Jumat, 30 Juli 2010

DAU dan Masa Depan Daerah


TAHUN 2008 barangkali akan menjadi ujian nyata bagi daerah dalam menyelenggarakan otonomi, khususnya bagi daerah-daerah kaya sumber daya alam yang terancam pengurangan – bahkan penghapusan – Dana Alokasi Umum (DAU). Pengurangan DAU sendiri sesungguhnya sudah menjadi hukum positif dan implikasi logis dari sistem desentralisasi yang ditempatkan dalam bingkai atau kerangka Negara Kesatuan. Artinya, desentralisasi jelas sekali sangat jauh dari semangat federalisme yang sedikit banyak memberi ruang bagi tumbuhnya egoisme kedaerahan.

Meskipun formula perhitungan DAU telah ada sejak implementasi UU No. 22 tahun 1999, namun sikap reaktif beberapa daerah (cq. Kaltim dan Riau) terhadap rencana pengurangan DAU baru muncul akhir tahun 2006 dan berlanjut tahun 2007. Kegelisahan daerah tentang rencana pemerintah pusat memuncak saat Presiden SBY membacakan keterangan pemerintah tentang kebijakan pembangunan daerah di depan sidang paripurna DPD-RI, tanggal 23 Agustus 2007. Dalam kesempatan tersebut, Presiden memberi penekanan sebagai berikut:

Sesuai dengan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004, mulai tahun 2008 kebijakan pengalokasian DAU harus menerapkan formula murni. Implikasi dari kebijakan itu adalah, beberapa daerah yang memiliki kapasitas fiskal jauh melampaui kebutuhan fiskalnya, akan memperoleh DAU lebih kecil dari tahun sebelumnya, atau bahkan tidak memperoleh DAU sama sekali. Namun, mengingat DAU juga berfungsi sebagai ikatan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka Pemerintah untuk saat ini masih akan mengalokasikan dana penyesuaian DAU, agar daerah yang seharusnya tidak menerima DAU atau daerah yang mengalami penurunan DAU senilai 75 persen atau lebih,  akan memperoleh DAU sebesar 25 persen dari DAU tahun sebelumnya.

Dalam konteks Kalimantan Timur, karena daerah ini memiliki nilai celah fiskal negatif yang lebih besar dari alokasi dasar, maka seharusnya tidak menerima DAU. Namun dengan tujuan memupuk hubungan Pusat – Daerah, maka Kaltim masih akan diberikan alokasi sebesar 25 persen dari total DAU yang diterima pada tahun 2007. Hal ini nampaknya merupakan bentuk kompromi pemerintah pusat terhadap sikap penolakan dari berbagai komponen di daerah.

Sayangnya, sikap kompromistis Pusat kurang mendapat sambutan positif dari daerah. Berbagai komponen seolah menjadi semakin mengkristal dengan satu opsi: tolak rencana pengurangan DAU! Bahkan, sebagian kelompok masyarakat menyuarakan opsi yang lebih ekstrem seperti menolak membayar / menyerahkan pajak ke Pusat, menuntut penetapan otonomi khusus, sampai pilihan radikal memisahkan diri dari NKRI. Dalam kasus Kaltim, pada tanggal 28 Desember 2006 yang lalu telah ditandatangani kesepakatan tentang penolakan tersebut. Alasannya sangat logis memang, yaitu bahwa DAU merupakan pilar pembiayaan daerah yang sangat vital. Oleh karena itu, pengurangan apalagi penghapusannya diyakini akan menggangu kelancaran roda pemerintahan dan pembangunan di daerah.

Meskipun demikian, harus disadari bahwa DAU bukanlah segala-galanya bagi daerah. Pesimisme bahwa pembangunan akan stagnan, kesejahteraan pegawai akan menurun, investasi merosot, masa depan daerah menjadi suram, dan bentuk-bentuk pesimisme yang lain, adalah hal yang berlebihan. Oleh karena itu, kegelisahan daerah (Kalimantan Timur) terhadap kebijakan pengurangan DAU seyogyanya tidak perlu disikapi lewat penolakan yang justru membutuhkan biaya dan energi sangat besar. Selain telah menjadi konsensus nasional, ada beberapa alasan kenapa hal itu tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Pertama, selama hampir 7 tahun pelaksanaan otonomi daerah sekarang ini, kemampuan anggaran dan kapasitas pembangunan daerah semakin membaik. Hal ini diperkuat oleh laporan World Bank berjudul Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunities (2007). Laporan tersebut menyatakan bahwa Indonesia mengalami peningkatan kapasitas fiskal sejak tahun 1973 ketika terjadi boom migas. Namun dewasa ini Indonesia tidak lagi tergantung pada migas, karena menerapkan kebijakan yang baik dan tepat (sound policy). Dampaknya, Indonesia mampu meningkatkan cadangan devisanya sebesar US$15 billion, yang diperoleh melalui pengurangan subsidi BBM, mengecilnya cicilan hutang, dan meningkatkan pendapatan Negara. Terkait dana perimbangan, laporan World Bank menyebutkan bahwa derajat desentralisasi semakin meningkat dan telah merubah struktur fiskal di Indonesia. Hal ini diindikasikan oleh terus meningkatnya transfer dana kepada daerah, yang mencapai US$25 billion pada tahun 2006, dan meningkat lagi menjadi US$28 billion pada tahun 2007. Ini berarti bahwa provinsi dan kabupaten/kota “menguasai” 40 % anggaran belanja di seluruh Indonesia. Inilah peluang dan tantangan terbesar pembangunan daerah di masa mendatang di era desentralisasi luas.

Kedua, sikap distrust masyarakat terhadap kinerja dan kejujuran aparat di daerah masing sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai komentar di media massa yang mengeluhkan rendahnya mutu pelayanan publik dan tingginya indikasi korupsi oleh pejabat di daerah. Pada saat yang sama, tingkat penyerapan APBD Provinsi maupun Kabupaten/Kota masih sangat rendah. Fakta-fakta tersebut membuat perjuangan mendapatkan dana yang lebih besar dari APBD melalui dana perimbangan, menjadi hal yang ironis. Singkatnya, pemerintah daerah diragukan mampu me-manaje dana yang besar demi kesejahteraan rakyat. “Jika kemampuan mengelola dana sangat rendah, lantas buat apa menuntut anggaran yang tinggi”, begitu kira-kira logika berpikir masyarakat awam. Untuk itu, daerah lebih baik berkonsentrasi untuk menjalankan program-program pembangunan yang sudah direncanakan, dari pada berjuang untuk merebut kembali sesuatu yang belum pasti.

Ketiga, momentum pengurangan DAU harus dijadikan pemicu, kesempatan dan tantangan untuk memperkuat kapasitas fiskal di daerah. Dengan kata lain, daerah perlu merumuskan sebuah rekayasa manajemen pembangunan berupa pengembangan alternatif kebijakan tentang penggalian sumber-sumber baru pendapatan daerah. Berbagai potensi sumber pendapatan perlu diintensifkan tanpa harus membebani sektor usaha dan para investor. Selain itu, keberadaan perusahaan milik daerah perlu digenjot lebih efektif dan efisien, sehingga bisa menjadi center of excellence dan center of revenue bagi kas daerah.

Terlepas dari berbagai upaya yang dapat dilakukan di daerah, polemik pengurangan DAU akan berimplikasi terhadap kebutuhan untuk merumuskan konsep perimbangan keuangan Pusat – Daerah yang lebih baik dan berkeadilan. Dalam hal ini, UU Pajak dan Retribusi Daerah layak untuk direvisi kembali dengan semangat untuk memperbesar kemandirian fiscal bagi daerah-daerah otonom. Political will pemerintah pusat untuk memberdayakan “anak-anaknya”, akan menjadi bukti bahwa rumor resentralisasi hanyalah isapan jempol belaka. Sementara itu bagi daerah yang terkena langsung imbas kebijakan pengurangan DAU, harus berbesar hati untuk menerima kenyataan tadi sebagai bentuk “ujian”, yang meskipun sulit dan pahit, namun akan berbuah manis bagi masa depan masyarakat dan daerah sendiri. © Tri Widodo WU

Kamis, 29 Juli 2010

Logika Otonomi


SETELAH  berjalan selama 8 tahun, sudah sepantasnya jika kebijakan desentralisasi melalui pemberian otonomi luas kepada daerah telah menampakkan hasilnya bagi masyarakat. Bangunan gedung-gedung pemerintah, kemunculan pusat-pusat pertumbuhan baru, atau penambahan infrastruktur dasar, adalah beberapa hasil kasat mata (tangible) yang positif dari gelombang transfer kewenangan dari Pusat kepada Daerah. Namun jika kita mau berpikir seimbang, maka fakta-fakta masih tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, merebaknya inefisiensi penggunaan anggaran, atau munculnya kasus-kasus mis-manajemen seperti banjir, kemacetan, penggusuran, aksi massa jalanan, dan sejenisnya, adalah tugas-tugas yang masih terbengkalai.

