-pihak tertentu yang rela berkorban apapun untuk mempertahankan pemerintahan yang sah atau legitimate.

Bagi masyarakat awam, fenomena “pertarungan” kelas elit tadi dapat dianalogikan sebagai perseteruan gajah melawan gajah yang hanya menimbulkan kerusakan dan malapetaka bagi pelanduk di sekelilingnya. Dengan kata lain, gejala perebutan kekuasaan nampaknya lebih menonjol dibanding upaya mengatasi krisis serta mengantarkan rakyat kedepan pintu gerbang kesejahteraan. Politisi kontemporer di Indonesia kelihatannya sedang berlomba untuk menerapkan ajaran Robson, bahwa the focus of interest of the political scientist (or actors - penulis) centers on the struggle to gain or retain power, to exercise power or influence over others, or to resist that exercise (fokus perhatian sarjana dan pelaku politik tertuju pada perjuangan mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu).

Padahal, jika kita tengok sejarah masa silam – khususnya pada jaman Majapahit – ada suatu pelajaran yang sangat penting dan harus dijadikan cermin dalam menjalankan hubungan antar kelompok atau antar kekuatan. Pelajaran itu adalah bahwa pertikaian politik tingkat tinggi tidak hanya menimbulkan kerugian fisik, finansial maupun berbagai bentuk kerugian sosial. Lebih dari itu, konflik politik yang berlarut-larut juga menghambat proses pembangunan karakter nasional (nation and character building), disamping dapat mengarah pula pada proses disintegrasi bahkan keruntuhan suatu negara bangsa (nation state).

* * *
 MAJAPAHIT, adalah kerajaan kedua setelah Sriwijaya di Indonesia yang berhasil menyatukan wilayah-wilayah nusantara, bahkan meluas sampai Malaya dan seba­gian Filipina, kedalam satu naungan kekuasaan (songsong pengayoman). Oleh karenanya Majapahit sering disebut pula sebagai Kerajaan Nasional II, dan inilah yang menjadi salah satu alasan kuat mengapa studi-studi mengenai eksistensi Majapahit selalu menarik minat para sejarawan. Sayang sekali bahwa negeri ini pada akhirnya menjadi lemah bukan oleh intervensi pihak luar, melainkan oleh kualitas kepemimpinan yang sangat parah. Faktanya, sejak didirikan oleh R. Wijaya hingga masa keruntu­hannya, Majapahit selalu dirongrong oleh masalah pelik yang sulit dihindarkan, yaitu perebutan tampuk kepemimpinan yang terjadi secara beruntun.

 Pada masa pemerintahan R. Wijaya atau Kertarajasa (1293 - 1309 M), sudah terjadi beberapa kali pemberontakan. Hanya karena “ketahanan nasional” yang kuat serta sikap Kertarajasa yang tegaslah maka beberapa pemberontakan tidak dapat berkembang secara optimal. Akan tetapi sepeninggal Kertarajasa dan kemudian digantikan oleh Kalagemet atau Sri Jayanegara yang lemah serta tidak memiliki ketegasan dan kewibawaan, benih-benih ketidakpuasan dari “arus bawah” dengan suburnya tumbuh menjadi gerakan-gerakan coup d’etat.

Ranggalawe, pengikut setia Kertarajasa, menurut Pararaton memberontak pada tahun Saka 1217 atau 1295 M, karena adanya perasaan tidak puas dengan kepemimpinan Kertarajasa. Ranggalawe yang memegang peranan penting dalam penyerbuan terhadap Jayakatwang (Raja Kediri), sebenarnya mengharapkan kedu­dukan sebagai Patih Majapahit. Akan tetapi yang diangkat menjadi patih adalah Nambi, anak Arya Wiraraja atau Banyak Wide, yang dalam pandangan Ranggalawe adalah orang yang lemah dan mustahil mampu mengemban tugas besar itu.

Kemungkinan besar R. Wijaya mengangkat Nambi sebagai Patih karena merasa berhutang budi kepada Arya Wiraraja yang berhasil memasukkan Wijaya ke keraton Jayakatwang, padahal Wijaya adalah menantu Kertanegara (Raja Singosari) yang dibunuh oleh Jayakatwang. Dan berkat jaminan Wiraraja pula, Wijaya diperbo­lehkan membuka hutan Tarik yang menjadi cikal bakal kerajaan Majapahit.

Budaya asli bangsa memang mengajarkan untuk membalas setiap kebaikan yang telah dilakukan orang kepada kita. Hal seperti ini merupakan kewajiban moral yang tidak mungkin dilupakan begitu saja. Namun dalam kasus ini, sebagai pemim­pin bangsa Wijaya justru melupakan aspek lain dalam hal pengangkatan dan penempatan aparatur negara, yaitu aspek ketrampilan dan kemampuan (sumber daya) manusia. Agaknya Wijaya lebih menonjolkan unsur perasaan dan persaudar­aan (kroni) dibanding ketepatgunaan dan kedayagunaan dalam penyelenggaraan pemerin­tahan. Inilah masalah kepemimpinan yang mula-mula sekali muncul. Barangkali Wijaya menyangka bahwa kebijaksanaannya akan dapat menjaga persatuan dan menghindarkan dari rasa ketidakpuasan para pembantunya, tetapi ternyata justru menimbulkan pertikaian.

Pada tahun Saka 1222 atau 1300 M, timbul lagi “pemberontakan” yang dipimpin oleh Lembu Sora, paman Ranggalawe, sebagai akibat fitnah yang dilan­carkan Dyah Halayuda atau Mahapati. Peristiwa ini sendiri masih ada hubungannya dengan pemberontakan Ranggalawe, dimana Kebo Anabrang diperintahkan untuk menghadapi dan menghancurkan pemberontakan itu. Dan memang, Kebo Anabrang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe di Sungai Brantas. Demi melihat keponakannya terbunuh, marahlah Lembu Sora yang kemudian berhasil membunuh Kebo Anabrang. Raden Wijaya sendiri tidak mengambil tindakan pidana atas perbuatan Lembu Sora. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Mahapati untuk mengail di air keruh. Kepada raja dikatakan bahwa para Menteri Kerajaan tidak puas dengan sikap R. Wijaya karena membiarkan Lembu Sora yang membunuh Kebo Anabrang. Oleh karena itu, demi keadilan, Lembu Sora harus dihukum. Lembu sora sendiri pasrah terhadap putusan raja dan berniat untuk menyerahkan diri. Akan tetapi oleh Mahapati difit­nah bahwa Sora akan memberontak. Atas dasar laporan ini maka R. Wijaya mengambil tindakan “pembersihan” terhadap Sora dan kelompoknya. Merasa mendapat perlakuan yang tidak fair, para pengikut Sora seperti Juru Demung dan Gajah Biru malahan meneruskan gerakan hingga tahun 1314 M.

