Sabtu, 05 Juni 2010

Reposisi Hubungan Kepala Daerah dan DPRD


KEDUDUKAN hukum DPRD pada era reformasi dewasa ini mengalami proses reposisi yang cukup radikal. Pada masa lampau, kedudukan DPRD adalah salah satu unsur dari pemerintahan daerah atau eksekutif (pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1974). Ini berarti bahwa DPRD memang diposisikan sebagai mitra Kepala Daerah dalam perumusan – sekaligus implementasi – kebijakan di daerah, dari pada sebagai fungsi kontrol dan penyeimbang kekuatan eksekutif yang sangat besar. Dalam kedudukannya yang demikian, sangatlah wajar jika DPRD sama sekali tidak mencerminkan representasi dari rakyat di daerahnya. Oleh karena itulah dalam pasal 14 UU Nomor 22 tahun 1999 kedudukan DPRD dikembalikan kepada fungsi aslinya, yakni sebagai badan legislatif.

Seiring dengan fungsi barunya ini, DPRD juga diberikan hak untuk meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah, sesuatu yang sangat tidak mungkin terjadi dalam era Orde Baru.

Dalam konteks negara demokrasi dan negara hukum, kedudukan DPRD mutlak harus memiliki kemandirian dan “kekebalan” dari pengaruh-pengaruh kekuasaan lainnya, baik dari pihak eksekutif maupun pengaruh-pengaruh yang datang dari kelompok-kelompok penekan (pressure group). Jika DPRD tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh ini, maka yang terjadi adalah “pengkhianatan” terhadap amanat penderitaan rakyat. Dan jika hal ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa fungsi DPRD tidak lebih hanya sebagai kepanjangan tangan dari berbagai pihak yang “menguasainya” tadi. Itulah sebabnya, untuk menjaga dan mengantisipasi intervensi dan pengaruh kekuasaan lain terhadap DPRD, lembaga legislatif idealnya hanya memiliki hubungan kerja dan koordinasi dengan lembaga-lembaga diluar dirinya, namun secara struktural tidak memiliki hubungan langsung secara kedinasan (line and staff).

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa lembaga legislatif harus selalu dominan terhadap lembaga eksekutif. Kecuali dalam sistem ketatanegaraan parlementer, kedudukan eksekutif (yang dipersonifikasikan oleh Kepala Daerah) dan legislatif haruslah seimbang. Bahkan konsep Trias Politika yang diintroduksi oleh Montesquieu secara tegas memisahkan hubungan antara kedua lembaga ini; dengan kata lain tidak dapat saling mencampuri (dan oleh karenanya tidak dapat saling menjatuhkan).

Namun sayangnya, realitas politik di Indonesia pasca pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999 menunjukkan adanya pembalikan posisi, dimana DPRD yang semula hanya merupakan “bagian / unsur dari pemerintah daerah” menjadi lembaga yang berhak meminta pertanggungjawaban kepada daerah. Dengan kata lain, kedudukan DPRD berubah dari inferior menjadi superior terhadap Kepala Daerah. Kasus pemecatan Walikota Surabaya menjadi contoh yang gamblang tentang kekuatan baru DPRD. Pertanyaan yang penting dibahas adalah, apakah model demokratisasi lokal seperti ini yang sesungguhnya diinginkan oleh UU Nomor 22 tahun 1999? Disamping itu, apakah pola hubungan seperti ini akan menjamin proses penyelenggaraan pemerintahan (khususnya di daerah) di Indonesia akan menjadi lebih efektif dan efisien?

Fungsi Law Making dan Prospek Kedepan

Secara umum dipahami bahwa kekuasaan legislatif merupakan fungsi kenegaraan dalam bidang perumusan atau pembuatan hukum. Bahkan ajaran pembagian kekuasaan (division of power) menurut Trias Politika menandaskan bahwa hanya DPR saja yang mewakili rakyat dan memiliki kompetensi untuk mengungkapkan kehendak rakyat dalam bentuk UU, sementara eksekutif atau pemerintah hanya mengikuti dan mengimplementasikan hukum (UU) yang ditetapkan oleh DPR. Inilah pandangan “supremasi parlementarisme” yang cenderung semakin memudar.

Sistem pemerintahan di Indonesia sendiri mendistribusikan kekuasaan legislatif kepada dua lembaga tinggi negara yakni Presiden dan DPR. Meskipun pasal 5 UUD 1945 telah diamandemen, namun dalam prakteknya fungsi pembuatan UU masih memerlukan keterlibatan eksekutif dan legislatif secara bersama-sama. Harus diakui bahwa DPR (walaupun dalam era reformasi) belum mampu secara penuh dibebani tugas perumusan UU.

Oleh karenanya, inisiatif dan kajian tentang isi (content analysis) suatu RUU sebagian besar berasal dari kalangan birokrasi. Kinerja politik legislatif yang rendah ini ditunjukkan oleh Ichlasul Amal (1996: 111) yang menyebutkan adanya trend bahwa semakin lama peranan dan kinerja legislatif di Indonesia semakin melemah. Dalam hal pelaksanaan fungsi pembuatan hukum (law making) misalnya, pada periode 1945-1949, lembaga perwakilan di Indonesia rata-rata hanya menghasilkan 37,6 UU per tahun. Namun jumlah ini terus menurun menjadi rata-rata 19,1 pada periode 1959-1965, rata-rata 12,4 pada periode 1966-1977, serta mencapai titik terendah pada periode 1982-1992 menjadi hanya rata-rata 11,5 per tahun. Dengan tambahan tugas yang baru berupa hak menerima dan/atau meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah, maka secara hipotetis, kinerja law making DPRD akan semakin menurun.

Ironisnya, pelaksanaan tugas utama yang masih sangat lemah justru cenderung diabaikan, sedangkan “tugas tambahan” lebih ditonjolkan. Kasus Kota Surabaya merupakan preseden yang sangat buruk bagi proses demokratisasi di tubuh pemerintahan daerah sekaligus contoh yang buruk pula terhadap implementasi fungsi law making lembaga legislatif.

Akar masalah dari rendahnya produktivitas anggota legislatif disebabkan antara lain karena tingkat pendidikan anggota legislatif relatif lebih rendah disamping kurangnya atau terbatasnya informasi dan data yang dimilikinya. Sekali lagi hal ini mengindikasikan bahwa posisi anggota legislatif perlu lebih diberdayakan. Pemahaman yang benar dan mendalam tentang lingkungan strategis yang melingkupi organisasinya perlu dibangun seiring dengan berbagai upaya untuk memperluas wawasan dan kapasitas individu anggota legislatif. Hal ini perlu ditempuh agar DPR/DPRD benar-benar muncul sebagai lembaga yang independen, profesional dan mampu berkomunikasi dengan rakyat secara transparan, jujur dan efektif.

Mengingat kinerja politik yang masih sangat rendah, maka sangatlah wajar jika kedudukan DPR/DPRD merupakan mitra atau partner bagi Presiden / Kepala Daerah dalam penyusunan kebijaksanaan. Atau dengan kata lain, antara eksekutif dan legislatif tidak hanya sama-sama memiliki hak untuk mengajukan rancangan UU, namun lebih dari itu juga sama-sama memiliki tanggung jawab untuk memajukan daerahnya. “Perseteruan” baik terbuka maupun diam-diam antara DPRD dan Kepala Daerah, atau sebaliknya kolusi antara keduanya dengan prinsip mutual understanding, jelas-jelas merupakan “pelacuran politik”, “penyimpangan kekuasaan”, sekaligus “korupsi administratif” dari para aktor atau politisi lokal.

Untuk mengantisipasi berlarutnya misinterpretasi dari proses pemberdayaan institusi lokal, maka kedudukan DPRD perlu ditempatkan pada posisi yang benar-benar proporsional. Meskipun UU Nomor 22 tahun 1999 mengatur bahwa “DPRD berhak meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati, dan Walikota” (pasal 19); “Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Propinsi” (pasal 31); serta “Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati / Walikota bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten / Kota” (pasal 31), namun terdapat pasal lain yang menegaskan bahwa DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah (pasal 16). Disamping itu, tidak ada ketentuan secara eksplisit bahwa DPRD dapat memecat atau memberhentikan Kepala Daerah.

Dalam hal ini, pasal 46 menyatakan: “Bagi Kepala Daerah yang pertanggungjawabannya ditolak untuk kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden”. Implikasinya jelas bahwa pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD hanya sebatas dalam fungsi kontrol terhadap pelaksanaan peraturan daerah serta jalannya pemerintahan secara umum di daerah, bukan fungsi pertanggungjawaban itu sendiri. Dengan kata lain, pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD sangat berbeda secara konseptual dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR.

Mengingat adanya kecenderungan yang salah kaprah sebagaimana dipaparkan diatas, maka perlu dipikirkan adanya mekanisme yang memungkinkan dilakukannya pengawasan langsung terhadap DPRD. Adalah pikiran yang sangat logis jika kita bertanya: “jika Presiden bertanggungjawab kepada MPR, kepada sipakah MPR bertanggungjawab dan bagaimana mekanismenya?” Demikian pula, “jika Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD, kepada sipakah DPRD bertanggungjawab dan bagaimana mekanismenya?”. Dalam era baru dewasa ini dimana akuntabilitas sektor publik menjadi tuntutan utama, maka pertanggungjawaban lembaga publik terhadap konstituennya adalah mutlak. Tanpa hal tersebut, kita tidak akan pernah menyaksikan birokrasi yang benar-benar bersih dan akuntabel.