Mis-manajemen, mal-administrasi, inkompetensi aparatur, kegagalan kebijakan, atau apapun namanya adalah satu kondisi yang harus disikapi dengan arif dan dicarikan jalan keluar yang terbaik. Kecenderungan mencari dalih atau kambing hitam, mengelak dari tanggungjawab, atau mengedepankan alibi untuk berkelit dari kinerja yang rendah, sudah bukan jamannya lagi diikuti. Dalam alam realita, sayangnya, masih sering dijumpai adanya logika yang asimetris antara pandangan Pusat dengan persepsi Daerah.

Pemerintah Pusat, misalnya, menilai bahwa kinerja Daerah dalam pelaksanaan urusan-urusan yang telah diserahkan relatif masih sangat rendah, baik dilihat dari pengelolaan anggaran maupun pencapaian target output dan outcomes-nya. Dengan kata lain, gelombang transfer kewenangan dan sumber daya dari Pusat, tidak sebanding dengan kemampuan Daerah untuk mengoperasionalisasikannya. Ketika kewenangan (discretion = D) dan sumberdaya (resources = R) jauh melampaui kemampuan (capacity = C), atau dapat dirumuskan dalam formula D + R > C, maka terjadilah inefektivitas dan inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dan ketika kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah rendah, maka cukup logis jika Pusat bermaksud untuk “membantu” pelaksanaan tugas-tugas kedaerahan.

Inisiatif Pusat untuk “membantu” daerah inilah yang kemudian sering diinterpretasikan sebagai upaya intervensi aau resentralisasi. Dalam hal ini, orang Daerah justru memiliki logika yang sedikit kontradiktif. Menurut mereka, kapasitas atau kompetensi daerah merupakan konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan dan sumberdaya secara penuh. Jika Pusat tidak sepenuh hati menyerahkan kewenangan dan sumberdaya tadi, maka yang terjadipun adalah inefektivitas dan inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam bentuk formula, logika Daerah kira-kira dapat dirumuskan sebagai fungsi C = D max + R max. Sayangnya, telah menjadi asumsi dasar bagi sebagian besar pejabat daerah bahwa Pusat tidak sungguh-sungguh memberdayakan Daerah melalui kebijakan otonomi. Ilustrasi yang sering digunakan adalah: kepala dilepas, ekor dipegang. Urusan-urusan tertentu yang ditarik kembali (misalnya pertanahan), dana perimbangan yang tidak berimbang, aturan-aturan yang dinilai terlalu kaku dan mengikat kreativitas daerah, adalah beberapa contoh belum seriusnya Pusat mengimplementasikan otonomi daerah.

Bahkan, tidak jarang muncul pemikiran di kalangan birokrat daerah, bahwa reformasi birokrasi daerah tidak mungkin terwujud jika tidak didahului dengan mereformasi birokrasi di tingkat Pusat. Analoginya, kita tidak mungkin membersihkan pencemaran di wilayah hilir jika proses pencemaran di wilayah hulu tidak dihentikan. Dalam hal ini, Pusat adalah hulu, dan Daerah adalah hilir. Logika ini sangat sederhana namun begitu jelas dan mengena sasaran.

Paparan diatas menyiratkan adanya kebuntuan (bottleneck) logika antara Pusat dan Daerah. Contoh korsleting logika yang lain misalnya dalam hal inovasi dan kreativitas daerah dalam bidang urusan tertentu. Cukup banyak “tuduhan” yang dialamatkan kepada daerah karena bermental imitasi (meniru) atau plagiasi (menjiplak). Perumusan Perda adalah satu aktivitas yang paling rentan terhadap praktek copy and paste. Penetapan jenis-jenis retribusi daerah atau kebijakan tertentu lainnya, juga seringkali merupakan turunan dari jenis retribusi atau kebijakan tertentu di daerah tetangganya. Ketika otonomi tidak melahirkan semangat inovasi, kreasi, dan invensi, maka saat itulah otonomi dikatakan mengalami disfungsi. Dan disini, Daerah menjadi tersangka utama.

Namun jika optik dan logika kedaerahan yang kita pakai, maka persoalannya tidak terletak di Daerah, melainkan Pusat yang tidak konsisten dengan kebijakannya sendiri. Ambil contoh SPM. UU No. 32/2004 mengamanatkan secara tegas bahwa pemerintah (Pusat) harus menyusun SPM untuk urusan wajib, yakni urusan yang berhubungan denga kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, lingkungan hidup, perhubungan, koperasi, kependudukan, dan sebagainya. Daerah, diwajibkan menyusun Rencana Pencapaian SPM berpedoman pada SPM yang ditetapkan oleh Departemen Teknis terkait. Ironisnya, bagaimanapun semangatnya Daerah untuk menyusun RP-SPM, tidak banyak artinya jika Pusat belum memiliki SPM itu sendiri. Padahal, UU No. 32/2004 sudah berjalan hampir 5 tahun, bahkan sudah dalam wacana revisi, namun Pusat belum menjalankannya!

Contoh lain adalah mengenai reformasi kelembagaan. Postur Pemda yang selama ini dianggap gemuk bahkan cenderung terjangkit penyakit obesitas (kegemukan), dirasionalisasikan melalui penerapan PP No. 41/2007. Faktanya, upaya membangun figur Perangkat Daerah yang ramping, efektif, efisien, ekonomis, dan kaya fungsi, menjadi terhambat gara-gara ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang meminta Daerah untuk membentuk kelembagaan baru selain yang diatur dalam PP No. 41/2007. Akibatnya mudah diterka, sosok Daerah yang terbentuk adalah sosok yang tambun dan boros sumber daya. Pada gilirannya, kondisi ini mengganjal langkah reformasi birokrasi di daerah.

Tentu saja, korsleting atau asimetri logika otonomi antara Pusat dan Daerah tersebut akan menghambat laju otonomi itu sendiri. Oleh karenanya, mendekatkan hati, menyamakan persepsi, mengintensifkan koordinasi, adalah sebuah kebutuhan mutlak. Otonomi adalah produk bangsa yang merupakan kepentingan bersama, bukan kepentingan Pusat, bukan pula kepentingan Daerah. Majunya daerah otonom bukan merupakan prestasi Pusat, bukan pula prestasi daerah yang bersangkutan. Setiap keberhasilan yang diraih oleh suatu daerah adalah keberhasilan bangsa Indonesia sebagai sebuah entitas, dan setiap kegagalan suatu daerah adalah kegagalan kita semua pula.

Maka, otonomi tidak hanya bermakna kompetisi, namun juga kooperasi. Artinya, otonomi harus bermuara pada terbentuknya koopetisi (kerjasama dalam iklim kompetisi, atau kompetisi yang tidak menghilangkan semangat kerjasama). Otonomi juga tidak identik dengan merebaknya ego sektor, ego wilayah, dan ego jabatan yang melahirkan raja-raja kecil (little kings and barons). Sebaliknya, otonomi harus melahirkan pelayan-pelayan besar (great servants). Akhirnya, otonomi bukanlah logika. Otonomi adalah kesatuan visi dan komitmen untuk membangun bangsa yang lebih demokratis, lebih maju, lebih cerdas, lebih merata dan berkeadilan, serta lebih sejahtera. © Tri Widodo WU

Otonomi Dalam Kacamata Keluarga


IBARAT sebuah keluarga, hubungan antara Daerah dengan Pusat dalam suatu negara dapat dianalogikan sebagai hubungan antara Anak dengan Orangtua. Pada saat seorang anak masih belum dewasa dan belum mampu memenuhi dan atau menghidupi sendiri kebutuhannya, orangtua masih memiliki hak campur tangan secara penuh untuk mendewasakan anaknya. Berbagai cara yang ditempuh untuk melakukan pendewasaan dapat berbentuk pemberian bantuan keuangan dan fasilitas (sebagian atau seluruhnya), penggarisan atau penuntunan arah dan tujuan hidup, dan sebagainya.

Namun seiring dengan perkembangan yang dialami oleh anak tersebut, maka pada dirinya akan muncul kemampuan dan atau kapasitas baru yang menunjukkan tingkat kedewasaannya. Disamping itu, dengan berbekal kemampuan dan atau kapasitasnya tadi, ia dapat mengembangkan inovasi dan kreatifitas guna mencapai tujuan hidupnya secara lebih baik, efektif dan efisien. Dalam kondisi demikian, terlihat bahwa peran dan campur tangan orangtua semakin diperkecil. Peran ini perlu diperkecil mengingat dua hal: 1) anak makin dewasa dengan tingkat perkembangan analisis dan kemampuan yang makin meningkat pula; 2) anak memiliki kebutuhan yang makin beragam sesuai dengan kondisi obyektif dan subyektifnya; serta 3) lingkungan strategis (sosial ekonomi dan politik) yang dinamis serta cenderung turbulent.