Disini terjadi lagi krisis kepemimpinan. Seorang pemimpin mestinya bersikap netral dan berdiri diatas semua golongan yang ada di negerinya. Ini mengandung pengertian bahwa pemimpin tidak boleh menelan begitu saja keterangan-keterangan dari suatu golongan mengenai golongan yang lain. Pemimpin harus mau dan mampu melihat, mendengar dan merasakan keluhan, penjelasan maupun fakta-fakta dari dua atau lebih arah yang berbeda, serta menerapkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) sebelum menjatuhkan vonis / putusan atas suatu perkara.

Pada masa pemerintahan Jayanegara (Saka 1231 - 1250 atau 1309 - 1328 M), tepatnya pada tahun 1316 M, timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Nambi dengan dibantu oleh Wiraraja dan sebagian menteri Majapahit. Pemberontakan inipun akibat dari fitnahan Mahapati, yang dalam Kitab Pararaton disebutkan seba­gai tokoh yang sangat menginginkan jabatan Patih Amangkubumi dan tipe pemim­pin yang tidak baik, sumber fitnah dan adu domba.

Selang beberapa waktu setelah ditumpasnya gerakan Nambi, pada tahun Saka 1241 (1319 M) terjadi lagi pemberontakan paling serius yang dipimpin oleh Kuti. Pasukan Kuti dapat merebut kerajaan, sehingga Jayane­gara dan pengikutnya melarikan diri ke desa Badander. Namun berkat kesigapan Bekel Gadjah Mada, kekacauan ini dapat teratasi. Dan setelah usainya pemberonta­kan Kuti, barulah diketahui bahwa semua itu akibat perbuatan Mahapati, yang waktu itu sudah berhasil mencapai ambisinya menduduki jabatan Patih Mangkubu­mi. Mahapati akhirnya dihukum mati secara cineleng-celeng (dicincang).

Disini terlihat bahwa meskipun kasus tersebut tidak secara langsung berhu­bungan dengan kualitas kepemimpinan, tetapi jelas terdapat sesuatu yang kurang beres dalam sistem pemerintahan Majapahit. Tumbuh suburnya duri dalam daging atau musuh dalam selimut seperti Mahapati pastilah disebabkan oleh administrasi kenegaraan yang tidak tertib, tidak disiplin dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kemungkinan lain, pada saat itu budaya Asal Bapak Senang sudah mendapatkan tempat yang nyaman dihati penguasa, sehingga siapa yang pandai memutar lidah dan fakta, serta dapat menyenangkan hati raja, dialah yang akan selalu memperoleh “ganjaran” dari sang raja.

Jayanegara yang dalam kepustakaan sejarah digambarkan sebagai raja yang berperangai buruk, meninggal pada tahun 1328 M karena dibunuh oleh tabib kera­jaan yang bernama Tanca. Seperti diketahui, Tanca sebenarnya masih satu keluarga dengan Kuti yaitu keluarga Dharmaputra, sehingga — betapapun kecilnya — mau tidak mau dalam hatinya pasti tertanam rasa benci kepada Jayanegara. Hal ini sangat disadari oleh Gadjah Mada, sehingga saat raja sakit bisul, Tancalah yang dipanggil untuk “mengobati”. Dan sesaat setelah berhasil “menunaikan tugasnya”, giliran Gadjah Mada yang “memberesi” Tanca dengan tuduhan membunuh raja. Ini merupakan taktik yang sangat jitu dalam mengakhiri kekuasaan Jayanegara tanpa timbulnya gejolak.

Tahta kerajaan beralih kepada Tribhuwanatunggadewi. Ia dibantu oleh suaminya Kertawardhana, dan Gadjah Mada sebagai patih. Pada tahun 1350 M, Tribhuwanatunggadewi turun tahta dan diganti oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk atau Rajasanegara. Pada masa raja Hayam Wuruk dan patih Gadjah Mada inilah Majapahit mencapai puncak kemegahannya, dengan semboyan patihnya yang sangat terkenal : Sumpah Palapa.

Akan tetapi semenjak Gadjah Mada meninggal pada tahun Saka 1286 (1364 M), timbul kesulitan untuk memilih siapa yang dapat menggantikan kedudukannya sebagai patih, dan ternyata tidak seorangpun yang mampu. Apalagi dengan me­ninggalnya Hayam Wuruk pada tahun 1389 M, maka timbullah krisis kepemimpinan yang sangat memprihatinkan sekaligus menegangkan, yaitu terjadinya pertentangan antara Wirabhumi dengan Wikramawardhana, menantu Hayam Wuruk. Agaknya sudah menjadi kehendak sejarah bahwa Majapahit harus mengalami peristiwa-peris­tiwa “berdarah” yang mengantarkan kepada kehancurannya.

Keadaan tersebut menunjukkan tidak terbinanya regenerasi dengan baik. Para pemimpin Majapahit terlena terhadap impian mewujudkan kesatuan seluruh wilayah nusantara, tetapi melupakan pendidikan dan pelatihan kader-kader pemimpin yang berkualitas. Paling tidak, ini membuktikan pula bahwa pandangan politik Majapahit waktu itu memiliki dua kelemahan, yaitu pertama bersifat kekinian dan tidak mempertimbangkan aspek futuristik-nya (prospek masa depan), dan kedua tidak dibudayakannya nation building dan institutional building.

Pertentangan antara Wirabhumi dan Wikramawardhana mulai timbul pada tahun Saka 1323 (1401 M). Kemungkinan besar hal itu terjadi karena Bhre Wira­bumi sebagai anak Hayam Wuruk meskipun dari selir, merasa lebih berhak mendu­duki tahta kerajaan dari pada Wikramawardhana (Bhre Hyang Wisesa).  Seperti kita ketahui, Wikramawardhana adalah anak dari adik Hayam Wuruk yaitu Bhre Pajang Rajasaduhiteswari, yang dikawinkan dengan putri mahkota Kusumawardhani. Namun demikian, yang memerintah dan mengendalikan kerajaan bukan Kusuma­wardhani melainkan suaminya.

Menurut Pararaton, pada tahun Saka 1326 (1404 M) antagonisme antara Wikramawardhana yang berkedudukan di Majapahit dengan Wirabhumi yang berke­dudukan di Blambangan berkembang menjadi peperangan terbuka. Dalam perang itu mula-mula Kedaton kulon atau Majapahit menderita kekalahan, namun setelah mendapat bantuan Bhre Tumapel (Bhre Hyang Parameswara), Kedaton Wetan (Blambangan) dapat dikalahkan. Bhre Wirabhumi melarikan diri, dikejar oleh R. Gajah (Bhre Narapati), dan setelah tertangkap lalu dipenggal kepalanya. Peristiwa ini dalam serat Pararaton disebut Paregreg. Meninggalnya Bhre Wirabhumi tidak berarti selesainya pertikaian, justru merupakan benih timbulnya balas dendam.