Masyarakat Sebagai Pelanggan: Sebuah Solusi

Dalam konteks mencari format baru hubungan eksekutif – legislatif di daerah, tulisan ini ingin menekankan sekali lagi bahwa kedua institusi publik tersebut bukanlah institusi yang harus saling berhadapan. Justru keduanya perlu menempatkan diri pada wadah yang sama guna menghadapi “lawan” dihadapannnya, yaitu masyarakat. Disebut “lawan”, karena sesungguhnya hanya masyarakatlah yang berwenang untuk “mengadili” kedua institusi tadi, berhak memutuskan bahwa pemerintah daerah tidak akuntabel, serta berhak menurunkan pejabat pemerintahan daerah (baik Ketua DPRD, Kepala Daerah maupun jajarannya).

Untuk dapat menghadapi “lawan” dengan baik, sudah saatnya pemerintah daerah merubah paradigmanya, yakni menempatkan masyarakat sebagai pelanggan. Inti dari gagasan ini adalah bahwa terhadap suatu keberhasilan perlu diberikan penghargaan dan atas setiap kegagalan perlu dikenakan sanksi tertentu, sehingga model ini disebut juga sebagai competitive local government.

Dalam kedudukan masyarakat sebagai pelanggan, adalah sangat penting bagi pemerintah untuk memperbaharui “kontrak sosial” yang baru dibidang pelayanan umum. Dalam hal ini, apa yang telah dilakukan pemerintah Malaysia dan Inggris perlu dicontoh, yakni membuat perjanjian yang bernama “local public service agreement” antara pemerintah (Pusat) dengan Dewan Kota tertentu secara individual. Perjanjian ini berisi standar-standar yang harus dicapai oleh Dewan Kota dalam jangka waktu 3 hingga 5 tahun. Jika Dewan Kota dapat mencapai target yang diperjanjikan, maka Pemerintah akan memberikan reward/grant 16,509,825 pounds (untuk kasus Kota Leeds). Jika Dewan Kota hanya mampu mencapai target sebesar 60%, maka hanya 60% dari grant yang akan diterimanya. Dengan demikian, tujuan utama dari perjanjian ini adalah mempercepat pemberian layanan dan/atau meningkatkan mutu pada level yang lebih tinggi bagi penduduk di wilayah tertentu tersebut.

Untuk kasus Indonesia, tanggung jawab pemberian layanan umum berapa pada pundak pemerintah daerah. Tentu saja jika ingin meniru model Inggris, perjanjian dapat dilakukan bukan antrara Pemerintah Pusat dengan Dewan Kota (Pemerintah Daerah dan DPRD), namun antara Pemerintah Daerah dengan perwakilan masyarakat (DPRD ditambah dengan unsur NGO). Dengan model terobosan seperti ini, diharapkan tercapai dua manfaat sekaligus yaitu mengurangi tingkat perseteruan antara DPRD dengan Kepala Daerah dan meningkatkan kinerja pelayanan umum.


Tulisan ini dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat, 5 Maret 2002.

Menyoal Revisi UU Pemerintahan Daerah


DI sela-sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Jakarta, Ryaas Rasyid menyatakan bahwa revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 bukan lagi suatu langkah mundur, tapi sudah terjun bebas. Logikanya sama sekali tidak main, karena revisi itu mengubah asumsi dasar dari otonomi daerah dengan membawa kembali kewenangan ke pusat, sehingga terjadi perubahan dari pengakuan kewenangan menjadi penyerahan urusan (Kompas, 31/5).

Suara vokal yang dikemukakan oleh Ryaas dalam kesempatan itu sesungguhnya bukanlah yang pertama kali. Sejak adanya kebijakan yang mengeliminasi eksistensi Kementerian Negara Otonomi Daerah dan penempatannya sebagai MENPAN, Ryaas telah berkali-kali melakukan otokritik yang berujung pada pengunduran dirinya dari Kabinet Persatuan Nasional. Namun sayangnya, “bola” yang dilempar oleh Ryaas kurang mendapat tanggapan yang serius dari berbagai pihak. Bahkan otoritas di Depdagri sendiri sebelumnya terkesan “dingin” dan terus melanjutkan program revisi terhadap UU Pemerintahan Daerah.

Namun akhir-akhir ini agaknya terjadi perubahan dalam orientasi kebijakan di Depdagri. Sebagaimana dikemukakan Ketua Umum Apkasi Syaukani, pemerintah pusat, dalam hal ini Depdagri, bertekad untuk menunda revisi UU itu (Media Indonesia, 31/5). Syaukani sendiri mengatakan bahwa sekarang bukan zamannya lagi ramai-ramai berdebat yang kadang tidak produktif, yang penting adalah tekad untuk melaksanakan otonomi daerah ini. Depdagri, nampaknya mulai bersikap moderat bahwa revisi akan dilakukan setelah adanya evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah.

Belum jelas apakah Ryaas Rasyid menjadi gembira dengan perubahan sikap Depdagri ini, ataukah hanya sekedar menunda kekecewaan mengingat bahwa revisi UU Nomor 22 tahun 1999 juga hanya sekedar “ditunda”. Namun bagi penulis, permasalahan pokoknya tidak terletak pada pilihan apakah UU pengganti UU Nomor 5 tahun 1974 ini harus direvisi atau tidak. Demikian pula tidak menjadi masalah, kapan waktu yang tepat untuk melakukan revisi. Yang harus dikkaji justru adalah aspek substansial, apakah pemberlakuan UU Pemda yang baru ini mampu mendorong kinerja daerah otonom dan proses demokratisasi di tingkat akar rumput, ataukah justru sebaliknya. Artinya, jika ada indikasi (terlebih lagi bukti) bahwa manajemen dan performa pemerintah daerah menjadi semakin buruk setelah adanya kebijakan desentralisasi secara luas, maka perlu segera dilakukan terhadap seluruh produk hukum yang mengatur masalah ini. Dalam hal seperti ini, penundaan revisi malah akan memperparah keadaan yang sedang memburuk.

Sebagai contoh, di sektor kehutanan, kewenangan otonom pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola sumber daya nasional, terbukti tidak berimplikasi positif. Bahkan sebaliknya, sumber daya hutan mengalami deforestasi yang lebih besar. Berdasarkan perhitungan sementara yang dikutip dari Departemen Kehutanan (Dephut), deforestasi selama tiga tahun sejak era reformasi dan otonomi daerah telah melampaui angka 2,5 juta hektar/tahun dari rata-rata sebelumnya 1,6 juta hektar (Kompas, 1/6). Hal ini menunjukkan secara gamblang bahwa “otonomi luas” secara signifikan berdampak pada dan/atau diartikan sebagai “manajemen bebas”. Dalam kasus seperti ini, penyesuaian kebijakan (salah satunya melalui perubahan aturan hukum), jelas menjadi tuntutan yang mendesak.

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa perubahan dapat dilakukan secepatnya secara radikal dalam arti mencakup sebagian besar pasal-pasal. Perubahan hanya dapat dibenarkan setelah dipenuhinya beberapa prakondisi.

Pertama, perlu segera disusun peraturan organik (PP atau Keppres) sebagai penjabaran pasal-pasal dalam UU Nomor 22 tahun 1999. sedapat mungkin, aturan organik tersebut disusun secara lengkap dan rinci, sehingga tidak membutuhkan aturan organik yang lebih rendah lagi (Kepmen, Kepdirjen). Pada saat berlakunya UU Nomor 5 tahun 1974, banyak sekali pasal-pasal yang belum ada aturan pelaksananya. Jika saja saat itu disusun aturan pelaksana secara baik dan obyektif, bukan tidak mungkin UU ini dapat bertahan lebih dari 25 tahun. Oleh karenanya, hendaknya kita dapat belajar dari sejarah untuk tidak sembarangan merubah UU Pokok sebelum ada pengaturan yang lebih lengkap. Dalam hal sudah ada aturan organik terhadap UU Pokok, dan dipandang perlu untuk melakukan revisi, maka revisi ini dapat diterapkan hanya terhadap aturan organiknya. Kasus di sektor kehutanan tadi misalnya, percepatan deforestasi selain akibat terlalu cepatnya pemberlakuan otonomi daerah serta silang pendapat tentang aturan otonomi daerah yang belum jelas, juga karena terlambatnya beberapa peraturan pemerintah (PP) yang harus diterbitkan sebagai amanah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Kompas, 1/6).