Dalam konteks hubungan antara Daerah dengan Pusat, tuntutan otonomi dan desentralisasi-pun tidak bisa dihindarkan. Meskipun UU Pemerintahan Daerah manapun menggariskan bahwa urusan rumah tangga tertentu dapat ditarik kembali ke Pusat jika Daerah menunjukkan indikasi kurang mampu, namun fakta sebaliknya yang justru menunjukkan makin mampu dan dewasanya daerah. Indikator-indikator yang dapat ditunjukkan dari tingkat kemampuan dan kedewasaan daerah ini misalnya jumlah penduduk yang makin banyak, peningkatan indikator sosial ekonomi (pendidikan, usia harapan hidup, pendapatan rata-rata per tahun), potensi sumber-sumber keuangan (pajak, retribusi dan keuntungan perusahaan daerah), pemilikan fasilitas umum (transportasi, kesehatan, pendidikan, peribadahan, dan sebagainya). Pada saat yang bersamaan, daerah memiliki karakteristik yang heterogen atau berbeda-beda, baik dalam hal adat-istiadat dan sistem kepercayaan, bahasa, kesenian dan teknologi, sistem kekerabatan, pilihan-pilihan warga masyarakat (public choice) dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan kehidupan kemasyarakatan dan pemerintahan-pun menjadi tidak mungkin diseragamkan.

Kalaupun kebijakan sentralisasi (penyeragaman) akan tetap diberlakukan, hendaknya memberikan peluang untuk pengembangan muatan-muatan lokal. Dengan kata lain, penyeragaman dapat dipahami sepanjang tetap mengindahkan keragaman (unity in diversity, bukan diversity in unity). Sebagai contoh, urusan pertanian rakyat atau urusan lalu lintas sungai dan danau hanya akan tepat jika dimiliki oleh daerah dengan lahan pertanian yang luas atau kondisi geografis yang berbentuk kepulauan dan rawa-rawa. Dalam kasus ini, DKI Jakarta yang sifatnya sangat metropolis kurang cocok apabila diserahi urusan pertanian rakyat atau urusan lalu lintas sungai dan danau.

Dengan logika terbalik, penghindaran terhadap kebijakan penyeragaman urusan ini dapat diartikan pula bahwa daerah perlu mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan lokalnya, dan kemudian diajukan kepada Pusat sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Atau, penetapan suatu urusan tertentu dari Pusat kepada Daerah sebaiknya lebih menggunakan mekanisme dari bawah (bottom up) dari pada ketentuan secara baku dari atas (top down). Meskipun demikian, perlu ditegaskan bahwa pengusulan suatu urusan berdasarkan kebutuhan lokal menjadi urusan otonom, harus disertai dengan upaya-upaya mempersiapkan berbagai aspek yang terkait, agar urusan tersebut dapat diselenggarakan dengan baik, efektif dan efisien, serta dapat dipertanggungjawabkan, dalam arti sesuai dengan tujuan pemberian otonomi kepada daerah.

Kembali ke konteks keluarga, ketika anak sudah benar-benar mandiri, maka manajemen tunggal model orang tua sudah tidak penting dipertahankan lagi. Kepada anak tadi justru harus diberi peluang untuk menciptakan kreasi, invensi dan inovasi baru dalam manajemen keluarga barunya. Peran orangtua lebih banyak pada upaya menjaga standarisasi nlai-nilai atau norma kerumahtanggaan, disamping tentu saja peran silaturahmi melalui proses monitoring, koordinasi, dan kerjasama.

Jika kita sepakat bahwa manajemen keluarga sesunguhnya adalah miniatur manajemen negara, maka baik buruknya manajemen negaraakan sangat tercermin dari kemampuan kita -- para pejabat negara dan pemerintahan -- dalam me-manaje keluarga kita. Maka, mari kita benahi bangsa dan negara tercinta kita melalui pembenahan dari lingkup terkecil kita, yaitu keluarga. © Tri Widodo WU

Politik “Jalan Terakhir” dan Birokrasi yang Frustrasi


DALAM iklim desentralisasi luas seperti saat ini, kata-kata sakti seperti kreasi, invensi, inovasi, dan sejenisnya, menjadi kata kunci dan keniscayaan bagi pemerintah daerah beserta jajaran aparatnya. Esensinya, semangat devolusi harus dikelola dan diarahkan pada terciptanya more creative, more innovative, more productive, and better governance. Literatur tentang hal ini sangat berlimpah untuk menjadi rujukan dan benchmarking bagi pemerintahan kita.

Pemerintahan yang kreatif, inovatif, dan produktif, adalah sebuah sosok institusional yang tidak pernah kehilangan akal dan cara untuk memecahkan setiap persoalan yang dihadapi. Mereka tidak mengenal istilah “jalan terakhir” dalam sistem dan siklus kebijakan publik. Pepatah klasik yang berbunyi “banyak jalan menuju Roma”, bermutasi menjadi keyakinan yang lebih modern dalam wujud slogan-slogan seperti “tiada hari tanpa inovasi”, “selalu ada solusi bagi jiwa kreatif yang selalu berpikir”, dan sebagainya.

Dalam prakteknya, sering terjadi kondisi sebaliknya. Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, tidak jarang memilih jalan pintas dan mudah untuk mengatasi suatu persoalan, tanpa mempedulikan efek yang ditimbulkan oleh pilihan tersebut. Contoh yang paling actual adalah kenaikan harga BBM. Meski dikritik berbagai kalangan dari anggota DPR hingga mahasiswa, melalui berbagai aksi dari seminar di hotel berbintang hingga demonstasi jalanan, pemerintah tetap keukeuh pada keyakinannya, bahwa satu-satunya tindakan untuk menyeimbangkan struktur APBN yang rapuh akibat melambungnya harga minyak dunia adalah pengurangan subsidi (baca: kenaikan harga) BBM. Bahkan secara tegas dan lugas Presiden SBY menyatakan bahwa kenaikan BBM adalah jalan terakhir untuk menyelamatkan ekonomi nasional.

Contoh lain dari birokrasi yang tidak kreatif ditunjukkan oleh Pemprov DKI Jakarta yang membuat “gebrakan” dengan melakukan tindakan represif berupa aksi mengunci atau menggembok roda mobil para pelanggar lalu lintas secara paksa. Tindakan lain yang sejenis adalah pencopotan pelat nomor kendaraan pribadi pelanggar parkir. Bahkan, Pemda DKI juga telah membangun pagar pembatas di sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman yang dilengkapi dengan kawat berduri yang diolesi oli bekas, dengan maksud untuk mencegah orang menyeberang jalan.

Beberapa kasus diatas hanyalah sedikit contoh dari cerminan birokrasi kita yang mulai kebingungan dengan permasalahan yang dihadapi. Berbagai kebijakan yang telah ditempuh ternyata tidak menghasilkan dampak yang diharapkan. Sebaliknya, permasalahan sosial, ekonomi dan politik nampaknya makin bertambah banyak dan kompleks. Akibatnya, terjadilah kecenderungan birokrasi mencari pembenar atas tindakan yang sedang atau akan dilakukan, mencari kambing hitam atas kesalahan atau tanggung jawab yang ingin dihindari, serta mencari jalan termudah, tercepat dan termurah untuk meraih tujuan organisasi. Dengan kata lain, birokrasi kita dewasa ini menunjukkan tanda-tanda frustrasi yang cukup parah, yang diindikasikan oleh sikap pragmatisme yang berlebihan, tidak ramah dan cenderung arogan, kurang akomodatif terhadap aspirasi dan keluhan warga, tidak mampu menghasilkan terobosan kebijakan yang brilian, serta berpotensi menyimpang dari norma kepatutan, jika tidak dikatakan sebagai pelanggaran hukum.

Sebagai contoh, aksi pencopotan pelat nomor dalam kasus diatas tanpa seijin pemiliknya jelas-jelas merupakan perbuatan “merampas hak milik orang lain secara melawan hukum”, dan oleh karenanya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian. Demikian halnya pada kasus penggembokan mobil yang mengakibatkan pemiliknya tidak dapat memanfaatkan haknya secara sah, maka aksi tersebut dapat ditafsirkan sebagai tindak pidana sabotase, atau minimal perbuatan yang tidak menyenangkan. Disamping itu, dilihat dari dimensi kepatutan, apa yang dilakukan Dishub DKI sangatlah tidak pantas dilakukan seorang birokrat negara.