Setelah Wikramawardhana meninggal tahun 1429 M, ia diganti oleh anaknya yaitu Suhita (1429 - 1447). Suhita adalah anak Bhre Hyang Wisesa sebagai hasil perkawinan dengan Bhre Mataram, anak Wirabhumi. Jadi pengangkatan Suhita secara politis dimaksudkan untuk meredakan persengketaan. Namun Kitab Parara­ton memberitakan bahwa pada tahun Saka 1355 (1433 M),  R. Gajah dibunuh karena dituduh telah memenggal Wirabhumi. Peristiwa ini menunjukkan bahwa persengketaan dinasti Majapahit terus berlangsung.

Demikianlah, persengketaan yang berlangsung terus-menerus mengenai masalah kepemimpinan negara dan perebutan kekuasaan, telah mengakibatkan semakin rapuhnya Majapahit, dan ditambah pula oleh perkembangan-perkembangan baru didaerah pesisir utara Jawa, akhirnya masa keemasan Majapahit tidak dapat dipertahankan lagi sampai pada keruntuhannya tahun Saka 1400 (Sirna Ilang Ker­taning Bumi).

* * *
 BELAJAR dari pengalaman Majapahit, maka organisasi pemerintahan dan kenegaraan Indonesia yang ada sekarang, hendaknya selalu memperhatikan benar masalah kepemimpinan nasional. Artinya, baik dilihat dari kualitas atau kecakapannya ; moralitas atau perilakunya ; serta rasa tanggung jawab, kerjasama dan kejujuran, sangat perlu untuk ditegakkan demi jayanya organisasi kenegaraaan sertra kemasyarakatan yang kita cintai bersama.

Mencermati Gejala “Demokrasi Korupsi”


PADA sebuah diskusi di Nagoya bulan Juni lalu bersama Prof. Kimura Hirotsune (Nagoya University) dan Prof. Phaisal Lekuthai (Chulalongkorn University), Prof. Sofian Effendi (UGM) sempat melontarkan pendapat bahwa proses reformasi yang sedang berjalan dewasa ini membawa dampak yang kurang menggembirakan, yakni terjadinya pergeseran dari oligarchic corruption kepada democratic corruption. Artinya, pada masa Soeharto, pusaran korupsi hanya terjadi di sekitar elite politik di level nasional, sementara pada era reformasi justru menyebar pada berbagai segmen hingga level daerah.

Rekan saya Luky Adrianto, seorang kandidat Doktor di Kagoshima University, juga mengatakan bahwa lembaga publik di tanah air dewasa ini berpraktek tidak lebih seperti lembaga privat yang menekankan pada prinsip profit maximization. Itulah sebabnya, muncul fenomena uang kadeudeuh, dana purnabakti, studi banding, fasilitas dinas dari sepeda motor, mobil sampai beasiswa dinas yang intinya sama sekali tidak mengindahkan kepentingan publik yang diwakilinya.

Celakanya, semua keputusan profit maximization itu dihasilkan melalui mekanisme "demokratis" karena ada rapat, musyawarah atau voting yang notabene adalah simbol-simbol demokrasi. Dalam konteks ini, sesungguhnya korupsi sudah bertransformasi tidak hanya karena faktor-faktor klasik seperti ekonomi dan moral, namun sudah menuju ke korupsi secara politis dan institusional (Carasciuc, 2000).

Berdasarkan kenyataan yang ada, sangatlah tidak berlebihan jika kita katakan bahwa korupsi yang terjadi saat ini adalah democratic corruption atau korupsi demokratis, yakni korupsi yang dilakukan berdasarkan tata cara, kaidah-kaidah, dan penerapan teori demokrasi. Bisa pula disebut demokratis karena korupsi dirasakan oleh lebih banyak orang / lembaga secara bersama-sama.

Sejelek-jeleknya Orde Baru, korupsi masih dianggap sebagai sesuatu yang memalukan sehingga perlu ditutup-tutupi dengan berbagai dalih atau “ketertiban” administrasi keuangan. Namun sekarang, korupsi muncul secara lebih telanjang, bahkan dibalut dengan legalitas secara yuridis formal. Maka, korupsi demokratis sama artinya dengan legalisasi korupsi, dan ini adalah bentuk dari kejahatan politik dan kejahatan hukum yang sangat tragis.

Tanpa disadari, korupsi demokratis ini berarti juga telah terjadinya korupsi terhadap demokrasi (corruption of democracy). Nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan melalui tuntutan reformasi ternyata dimanipulasi oleh beberapa kalangan untuk kepentingan pribadi atau golongan mereka. Reformasi berubah menjadi deformasi, dan impian terwujudnya pemerintahan yang bersih, berwibawa dan bebas KKN sebagaimana diamanatkan oleh MPR dan UU no 28 tahun 1999, semakin menjadi harapan hampa.

Pada tahap selanjutnya, democratic corruption dan corruption of democracy akan membangun sebuah sistem ketatanegaraan yang koruptif, yaitu the democracy of corruption (demokrasi korupsi). Hal ini terjadi jika seluruh proses pengambilan keputusan publik telah didorong oleh semangat mencari keuntungan dan penghidupan bagi diri sendiri, keluarga atau group of interest-nya. Dan apabila demokrasi korupsi ini sudah menjadi “ideologi”, maka rusaklah semua sendi-sendi kebangsaan dan kenegaraan yang kita anut selama ini.

Oleh karena itu, momentum peringatan 57 tahun kemerdekaan RI dan 100 tahun Bung Hatta beberapa waktu yang lalu, patutlah kita jadikan sebagai refleksi atau renungan untuk kembali kepada semangat kejiwaan bangsa yang asli (yakni cita-cita kemerdekaan), sekaligus mencari kepemimpinan nasional yang mampu menjalankan amanah rakyat secara jujur, menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan sehingga dapat diteladani, serta cerdas dan visioner.

Meskipun demikian, secara fair harus kita katakan bahwa ketiga bentuk hubungan antara korupsi dan demokrasi diatas bukanlah sebagai hasil tunggal dari proses reformasi yang sedang berlangsung. Dalam beberapa hal, tentu program reformasi telah banyak menghasilkan perbaikan, khususnya dalam mengganti sebagian besar peraturan perundang-undangan produk rezim Orba yang sentralistis dan koruptif juga. Dengan berbaik sangka kita berharap bahwa kekurangan yang masih ada dewasa ini tidak terletak pada kesalahan konseptual dan kebijakan makronya, tetapi lebih pada tataran mikro dan implementasinya. Disamping itu, suburnya korupsi juga disebabkan oleh berbagai aspek yang sangat kompleks dan multidimensional.

Oleh karena itu, mencari penyebab dan biang keladi terjadinya korupsi menjadi kurang signifikan, sedangkan solusi dan langkah antisipasi lebih mendesak untuk dipikirkan. Dalam hubungan ini, Indonesia perlu belajar dari Thailand yang sama-sama terkena krisis ekonomi dan juga tengah melaksanakan program reformasi politik dan pemberantasan korupsi.