Kedua, perlu ada evaluasi dan kajian terhadap implementasi otonomi di sektor tertentu. Termasuk dalam cakupan kajian ini adalah apakah suatu permasalahan memiliki korelasi secara langsung dengan kebijakan otonomi, ataukan karena faktor-faktor yang bersifat eksternal. Dengan kata lain, adanya permasalahan bukan merupakan pembenaran atas argumen untuk merubah kebijakan secara instan. Dalam tataran teoretis, memang selalu terdapat potensi gap antara kebijakan yang dirumuskan dengan implementasinya di lapangan. Namun, gap tersebut tidak selamanya harus diatasi dengan perubahan, atau bahkan penggantian kebijakan secara langsung.

Apalagi seperti yang kita pahami bersama, lahirnya UU Nomor 22 tahun 1999 adalah dalam rangka merubah paradigma-paradigma dasar dari UU sebelumnya yang lebih bernafaskan sentralisme dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu, kalaupun akan dilakukan revisi terhadap UU yang baru, hendaknya ada “jaminan” bahwa hal itu tidak akan mengurangi nilai-nilai demokratisasi komunitas lokal, pemberdayaan institusi lokal, serta upaya peningkatan kualitas pelayanan umum. Dengan kata lain, revisi semestinya tidak dilakukan pada tataran kesisteman, tetapi cukup dengan cara amandemen, yakni membuat perubahan secara inkremental dan gradual.

Jika perubahan dilakukan dengan metode inkremental dan gradual ini, bahkan bagi Ryaas Rasyid pun kelihatannya tidak ada alasan untuk menolaknya. Apa yang dikhawatirkan oleh Ryaas sesungguhnya adalah berpalingnya kembali “kiblat” pemerintahan daerah kepada kehendak dan “petunjuk” Pusat, dan ini berarti gagalnya proses reformasi sektor publik. Dalam perspektif seperti ini, maka perubahan dapat dilihat sebagai satu langkah maju, namun juga dapat dianggap sebagai langkah mundur. Artinya, sepanjang revisi disusun sebagai respon obyektif terhadap tuntutan dari bawah untuk memperbaiki sistem manajemen pemerintahan, hal ini jelas bernilai konstuktif. Namun jika perubahan telah menyentuh hakekat dari semangat otonomi, boleh jadi hal ini bukan saja menjadi setback dalam upaya menciptakan good (local) governance di Indonesia, namun juga berbahaya bagi kehidupan demokrasi di masa depan.

Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian untuk menghindari kemungkinan terjadinya resentralisasi adalah dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian pemerintah daerah. Kebiasaan menunggu Juklak, Juknis atau berbagai bentuk petunjuk lainnya harus segera diakhiri. Namun, arogansi lokal (terutama daerah maju / kaya terhadap daerah yang lebih terbelakang / miskin) harus pula dihindari. Kita dapat belajar dari kasus negara-negara lain dimana proses desentralisasi tidak dapat berjalan baik karena keterbatasan pemerintah daerah dalam berbagai hal. Karena kegagalan tersebut, maka terjadilah proses resentralisasi atau pengambilalihan kewenangan oleh Pusat. Kasus ini banyak terjadi di Afrika sebagaimana diungkapkan oleh Wunsch (2001: 277-188). Ini berarti bahwa program pengembangan kapasitas pemerintah daerah (local government capacity building) sekaligus berfungsi untuk mencegah terjadinya resentralisasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan.

Keberadaan UU Nomor 22 tahun 1999 seharusnya disikapi sebagai bentuk peluang daerah untuk membangun daerah dan masyarakatnya secara lebih baik. Jika daerah selalu menampakkan keraguan, kelemahan dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan sendiri, maka wacana perubahan kebijakan desentralisasi akan terus menggelinding.

Kolaborasi Litbang dan Balai Bahasa di Lingkungan LAN: Sebuah Tawaran


Ada satu hal yang sangat ironis di tubuh PKDA LAN (sekarang PKP2A). Dilihat dari berbagai aspek, PKDA sudah sangat layak di sebut sebagai organisasi modern yang professional. Namun dilihat dari karya nyata dan kontribusi riil terhadap organisasi lain, nampaknya masih terlalu banyak kebijakan strategis dan langkah konkrit yang diperlukan dan harus dilaksanakan.

Tidak seperti organisasi pemerintah pada umumnya, PKDA memiliki struktur organisasi yang sangat ramping dengan hanya 1 eselon II-a, 4 eselon III-a, dan 3 eselon IV-a. Jika struktur STIA diperhitungkan, hanya ditambah dengan 1 Ketua dan Pembantu Ketua (disetarakan dengan eselon II), 2 Kepala Bagian (setara eselon III), dan 5 Kasubag (setara eselon IV). Dengan struktur yang demikian, PKDA dapat dikatakan sebagai organisasi yang hemat dan efektif, baik dalam pengertian kebutuhan dana untuk membayar tunjangan struktural, koordinasi dan rentang kendali, pengawasan maupun day-to-day operation. Sementara dilihat dari aspek SDM, PKDA memiliki banyak sekali tenaga-tenaga muda yang sangat potensial. Sebagian dari mereka mendapat pendidikan dan meraih master dari universitas terkenal di Inggris, Amerika, Jepang, Australia, Singapura dan New Zealand. Belum lagi yang mengambil program Master dan Doktor di dalam negeri. Dalam hal akademik, tidak ada yag perlu diragukan dengan kemampuan dan kualitas mereka.

Sayangnya, ketika dihadapkan pada tantangan dan perkembangan administrasi negara yang begitu dinamis, berbagai keunggulan diatas kelihatannya tidak cukup berarti. Hal ini bisa diamati dari berbagai sudut. Dalam hal layanan jasa perkonsultasian dan pengkajian misalnya, kemampuan bersaing unit litbang di PKDA masih berat dibanding dengan lembaga-lembaga serupa yang dimiliki Unpad, ITB, STPDN, Unpar, atau lembaga privat independent lainnya. Disisi lain, kebutuhan diklat guna membentuk kompetensi aparatur yang beragam-pun tidak mampu dipenuhi oleh unit diklat PKDA. Unit ini lebih banyak diuntungkan dari statusnya sebagai pembina diklat aparatur, dan bahkan sering terjebak pada fungsi penyelenggaraan dari pada pembinaan. Hal serupa terjadi pula untuk kasus STIA. Dengan statusnya yang “negeri” dan biaya pendidikan yang sangat murah, STIA mulai ditinggalkan segmen/pelanggan tradisionalnya. Fungsi penelitian dan pengabdian masyarakat tidak berjalan, sementara pengembangan staf akademik melalui penerbitan buku atau workshop juga sangat langka.

Pertanyaannya adalah, mengapa faktor input yang besar tadi tidak mampu melahirkan output yang handal dan prima? Secara asumtif dapat diperkirakan adanya kesalahan atau ketidakoptimalan dalam mengelola input tadi. Dan memang kenyataannya, dalam banyak hal sering terlihat bahwa masing-masing unit bekerja sekuat mungkin untuk mewujudkan program kerja unitnya tanpa upaya untuk mensinergikan dengan sumber daya yang tersedia di unit lain.

Itulah sebabnya, salah satu strategi yang patut dipikirkan secara serius adalah membuat sistem jaringan antar unit (internal network) dengan prinsip kerjasama saling menguntungkan (mutual collaboration). Tulisan ini mencoba memfokuskan pada upaya mensinergikan potensi Litbang dan Balai Bahasa. Sinergi antar keduanya diharapkan tidak hanya berdampak pada akselerasi kegiatan / program dan peningkatan kapasitas individu kedua unit, tetapi juga secara eksternal mampu mendongkrak kinerja PKDA secara umum. Tentu saja, bentuk kolaborasi ini perlu dikembangkan bukan hanya antara Litbang dan Balai Bahasa, namun juga antar unit-unit yang lain secara dinamik.

Adapun bentuk kolaborasi yang ditawarkan antara Litbang dengan Balai Bahasa dapat dilakukan dalam dua bentuk kegiatan sebagai berikut:

Penerjemahan hasil-hasil penelitian.

Hasil kerja dan berbagai informasi yang terkait dengan suatu lembaga, pada prinsipnya harus dapat diketahui secara langsung oleh masyarakat atau stakeholder dari lembaga tersebut. Ini adalah prinsip keterbukaan (transparency atau information disclosure) yang merupakan salah satu pilar dari konsep good governance. Untuk itu, sudah semestinya PKDA membuka akses seluas-luasnya kepada siapapun yang ingin mengetahui tentang program kerja dan kinerja PKDA. Tidak ada salahnya PKDA mencoba tampil sebagai instansi pemerintah yang menyediakan informasi tercepat, terlengkap, dan teraktual, baik secara online (internet) maupun koleksi arsip.

Seiring dengan sedang dipersiapkannya homepage PKDA (khususnya Litbang), perlu disiapkan juga versi Bahasa Inggrisnya, supaya publikasi PKDA dapat diakses secara lebih luas (internasional). Hal ini sekaligus untuk menunjang visi LAN sbg "institusi berkualitas international". Program penerjemahan ini nanti akan diwadahi dalam bentuk Proyek dan/atau Rutin. Dalam 1 tahun diharapkan dapat diselesaikan 4-5 paket penelitian, sehingga dalam kurun 3 tahun mendatang, semua hasil penelitian sudah tersedia baik versi bahasa Indonesia maupun Inggrisnya. Bagi Balai sendiri, disamping sebagai "side income", diharapkan para penerjemah juga dapat belajar tentang substansi bidang administrasi negara. Kemampuan staf Balai Bahasa untuk mengikuti isu-isu kontemporer administrasi negara, sekaligus akan sangat mendukung kolaborasi bentuk kedua.