Sama halnya dalam kasus kenaikan harga BBM. Suara banyak pakar tentang alternatif yang lebih pro-poor dan feasible secara ekonomis, seperti angin lalu dan tidak menimbulkan gema dan efek pembelajaran sedikitpun. Padahal, berbagai gagasan yang mereka lemparkan sangat penting untuk dipertimbangkan. Langkah-langkah seperti penjadualan pembayaran utang luar negeri, pemangkasan anggaran perjalanan dinas dan studi banding, penyelesaian kasus BLBI dan kredit macet kelas kakap, prioritasi ulang program pembangunan, efisiensi internal, dan sebagainya, tidak dapat dikesampingkan sebagai strategi penguatan kapasitas finansial negara.

Ironisnya, mereka tidak merasa bahwa perbuatan tersebut menyimpang dari kaidah normatif atau tata nilai apapun. Dishub DKI misalnya, menyatakan bahwa pencopotan pelat nomor dan penggembokan roda mobil tersebut sebagai keharusan, bukan sesuatu yang melanggar aturan karena dilindungi oleh instruksi Gubernur. Selain itu, tindakan ini merupakan alternatif terakhir untuk mengatasi para pelanggar lalu lintas. Ini berarti bahwa jika upaya ini tetap tidak berhasil menertibkan lalu lintas Jakarta, maka tidak akan ada lagi kebijakan yang bisa diterapkan. Demikian halnya jika kenaikan harga BBM dipersepsikan sebagai jalan terakhir dan satu-satunya, maka jika kebijakan tadi ternyata tidak dapat menyelamatkan struktur APBN dan ekonomi nasional, maka secara logika, bangsa kita tinggal menunggu kehancuran karena tidak ada lagi kebijakan yang layak untuk dipilih.

Sekali lagi, hal ini memperkuat dugaan bahwa birokrasi kita sedang terjebak dalam sindrom frustrasi yang sangat dalam (frustrated bureaucracy).

Dengan kondisi birokrasi yang demikian, dapatkah kita sekarang mengatakan bahwa bangsa kita tengah mengalami hal yang sama, yakni frustrasi? Pertanyaan ini menjadi relevan, sebab masyarakatpun sesungguhnya pernah dan masih menunjukkan gejala frustrasi pula. Sebagai contoh, saking lelahnya menanti penegakan hukum yang benar-benar adil dan transparan yang tidak penah kunjung tiba, akhirnya aksi main hukum sendiri menjadi pilihan terakhir. Dalam hubungan ini, kasus-kasus membakar hidup-hidup pencuri yang tertangkap tangan, mengarak telanjang pelaku perzinahan, dan sebagainya harus ditafsirkan sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum nasional yang berlaku, dan bukan wujud masyarakat yang barbar dan biadab.

Demikian pula, manakala masyarakat telah bosan dengan praktek politik yang tidak pernah berpihak pada rakyat jelata serta penuh dengan berbagai trik dan intrik, kolusi dan korupsi, dagang sapi dan persekongkolan jahat lainnya, maka demonstrasi yang brutal atau bahkan anarki yang keji menjadi pilihan terakhir yang terbaik. Inipun harus ditafsirkan sebagai kegagalan sistem politik dalam menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang damai, tertib, sejahtera, serta memiliki hubungan yang harmonis dengan birokrasinya.

Dari kedua contoh terakhir ini dapatlah disimpulkan bahwa eskalasi rasa frustrasi akan makin membesar dan tidak terkendali jika terjadi kegagalan sistem hukum dan politik. Hal ini dapat dijadikan analogi bahwa terjadinya birokrasi yang frustrasi adalah akibat langsung dari kegagalan sistem administrasi publik atau sistem birokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, tindakan mencari kambing hitam sungguh berlebihan dan sangat tidak bijaksana. Yang harus dilakukan justru adalah pembenahan internal dan meningkatkan efektivitas kebijakan. Dalam konteks mencapai efektivitas kebijakan publik yang tinggi sekaligus mencegah terjadinya kegagalan birokrasi ini, gagasan debirokratisasi perlu diaktualisasikan kembali.

Debirokratisasi sendiri adalah gagasan tentang perlunya pemangkasan peran dan struktur birokrasi. Secara teoretis, birokrasi dapat dianalogikan dengan air. Ketika suhu air meningkat, air tersebut menjadi semakin panas. Seperti halnya birokrasi, semakin besar perannya dalam pembangunan dan semakin panjang rentang kendali yang dimiliki, maka makin rumitlah prosedur pelayanan. Oleh sebab itu, peran birokrasi harus dikurangi hingga titik tertentu, namun tidak menghilangkan sama sekali. Sebab, ketiadaan birokrasi juga dapat mengakibatkan situasi yang runyam. Sebagaimana air, hingga 40C air akan semakin dingin dan membeku. Namun begitu suhu diturunkan kembali, maka air tadi justru akan mencair. Dengan kata lain, baik air maupun birokrasi mengenal hukum anomali.

Satu hal yang perlu ditekankan juga adalah bahwa dalam masa transisi menuju demokrasi dewasa ini, birokrasi dituntut memiliki kesungguhan, optimisme dan perencanaan pembangunan yang matang. Tanpa modal ini, bukan tidak mungkin birokrasi kita dimasa mendatang akan semakin frustrasi. © Tri Widodo WU

Ironi Otonomi Daerah


DALAM sebuah diskusi di kantor PKP2A III LAN, seorang pejabat teras Pemprov Kalimantan Timur sempat melontarkan gagasan sederhana namun mengandung sindiran yang sangat kuat. Menurutnya, di era otonomi luas seperti saat ini perlu dipikirkan adanya mekanisme dan alat ukur untuk menilai/mengevaluasi instansi Pusat oleh Daerah, agar terjadi hubungan Pusat dan Daerah yang lebih obyektif dan seimbang. Sebab, selama ini hanya Pusat yang seolah-olah ”berhak” menilai daerah dengan memberikan banyak sekali instrumen evaluasi, namun daerah sama sekali tidak memiliki hak yang sama untuk menilai Pusat.

Pernyataan yang menyiratkan adanya ”kegundahan” di kalangan birokrat daerah tadi dapat diinterpretasikan dalam beberapa kemungkinan. Pertama, ”ledakan besar” desentralisasi (big bang decentralization) telah melahirkan kecemasan munculnya egoisme kedaerahan yang kronis. Setelah puluhan tahun terkooptasi oleh kekuasaan yang sentralistis dan monopolis, Daerah nampaknya ingin menghilangkan segala sesuatu yang bernuansa ”Pusat” dengan cara menonjolkan berbagai atribut kedaerahan seperti putra daerah, retribusi daerah, atau bahkan otonomi daerah itu sendiri. Kecenderungan seperti inilah yang disebut Gerry Stoker (dalam Rethinking Local Democracy, 1996) sebagai perangkap kedaerahan (the trap of localism). Artinya, otonomi yang semestinya mampu membuka peluang bagi otoritas daerah untuk berpikir bebas dan kreatif secara global guna memajukan daerahnya, justru berdampak pada makin sempitnya pola pikir (mindset) para pelaku otonomi di daerah.

Fenomena kedua menunjukkan indikasi yang sebaliknya, dimana ”otonomi setengah hati” atau bahkan resentralisasi semakin menguat semenjak dilakukannya revisi terhadap UU Pemda tahun 1999. Hasrat berbagai Departemen dan LPND untuk menerbitkan beragam pedoman, juklak maupun instrumen evaluasi mengilustrasikan ketakutan mereka kehilangan ”hak kontrol” atas daerah. Uniknya, mereka membiarkan diri mereka immune, untouchable, atau tak tersentuh oleh kreasi dan aspirasi daerah. Dengan kata lain, Pusat masih memposisikan diri sebagai atasan, owner, dan/atau patron bagi daerah. Dua pola pengawasan terhadap Perda melalui mekanisme evaluasi dan klarifikasi sebagaimana diatur dalam UU Pemda 2004, semakin meneguhkan ”prasangka” tentang resentralisasi tersebut. Ini berarti pula bahwa praktek administrasi publik di Indonesia sesungguhnya masih lebih bercorak top-down, dan kurang memberi ruang bagi berkembangnya proses difusi inovasi yang berbasis locally bottom-up initiative serta self-help empowerment.

Kedua fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai ironi otonomi daerah, karena merupakan dampak yang sama sekali tidak diharapkan ketika kebijakan otonomi digulirkan pertama kali. Diluar keduanya, masih ada satu ironi desentralisasi lain yang sesungguhnya telah lama diprediksi di buku-buku text. Fenomena ini berkaitan dengan pergeseran peran dan posisi Provinsi yang semakin mengecil. Dalam hal ini, Schiavo-Campo dan Sundaram (dalam To Serve and To Preserve: Improving Public Administration In A Competitive World, 2000) menjelaskan bahwa pada abad ke-19, Provinsi merupakan unit penghubung (intermediate administrative entity) antara Pusat dan Daerah (Kabupaten/Kota). Sebagai unit intermediasi, Provinsi memiliki dua posisi monopoli, yaitu sebagai ”agen tunggal” dalam menjabarkan kebijakan Pusat yang menyangkut urusan kepemerintahan daerah, serta ”agen tunggal” yang menyediakan seluruh informasi tentang daerah kepada Pusat. Namun dengan adanya desentralisasi, timbullah efek loncatan katak (leapfrogging effect), yakni terjadinya transfer kewenangan dan sumberdaya Pusat langsung kepada Kabupaten/Kota. Pada saat yang sama, terjadi pula transfer sebagian kewenangan dan sumberdaya dari Provinsi. Proses inilah yang menjadikan fungsi dan peran Provinsi menjadi tidak lagi signifikan. Sebagai ilustrasi, pasal 38 UU No. 32/2004 hanya memberikan tiga tugas / wewenang Gubernur selaku wakil Pemerintah, yaitu koordinasi, pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan tugas pembantuan di daerah.