Menurut Prof. Phaisal Lekuthai pada saat diskusi di Nagoya, law enforcement memegang peran penting dalam proses reformasi, dimana banyak politisi korup yang dijebloskan ke penjara. Tentu saja, penegakan hukum disini tidak terbatas hanya ditujukan untuk menyeret koruptor ke meja hijau, namun lebih kepada upaya untuk menjamin rasa keadilan masyarakat secara material.

Disamping itu, asumsi yang digunakan dalam pemberantasan korupsi selama ini adalah semakin tinggi gaji, semakin rendah angka korupsi. Itulah sebabnya, gaji Hakim, anggota TNI/Polri, dan PNS kemudian dinaikkan secara cukup drastis. RAPBN 2003-pun ternyata menganut “asumsi kesejahtreraan” ini. Namun faktanya, asumsi tadi belum pernah terbukti, bahkan cenderung menimbulkan kecemburuan sesama warga, khususnya dari masyarakat kelas bawah.

Untuk itu, penerapan logika terbalik layak untuk dipertimbangkan, yakni bahwa pejabat publik harus bergaji kecil, meskipun perlu disertai dengan jaminan sosial yang pasti. Artinya, seorang pejabat tidak “dibayar” secara finansial (sebagai implikasi dari “pekerja”), melainkan “dipenuhi” kebutuhannya secara sosial (sebagai implikasi dari “pelayan”). Konsep ini baik sepanjang dilengkapi dengan kontrol administratif yang ketat.

Peran kelompok intelektual sebagai penjaga gawang moral (moral force) juga sangat penting untuk memberi tekanan dan kontrol kepada penguasa. Itulah sebabnya, free value kelompok ini perlu tetap dijaga dengan cara tidak ikut bermain politik secara praktis, seperti mendirikan parpol, menjabat sebagai birokrasi tingkat tinggi atau pimpinan BUMN. Memang menjadi ketua parpol atau pejabat tinggi adalah hak asasi setiap warga, namun kepada siapa kita dapat menggantungkan kritik yang jernih kalau bukan dari mereka?

Akhirnya, oleh karena korupsi adalah masalah akhlak dan budi pekerti, maka perlu segera disusun reformasi moral dan relijius. Meskipun program ini membutuhkan waktu minimal satu generasi, tetapi akan sangat bermanfaat untuk menciptakan tata perikehidupan yang tertib dan bersih. Sebab, apapun upaya yang dilakukan selama masih berorientasi jangka pendek, maka korupsi akan terus menjadi bagian dari hidup kita, kalau tidak mau dikatakan sebagai “ideologi”. © Tri Widodo WU.


Tulisan ini dipublikasikan di Harian Kompas, 10 September 2002.

Dimensi Politik Pembangunan Lingkungan


PADA peringatan Hari Lingkungan Hidup tanggal 5 Juni 2000 yang lalu, Presiden mengatakan bahwa jika pemerintah mengabdi pada keserakahan, yang akan menjadi korban adalah lingkungan dan pada akhirnya masyarakat sendiri. Sebagai contoh, aksi penggundulan hutan sudah merata di semua lahan hutan di Indonesia, bahkan pulau Jawa bisa menjadi gurun pasir jika tidak hati-hati memelihata kelestariannya (Republika, 6 Juni 2000). Menyikapi kecenderungan yang kian memprihatinkan tersebut, tulisan ini mencoba menyibak aspek-aspek politis dalam kebijakan pembangunan lingkungan beserta agenda yang perlu dikedepankan. 

Sebagai negara berkembang, Indonesia lebih mengandalkan kepada keunggulan berbanding (comparative advantage) daripada keunggulan bersaing (competitive advantage) dalam pembangunan nasionalnya. Ini berarti bahwa kemajuan ekonomi bangsa dan kesejahteraan masyarakat lebih didasarkan kepada upaya diversifikasi dan eksploitasi kekayaan alam yang telah tersedia, daripada menciptakan nilai tambah terhadap suatu produk tertentu. Dan "atas nama pembangunan" atau dengan alasan "demi meningkatkan taraf hidup masyarakat", eksploitasi terhadap keanekaragaman lingkungan seolah-olah mendapatkan pembenaran. Akhirnya, bangsa kita lebih membanggakan diri sebagai produsen kayu nomor satu didunia, tanpa memikirkan bagaimana upaya konservasinya.  

Inilah salah satu kelemahan utama dalam pembangunan lingkungan di Indonesia selama ini. Para pengambil kebijakan kelihatannya lebih mempriorotaskan kepentingan ekonomis dan politis praktis, serta menutup mata bahwa daya dukung (carrying capacity) lingkungan sangatlah terbatas. Dengan kata lain, nasib lingkungan sangat ditentukan oleh pertimbangan politik. Akibatnya, alam mengalami proses exploitation de 'lhomme par lhomme besar-besaran baik secara ekonomis, sosial, maupun politik. Atas dasar ini, tidak mengherankan jika banyak orang berpendapat bahwa kasus-kasus seperti PT Inti Indo Rayon lebih kental nuansa politis dibanding nuansa teknisnya.  

Politisasi Lingkungan 

Eksistensi dan keberlangsungan fungsi lingkungan, tidak dapat dilepaskan dari masalah kebijakan (policy), serta masalah perumusan kebijakan dan atau pengambilan keputusan (politics). Ini berarti bahwa rusak atau lestarinya kondisi lingkungan, akan sangat ditentukan oleh baik buruknya sistem dan mekanisme pengambilan keputusan secara nasional. Dengan kata lain, upaya peningkatan kualitas pembangunan sektor lingkungan (alam maupun sosial) melalui konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), harus dimulai dari pembenahan sistem politik nasional (political reform).  

Dua contoh fakta berikut ini agaknya bisa dijadikan sebagai ilustrasi untuk memperkuat anggapan tersebut diatas. Pertama, di Amerika Serikat, sebuah perusahaan rokok terkemuka Philip Morris Inc. (PMI), pernah menjadi sponsor utama rapat Partai Republik pada 1992. Perusahaan ini kemudian merekrut Craig Fuller - pemimpin rapat waktu itu - menjadi eksekutif puncak PMI. Selain itu, PMI menyediakan dana sebesar US $ 17 juta untuk dihibahkan kepada warga kulit hitam dan hispanik. Semua ini ditujukan agar para politikus (dan juga masyarakat) yang telah mendapat dana PMI mendukung rencana perubahan UU Anti Tembakau yang sangat ketat, sehingga beberapa perusahaan rokok harus membatasi produksi (Hawken, dalam Sidharta, 1997 : 61). 

Kedua, di Indonesia, pelaksanaan suatu proyek pembangunan yang menggunakan sarana lingkungan sering dilalukan dengan alasan pembenar, yakni untuk kepentingan umum. Dalam kaitan ini, pengertian "kepentingan umum" menurut lampiran Inpres RI No. 9 tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya pada pasal 1 ayat (1) adalah jika suatu kegiatan tersebut menyangkut kepentingan bangsa dan negara, dan/atau kepentingan masyarakat luas, dan/atau kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan pembangunan". Selanjutnya dalam pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum.