Penyelenggaraan serial Workshop tentang "Pengembangan Kapasitas Aparat Pemda Dalam Implementasi Otonomi Daerah".

Dalam era otonomi daerah dewasa ini, daerah sangat membutuhkan SDM prima dengan kapasitas unggul. Apalagi ada kecenderungan bahwa suatu daerah dapat mengadakan hubungan (dagang, kebudayaan, pendidikan, dll) langsung dengan luar negeri. Hal ini mensyaratkan dimilikinya kemampuan substantive maupun kemampuan komunikatif. Itulah sebabnya, target penyelenggaraan workshop (dalam bahasa Inggris) ini akan diarahkan pada peningkatan kapasitas individu dan kelompok pada beberapa bidang, yaitu: problem and potency mapping skill, analytical skill, problem solving skill, serta verbal communication skill (termasuk language skill). Sementara level of difficulty-nya akan disesuaikan dengan tingkat kemampuan bahasa yang dimiliki calon peserta. Namun secara umum dapat diprediksikan bahwa untuk eselon IV kebawah dan staf akan dikelompokkan dalam kategori “Intermediate”, sedangkan untuk Eselon III keatas akan dimasukkan dalam kelompok “Advanced.

Bentuk konkrit kegiatan ini mirip FGD (Forum Group Discussion), namun dengan menggunakan media Bahasa Inggris. Sementara itu, topik-topik yang diangkat dalam diskusi kelompok telah kita desain berdasarkan isu-isu penting yang berkembang saat itu dan juga sesuai dengan karakteristik peserta.

Teknis pelaksanaanya, didahului dengan keynote speeches dari pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Selanjutnya, dibentuk kelompok-kelompok kerja, yang diberi tugas untuk membahas isu/topik tertentu dan dilanjutkan dengan presentasi dan tanya jawab (semua proses dilaksanakan dalam bahasa Inggris). Jadi, tugas tim PKDA hanya sebagai fasilitator dan pemandu dalam diskusi kelompok. Namun jika diperlukan, pada hari pertama dapat diberikan juga pembekalan tentang Teknik Presentasi dan Teknik Diskusi yg efektif.

Untuk menunjang kedua bentuk kolaborasi tadi, staf Balai Bahasa perlu dilibatkan dalam kegiatan penelitian baik Proyek, Rutin maupun Kerjasama, sementara para peneliti di Litbang sangat dianjurkan untuk mengikuti program-program kebahasaan yg ditawarkan Balai. Harus diakui bahwa penguasaan bahasa Inggris para peneliti masih cukup rendah, sementara staf Balai Bahasa kurang optimal dalam penguasaan substansi issu-issu administrasi dan kebijakan publik. Itulah sebabnya, kolaborasi ini diharapkan menjadi media take and give yang harmonis. Perlu juga dipikirkan agar Balai yg secara fungsional dikoordinasikan oleh Bidang Diklat, ditarik menjadi koordinasi Bidang Litbang, sehingga status Balai Bahasa sama dengan Perpustakaan, yakni sama-sama sebagai "UPT" Litbang.

Relevansi Perbatasan di Era Otonomi


DEWASA ini, Direktorat Perbatasan Ditjen Pemerintahan Umum Depdagri tengah melakukan kajian tentang penataan dan penegasan batas daerah untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik perbatasan antar daerah. Berita ini sangat penting dan krusial untuk dikaji, paling tidak dengan adanya dua faktor atau fenomena global yang pada suatu saat dapat berjalan bersama-sama secara serasi, namun pada saat lain dapat berbenturan secara dramatis. Kedua fenomena tersebut adalah globalisasi dan desentralisasi atau lokalisasi.

Pada saat globalisasi dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan gesekan terhadap desentralisasi, atau sebaliknya, maka fenomena ini disebut sebagai konvergensi globalisasi atas otonomisasi. Beberapa pakar menyebut pula sebagai fenomena glokalisasi (sintesa antara globalisasi dan lokalisasi). Namun pada saat keduanya tidak dapat bergulir secara konvergen, maka fenomena yang akan terjadi adalah divergensi globalisasi terhadap desentralisasi (Ohashi, 2002; Kacowics, 1999).

Pembicaraan tentang kemungkinan terjadinya konflik antar daerah pasca pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999, jelas sekali berkembang dalam kerangka permasalahan yang kedua. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam era globalisasi yang menyebabkan intensifnya hubungan antar sistem ekonomi politik dan sosial budaya antar masyarakat di berbagai belahan dunia, logikanya diskusi perbatasan menjadi semakin tidak relevan. Sebab, arus modal, ideologi politik, kontak budaya sampai dengan komunikasi interpersonal tidak dapat lagi dibendung oleh batas-batas geografis suatu daerah. Dalam kondisi seperti itu, upaya untuk mengangkat kembali issu perbatasan dapat dikatakan sebagai suatu kemunduran. Toh, UU Nomor 22 tahun 1999 sendiri telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik antar Kabupaten / Kota dengan meletakkan kewenangan lintas daerah sebagai kewenangan propinsi. Dengan kata lain, otonomi secara luas semestinya tidak dipandang sebagai suatu bentuk kebijakan yang bertentangan dengan semangat globalisasi.

Namun kenyataannya, sejak UU Nomor 22 tahun 1999 digulirkan, potensi konflik tentang “urusan / kewenangan yang bersifat lintas daerah” semakin merebak. Kasus “Bantargebang” antara Pemda DKI dengan Kota Bekasi menjadi contoh konkrit rawannya mengelola urusan lintas daerah, dalam hal ini persampahan. Disamping persampahan atau kebersihan, bidang-bidang lain seperti air bersih, transportasi, perumahan, jalan, kelautan / perikanan, kehutanan / perkebunan dan pertambangan, juga sangat potensial menimbulkan berbagai macam sengketa, baik yang bersifat administratif, ekonomis, yuridis, maupun sosio-kultural.
                                                                                              
Dalam suatu konflik, keempat aspek tersebut seringkali muncul secara bersamaan. Meskipun demikian, konflik yang bersifat administratif dapat disebut sebagai bentuk konflik yang paling banyak terjadi namun juga paling mudah penyelesaiannya. Kasus Bantargebang misalnya, setelah dilakukan perjanjian ulang serta perubahan-perubahan klausul dalam dokumen kerjasama antar daerah yang bersengketa, maka secara administratif konflik tersebut dapat dikatakan selesai. Namun dalam kasus lain seperti konflik antar nelayan yang memperebutkan “lahan” garapan, atau kasus kecemburuan sosial / ekonomi penduduk setempat akibat praktek penebangan hutan secara liar oleh sekelompok masyarakat ber-HPH, kerjasama antar pemerintah daerah saja jelas tidak akan mampu menyelesaikannya. Sebab, wilayah konflik yang terjadi sudah tidak berada pada tataran manajerial, melainkan lebih bersifat psiko-sosio-kultural. Demikian pula dalam hal eksploitasi lingkungan, resolusi konflik antar daerah semestinya lebih tepat diselesaikan melalui proses peradilan dari pada lewat nota-nota kesepakatan (MoU). Sebab, aturan tentang pengelolaan dan perusakan lingkungan diatur tersendiri dalam UU yang spesifik (lex specialis), sehingga UU pemerintahan daerah tidak berlaku (invalid) untuk menyelesaikan kasus lingkungan.

Dalam kedua contoh kasus terakhir, kejelasan tentang pengukuran, pematokan, maupun pemetaan batas-batas daerah sesungguhnya tidaklah terlalu berguna. Artinya, setertib apapun administrasi perbatasan yang ada, secara substansial tidak membantu memecahkan persoalan yang berkembang, dalam hal ini kerusakan lingkungan atau konflik horizontal antar nelayan. Dalam kasus-kasus seperti ini, justru yang dibutuhkan adalah sebuah lembaga yang secara dinamis dapat berfungsi sebagai badan mediasi, fasilitatasi, negosiasi, atau bahkan arbitrasi, yang bertugas mencari kompromi atau solusi sebelum kasusnya dibawa ke pengadilan.

Relevansi perbatasan, dengan demikian, nampaknya hanya mengena untuk kasus atau konflik yang berdimensi ekonomis murni, yakni bidang-bidang yang potensial memberikan pemasukan PAD. Meskipun demikian perlu diingat sekali lagi bahwa dalam suatu konflik, tidak mungkin hanya terdapat satu aspek tunggal, misalnya ekonomis. Implikasinya jelas bahwa penyusunan secara rigid batas-batas geografis an sich tanpa upaya lain untuk membangun instrumen pengendali konflik secara komprehensif, bukan tidak mungkin konflik perbatasan justru semakin meruncing.