Ironisnya, layer atau jenjang struktur organisasi di tingkat Provinsi masih lebih panjang dan lebih besar dibanding layer di tingkat Pusat atau di Kabupaten/Kota. Di Provinsi terdiri dari lima layer, masing-masing adalah Sekda (Eselon I-b), Asisten (Eselon II-a), Kepala Biro (Eselon II-b), Kepala Bagian (Eselon III-a), dan Kepala Sub-bagian (Eselon IV-a). Di tingkat Pusat (Departemen) sendiri terdiri dari empat layer, masing-masing adalah Direktur Jenderal (Eselon I-a), Direktur (Eselon II-a), Kepala Bidang (Eselon III-a), dan Kepala Sub-bidang (Eselon IV-a). Demikian pula di Kabupaten/Kota hanya terdiri dari empat layer, yakni Sekda (Eselon II-a), Asisten (Eselon II-b), Kepala Bagian (Eselon III-a), dan Kepala Sub-bagian (Eselon IV-a). Disini terlihat dengan jelas bahwa besaran kelembagaan Provinsi kurang akordion dengan beban tugas yang disandangnya. Dan mengingat esensi otonomi daerah berada pada Kabupaten/Kota, maka format kelembagaan Provinsi jelas membutuhkan penyesuaian ulang.

JIKA tidak dapat diatasi dengan baik, tiga ironi otonomi diatas dapat mengancam tiga kondisi ideal yaitu tumbuhnya demokrasi lokal yang sehat, meningkatnya kesejahteraan sosial ekonomi rakyat, serta membaiknya mutu pelayanan umum. Untuk itu, paling tidak diperlukan dua langkah simultan sebagai prasyarat utama keberhasilan otonomi daerah. Pertama, adanya kebesaran hati dan kepercayaan (trust) Pusat terhadap Daerah. Pemerintah Pusat hendaknya tidak selalu mencari-cari celah untuk melakukan intervensi, karena konsekuensi logis otonomi adalah berkurangnya kadar interventionist state. Kedua, adanya kemauan Daerah untuk meningkatkan kapasitas SDM, kelembagaan dan finansialnya secara terus menerus. Sebab, konsekuensi logis otonomi yang lain adalah harus dilakukannya capacity building bagi seluruh sub-sistem pemerintahan daerah.

Manakala kedua hal tersebut dapat dijalankan dengan baik, maka akan tercapai sinergi dan harmoni antara Pusat dan Daerah. Tidak akan ada lagi hasrat Pusat untuk mengkooptasi Daerah; tidak akan ada lagi sikap arogan Daerah terhadap Pusat; serta tidak akan ada lagi sengketa atau rebutan obyek kewenangan antara Pusat dan Daerah. Dan satu hal lagi: tidak akan ada lagi sindiran dan ungkapan bernada kegundahan sebagaimana tercermin pada paragrap awal tulisan ini. © Tri Widodo WU.

Jumat, 02 Juli 2010

Pengembangan Kemampuan (Capacity Building) Pemerintah Daerah: Strategi Antisipasi Kegagalan Desentralisasi di Indonesia


Abstract:
Walaupun pelaksanaan UU Nomor 22 tahun 1999 telah berjalan efektif lebih dari satu tahun, namun tujuan fundamental yang diinginkan – yakni kemandirian daerah dan peningkatan pelayanan masyarakat – belum terlihat jelas. Justru pemerintah daerah lebih disibukkan oleh urusan-urusan kedalam (internal affairs), misalnya pembentukan SOTK yang baru. Meskipun strategi ini diyakini selaras dengan semangat desentralisasi, namun masih diragukan efektivitasnya untuk membangun kemampuan Pemda dalam menjalankan fungsi-fungsi atau kewenangan otonom yang sangat besar. Oleh karena ketidakmampuan Pemda merupakan kegagalan kebijakan desentralisasi, maka program capacity building merupakan strategi yang tidak dapat ditunda lagi oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia.


Pengantar


Salah satu hasil reformasi politik di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1997 adalah implementasi UU Nomor 22/1999, yang secara radikal telah merubah peraturan perundangan sebelumnya yakni UU Nomor 5/1974. Menurut UU tentang Pemerintahan Daerah ini, kewenangan pemerintah Daerah meningkat secara dramatis, sementara kewenangan pemerintah Pusat berkurang secara signifikan. Dibandingkan dengan UU sebelumnya, UU Nomor 22 tahun 1999 memberi kekuasaan yang lebih luas dan kebebasan yang lebih besar kepada pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusan rumah tangga, termasuk formulasi kelembagaan, alokasi sumber daya manusia, serta penggalian potensi pembiayaan di daerahnya. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa desentralisasi di Indonesia identik dengan proses demokratisasi antar dan / atau dalam struktur pemerintahan daerah. Secara hipotesis, baik desentralisasi maupun demokratisasi bertujuan untuk mempercepat peningkatan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Sayangnya, tidak ada garansi dan tidak satu lembaga publikpun yang berani memberi jaminan, bahwa kehidupan masyarakat akan secara serta merta meningkat setelah pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Sebab, pencapaian tujuan desentralisasi akan sangat ditentukan oleh kesiapan dan kemampuan pemerintah Daerah untuk merealisasikan dan mengintepretasikan kebijakan nasional kedalam kebijakan dan kondisi lokal. Dalam hal ini, hal yang harus dilakukan oleh perangkat Daerah adalah melakukan penyesuaian kebijakan (policy adjustment) dalam semua aspek yang diperlukan. Pada umumnya, sebagian besar pemerintahan Daerah (Propinsi, Kabupaten, dan Kota) di Indonesia telah menyelesaikan penyesuaian kelembagaan (institutional adjustment) dengan mengeluarkan Peraturan Daerah tentang SOTK. Landasan yuridis yang digunakan dalam rangka penataan kelembagaan ini adalah PP No. 84 tahun 2000. Atas dasar PP 84 dan Perda SOTK, struktur organisasi pemerintahan Daerah dapat dikatakan berubah secara esensial.

Pengembangan Kerjasama Pemerintah dengan Masyarakat dan Swasta dalam Pembangunan Daerah


Latar Belakang Perlunya Kerjasama

Dalam tataran akademik, dewasa ini ada trend perubahan dari konsepsi government kepada governance. Pada konsep “government”, pemerintah ditempatkan sebagai pelaku utama pembangunan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi. Pemerintah juga menjadi penyandang dana terbesar sekaligus sebagai penerima benefit (beneficiary) terbesar.

Dengan berkembangnya paradigma governance, pola hubungan antar sektor (publik – privat) dan juga hubungan Pusat – Daerah berubah menjadi lebih sejajar (egaliter) dan demokratis. Pada pola seperti itu, penyelenggaraan jasa layanan atau fungsi pemerintahan tertentu tidak lagi di dominasi oleh satu pihak (cq. Pemerintah). Ini berarti pula bahwa proses kemitraan dan kerjasama harus lebih digalakkan.

Adapun pertimbangan atau alasan-alasan perlunya memperkuat kerjasama publik – privat, paling tidak dapat dilihat dari 3 dimensi sebagai berikut:

Fenomena dan Dinamika Otonomi Daerah Pasca Restrukturisasi Kelembagaan (Kasus Dinas Pasar – BP Parkir Kota Bandung dan Dinas Olahraga Propinsi Jawa Barat)


Abstrak:
Hanya dalam satu tahun semenjak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 secara efektif dan sejak ditetapkannya Perda SOTK diberbagai daerah, telah muncul ide yang bermuara pada peninjauan ulang program restrukturisasi kelembagaan. Disatu sisi, upaya ini positif sebagai satu bentuk treatment dan penyegaran organisasi. Namun disisi lain, frekuensi yang terlalu sering dalam penataan organisasi juga mengindikasikan adanya ketidakmatangan dalam formulasi kebijakan publik. Untuk itu, terhadap kasus Dinas Pasar – BP Parkir Kota Bandung dan Dinas Olahraga Jawa Barat, lebih baik dipikirkan alternatif kebijakan yang lebih moderat, dalam arti tidak perlu merubah format kelembagaan yang sudah eksis namun dapat mendorong kinerja yang lebih tinggi.