Dari rumusan diatas belum terlihat definisi dan kriteria kepentingan umum, sehingga masih memungkinkan terjadinya penafsiran yang amat luas. Tanpa itikad baik, kebijaksanaan dan keadilan dalam menafsirkan kalimat tersebut, maka "kepentingan umum" justru akan menghambat kepentingan pembangunan dan sekaligus melanggar hak asasi rakyat. Yang terjadi kemudian adalah proses pendangkalan mutu lingkungan yang terlihat dari fenomena-fenomena antara lain : pemberian ijin HPH yang cenderung tidak terkendali, penebangan hutan secara liar oleh pemegang HPH tanpa memikirkan langkah peremajaan atau reboisasinya, pembangunan kawasan perumahan dan industri di daerah-daerah dataran tinggi sebagai resapan air, impor limbah B3, dan sebagainya.  

Contoh-contoh diatas menggambarkan sumber-sumber awal kerusakan lingkungan, yang jelas-jelas diakibatkan oleh keterlibatan politik dan politikus dalam mencapai kepentingan politik tertentu (vested interest) melalui penggunaan instrumen lingkungan yang dieksploitasi secara berlebihan.  

Kasus-kasus itu sendiri terjadi akibat sistem politik yang membuka peluang atau memberi kemungkinan yang sangat luas terhadap terjadinya "kejahatan" terhadap lingkungan. Dalam khazanah ilmu politik, konsep ini terkenal dengan istilah Ekopolitik, yang pertama kali dipergunakan oleh Pirages (dalam Sidharta, 1997: 61) untuk merujuk pada kebangkitan kesadaran manusia terhadap isu lingkungan serta kaitannya dengan etika dan ekonomi. Namun pada perkembangannya, istilah ini kemudian lebih erat dengan persoalan politik praktis lingkungan, terutama dengan terbentuknya beberapa partai politik yang "mengatasnamakan" lingkungan, seperti Partai Hijau (Green Party). Ini menunjukkan bahwa konsep ekopolitik telah mengalami distorsi secara etimologis, sehingga yang terjadi sesungguhnya justru adalah distorsi atau degradasi ekologis.  

Distorsi ekologis yang diakibatkan oleh peranan "politik" ini terjadi karena terdorong oleh kurang berfungsinya pranata-pranata politik (political institutions), yang terlihat dari indikator-indikator antara lain : 

1.      Kurang jelasnya mekanisme partisipasi dan pengawasan masyarakat (social control), baik secara individual maupun institusional (LSM).
2.      Pada masa Orde Baru, sistem perwakilan dikuasasi secara mutlak oleh satu kekuatan tertentu, sehingga tidak terdapat keseimbangan dan distribusi kekuasaan secara merata atau memadai (single majority). Sedangkan pada masa 'reformasi' saat ini, sistem perwakilan terdiri dari berbagai fraksi (partai) dengan distribusi kekuatan politik yang relatif merata namun menyebabkan kesulitan dalam pengambilan keputusan politik.
3.      Pada masa Orde Baru, sistem pemerintahan daerah lebih mencerminkan atau mengejawantahkan kehendak Pusat (politik sentralisasi) dari pada upaya pemberdayaan potensi dan kemampuan mandiri pemerintah serta masyarakat daerah, termasuk keberadaan masyarakat adat (politik otonomi). Kecenderungan sentralisasi ini nampak dari deretan pasal-pasal UU Pemerintahan Daerah lama (UU No. 5 / 1974) yang memberi bobot lebih besar pada kebijakan kewilayahan (dekonsentrasi) dari pada kebijakan kedaerahan (desentralisasi).
4.      Kekuasaan eksekutif (Presiden) yang relatif dominan (executive heavy) sehingga cenderung mengkooptasi fungsi kelembagaan politik lainnya (DPR, DPA, BPK, MA).
5.      Paradigma politik lama yang lebih mengembangkan jargon-jargon stabilitas, persatuan dan kesatuan, keseimbangan, serta kemapanan, dari pada visi tentang perubahan, reformasi, kesinambungan, dan pencerahan.

Kondisi sistem politik yang demikian pada gilirannya akan mempengaruhi proses perumusan kebijakan strategis dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan nasional, termasuk sektor lingkungan hidup. Ironisnya, kebanyakan produk kebijakan (khususnya sektor lingkungan hidup) yang dihasilkan selama ini (era Orde Baru) cenderung diskriminatif, sehingga hasil akhirnya adalah terjadinya distorsi atau degradasi ekologis. Degradasi ekologi ini sangat mudah ditemui di Indonesia pada kasus-kasus banjir bandang, kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, menipisnya lapisan ozon, pencemaran air / tanah / udara, musnahnya beberapa species flora dan fauna, penurunan kadar kesuburan tanah, dan sebagainya. Kasus-kasus ini harus disikapi secara bijaksana sebagai sebuah early warning system bahwa alam sudah mulai tidak kuat menanggung beban kegiatan politik dan sosial manusia. 

Upaya Depolitisasi 

Mengingat demikian eratnya hubungan antara aktivitas politik dengan kualitas lingkungan, maka distorsi atau degradasi ekologis hanya dapat dipulihkan jika ditunjang oleh pembenahan sistem politik. Atau dengan kata lain, kebijakan politik yang menghayati makna dan hakekat sustainability development merupakan conditio sine qua non bagi upaya penyelamatan lingkungan.  

Berakhirnya era Orde baru dan munculnya era Reformasi, sesungguhnya merupakan momentum untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar atau koreksi total terhadap berbagai kebijakan sektor lingkungan yang berlaku selama ini. Permasalahannya adalah, bagaimana bentuk perubahan tersebut, hingga saat ini masih sangat sulit untuk dirumuskan secara jelas. Untuk itu, dalam rangka mengantisipasi perubahan sistem politik tersebut, disini akan dikemukakan dua alternatif perubahan, yakni perubahan secara bertahap dan sebagian (gradual / parsial), serta perubahan secara keseluruhan aspeknya maupun cakupannya (radikal / total). 

Pertama, perubahan secara gradual / parsial. Hal ini mengandung makna bahwa proses pembenahan sistem politik dilakukan dalam kerangka waktu (time framework) yang cukup panjang (5 - 15 tahun), sedangkan perubahan secara parsial dilakukan dengan cara memberdayakan ketentuan-ketentuan lama yang belum terimplementasi secara optimal. Konsekuensinya, konstitusi negara tidak akan dirubah, dan kalaupun hendak disesuaikan isinya dengan semangat jaman yang berlaku saat ini, cukup dilakukan melalui amandemen. Selanjutnya, supra struktur politik relatif tetap dengan menambahkan fungsi-fungsi baru, sedangkan perubahan pada tingkat infra struktur politik lebih dimungkinkan. Dan akhirnya, para pelaku perusakan / pencemaran lingkungan harus diseret ke pengadilan, namun perusahaannya dapat dilanjutkan dengan beberapa pembenahan. 