Kalaupun batas daerah akan diatur kembali secara lebih tegas, perlu ada “jaminan” bahwa hal itu tidak menyebabkan disparitas regional tambah melebar. Sebagai contoh, dua pulau besar di NTB yakni Lombok dan Sumbawa, memiliki potensi kesenjangan yang sangat besar. Dilihat dari persebaran penduduk, dua pertiga populasi NTB tinggal di Lombok, padahal Pulau Sumbawa lebih besar dua pertiga dari Pulau Lombok. Sementara, jika di Sumbawa sudah mulai terdengar nada pemekaran kabupaten, di Lombok bahkan pejabat setingkat bupati pun mulai memikirkan hak-hak daerah yang lebih besar dalam pemanfaatan segenap potensi ekonomi yang ada di daerahnya masing-masing. PAD Lombok Barat misalnya, mencapai Rp 14,5 milyar pada tahun anggaran 1999/2000, dan ini berada jauh diatas rata-rata propinsi, apalagi Sumbawa (Kompas, 12 Maret 2001).

Dengan kondisi seperti tersebut, yang lebih dibutuhkan adalah kebijakan redistribusi sumber-sumber pendapatan yang lebih merata untuk menjamin keadilan dan keberlangsungan pembangunan daerah. Jika kebijakan penetapan perbatasan diberlakukan secara ketat yang berakibat pada melonjaknya egoisme lokal dan keengganan untuk “berbagi” dengan wilayah tetangga yang lebih miskin secara ekonomis, maka disparitas regional akan semakin parah, sementara kebijakan otonomi daerah akan mengalami stagnasi. Dengan kata lain, formalisasi perbatasan justru akan menjadi senjata yang menghantam upaya demokratisasi di level masyarakat lokal. Argumen ini tentu bukan untuk menggagalkan rencana penataan kawasan perbatasan. Akan tetapi jika otonomi dianggap sebagai kesempatan untuk melakukan ekonomisasi potensi daerah, maka yang terjadi adalah anomali kebijakan desentralisasi.

Disamping itu perlu digarisbawahi pula bahwa fenomena selama ini menunjukkan bahwa kondisi pelayanan umum di sekitar perbatasan, khususnya dalam hal ketersediaan infrastruktur perkotaan, cukup memprihatinkan. Sebagai contoh, kualitas jalan dan jembatan di wilayah ini sering berada dalam status “mengambang”. Artinya, dengan alasan prioritas untuk wilayah lain yang lebih urbanized atau ketiadaan dana, satu pemerintah daerah cenderung bersikap “menunggu” inisiatif pemerintah daerah tetangganya untuk membenahi kawasan perbatasan. Ironisnya, karena keduanya sama-sama bersikap menunggu, maka perbaikan kualitas lingkungan dan pranata umum tidak kunjung datang. Akibatnya, terjadilah kesenjangan kualitas pelayanan (public service gap) antara pusat kota (down town), pinggiran kota (suburb), dan wilayah perbatasan / luar kota (overskirt).

Paparan diatas secara implisit ingin menekankan perlunya dipertimbangkan berbagai aspek yang terkait dengan kebijakan penetapan perbatasan. Masalah perbatasan jelas bukan semata-mata berdimensi teknis, namun lebih dari itu justru lebih kental nuansa administratif, politiko-ekonomis dan sosio-kulturalnya. Itulah sebabnya, secara paralel upaya penataan perbatasan perlu dibarengi dengan upaya lainnya.

Secara kelembagaan, upaya mengantisipasi konflik perbatasan dapat dilakukan dengan membentuk badan / lembaga teknis (Lemtekda) semacam Badan Arbitrasi di tingkat propinsi yang bertugas menengahi, memfasilitasi dan mencari solusi terhadap suatu kasus tertentu. Disamping itu, metode pemecahan masalah yang sangat sederhana namun efektif terhadap hal tersebut sebenarnya adalah dengan mengintegrasikan daerah yang bersengketa. Namun fenomena yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, banyak Kabupaten yang hendak dimekarkan menjadi beberapa daerah otonom. Bahkan banyak Kota Administratif yang ditingkatkan statusnya menjadi kota otonom. Oleh karena itu, perlu dipikirkan pola kelembagaan publik baru yang terbangun dari komposisi tiga pihak, yaitu pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. Hubungan antara ketiga belah pihak ini akan membentuk mekanisme triangulasi yang saling mendukung dan saling menguntungkan. Dengan model kelembagaan demikian, diharapkan dapat diciptakan kinerja sektor publik yag lebih baik dibanding waktu-waktu sebelumnya. Dalam perspektif pelayanan, peningkatan kinerja pemerintah dapat dilihat dari pemberian jasa tertentu kepada masyarakat yang berpedoman pada prinsip better, faster, dan cheaper. Hal ini mengandung pengertian bahwa rekayasa kelembagaan yang berbasis kemitraan juga didasarkan pada filosofi untuk mendorong kualitas pelayanan umum (public service delivery). Dalam hubungan ini, format kelembagaan yang berbasis kemitraan (partnership-based institution) dapat dijadikan sebagai pilihan strategis. Disini terdapat dua alternatif yang dapat dipilih sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu Amalgamasi Internal dan Amalgamasi Eksternal (Utomo, 2002).

Upaya yang komprehensif untuk mengantisipasi sekaligus mengatasi konflik antar daerah, diharapkan mampu menghasilkan output yang tidak saja memperjelas administrasi pemerintahan (khususnya dalam hal perbatasan), namun juga memberi dorongan terhadap efektivitas kelembagaan dan pemerataan pembangunan antar daerah.

Propinsi dan Sindrom Inferioritas


KEBIJAKAN otonomi daerah yang terkandung dalam UU Nomor 22 tahun 1999 pada hakeketnya ingin merubah paradigma lama dalam sistem pemerintahan didaerah yang cenderung sentralistik paternal serta kaku dan birokratis, menjadi paradigma baru yang berbasis pada prinsip desentralistik rasional serta luwes dan debirokratis. Cerminan konkrit dari paradigma baru berotonomi itu adalah perubahan struktur kewenangan pemerintahan dari piramida terbalik menjadi piramida normal. Artinya, kewenangan daerah sangat luas sesuai dengan paradigma otonomi yang luas, bulat dan utuh ; sementara kewenangan Pusat dan Propinsi sangat limitatif. Dengan struktur kewenangan yang demikian, maka format kelembagaan Pusat dan Propinsi-pun seharusnya menjadi ramping, sementara kelembagaan Kabupaten / Kota dapat didesain sesuai kebutuhan dan kemampuannya menyelenggarakan kewenangan tertentu (asas akordion).

Persepsi salah yang kerap ditemui seiring dengan perubahan paradigma diatas adalah bahwa Propinsi tidak lagi memiliki otoritas administratif terhadap Kabupaten / Kota. Terdapat kesan bahwa Propinsi takut – bahkan minder – untuk menyentuh dimensi-dimensi pemerintahan yang merupakan domein-nya Kabupaten / Kota, sehingga lebih bersikap menghindari kemungkinan munculnya tuduhan bahwa Propinsi mencampuri urusan rumah tangga daerah otonom. Meminjam istilah Desi Fernanda (2000), suatu keadaan dimana Propinsi merasa kehilangan rasa percaya diri, atau takut dan minder untuk “berurusan” dengan Kabupaten / Kota inilah yang disebut sebagai sindrom inferioritas.

Munculnya sindrom ini sendiri sesungguhnya merupakan fenomena yang wajar terjadi, mengingat bahwa perubahan yang diintrodusir oleh UU Nomor 22 tahun 1999 bersifat total dan fundamental, bukan perubahan secara inkremental atau gradual. Hal ini terlihat dari perubahan model otonomi the structural efficiency model (UU Nomor 5 tahun 1974) menjadi the local democracy model, dengan format otonomi split model yang meletakkan otonominya pada daerah Kabupaten dan Kota. Implikasinya, Kabupaten / Kota hanya merupakan Daerah Otonom, tidak lagi merangkap sebagai Wilayah Administratif. Demikian pula, Kepala Daerah hanya berfungsi sebagai alat daerah, tidak merangkap sebagai alat pusat. Disamping itu, Kepala Daerah dipilih langsung oleh DPRD tanpa campur tangan Pemerintah Pusat dan bertanggung jawab kepada DPRD Ini berarti, “sistem pemerintahan parlementer” telah mulai dipraktekkan dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Meskipun demikian, untuk level Propinsi, UU Nomor 22 tahun 1999 tidak sepenuhnya menggunakan split model. Propinsi ditempatkan sebagai Daerah Otonom sekaligus sebagai Wilayah Administratif, jadi masih menggunakan fused model. Hanya, fused model yang diterapkan terhadap Propinsi tidak sepenuhnya seperti UU No. 5 Tahun 1974 karena kedudukan rangkap Gubernur bukan sebagai kepala wilayah, bukan sebagai penguasa tunggal dan bukan administrator pemerintahan / pembangunan / kemasyarakatan, melainkan hanya sebatas sebagai Wakil Pemerintah yang menjalankan pelimpahan kewenangan tertentu dari pemerintah Pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi.

