Senin, 19 September 2011

Makna Sebuah Asa


Apa yang kita pikirkan ketika kita hanya memiliki setetes air di padang pasir yang terik dan tandus? Atau, apa sikap kita saat menyadari bahwa kita hanya mempunyai sepercik api ditengah dingin dan gelap gulitanya malam?  

Sangat mungkin sekali kita menjadi pesimis dan putus asa, menganggap segalanya adalah akhir yang mengenaskan. Tidaklah mungkin setetes air akan menghilangkan dahaga kita, sebagaimana setitik api yang tidak mungkin memberikan penerangan dan kehangatan. Ditengah kesulitan yang sedemikian besar sementara kita tidak cukup memiliki sumber daya, sangatlah wajar jika pesimisme yang muncul. Saat pesimisme dan putus asa mengiringi kesulitan hidup dan keterbatasan sumber daya, maka yang terjadi sesungguhnya adalah kematian.  

Padahal, selalu ada harapan dibalik perjuangan panjang dan menyakitkan sekalipun. Selalu ada jalan dibalik berbagai kebuntuan, dan akan selalu muncul kemudahan dibalik setiap kesulitan. Meski hanya setetes air, bisa jadi akan dapat memperpanjang nafas kita untuk mencari sumber air yang berlimpah. Meski hanya setitik api, akan dapat dikobarkan jika kita mampu menemukan bahan bakar yang cukup.  

Ilustrasi diatas dapat dianalogikan dengan upaya memberantas korupsi. Ketika dihadapkan pada sebuah sistem kenegaraan dan tata hubungan kemasyarakatan yang sarat dengan praktik penyimpangan, mungkin membuat kita miriss. Korupsi seolah-olah telah menjadi bagian dari budaya dan gaya hidup manusia Indonesia, sehingga hampir mustahil untuk menghapus korupsi dari bumi Indonesia. Dari kacamata pesimisme, kasus korupsi yang menggurita hingga ke pori-pori dan urat nadi bangsa akan membuat kita menyerah. KPK dan alat penegak hukum lainnya mulai diragukan, pendidikan moral dan budi pekerti tidak lagi mempan, dan niat berbuat baikpun seringkali dilecehkan. 

Maka, dibutuhkan adanya cara berpikir yang positif disertai dengan optimisme bahwa mewujudkan bangsa Indonesia yang bersih, jujur, dan berkeadaban adalah sebuah kemungkinan, yang meskipun teramat kecil namun terbuka peluang untuk menjadikannya makin besar dan semakin besar. Bagaimanapun kinerja aparat dan institusi hukum saat ini, selalu ada harapan untuk perbaikan. Seburuk apapun perilaku politisi, birokrat dan pelaku usaha, selalu terbersit harapan untuk perubahan yang mengarah pada kebaikan. Sebanyak apapun kasus korupsi dan sebesar apapun kerugian negara yang ditimbulkan, selalu tersisa ruang untuk membuat perbaikan. 

Untuk melakukan perubahan tersebut, syarat awal yang dibutuhkan adalah asa atau harapan tentang kondisi ideal yang ingin dicapai dimasa depan. Tanpa sebuah asa, maka segala sesuatu tak mungkin bertenaga. Bukankah seorang petani yang rajin menyiangi sawahnya senantiasa memendam asa akan masa panen yang berlimpah dimasa depan? Bukankah seorang ibu yang menyusui bayinya siang malah disemangati oleh asa bahwa anaknya akan menjadi manusia berguna dikemudian hari? Maka, kita wajib memupuk harapan akan sebuah negara yang bersih dan bebas KKN pada suatu hari nanti. Selanjutnya, asa tadi harus diperkuat dengan kepercayaan diri bahwa harapan itu bukanlah hal yang hampa, namun sebuah kenyataan yang belum diraih. Terakhir, harapan yang kuat dan konfidensi yang tinggi akan efektif jika ditopang oleh aksi yang cerdas dan konkrit. Tiga prakondisi inilah (harapan, konfidensi, dan aksi) yang menurut saya akan menjadi kunci mewujudkan visi sebuah organisasi atau sebuah bangsa.

Dengan perspektif seperti ini, tidak ada sesuatu yang sia-sia. Termasuk adanya training PRIMA yang dilaksanakan oleh KPK, adalah sebuah aksi yang mungkin kecil, namun bisa menghasilkan efek perubahan yang besar jika dikelola dengan baik. Pengelolaan training ini dimulai sejak rekrutmen calon peserta yang harus benar-benar menghasilkan kader-kader pilihan yang berintegritas bulat dan memiliki optimisme tinggi untuk terwujudnya Indonesia yang unggul dimasa depan. Selanjutnya, pasca-training juga harus disiapkan dengan program-program nyata yang kontinyu dan terukur. Minimal, alumni training harus menjadi agent of change atau penggerak perubahan dan dinamisator lingkungan kerja yang positif.  

Saya sendiri sangat berharap dapat memerankan perubahan seperti itu. Atau paling tidak, saya ingin menjadi role model tentang sosok seorang aparatur yang berintegritas dalam pengabdian bukan hanya kepada organisasi, namun kepada Ibu Pertiwi. Keberadaan seorang warga belumlah berarti sampai ia memberikan sumbangsihnya yang utama untuk Tanah Air tercinta. 