Kedua, perubahan secara radikal / total. Hal ini mengandung makna bahwa proses pembenahan sistem politik dilakukan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya serta meliputi seluruh bidang baik sosial, ekonomi, politik maupun hukum. Konsekuensinya, siapapun yang jelas-jelas merugikan pembangunan lingkungan harus dihadapkan ke pengadilan disertai dengan penutupan perusahaannya. Pilihan ini perlu diutamakan tanpa kalkulasi ekonomi maupun politik tertentu. Selanjutnya, suprastruktur politik (cq. Meneg Lingkungan Hidup) dapat ditingkatkan menjadi Departemen dan dilengkapi dengan hak / wewenang pengusutan atau penyidikan terhadap kasus-kasus perusakan / pencemaran lingkungan. Disamping itu, perlu ada penegasan batas terhadap koordinasi fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. 


Penutup 

Alam sesungguhnya memiliki hukum sendiri yang tidak bisa dilanggar oleh manusia. Hal ini berarti bahwa pada suatu titik, alam akan mengeluarkan peringatan, teguran maupun hukuman kepada manusia. Berbagai peristiwa bencana alam seperti kekeringan, banjir, longsor, kebakaran hutan, penipisan lapisan ozon, dan sebagainya dapat ditunjuk sebagai aksi resistensi alam terhadap eksploitasi yang dilakukan umat manusia terhadapnya. 

Sehubungan dengan hal diatas, maka suatu kesadaran bahwa manusia dan alam merupakan dua dunia yang hidup bersama-sama secara harmonis, perlu lebih ditanamkan kepada generasi sekarang maupun yang akan datang. Dengan cara demikian, maka diharapkan pembangunan ekonomis yang memanfaatkan jasa dan daya dukung alam, tidak akan menimbulkan kerusakan secara ekologis. Dan ini berarti bahwa pembangunan akan lebih dapat dinikmati. Satu hal yang harus dipegang teguh adalah bahwa formulasi dan implementasi kebijakan dibidang lingkungan harus ditujukan untuk mencapai maximum benefit dengan minimum risk, sekaligus pula untuk menekan munculnya kerugian-kerugian sosial (social disadvantage) atau ongkos-ongkos lain akibat dampak eksternalitas. © Tri Widodo WU.


Tulisan ini dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat, 30 Juni 2000

Banyak Jalan Menuju Demokrasi


TULISAN Indra J. Piliang, Demokrasi Lokal dan Akar Demokrasi, semakin meneguhkan sikap dan keyakinannya terhadap pentingnya parpol lokal dan pemilu langsung di daerah sebagai upaya mewujudkan kehidupan politik lokal yang lebih demokratis. Indra sangat percaya bahwa pemilu lokal merupakan bentuk asli demokrasi Indonesia yang sangat baik namun terlanjur telah diinjak-injak dan dinistakan oleh model demokrasi nasional yang dianggapnya busuk. Dengan alasan ini, bisa dimaklumi bahwa Indra sangat mendorong setiap langkah untuk mengembalikan praktek demokrasi kepada habitat aslinya, yaitu masyarakat lokal.

Saya sendiri tidak memiliki keraguan sedikitpun tentang perlunya percepatan dan penguatan demokrasi di tingkat akar rumput. Dalam tulisan saya sebelumnya, Demokrasi Lokal: Haruskah dengan Parpol dan Pemilu Lokal (SH, 17/2/03), saya lebih mengkritisi pendekatan, metode atau cara yang ditempuh dalam membangun demokrasi lokal. Dalam artikel itu, saya mengajukan paling tidak empat alasan mendasar yang mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa parpol lokal dan pemilu lokal belum kita butuhkan untuk jangka pendek ini. Sebab, sistem pemilu lokal dengan perangkat parpol lokalnya hanyalah bagian kecil dari sistem demokrasi. Artinya, masih banyak opsi dan jalan lain yang lebih murah dan aman untuk dipilih dibanding pengaktifan parpol lokal serta pemberlakuan sistem pemilihan anggota legislatif dan Kepala Daerah secara langsung.

Memang gagasan pemilihan Kepala Daerah (belum termasuk anggota DPRD) secara langsung telah diatur dalam UU No. 18 dan 21 tahun 2001, serta diakomodir dalam draft revisi UU 22/1999. Bahkan saat ini banyak pihak termasuk Ginandjar Kartasasmita yang menginginkan agar Jawa Barat dapat menjadi propinsi pertama yang menyelenggarakan pemilihan gubernur secara langsung tanpa harus menunggu peraturan perundangan yang mendasarinya. Namun yang harus diingat adalah bahwa pengambilan keputusan politik yang terburu-buru dan kurang hati-hati hanya akan menghasilkan kemungkinan timbulnya berbagai persoalan baru di kemudian hari. Keinginan untuk menghasilkan output reformasi secara instant melalui perumusan kebijakan yang prematur, tidak jarang membuahkan benturan-benturan yang kontra produktif.

Sekedar mengambil analogi, gagasan untuk meluncurkan kereta api super-express seperti Shinkansen adalah mimpi belaka jika tidak disertai dengan perangkat penunjangnya seperti rel magnetik, sistem informasi mutakhir, kemampuan mesin penggerak, serta disiplin tinggi dari seluruh operator dan para pengguna jasa.

Dengan demikian, poin utama saya adalah bahwa kita membutuhkan proses dan kelembagaan politik yang hati-hati (prudent politics). Konkritnya, penerapan sistem pemilu lokal hanya akan efektif dan bermanfaat manakala infrastruktur ekonomi, sosial dan politiknya telah terpenuhi. Sayangnya, prakondisi untuk keberhasilan pemilu lokal tadi, dalam pandangan saya, belumlah memadai. Selain argumen makro yang telah saya kemukakan sebelumnya, beberapa butir tambahan berikut mungkin dapat sedikit lebih memperjelas apa yang ada dalam benak saya.

Isu pertama menyangkut kemampuan dan komitmen partai politik untuk mengabdi kepada masyarakat dan membangun daerah. Dalam artikelnya di buku Masyarakat versus Negara (Frans Parera, 1999), Didik Rachbini menyatakan diri sebagai salah seorang yang tidak percaya bahwa pemilu adalah satu-satunya upaya untuk menyelesaikan masalah bangsa. Penyebabnya tidak lain karena partai-partai yang ada memiliki naluri nasional kolektif yang tumpul. Parpol menjadi miskin program karena tergiring kedalam arena emosional dari udara kebebasan baru, bahkan sebagian tenggelam dalam hubungan dan komunikasi irasional kolektif yang setengah memabukkan. Yang terjadi kemudian adalah adu otot antar parpol dengan menggelar “karnaval politik” sebanyak mungkin. Fenomena ini oleh Didik disebut sebagai jebakan demokrasi.