Dari uraian diatas kiranya dapat dipahami bahwa sindrom inferioritas tadi bersumber kepada beberapa hal, yakni : 1) hilangnya hubungan hirarkhis antara Propinsi dengan Kabupaten / Kota, 2) Bupati / Walikota bertanggung jawab kepada DPRD, tidak lagi kepada Pemerintah Pusat melalui Gubernur, dan 3) tidak ada lagi fungsi dekonsentrasi di Kabupaten / Kota, dan kedudukan Bupati / Walikota hanya sebagai Kepala Daerah bukan sebagai aparat Pusat di Daerah (cq. Kepala Wilayah). Disini terlihat secara jelas bahwa antara Bupati / Walikota dengan Gubernur seolah-olah merupakan dua kesatuan hukum dan politik yang terpisah satu sama lain serta tidak memiliki hubungan kerja sama sekali. Padahal, sesuai dengan bentuk negara Kesatuan, tidak dibenarkan adanya suatu daerah yang tidak memiliki keterkaitan dengan daerah lain serta dengan pemerintah Pusat.

Oleh karena itu, kondisi inferioritas yang menghinggapi Propinsi ini tentu tidak boleh dibiarkan terus berkembang, sebab mengandung bahaya paling sedikit dalam dua hal. Pertama, ketakutan Propinsi akan menyebabkan Kabupaten / Kota menjadi lebih “besar kepala” dan cenderung merasa dirinya laksana raja-raja kecil. Pada gilirannya, sikap arogan ini akan semakin mengikis kewibawaan pemerintah sehingga kebijakan yang berskala nasional atau regional dikhawatirkan tidak akan efektif di level daerah. Kedua, terdapat kemungkinan Propinsi akan menggunakan alasan otonomi luas di Kabupaten / Kota sebagai “kambing hitam” untuk menolak fungsinya sebagai wakil pemerintah. Padahal, fungsi Gubernur sebagai wakil pemerintah ini sesungguhnya sangat strategis dalam rangka penyelarasan kebijakan nasional dengan kebijakan lokal.

Dengan demikian jelaslah bahwa sindrom inferioritas Propinsi ini merupakan salah satu batu sandungan yang sangat potensial menggagalkan implementasi UU Nomor 22 tahun 1999. Untuk mengantisipasi kasus tersebut, perlu adanya penyamaan persepsi bagi seluruh pihak tentang kedudukan, fungsi dan peranan Propinsi dalam konstelasi pelaksanaan otonomi daerah.

Menurut ketentuan pasal 9 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 1999, Propinsi merupakan Daerah Otonom yang berhak dan wajib menyelenggarakan urusan / kewenangan rumah tangganya. Sebagai daerah otonom, Propinsi bukan merupakan bawahan dari pemerintah Pusat, dan bukan merupakan atasan bagi Kabupaten / Kota (pasal 4 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 1999). Disamping itu, Gubernur berkedudukan pula selaku Wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Dalam kedudukan yang pertama, secara politis maupun administratif tidak terdapat hubungan hierarkhis Propinsi dengan Kabupaten / Kota atau antara Gubernur dengan Bupati / Walikota. Akan tetapi sebagai konsekuensi sistem Negara Kesatuan, Kabupaten / Kota tetap merupakan bagian integral dari NKRI, sehingga tetap harus tunduk kepada kebijakan yang bersifat atau berskala nasional. Termasuk dalam hal ini, Kabupaten / Kota harus menghormati kewenangan Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Dengan kata lain, Propinsi juga memiliki kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten / Kota atau makro regional, sehingga Kabupaten / Kota juga harus tunduk kepada kebijakan Propinsi yang bersifat makro regional. Termasuk kewenangan Propinsi sebagai pelaksana asas dekonsentrasi ini adalah kewenangan untuk menerapkan fungsi-fungsi administratif terhadap Kabupaten / Kota, khususnya yang menyangkut aspek koordinasi, kerjasama, kemitraan, pembinaan, serta pengawasan / pengendalian (penjelasan pasal 4 UU Nomor 22 Tahun 1999).

Pada sisi lain, antara Propinsi dengan Kabupaten / Kota terdapat saling keterikatan yang tercermin dalam hubungan kewenangan diantara keduanya. Hubungan kewenangan ini terjalin manakala suatu Kabupaten / Kota kurang mampu menyelenggarakan kewenangan otonominya secara optimal, sebagai akibat dari membengkaknya jumlah kewenangan secara tiba-tiba serta proses pengalihan berbagai sumber daya dari Pusat ke Daerah yang belum jelas. Dalam kondisi kurang mampu inilah, Kabupaten / Kota dapat melimpahkan / mengalihkan kewenangan tadi kepada Propinsi.

Dalam rangka menerima pengalihan kewenangan dari bawah ini, Propinsi wajib melakukan pembinaan kepada Kabupaten / Kota yang belum atau tidak mampu. Dengan kata lain, Propinsi bertanggungjawab tidak saja secara administratif, namun juga secara moral terhadap sukses atau gagalnya pelaksanaan kewenangan tertentu di seluruh Kabupaten / Kota di wilayah Propinsi. Padahal, gagalnya pelaksanaan kewenangan akan berakibat kepada gagalnya penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat. Itulah sebabnya keterlibatan Propinsi secara intensif tetap diperlukan dalam penetapan kebijakan di tingkat Kabupaten / Kota, sepanjang tidak mencampuri masalah rumah tangga otonomnya.


Sebagai penutup dapatlah kiranya kita renungkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di daerah sangatlah tidak etis jika didasarkan kepada prinsip superioritas disatu pihak dengan inferioritas di pihak lain. Antara pemerintah Pusat – Propinsi – Kabupaten / Kota, sesungguhnya membentuk suatu hubungan segitiga dengan kedudukan yang sejajar, dan sama-sama mengemban visi yang sama yakni meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.


Tulisan ini dipublikasikan di Harian Republika, 26 September 2000.

Dimensi Kritis Pengalihan Sumber Daya


KEBIJAKAN otonomi secara luas yang terkandung dalam UU Nomor 22 tahun 1999, secara umum disikapi oleh jajaran pemerintah Daerah dalam dua bentuk.

Pertama, sikap optimis yang disertai kelegaan luar biasa, bahwasanya daerah memiliki hak politik dan hak hukum untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Dengan kewenangan desentralisasinya tadi, daerah diharapkan dapat menunjukkan kinerja yang lebih baik dibanding pada masa berlakunya UU Nomor 5 tahun 1974, khususnya dalam hal pelayanan kepada masyarakat.

Kedua, sikap pesimis sekaligus keraguan terhadap kesungguhan pemerintah dan manfaat kebijakan otonomi. Sikap ini didasarkan pada fakta bahwa otonomi luas membawa dampak terhadap peningkatan beban kerja pemerintahan di tingkat Kabupaten / Kota, sementara perimbangan sumber daya (3P) antara Pusat dan Daerah belum terumuskan secara konkrit. Dalam kondisi demikian, sering muncul ungkapan bahwa kebijakan otonomi yang dilempar pemerintah Pusat ibarat kepala dilepaskan namun ekor tetap dipegang.

Untuk menghindari sikap pesimis agar tidak berkembang menjadi apatis, maka dalam UU Nomor 22 tahun 1999 pasal 8 secara eksplisit dinyatakan bahwa : kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan akan terdapat keseimbangan antara beban kerja dengan faktor input yang menunjangnya.

Permasalahan adalah bahwa penyerahan atau pengalihan sumber-sumber daya tadi sama-sama memiliki konsekuensi yang kompleks, baik sebelum maupun sesudah pengalihan kepada Daerah. Sebelum proses pengalihan, konsekuensi yang muncul adalah kemungkinan kegagalan pelaksanaan otonomi di daerah. Sedangkan kemungkinan masalah yang muncul pada saat atau sesudah pengalihan antara lain ketidakjelasan kaidah normatif dan mekanisme pengalihan, ketidakimbangan antara jumlah pegawai dengan sumber daya finansial yang dialihkan, konflik kepentingan antar sektor atau antara Pusat dan Daerah, serta disorientasi daerah dalam melakukan penataan sumber-sumber daya yang dialihkan.

Banyaknya masalah yang mungkin timbul dari kebijakan pengalihan sumber daya tersebut, semestinya menyadarkan Daerah bahwa mereka tidak sedang menunggu harta karun atau durian runtuh. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan sekarang adalah mempersiapkan diri baik secara konseptual maupun legal formal. Dan dalam rangka ikut urun rembug terhadap masalah itulah, tulisan ini disusun.

Tiga Aspek Sumber Daya


Aspek sumber daya terpenting dalam hubungan dengan kebijakan otonomi daerah adalah pembiayaan, sarana dan prasarana, serta personalia / SDM. Artinya ketiga aspek ini haruslah melekat kepada kewenangan pemerintahan tertentu. Pada masa lampau, kewenangan pemerintahan berada di tingkat Pusat dan diserahkan sebagian kepada Daerah Propinsi atau Kabupaten / Kota. Dengan sistem yang demikian wajarlah jika ketiga aspek sumber daya tadi dikuasai oleh Pusat. Namun dengan bergesernya paradigma otonomi, maka kewenangan pemerintahan berada pada Kabupaten / Kota, kecuali yang dikecualikan menurut pasal 7 dan 9 UU Nomor 22 tahun 1999. Adanya pergeseran kewenangan ini secara otomatis membawa implikasi bergesernya hak penguasaan sumber daya kepada daerah. Dengan kata lain, tuntutan terhadap perwujudan sistem perimbangan ketiga aspek sumberdaya yang adil, sangat bersesuaian dengan semangat otonomi daerah itu sendiri. Materi dan masalah yang muncul dari masing-masing pengalihan sumber daya ini dapat dipaparkan lebih lanjut sebagai berikut.