Pengantar


Sebagaimana kita pahami bersama, sebagian besar daerah otonom di Indonesia baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota, telah menyelesaikan program restrukturisasi kelembagaan sebagai tindak lanjut dari pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999. Sebagai contoh, Kota Bandung melalui Perda Nomor 01, 04, 05, 06, 07, dan 08 tahun 2001 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi di Lingkungan Pemerintah Kota Bandung.

Fenomena yang menarik adalah bahwa hanya dalam waktu satu tahun setelah berlakunya Perda SOTK tersebut, telah muncul gagasan dan kontroversi yang secara langsung maupun tidak langsung, menyiratkan perlunya peninjauan kembali terhadap produk hukum daerah tersebut. Gagasan pertama datang dari kalangan eksekutif Kota Bandung tentang kemungkinan pengalihan sebagain kewenangan BP Parkir sebagai kewenangan Dinas Pasar. Jika hal ini terealisasikan, berarti harus ada penataan ulang kelembagaan sesuai dengan kewenangan yang baru. Sedangkan gagasan kedua dilontarkan oleh pihak legislatif Propinsi Jawa Barat tentang perlunya pembentukan Dinas Olahraga.

Tentu saja adanya keinginan untuk menambah, mengurangi, atau merubah komposisi kewenangan dan kelembagaan daerah menunjukkan dinamisnya kehidupan otonomi dewasa ini. Terlebih lagi hal tersebut murni menjadi kewenangan daerah. Oleh karenanya, kedua gagasan diatas pada dasarnya tidaklah berlebihan dan dapat diterima sebagai upaya untuk terus meningkatkan kinerja otonomi itu sendiri. Yang sedikit menjadi ganjalan adalah mengenai kerangka waktu (time frame) yang terlalu dekat. Artinya, efektivitas peraturan (Perda SOTK) yang hanya bertahan satu tahun, akan memunculkan kesan bahwa penyusunan peraturan tersebut dilakukan secara tergesa-gesa tanpa adanya pertimbangan dan pengkajian yang matang. Dan dengan pengaturan yang terburu-buru atau bisa jadi “asal-asalan” tadi, kemampuan lembaga publik untuk menghasilkan kinerja dan akuntabilitas yang tinggi, jelas diragukan.

Disisi lain, kalaupun “usulan” penyesuaian kelembagaan diatas terpenuhi, terlebih dahulu harus mampu menjawab dua pertanyaan klasik yakni: 1) apakah hal tersebut menjamin penyelenggaraan pemerintahan dan otonomi daerah secara lebih efektif dan efisien?; dan 2) apakah ada jaminan bahwa dalam waktu singkat tidak akan dilakukan restrukturisasi kembali terhadap lembaga tersebut? Kesulitan untuk menjawab kedua pertanyaan ini sesungguhnya akan mengantarkan kita pada satu muara yaitu perlu dimilikinya rencana strategis tentang pembinaan dan pengembangan organisasi. Keberanian untuk melakukan trial and error dalam dengan frekuensi yang tinggi dikhawatirkan justru akan menjauhkan daerah dari hakekat dan filosofi desentralisasi secara luas.

Disamping itu, dari perspektif public policy, perumusan suatu kebijakan yang baik membutuhkan proses dan waktu yang cukup lama. Didahului dengan evaluasi terhadap kebijakan lama, penentuan tujuan kebijakan yang akan ditempuh, analisis kelayakan dan analisis lingkungan sosial ekonomi, pengembangan alternatif dan pemilihan opsi terbaik, baru penetapan kebijakan. Apabila dilakukan secara konsekuen, proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama, apalagi jika kebijakan yang akan diambil menyangkut penggunaan sumber-sumber keuangan daerah, pengadaan struktur baru penempatan jabatan baru, atau yang menyangkut kepentingan masyarakat secara luas.

Dikaitkan dengan gagasan restrukturisasi kelembagaan daerah sebagaimana disebutkan diatas, maka perombakan organisasi yang dilakukan hanya dalam waktu (setiap) satu tahun, bisa dikatakan sebagai kebijakan yang tidak matang (immature policy). Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menyodorkan gagasan alternatif selain yang dilontarkan oleh kalangan eksekutif Kota Bandung dan kalangan legislatif Jawa Barat.


Fenomena Dinas Pasar – BP Parkir Kota Bandung

Dalam harian “Pikiran Rakyat” tanggal 7 Maret terdapat pemberitaan bahwa Dinas Pasar Kota Bandung mengeluarkan usulan agar pengelolaan parkir di sekitar lokasi pasar dikelola oleh dinas pasar. Sementara itu, seorang anggota DPRD menegaskan bahwa Dinas Pasar hendaknya lebih memfokuskan kepada apa yang menjadi tugas pokok dan fungsinya dan jangan dulu melihat yang lain diluar kompetensinya.

Secara tidak langsung, pemberitaan tersebut menyiratkan adanya perbedaan pandang di tubuh Pemkot dan DPRD Kota Bandung terhadap kewenangan bidang perparkiran, sekaligus potensi parkir sebagai asset finansial (retribusi). Dinas Pasar merasa bahwa kewenangannya mesti diperlebar mencakup “bidang-bidang lain” disekitar pasar (dalam hal ini parkir). Ini berarti bahwa kewenangan Dinas Pasar tidak hanya menyangkut substansi yang bersifat “kepasaran”, namun juga teritorial di dalam dan di sekitar pasar yang bersifat “non-kepasaran”. Disisi lain, kalangan legislatif menilai bahwa perangkat daerah tertentu (dalam hal ini Dinas Pasar) hanya dapat memiliki dan menjalankan kewenangan di bidang substantifnya sendiri. Artinya, meskipun secara spasial / teritorial berhimpitan dengan wilayah kewenangan bidang atau lembaga lain, namun tidak dibenarkan menjalankan kewenangan tersebut.

Yang lebih menarik lagi, Dinas Pasar hanya tertarik untuk “meminta” pengelolaan parkir tetapi tidak berpikir untuk “mengambil” kewenangan lain seperti sampah / kebersihan yang menjadi kewenangan PD Kebersihan. Secara kasat mata, masyarakat awam akan melihat bahwa dibalik rencana Dinas Pasar terselip kepentingan ekonomis tertentu yakni perolehan retribusi. Pengelolaan kebersihan jelas tidak menarik untuk diperjuangkan karena hanya mengandung potensi retribusi yang kecil namun memerlukan dana dan prasarana yang sangat besar. Dengan kata lain, masyarakat dapat mengkritisi bahwa dalam era otonomi daerah sekarang ini, ternyata paradigma berpemerintahan belum berubah, malah semakin kentara dalam “berebut rejeki” sesama lembaga publik. Disamping itu, pemikiran Dinas Pasar dapat dikatakan kurang konseptual. Sebab, jika Dinas Pasar boleh mengelola sebagian kewenangan parkir, maka rumah sakit, sekolah negeri maupun swasta, kantor-kantor, pengelola stadion olah raga, pengelola tempat wisata atau Dinas Pariwisata, dan sebagainya, juga dapat “meminta” sebagian kewenangan parkir. Sebagai akibatnya, BP Parkir tidak memiliki kewenangan sedikitpun karena telah diperas atau diambil oleh badan-badan lainnya.

Terlebih lagi jika dikaitkan dengan kinerja perparkiran yang masih sangat rendah, fenomena tarik menarik kewenangan Parkir dapat menjadi preseden yang buruk bagi perkembangan otonomi daerah. Sebagaimana diberitakan harian “Pikiran Rakyat” tanggal 10 September 2001, warga Bandung mengeluh soal perparkiran. Beberapa fenomena yang menjadi perhatian masyarakat antara lain meliputi fakta-fakta menjamurnya petugas parkir di berbagai tempat tanpa aturan yang jelas, pungutan retribusi tanpa disertai karcis tanda bukti parkir, penggunaan setiap jengkal lahan untuk keperluan parkir, status juru parkir yang diindikasikan sebagai “liar dengan sikap yang seram dan menakutkan” dan sebagainya.

Oleh karena itu, apabila gagasan menarik sebagian kewenangan parkir menjadi kompetensi Dinas Pasar dilanjutkan, dikhawatirkan akan menjadikan ironi dalam implemetasi desentralisasi semakin menjadi-jadi. Artinya, bisa jadi masyarakat menjadi tidak percaya kepada birokrasi yang selalu berkutat pada masalah input (sumber daya) dari pada berusaha memperbaiki kualitas output atau kinerjanya.