Tentu kita sangat sedih dengan kenyataan dan figur parpol seperti itu. Oleh karenanya, alangkah bijaksananya jika bangsa ini tidak menyediakan jebakan-jebakan baru di tingkat daerah, paling tidak dalam jangka pendek. Sebelum kearifan dan kedewasaan politik para elit lokal tumbuh secara memadai, arena pemilu langsung di daerah dengan pelaku-pelaku parpol lokal akan menjadi ajang kompetisi yang tidak sehat dan perseteruan semata. Bisa jadi sikap seperti ini diterjemahkan sebagai kecurigaan atau pesimisme yang berlebihan, namun sekali lagi, saya lebih menekankan pentingnya kecermatan, kehati-hatian, serta kelayakan politis dari suatu kebijakan.

Kedua, Indra mengangkat isu Pilkades yang telah berlangsung minimal dalam satu abad terakhir sebagai akar demokrasi Indonesia. Kita boleh saja berbangga dengan model pemilihan pemimpin lokal ala Indonesia ini. Tapi hendaknya jangan diingkari bahwa praktek Pilkades dari masa ke masa, dari jaman Orde Baru hingga sekarang, selalu sarat dengan konflik horisontal. Kasus terbaru terjadi di desa Bunar, Kec. Balaraja, Kab. Tangerang dimana sebanyak 300 warga mengamuk dan membakar 10 poskamling karena tidak dapat menerima kekalahan calon Kades yang didukungnya (Republika, 22/02/03). Dalam kasus-kasus sebelumnya, berbagai pelanggaran dan dampak negatif dari Pilkades antara lain berbentuk kampanye terselubung dari seorang calkades dengan menjanjikan akan memberikan gaji Rp 250.000 kepada setiap ketua RT (PR, 16/12/02), menjadi arena perjudian dengan omzet sampai puluhan juta rupiah (kebumen.portal.dk3.com), jual beli kartu suara oleh kader calon tertentu (Buletin Flama no. 13), dan sebagainya. Jelaslah bahwa demokrasi model Pilkades tidak dapat terlalu kita banggakan, apalagi untuk dipromosikan sebagai model demokrasi pada level distrik dan propinsi.

Ketiga, Indra melansir isu partisipasi dengan menyatakan bahwa masyarakat memiliki kehendak yang tinggi untuk memilih wakil-wakilnya di DPRD termasuk Kepala Daerahnya secara langsung. Pertanyaannya, benarkah masyarakat menuntut partisipasi yang lebih luas? Sekedar ilustrasi ringan, ketika masyarakat diberi kesempatan untuk mengelola sendiri keamanan lingkungannya melalui siskamling, banyak diantara mereka yang membayar orang lain untuk mewakili melaksanakan kewajiban ronda. Kalaupun benar bahwa masyarakat menghendaki partisipasi yang lebih besar, kembali pertanyaan klasik dapat diajukan: kelompok masyarakat mana yang dirujuk oleh Indra? Sebab, kalau kita amati fakta disekeliling kita yang diindikaskan oleh tingkat melek huruf (literacy rate) serta kesenjangan sosial ekonomi (gini coefficient index), nyatalah bahwa sebagian besar penduduk Indonesia masih sangat rendah dalam indikator pendidikan dan pendapatan per kapitanya. Padahal, status sosial dan ekonomi akan sangat menentukan tinggi rendahnya partisipasi politik masyarakat (Samuel Huntington, Partisipasi Politik di Negara Berkembang). Saya sedikit khawatir Indra terlalu menggeneralisir tuntutan sekelompok masyarakat (berpendidikan dan berkecukupan) sebagai tuntutan rakyat secara kolektif.

Keempat, isu KKN dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Benarkah pemimpin hasil pemilihan langsung dapat menjamin lahirnya sosok birokrasi yang lebih baik, bersih, terbuka, efektif, aspiratif dan produktif? Tentu kita sadari bersama bahwa pemilu dengan sistem apapun tidak akan pernah menghilangkan kegiatan penggalangan dan mobilisasi dari tokoh, ormas ataupun partai politik tertentu. Kalaupun money politic dapat dihindari pada proses pemilihan di tingkat panitia pemilihan, namun akan sulit diantisipasi pada tahap mobilisasi kader. Jika hal ini terjadi, maka siapapun yang terpilih sebagai pemimpin tidak akan lepas dari jaring-jaring KKN.

Terakhir, hal terpenting dari upaya membangun demokrasi lokal adalah bagaimana memperbanyak pilihan dan memperluas ruang bagi aspirasi masyarakat (amplifying people’s choice and voice). Orientasi lain dari politik lokal adalah menjaga interaksi yang positif antara pemerintah dengan warganya (in touch with people). Apapun pendekatan, metode atau cara yang dipakai sepanjang mampu memperkokoh pilihan dan suara rakyat dalam keseimbangan peran dan hubungan dengan pemerintah, maka hal itu sudah merupakan pencerminan dari kualitas demokrasi lokal.

Seiring dengan ide diatas, dapatlah dipahami mengapa isu pemilu dan parpol lokal tidak banyak kita temukan dalam buku-buku teks tentang demokrasi lokal. Dalam Rethinking Local Democracy (Desmond King dan Gerry Stoker, 1996) dan Renewing Local Democracy (Lawrence Pratchett, 2000) misalnya, tidak satu chapter-pun yang menekankan parpol dan pemilu lokal sebagai leveraging effect terhadap demokrasi lokal. Tentu hal ini tidak berarti menegasikan makna dan fungsi keduanya, namun semata-mata lebih menandaskan adanya prioritas lain yang lebih layak untuk dikembangkan.

Salah satu upaya yang ditekankan untuk memperkuat demokrasi lokal menurut dua buku tersebut justru melalui peningkatan akuntabilitas dan efisiensi pemerintahan daerah. Sebab, peluang tumbuhnya partisipasi publik dapat terhambat oleh lemahnya kapasitas pemerintah daerah. Atas dasar alasan itulah buku tadi menyarankan agar pemerintah daerah (otoritas lokal) harus mampu memerankan diri as a broker, an organizer of coalitions, and as a concencus builder. Pada saat bersamaan, masyarakat sipil perlu terus dibangun dengan memberi peran kepada otoritas lokal untuk membangun kerangka penyaluran aspirasi dan kepentingan rakyat.

Dengan demikian, demokrasi lokal lebih dimaknakan sebagai interaksi institusi lokal yang berbasis pada kepercayaan (trust) dan etika dari pada sekedar formalitas bentuk dan proses berdemokrasi. Peran baru otoritas lokal dalam konteks keseimbangan dengan masyarakat seperti inilah yang merupakan inti dari gagasan baru tentang green politics dan green democracy. Dan, walaupun reformasi, demokratisasi dan desentralisasi merupakan trend utama saat ini, alangkah manisnya jika kita tidak terjebak kepada apa yang disebut Gerry Stoker sebagai the trap of localism. © Tri Widodo WU.