Pada aspek pembiayaan atau finansial, hingga saat ini belum ada suatu formula konkrit tentang perimbangan keuangan Pusat dan daerah, sebagai penjabaran UU Nomor 25 tahun 1999. Namun sebagai suatu ‘pedoman umum’ dapat dikemukakan pendapat Kartasasmita (1997) mengenai perimbangan keuangan dan proporsinya bagi Daerah sebagai berikut: “besarnya persentase yang harus diserahkan kepada daerah untuk pajak peralihan, pajak upah, dan pajak materai bahkan sudah ditetapkan minimal sebesar 75 persen dan maksimum sebesar 90 persen”.

Persentase yang berkisar antara 60-90 % agaknya merupakan angka toleransi yang ideal. Namun harus disadari pula bahwa beban keuangan Pusat tidak hanya untuk menjalankan kewenangannya yang limitatif, tetapi juga beban atas hutang luar negeri serta fungsi distributif untuk mencegah melebarnya disparitas regional (kesenjangan antar daerah). Oleh karena itu, Pusat tetap memerlukan alokasi anggaran yang relatif masih besar, yang berimplikasi pada pengurangan proporsi untuk Daerah. Dengan demikian, persentase perimbangan dapat dirumuskan ke angka yang lebih moderat, yakni antara 50-70 % bagi Daerah.

Daerah tentu saja tidak perlu merasa khawatir dengan kisaran demikian, mengingat masih terdapat sumber penerimaan lain baginya, yakni melalui mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU) dan Khusus (DAK). DAU sendiri adalah dana yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah, sedang DAK adalah dana yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membiayai kebutuhan khusus, misalnya kebutuhan yang merupakan komitmen / prioritas nasional, atau kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum.

Selanjutnya pada aspek aset atau sarana / prasarana, terdapat pengaturan yang menentukan bahwa 1) aset yang berasal dari Kanwil dialihkan menjadi aset Propinsi, 2) aset yang berasal dari Kandep / Cabang Dinas Propinsi dialihkan menjadi aset Kabupaten / Kota, 3) aset yang berasal dari UPT Departemen yang kewenangannya menjadi kewenangan daerah, statusnya akan diatur kasus per kasus, 4) aset yang berasal dari Kanwil atau UPT Departemen yang kewenangannya tidak diteruskan fungsinya di daerah, asetnya dikuasai oleh Menteri Keuangan, dan 5) aset BUMN/BUMD akan diatur tersendiri.

Dua hal yang perlu dikritisi dalam kaitan dengan pengalihan aset ini adalah upaya inventarisasi dalam rangka pengamanan aset, serta analisis terhadap perbandingan jumlah aset dengan besarnya biaya pemeliharaan yang dibutuhkan.

Seperti kita maklumi bersama, jumlah barang milik / kekayaan negara yang akan dialihkan kepada daerah jumlahnya sangat banyak, dan sebagian diantaranya tidak terinventarisir secara baik. Dalam kondisi demikian, tidak tetutup kemungkinan adanya aset-aset potensial yang “menguap” sebelum proses pengalihan selesai. Itulah sebabnya, upaya inventarisasi harus dilaksanakan secara transparan, cepat serta terkordinasi secara lintas sektoral, dan jika diperlukan dapat melibatkan pihak ketiga yang independen, misalnya akuntan publik. Sedangkan analisis terhadap perbandingan jumlah aset dengan besarnya biaya pemeliharaan mutlak diperlukan, mengingat bahwa jumlah aset yang besar tanpa ditunjang oleh biaya pemeliharaan justru akan membebani daerah yang bersangkutan. Disamping itu, analisis tadi diperlukan agar aset yang dialihkan kepada Daerah tidak menjadi kapasitas yang mubadzir (idle capacity).

Adapun pada aspek personalia atau SDM, terdapat ketentuan yang menetapkan bahwa PNS yang dialihkan adalah PNS yang dipekerjakan di daerah, diperbantukan di daerah, serta yang berada di wilayah (instansi vertikal / UPT). Dilihat dari target waktu penyelesaian, pengalihan PNS Pusat yang tidak menduduki jabatan struktural selambat-lambatnya akhir September 2000, sedang PNS Pusat yang menduduki jabatan struktural selambat-lambatnya Desember 2000. Target ini dapat dikatakan muluk, mengingat sampai minggu kedua bulan ini, belum nampak tanda-tanda pengalihan SDM Pusat ke Daerah. Bahkan, kelembagaan Pusat di Daerah masih tetap eksis, yang tentu masih membutuhkan dukungan personalia.

Disisi lain, beberapa permasalahan yang harus diantisipasi dalam kaitan dengan pengalihan personalia ini paling tidak meliputi tiga hal. Pertama, kemungkinan adanya egoisme kedaerahan yang cukup kental. Egoisme ini dapat berupa penolakan pengalihan personalia, atau kalaupun menerima tidak akan mendudukkan mantan pejabat Pusat untuk posisi penting di Daerah. Pada gilirannya, sikap egois ini akan dapat memperuncing konflik kepentingan antara Pusat dan daerah.

Kedua, keterbatasan jumlah formasi jabatan dibandingkan jumlah PNS yang akan dialihkan. Disamping berdampak secara psikologis bagi pejabat yang tidak lagi memperloleh “kursi” atau posisi, kesenjangan ini jelas akan mengacaukan struktur kepangkatan PNS. Artinya, terdapat kemungkinan seorang pejabat berpangkat lebih rendah dibanding staf yang tidak menduduki jabatan. Konsekuensi tersebut belum termasuk efek negatif lainnya yakni munculnya para “pengangguran tidak kentara” yang sangat membebani anggaran belanja daerah.

Ketiga, terdapat kemungkinan bahwa pengalihan kepegawaian tidak mampu menjawab kebutuhan Daerah terhadap kuantitas dan kapasitas / kompetensi SDM. Sebagai contoh, suatu Kabupaten / Kota membutuhkan pegawai sejumlah 3000 orang, sementara daerah tersebut harus menerima pelimpahan pegawai sebanyak 4000 orang. Ini berarti terdapat kelebihan 1000 pegawai yang hanya menjadi beban bagi daerah yang bersangkutan. Kasus kesenjangan seperti ini dapat terjadi pula dalam hal kapasitas / kompetensi SDM, antara yang dibutuhkan dengan yang diterima. Untuk mengatasi hal ini, gagasan pemberian pensiun dini bagi pegawai yang dinilai tidak produktif, perlu disambut dan dikaji secara positif.

Persiapan Daerah


Paparan diatas memberikan ilustrasi bahwa pengalihan sumber daya kepada daerah yang secara normatif merupakan faktor kunci keberhasilan otonomi daerah, ternyata menyimpan sisi-sisi tersembunyi yang justru dapat menghambat proses pemandirian dan demokratisasi di daerah. Itulah sebabnya, agar kebijakan pengalihan sumber daya dapat mencapai hasil sesuai yang diinginkan, daerah Propinsi maupun Kabupaten / Kota perlu melakukan upaya-upaya persiapan secara matang. Adapun persiapan yang selayaknya ditempuh adalah melakukan evaluasi terhadap potensi keuangan dan aset daerah, yang meliputi sumber-sumber dan besarnya pendapatan daerah saat ini maupun aset Pusat serta sumber-sumber dan besarnya pendapatan daerah yang akan diserahkan kepada daerah.

Pada saat yang bersamaan, perlu diupayakan evaluasi terhadap struktur kepegawaian daerah, baik yang berstatus pegawai daerah otonom maupun instansi vertikal yang akan terintegrasi sebagai perangkat daerah. Hasil evaluasi yang akurat terhadap ketiga aspek sumber daya tersebut akan sangat berfaedah untuk mendesain format kelembagaan baru pemerintah daerah yang paling efektif, efisien dan rasional.

Dengan persiapan yang matang dalam proses pengalihan sumber daya, diharapkan kebijakan otonomi menurut UU Nomor 22 tahun 1999 dapat mencapai falsafah dasarnya, yakni mendukung kualitas pelayanan publik yang kepada masyarakat di daerah.


Tulisan ini dipublikasikan di Harian Bandung Pos, 9 September 2000.,

OTDA dan Tuntutan Pemberdayaan Kecamatan-Kelurahan


Semenjak berlakunya otonomi daerah yang luas, Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang amat besar, yang kemudian disertai dengan transfer kepegawaian, pendanaan dan asset yang besar pula. Hal ini mendorong Kabupaten/Kota untuk mengembangkan format organisasinya secara kurang terkendali, sehingga pada akhirnya keluarlah PP No. 8/2003 yang membatasi jumlah perangkat daerah.