Yang menjadi pokok persoalan disini sesungguhnya adalah pola atau model kelembagaan seperti apa yang paling tepat dan efisien untuk mengelola kewenangan bidang pasar dan bidang-bidang lain yang terkait dengan urusan pasar tersebut. Dalam konteks ini, ide Dinas Pasar sebenarnya dapat diterima, namun strategi yang diusulkanlah yang kurang masuk akal. Oleh karenanya, tulisan ini mencoba memberikan alternatif kebijakan kelembagaan yang secara normatif akademis lebih mampu memacu kinerja organisasi sekaligus performa otonomi daerah secara umum.

Kompetensi dan Alternatif Institusi

Semenjak UU Nomor 22 tahun 1999 bergulir, wacana tentang kewenangan semakin ramai diperdebatkan. Dilihat dari sifatnya, kewenangan dapat diklasifikasikan menjadi dua macam.

Pertama, kewenangan relatif, yaitu kewenangan yang berkaitan dengan wilayah hukum atau administrasi suatu daerah tertentu. Dalam jenis kewenangan ini, batas wilayah memegang peranan penting, sebab semua urusan yang berada dan atau dilaksanakan pada lingkup wilayah tertentu, maka menjadi kompetensi pemerintah daerah di wilayah tersebut. Kewenangan relatif ini bersifat integrated dalam arti tidak dipisah berdasarkan sektor-sektor tertentu. Oleh karena itu, dilihat dari sudut pandang pemerintah daerah sebagai suatu sistem, model kewenangan ini mencerminkan apa yang dalam khazanah ilmu administrasi publik disebut centralized local government. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur aspek apapun sepanjang masih dalam yurisdiksi teritorialnya.

Kedua, kewenangan absolut, yaitu kewenangan yang berkaitan dengan isi atau substansi tugas-tugas pemerintahan tertentu. Dalam jenis kewenangan ini, satu lembaga tertentu menjalankan kewenangan bidang tertentu pula, namun wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah daerah otonom. Dalam kasus kewenangan parkir, BP Parkir melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa membedakan lokasi, apakah di sekitar pasar, sekolah, instansi, tempat wisata, dan sebagainya. Secara hakiki, lembaga-lembaga ini sebenarnya dapat dikatakan telah menerima dan menjalankan kewenangan otonom namun terbatas secara sektoral. Oleh karena itu, dilihat dari sudut pandang institusional, model kewenangan ini dapat disebut sebagai quasi-devolved local government. Bentuk Pemerintah Daerah yang semi terdesentralisasi ini akan menjadi fully-devolved local government jika sudah terjadi penyerahan kewenangan dari pemerintah daerah kepada masyarakat (desentralisasi tahap kedua).

Yang menjadi perdebatan adalah, model kewenangan dan kelembagaan yang bagaimana yang lebih efektif bagi pemerintah daerah? Dinas Pasar Kota Bandung, agaknya tengah berpikir pada tataran pertanyaan semacam ini. Basis pemikirannya tentu dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan prinsip better, faster, dan cheaper. Meskipun demikian perlu dipikirkan pula apakah bentuk kelembagaan yang baru itu akan membawa efektivitas secara internal atau tidak. Kalaupun Dinas Pasar merasa kurang puas dengan desain kelembagaan yang ada saat ini, dan dianggap tidak mampu memberikan pelayanan secara optimal, sesungguhnya dapat menempuh model alternatif. Dalam hal ini, format kelembagaan yang berbasis kemitraan (partnership-based institution) dapat dijadikan sebagai pilihan strategis. Pada umumnya, kita dapat memilih satu diantara dua model institusi publik berbasis kemitraan sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu model atau pola Amalgamasi Internal dan Amalgamasi Eksternal.

Pola amalgamasi internal dimaksudkan sebagai penggabungan atau integrasi beberapa unit organisasi kedalam satu wadah tertentu dalam rangka menyelenggarakan urusan yang sama atau sejenis. Integrasi tadi perlu dilakukan mengingat bahwa setiap unit organisasi memiliki kepentingan yang sama terhadap suatu urusan tertentu, atau memiliki tugas dan fungsi yang saling terkait satu dengan yang lain. Adapun yang dimaksud dengan amalgamasi internal adalah integrasi beberapa unit organisasi di suatu daerah dalam rangka menyelenggarakan urusan tertentu di daerah tersebut. Sebagai contoh, untuk menyelenggarakan urusan perparkiran yang efektif, diperlukan keterlibatan beberapa instansi seperti Dinas PU Bina Marga, Dinas / Badan Pengelola Perparkiran, Dinas Pendapatan, Bagian Hukum, Bagian Organisasi, dan sebagainya dalam suatu wadah “Badan Pembina Perparkiran”. Contoh kasus ini telah diterapkan di Kota Surabaya.

Sedangkan pola amalgamasi eksternal merupakan suatu gabungan atau integrasi unit-unit organisasi antar daerah. Beberapa daerah yang telah menerapkan konsep ini antara lain Kartomantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul), Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan), atau BKS Jabotabek (Badan Kerjasama Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi). Struktur kelembagaan, mekanisme kerja dan penggunaan factor input dari pola seperti ini sepenuhnya tergantung kepada perjanjian antar pemerintah daerah yang berkepentingan (intergovernmental agreement). Model ini paling tepat untuk menjalankan kewenangan yang bersifat lintas daerah, sehingga untuk urusan perparkiran dan pasar yang bersifat lokal, model ini kurang proporsional.


Fenomena Dinas Olah Raga Propinsi Jawa Barat


Dalam harian “Pikiran Rakyat” tanggal 19 Maret terdapat pemberitaan bahwa DPRD Jabar sangat mendukung pembentukan Dinas Olahraga sebagaimana diusulkan oleh FPOK UPI Bandung. Alasan yang dikemukakan terdiri dari tiga hal, yaitu: 1) 18 propinsi lain telah memiliki Dinas Olahraga, 2) belum adanya konsep pembinaan dan pendidikan olahraga, serta 3) Jabar pada tahun 2010 mendatang ingin tercatat sebagai propinsi olahraga.

Dalam kerangka pembentukan sistem pemerintahan yang lebih baik dan efektif pada masa mendatang, gagasan yang dilontarkan oleh anggota dewan tersebut perlu dicermati secara kritis paling tidak dari dua dimensi strategisnya. Pertama, kesesuaian dengan semangat otonomi daerah; dan kedua, kemampuan untuk mewujudkan konsep good local government. Dengan kata lain, terlepas dari perlu atau tidaknya pembentukan Dinas Olahraga, setiap kebijakan publik yang berimplikasi secara langsung maupun tidak langsung kepada penambahan beban yang harus dipikul masyarakat, harus benar-benar dikaji cost dan benefitnya.

Olahraga dan Otonomi


Dari dimensi yang pertama, dalam PP nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai daerah otonom, tidak terdapat satu pasal dan ayatpun yang menyatakan olahraga sebagai kewenangan propinsi. Asumsinya, urusan olahraga merupakan kompetensi murni dari pemerintah Kota/Kabupaten sebagai kewenangan desentralisasi. Disisi lain, mengacu kepada PP nomor 84 tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, dinas adalah unsur pelaksana pemerintah daerah yang mempunyai tugas melaksanakan kewenangan otonomi dalam rangka tugas desentralisasi (pasal 8).

Berdasarkan landasan formal tersebut, pembentukan Dinas Olahraga Propinsi mengandung beberapa resiko. Resiko pertama adalah lemahnya dasar-dasar konsiderasi dalam formulasi Perda (law making). Seperti dimaklumi, pembentukan suatu produk hukum (dari yang tertinggi hingga yang terendah) haruslah memiliki basis yuridis dan filosofis yang kuat, bahwa substansi yang diatur benar-benar penting dan beralasan untuk dituangkan dalam sebuah produk hukum tertentu. Oleh karena itu, seandainya butir-butir “mengingat” atau “menimbang” dalam Perda tentang pembentukan Dinas Olahraga mencantumkan UU Nomor 22 tahun 1999, PP Nomor 25 tahun 2000, atau PP Nomor 84 tahun 2000, hal ini jelas-jelas merupakan suatu “kekhilafan hukum”, jika tidak dikatakan sebagai penyimpangan. Sebab, sekali lagi, peraturan-peraturan tersebut tidak mendelegasikan bidang olahraga sebagai kewenangan propinsi.

Lebih dari itu, resiko yang terbesar adalah kemungkinan gugatan dari pemerintah Kota/Kabupaten dengan tuduhan bahwa pemerintah Propinsi telah melakukan tindakan abus de pouvoir (penyalahgunaan kekuasaan). Dalam khazanah ilmu hukum, terdapat tiga bentuk penyalahgunaan kekuasaan, yaitu: 1) melaksanakan kewenangan melebihi dari kewenangan yang sebenarnya dimiliki, 2) melaksanakan kewenangan secara melawan hukum, serta 3) melaksanakan kewenangan yang menjadi kewenangan pejabat/instansi lain. Dalam kasus pembentukan Dinas Olahraga, pemerintah Propinsi dapat terkena jenis penyalahgunaan kewenangan yang ketiga.