Mahasiswa, Demokrasi Populis Dan Penjatuhan Rejim


DALAM diskusi peluncuran Indonesian Policy Dialogue Forum (www.ipdf.org) di Tokyo tanggal 30/01/2003 lalu, Fajroel Rachman kembali melontarkan gagasan tentang popular democracy (demokrasi rakyat atau demokrasi populis), sebuah konsep yang biasanya dilawankan dengan elite democracy (demokrasi para penguasa). Dalam konsep ini, rakyat semestinya memiliki peran dan tempat yang proporsional dalam konstelasi kepemimpinan dan kebijakan nasional. Nyatanya, rakyat tetap hanya sebagai penonton dari panggung politik yang dimainkan hanya oleh beberapa gelintir tokoh. Parahnya lagi, para tokoh tadi seolah tidak sadar bagaimana mereka menduduki kursinya dan untuk siapa seharusnya mereka duduk disana.

Bebalnya para pejabat tinggi negara dan kaum politisi tentang sangkan paran (asal usul dan tujuan) mereka inilah agaknya yang mendorong beberapa kelompok masyarakat, khususnya mahasiswa, untuk menggugat. Bentuk gugatannya sendiri bervariasi dari kritik sopan melalui media hingga aksi jalanan yang tidak jarang membawa korban. Pada awalnya, materi gugatan lebih diarahkan kepada pembenahan ataupun perubahan konsep dan kebijakan publik yang kurang memihak wong cilik. Namun ketika suara-suara rakyat itu sudah tidak didengarkan lagi, maka isi tuntutanpun menjadi lebih tegas, yakni penurunan atau penggantian penguasa. Itulah sebabnya, ketika tuntutan menunda kenaikan dan/atau menurunkan harga-harga sudah dipenuhi, mahasiswa akan tetap melancarkan aksi hingga rejim yang ada berhenti.

Dalam konteks inilah Fajroel menandaskan bahwa gerakan mahasiswa seharusnya tidak berhenti sebagai gerakan moral dan gerakan menumbangkan rejim saja, tetapi juga harus merebut dan membangun kekuasaan. Tanpa kekuasaan ini tidaklah mungkin bagi mahasiswa untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Mengenai cara atau metode untuk mendapatkan kekuasaan ini, Fajroel menyarankan agar mahasiswa membangun gerakan ekstraparlementer lewat mobilisasi massa dan gerakan intraparlementer dengan masuk ke kancah politik formal. Oleh karena itu, sebagian gerakan mahasiswa harus mendirikan partai-partai politik (Kompas, 17/12/02).

Secara rasional maupun konseptual, adanya gagasan atau keinginan agar mahasiswa lebih berani dalam bermain politik, sesungguhnya tidaklah berlebihan. Mahasiswa sebagai salah satu pilar civil society yang terdidik, secara tradisional memiliki tanggung jawab moral untuk membawa masyarakat ke alam kehidupan yang lebih baik dan demokratis. Secara rasional tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa adalah penerjemah dan pencari solusi atas merebaknya kegelisahan sosial. Sementara secara akademis, James Madison (1751-1836) telah memberi legitimasi terhadap aksi-aksi sosial dengan mengatakan bahwa rakyat memiliki hak yang tidak terbantahkan untuk mengganti pemerintahan ketika terjadi penyelewengan terhadap tujuan-tujuan institusional (The people have an indubitable, unalienable, and indefeasible right to reform or change their government whenever it be found adverse or inadequate to the purposes of its institution).

Akan tetapi dilihat dari etika politik maupun perjalanan sejarah kemahasiswaan, cita-cita menggulingkan dan merebut kekuasaan hanya akan mengotori kemurnian dari gerakan mahasiswa itu sendiri. Memang dewasa ini terdapat tendensi bahwa setiap aktivitas politik selalu bermuara kepada kekuasaan. Sebagaimana disinyalir oleh Cahyadi (Sinar Harapan, 29/01/2003), politik telah terselewengkan dari maknanya, karena lebih berorientasi pada kekuasaan yang menguntungkan. Bila demikian, pemilu, ataupun upaya pendongkelan kekuasaan, bisa jadi hanyalah soal rebutan kesempatan untuk meraup keuntungan. Bila ini yang terjadi, maka politik hanyalah menjadi soal rebut-merebut rezeki. Pada media dan edisi yang sama, dalam tulisannya berjudul Gerakan Mahasiswa 2003, Silaen menyoroti ide pembentukan presidium dengan menyatakan bahwa hal ini justru menjadikan keadaan lebih rumit lagi dan berpotensi menambah persoalan.

Menyimak pendapat kedua penulis tadi, alangkah sayangnya jika mahasiswa kita saat ini mudah tergoda oleh hingar bingarnya dan gemerlapnya kepolitikan nasional. Mudah-mudahan, mahasiswa tidak terbius oleh ajaran Robson, bahwa the focus of interest of the political actors center on the struggle to gain or retain power, to exercise power or influence over others, or to resist that exercise (fokus perhatian sarjana dan pelaku politik tertuju pada perjuangan mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu). Ketika kaum intelektual sudah mulai terjun langsung kedalam dunia politik praktis, akankah para mahasiswa mengikuti jejak senior mereka? Lantas, kepada siapa rakyat akan mempercayakan mandat dan aspirasinya?

Padahal kalau kita simak kembali lembaran sejarah, gerakan mahasiswa itu sebenarnya tidak pernah mempunyai tujuan-tujuan politik praktis, sebagaimana gerakan-gerakan sosial pada abad 17 hingga 19. Gerakan mahasiswa sifatnya hanya berupa aktivitas atau reaksi-reaksi spontan dan sporadis yang bertujuan hendak mewujudkan atau menolak suatu perubahan, keadaan sosial atau tatanan politik tertentu. Gerakan para pemuda ini selalu dan hanya lahir pada saat-saat dimana terdapat fenomena social anomie atau social disorder. Manakala tertib sosial dan harmoni telah terbangun, dengan sendirinya mereka akan kembali menekuni dunia keilmuan (back to campus).

Tentu gerakan mahasiswa harus kita dukung. Tentu demokrasi populis harus kita wujudkan sekuat mungkin. Dan tentu pula aturan hukum harus ditegakkan. Namun, tentu saja ini semua tidak berarti bahwa penggulingan rejim dapat dibenarkan. Sejarah telah mencatat kiprah dan peran mahasiswa dengan tinta emas. Bahkan gerakan mahasiswa 1966 telah berhasil menciptakan sejarah dengan merombak total tatanan pemerintahan tanpa harus merebut kekuasaan. Berpijak pada pengalaman masa lampau, maka tugas mahasiswa sekarang yang semestinya adalah menciptakan momen dan membangun gagasan brilian tentang konsep bernegara yang demokratis dan efektif, sehingga kelak akan terekam sebagai sejarah baru kemahasiswaan Indonesia. Apakah mahasiswa generasi 2000-an mampu memanfaatkan peluang itu, hanya waktulah yang akan membuktikan kepada kita semua. © Tri Widodo WU.