Ditengah semangat membangun otonomi, adalah hal ironis bahwa kewenangan dan sumber daya besar yang dimiliki Kabupaten/Kota kurang berdampak pada pemberdayaan Kecamatan dan Kelurahan. Padahal Kecamatan dan Kelurahan inilah yang semestinya diposisikan sebagai ujung tombak pelayanan kepada masyarakat. Otonomi boleh saja menjadi domein Pemkab/Pemkot, namun front line dari sebagian fungsi pelayanan mestinya diserahkan kepada Kecamatan dan Kelurahan, disamping kepada Dinas Daerah. Dengan demikian, Pemkab/Pemkot perlu lebih mengedepankan fungsi-fungsi steering seperti koordinasi, pembinaan, fasilitasi, dan pengendalian, dari pada fungsi rowing atau penyelenggaraan langsung suatu urusan.

Tuntutan memberdayakan Kecamatan dan Kelurahan ini adalah sebuah keniscayaan. Sebab, sejak berlakunya UU No. 22/1999, ada beberapa perubahan signifikan yang menyangkut status, fungsi dan peran Kecamatan. Saat ini, Kecamatan bukan lagi sebagai perangkat kewilayahan yang menyelenggarakan fungsi-fungsi dekonsentrasi dan tugas pembantuan, namun menjadi perangkat daerah otonom. Itulah sebabnya, dalam pasal 66 diatur bahwa “Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota”. Pasal ini mengandung pengertian bahwa Kecamatan berfungsi atau berperan menjalankan sebagian kewenangan desentralisasi. Sementara itu, pasal 67 mengatur bahwa Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan, sehingga wajarlah jika Lurah sebagai Kepala Kelurahan menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat.

Dari perspektif administrasi publik, pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota kepada Camat, dan dari Camat kepada Kelurahan ini bukan hanya sebuah kebutuhan, namun lebih merupakan suatu keharusan untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan umum di daerah. Sebab, jika kewenangan dibiarkan terkonsentrasi di tingkat Kabupaten/Kota, maka akan didapatkan paling tidak dua permasalahan.

Pertama, Pemkab/Pemkot akan cenderung memiliki beban kerja yang terlalu berat (overload) sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang efektif. Disisi lain, sebagai akibat kewenangan yang terlalu besar, maka organisasi Kabupaten/Kota juga didesain untuk mewadahi seluruh kewenangannya sehingga justru menjadikan format kelembagaan semakin besar dan tidak efisien. Kedua, Kecamatan sebagai perangkat Kabupaten/Kota dan Kelurahan sebagai perangkat Kecamatan akan muncul sebagai organisasi dengan fungsi minimal. Apa yang dilakukan oleh Kecamatan dan Kelurahan hanyalah tugas-tugas rutin administratif yang selama ini dijalankan, tanpa ada upaya untuk lebih memberdayakan kedua lembaga ini. Hal ini sekaligus mengindikasikan adanya pemborosan organisasi yang luar biasa.

Mengingat hal diatas, maka pendelegasian atau pelimpahan sebagian wewenang dari atas (dari Bupati/Walikota ke Camat dan dari Camat ke Lurah) perlu diupayakan seoptimal mungkin. Tujuannya jelas, yaitu untuk mempercepat proses sekaligus meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Pada saat yang bersamaan, kebijakan ini akan meringankan beban beban Daerah, sehingga penyelenggaraan pemerintahan umum diharapkan akan semakin efektif dan efisien. Dan sungguh patut disyukuri bahwa banyak Bupati/Walikota di Indonesia yang sudah melakukan pelimpahan kewenangan kepada Camat di wilayahnya masing-masing. Sayangnya, sepanjang pengamatan penulis, hingga saat ini belum ada praktek pelimpahan sebagian kewenangan Camat kepada Lurah sebagaimana diatur pasal 67 UU No. 22/1999.

Meskipun pelimpahan kewenangan ke unit organisasi yang lebih rendah perlu terus dimantapkan, namun harus dicermati pula bahwa kebijakan ini membawa konsekuensi di berbagai hal. Dalam hal ini, paling tidak ada 3 dimensi strategis pada level Kecamatan yang perlu diperhatikan untuk menjamin keberhasilan kebijakan tersebut.

Pertama menyangkut aspek koordinasi antar lembaga dan standarisasi tata kerja. Artinya, sebagai konsekuensi dari pelimpahan kewenangan, Camat wajib melakukan koordinasi dengan Dinas/Lemtek, khususnya untuk hal-hal yang bersifat teknis operasional. Dalam kaitan dengan koordinasi ini, perlu dipertegas antara tugas dan kewajiban Kecamatan disatu pihak dengan tugas dan kewajiban Dinas/Lemtek di pihak lain. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan kewenangan tertentu. Dalam hal pemberian IMB misalnya, perlu ada kejelasan tentang apa yg harus disediakan dan/atau dilakukan Dinas dan Cabang Dinas Bangunan, apa yang harus disediakan dan/atau dilakukan Kecamatan, serta tata laksana antara kedua pihak lengkap dengan standar waktu dan sumber pembiayaannya. Tanpa adanya kejelasan tentang pembagian tugas, tata kerja, standar kerja serta sumber pendukung, pelimpahan kewenangan dikhawatirkan justru akan membingungkan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan publik.

Kedua berkenaan dengan kebutuhan perimbangan sumber daya keuangan, SDM dan sarana. Adalah hal yang logis jika pelimpahan kewenangan harus diikuti pula oleh pemberian sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan kewenangan tersebut. Sebagaimana halnya perimbangan sumber daya antara Pusat dan Daerah, pelimpahan kewenangan di tingkat lokalpun harus diikuti oleh perimbangan sumber-sumber daya. Tanpa adanya penguatan sumber daya, Kecamatan akan mengalami over-load dalam tugas-tugasnya, dan kewenangan yang dilimpahkan tidak akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Jika ini terjadi, maka tujuan pelimpahan kewenangan dapat dikatakan mengalami kegagalan.

Ketiga mengenai kebutuhan pengembangan struktur organisasi kecamatan Dengan bertambahnya kewenangan dan sumber-sumber daya, maka sangatlah wajar jika struktur organisasi Kecamatan perlu dikembangkan atau diperkuat. Pada saat yang bersamaan, organisasi pemerintah Kabupaten/Kota, perlu dirampingkan. Jika kewenangan-kewenangan teknis suatu Dinas / Cabang Dinas telah dilimpahkan kepada Kecamatan sementara kelembagaannya justru membengkak dengan dibentuknya cabang-cabang Dinas baru, maka akan terjadi inkonsistensi antara pemegang dan pelaksana kewenangan. Salah satu prinsip dalam distribusi kewenangan yang harus dijaga adalah tidak adanya kewenangan yang dimiliki dan / atau dilaksanakan secara bersama-sama oleh lebih dari satu lembaga. Oleh karena itu, untuk menghindari kewenangan rangkap tadi, suatu kewenangan mestinya hanya dilaksanakan oleh lembaga yang memiliki dan/atau diberi delegasi untuk melaksanakannya.

Disisi lain, upaya melakukan pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat kepada Lurah pun masih akan menghadapi beberapa kendala.

Pertama, Kelurahan selama ini terbiasa menjalankan kewenangan yang bersifat atributif, yakni kewenangan yang melekat pada saat pembentukannya. Akibatnya, pola kerja Kelurahan terlihat kaku, mekanis dan cenderung kurang dinamis. Oleh karena itu, jika Kelurahan akan diberi kepercayaan menjalankan kewenangan tambahan yang bersifat delegatif, maka perlu dikaji secara mendalam kewenangan apa saja yang layak dan prospektif untuk diemban oleh Kelurahan. Sebab, pelimpahan kewenangan yang asal-asalan justru akan berdampak pada ketidakmampuan Kelurahan melaksanakan kewenangan tersebut, serta terjadinya penurunan mutu pelayanan umum. 

Kedua, kondisi obyektif Kelurahan dapat dikatakan kurang mendukung kebijakan tentang pelimpahan kewenangan. Jumlah dan kualitas SDM yang minim, sarana kerja yang konvensional, sumber dana yang terbatas, adalah beberapa fakta riil yang perlu diperkuat sebelum pelimpahan kewenangan direalisasikan. Namun secara logika, pengembangan kelembagan akan terlebih dahulu diprioritaskan kepada Kecamatan mengingat telah dilimpahkannya sebagian kewenangan Bupati/Walikota kepada Camat. Setelah kelembagaan dan fungsi baru Kecamatan berjalan mantap, barulah dilakukan pengembangan dan penguatan kelembagaan Kelurahan.

Satu hal yang perlu dicatat adalah, meskipun banyak kendala yang harus diatasi, namun pemberdayaan Kecamatan dan Kelurahan melalui pelimpahan kewenangan beserta sumber daya pendukungnya adalah langkah terbaik untuk mewujudkan cita-cita pemberian otonomi, yakni peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum, serta kehidupan masyarakat daerah yang lebih demokratis.