Namun jika Dinas Olahraga hendak direalisir, justru harus ditempatkan pada level Kabupaten/Kota, bukan propinsi. Kalaupun sebuah lembaga yang mengelola urusan keolahragaan di tingkat Propinsi akan tetap dibentuk, lebih tepat kiranya jika berupa Lembaga Teknis (Kantor atau Badan) yang tugas-tugasnya lebih diarahkan kepada program koordinasi, pembinaan, dan fasilitasi kepada Dinas Olahraga Kabupaten/Kota. Argumen ini sesungguhnya sangat logis mengingat pada tataran nasionalpun dewasa ini tidak ada Departemen (bahkan Kantor Menteri Negara) Olahraga dengan asumsi telah didevolusikan kepada daerah. Nah, jika kemudian dibentuk Dinas Olahraga Propinsi, akan memunculkan kesan atau kecenderungan terjadinya resentralisasi kewenangan oleh propinsi.

Good Local Government

Sementara itu dari dimensi yang kedua, ide tentang pembentukan organisasi perangkat daerah secara umum dan pembentukan Dinas Olahraga secara khusus dapat dianalisis dalam kerangka mewujudkan sosok pemerintahan daerah yang baik (good local government). Menurut World Bank Institute dalam buku The Challenge of Urban Government (2001) untuk mewujudkan pemerintahan daerah dan atau pemerintahan kota yang baik diperlukan empat syarat yaitu: livable (mampu memberi jaminan kualitas pelayanan dan kesempatan yang memadai bagi masyarakat); produktif dan kompetitif (productive and competitive); terorganisir dengan baik (well governed and well managed); serta mampu dan layak secara finansial (bankable).

Untuk lebih menyederhanakan penggolongan syarat good urban governance diatas, aspek pertama dan kedua dapat dikategorikan sebagai dimensi output, sedangkan aspek ketiga dan keempat termasuk dalam dimensi input dan proses. Pada tataran output, kinerja Dinas Olahraga akan lebih produktif dan kompetitif jika dibentuk pada level terendah suatu daerah otonom, yakni Kabupaten/Kota. Hal ini kembali kepada semangat otonomi tentang “kedekatan” lembaga publik dengan constituent yang harus dilayani. “Dogma” yang sering digunakan adalah: “semakin dekat suatu unit pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan, semakin cepat, murah dan baik pelayanan yang dapat diberikan oleh unit tersebut”. Secara konkrit dapat diilustrasikan bahwa Dinas Olahraga di tingkat Propinsi akan memiliki rentang kendali (span of control) yang sangat panjang untuk membina puluhan Kabupaten / Kota di wilayahnya serta puluhan cabang olahraga. Atas dasar pemikiran seperti ini, maka fungsi olahraga jauh akan lebih produktif jika di devolusikan kepada Kabupaten / Kota.

Disamping hal diatas, terdapat alasan lain tentang keraguan terhadap efektivitas dan produktivitas penyelenggaraan kewenangan olahraga jika dipegang oleh Propinsi. Salah satu alasan yang sangat mendasar menyangkut isi dan luas kewenangan, apakah hanya mencakup fungsi-fungsi perumusan kebijakan umum, pembinaan, pengarahan, penetapan standar kualitas sarana / prasarana, perencanaan, koordinasi, promosi, dan evaluasi; ataukah juga mencakup fungsi-fungsi teknis seperti pembibitan atlet, penyelenggaraan even / kompetisi, pembangunan / penyediaan alat dan sarana, pemberian jaminan kesejahteraan atlet dan pelatih, dan sebagainya. Jika hanya untuk melaksanakan jenis-jenis kewenangan pada kelompok pertama (yang lebih bersifat steering), pembentukan Dinas Olahraga Propinsi agaknya masih dapat ditolerir, meskipun perlu dipertimbangkan dari aspek kelembagaannya seperti akan dibahas lebih lanjut. Namun jika dimaksudkan untuk menjalankan fungsi-fungsi kedua yang lebih bersifat rowing, maka pembentukan Dinas Olahraga di tingkat Kabupaten/Kota jelas menjadi alternatif kebijakan yang lebih mantap.

Selanjutnya alasan lain tentang kemungkinan terjadinya state failure jika urusan olahraga dipegang propinsi bersumber dari pertimbangan kelembagaan. Dewasa ini paling tidak terdapat tiga lembaga pemerintah (atau semi pemerintah) yang secara bersama-sama atau sendiri-sendiri memiliki kewenangan dibidang yang sama (olahraga), yakni KONI, Pendidikan Luar Sekolah (PLS), dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah. Jika kemudian Dinas Olahraga akan dibentuk, belum terdapat kejelasan terhadap kemungkinan berikut ini:

·          Akan terdapat empat lembaga sekaligus yang bergerak di bidang keolahragaan.
·          Akan dilakukan penggabungan / merger organisasi, yakni ketiga lembaga yang sudah ada diintegrasikan menjadi Dinas Olahraga.
·          Dinas Olahraga dibentuk, sedang ketiga lembaga yang sudah ada dibubarkan (aspek kepegawaian akan disalurkan ke instansi lain).

Tiga alternatif kelembagaan (atau alternatif lain diluar ketiganya) ini beserta dampak-dampak yang mungkin timbul, harus benar-benar dipertimbangkan secara cermat sebelum memunculkan Dinas Olahraga secara formal. Kalaupun hal ini telah dilakukan, tetap saja belum mampu menjamin bahwa Dinas Olahraga Propinsi akan betul-betul mendorong prestasi olahraga di daerah yang bersangkutan.

Keunggulan atau keuntungan jika Dinas Olahraga dibentuk di tingkat Propinsi barangkali hanya menyangkut aspek input dan proses saja. Artinya, karena secara relatif pemerintah Propinsi memiliki kemampuan anggaran dan SDM (input) yang lebih baik, sekaligus memiliki kemampuan managerial yang lebih maju dan modern (proses), maka secara relatif pula kemampuan mengelola urusan olahraga akan lebih baik di tingkat Propinsi. Namun, kekurangan Kabupaten / Kota dalam hal input dan proses ini dapat diminimalisir dengan cara mendevolusikan sebagian faktor input dan prosesnya kepada Kabupaten / Kota. Dengan kata lain, devolusi urusan olahraga bersifat “paket”, yakni menyangkut kewenangan dan sekaligus sumber daya pendukungnya. Jika masih ada keengganan dari propinsi untuk menyerahkan sumber daya ini, maka akan selalu terjadi tarik menarik antara propinsi dengan Kabupaten / Kota tentang hak atau kompetensi untuk membentuk Dinas Olahraga.

Terlepas dari perdebatan tentang pada level mana semestinya Dinas Olahraga dibentuk, hal yang lebih penting adalah bagaimana melibatkan secara intensif peran swasta dalam pembinaan olahraga di daerah. Baik Propinsi maupun Kabupaten / Kota, tidak mungkin dapat menjalankan sendiri urusan olahraga secara efektif, produktif dan berkesinambungan. Oleh karena itu, yang lebih diperlukan adalah membangun konsep kerjasama dan koordinasi yang harmonis antara Propinsi, Kabupaten/Kota, pelaku bisnis (sponsor), masyarakat olahraga, dan berbagai pihak terkait. Keberadaan Dinas Olahraga mungkin memang menjadi salah satu jawaban, namun tanpa adanya upaya mensinergikan berbagai potensi kemasyarakatan, prestasi olahraga di daerah khususnya (dan juga di Indonesia secara umum) akan tetap mengalami stagnasi.


Penutup


Pemilihan format institusi publik yang tepat, diharapkan dapat menghasilkan keuntungan dalam dua dimensi, yaitu input dan output. Dari dimensi input, mekanisme kesisteman dalam tubuh pemerintah daerah menjadi lebih efektif; sementara dari dimensi output, kualitas pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik. Inilah hakikat kebijakan otonomi daerah yang ditindaklanjuti dengan proses penataan organisasi. Dengan kata lain, kebijakan desentralisasi harus menghasilkan pemerintahan yang lebih baik, dan pemerintahan yang lebih baik harus mampu menghasilkan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik pula (decentralization for better government; better government for better society). Sesuatu yang pasti adalah bahwa apapun yang dilakukan pemerintah daerah, dan apapun hasil yang dicapai, hanya masyarakatlah yang akan membuktikan, apakah pemerintah sudah dinilai serius dan berhasil dalam menjalankan otonomi (yang semestinya adalah milik masyarakat). Masyarakat pulalah yang akan menjadi indikator terbaik untuk mengukur kinerja pemerintah daerah.

Catatan:
Naskah asli paper ini dimuat dalam Jurnal Wacana Kinerja, PKP2A I LAN Bandung, edisi Juni 2002.