(Catatan ini disiapkan untuk syarat wawancara mengikuti seleksi Training PRIMA KPK)
Jakarta, 24 September 2011

Ringkasan RUU Aparatur Sipil Negara (ASN)


Aparatur Negara RI terdiri dari 4,7 juta pegawai aparatur sipil negara; lebih kurang 1 juta pegawai honorer pada tahun 2009; 360.000 anggota Polri; dan 330.000 anggota TNI. Modal dasar ini jelas membutuhkan sebuah manajemen sumber daya aparatur sipil negara yang professional. Salah satu pola manajemen yang selama ini dilakukan adalah dengan menggulirkan desentralisasi kepegawaian.  

Dalam perkembangannya, desentralisasi kepegawaian berdasarkan UU No. 43/2009 telah dilaksanakan dengan semangat yang berbeda dan telah menyimpang dari semangat yang mendasari desentralisasi kepegawaian. Pembentukan PNS Daerah pada UU tersebut pada esensinya adalah untuk mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah daerah agar mampu menyesuaikan jumlah dan mutu pegawai daerah dengan fungsi dan tugas pemerintah daerah. Tapi dalam kenyataan, setelah pelaksanaan desentralisasi kepegawaian sejak tahun 2000, dari 497 kabupaten/kota dan 33 provinsi, hampir tidak ada yang melaksanakan manajemen kepegawaian dengan semangat seperti yang diharapkan, yaitu mengangkat pegawai yang jumlah, komposisi dan kualifikasinya sesuai dengan beban tugas dan fungsi daerah. 

Penyimpangan manajemen kepegawaian tidak hanya akan mengakibatkan permasalahan internal pemerintahan, namun juga berdampak pada rendahnya pelayanan publik secara keseluruhan. Padahal, keberadaan ASN sangatlah penting untuk mendukung pembangunan tata kepemerintahan demokratis dan desentralistis, serta ekonomi pasar sosial yang semakin terbuka 

Untuk itu, perlu dilakukan percepatan reformasi birokrasi birokrasi. Sayangnya, reformasi birokrasi ini berjalan lamban. Hingga tahun 2011, pelaksanaan reformasi birokrasi baru mencakup 14 kementerian dan LPNK. Pemerintah mengharapkan pada 2014 semua instansi pusat dan daerah sudah menjalankan reformasi birokrasi di instansi masingmasing. Tetapi karena dilaksanakan secara instansional, cukup banyak komponen aparatur negara yang tidak tersentuh dan tidak mengalami perubahan mendasar. Salah satu komponen aparatur negara yang kurang tersentuh program refofmasi masional adalah Aparatur Sipil Indonesia (Indonesian Civil Service). Sebagai unsur terbesar Aparatur Negara, pegawai ASN menduduki posisi penting karena sangat menentukan penyelenggaraan pelayanan publik, dan pelaksanaan tugastugas pemerintahan serta pembangunan. Namun kenyatannya, ASN belum mampu mencapai prestasi terbaik dalam pelaksanaan pelayanan dasar dan pembangunan, karena belum semua komponen pengembangan sumber daya ASN tersentuh oleh Program RB Nasional. 

Untuk menciptakan sosok aparatur yang profesional perlu diadakan adjustment dalam format ASN dengan memisahkan secara tegas antara jabatan politik (political positions) pada tiga cabang pemerintahan dengan jabatan ASN yang harus netral dari intervensi politik, termasuk pelarangan PNS menjadi pengurus dan anggota partai politik.  

Berdasarkan uraian diatas, manajemen sumber daya ASN yang diajukan dalam RUU-ASN bertujuan untuk menciptakan sumber daya ASN yang mampu mendukung secara efektif pelaksanaan strategi pelaksanaan tugastugas pemerintahan dan pembangunan nasional dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan Indonesia yang maju, makmur dan mandiri pada tahun 2025. Untuk itu, arah kebijakan dalam penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa dari perspektif manajemen sumber daya ASN adalah dengan menetapkan ASN sebagai suatu profesi terhormat yang bebas dari intervensi politik, bebas dari praktek KKN, dan memiliki kualifikasi dan kompetensi yang diatur dengan peraturan perundangundangan. Adapun RUU ASN ini mengandung ketentuan pokok tentang manajemen profesi ASN sebagai berikut: 

1.      Kelembagaan
Penyelenggara tertinggi pemerintahan negara termasuk pembinaan terhadap profesi ASN berada pada Presiden. Dalam pembinaan pegawai ASN, Presiden dibantu oleh Menteri, KASN, LAN, dan BKN dengan fungsinya masing-masing. 

2.      Pengadaan Pegawai ASN dan Pegawai Aparatur Eksekutif Senior
RUU ASN mengusulkan penerapan sistem pengadaan pegawai berbasis jabatan (position based personnel management system) dengan cara mengadakan seleksi terbuka bagi pegawai ASN. Selanjutnya perlu dilakukan pemilahan yang tegas antara pegawai ASN yang menjalankan tugas dan fungsi manajemen kebijakan dengan pegawai yang menjalankan fungsi pelayanan dasar seperti pendidikan atau kesehatan. Pegawai ASN yang menjalankan fungsi manajemen kebijakan dalam RUU ini disebut Pegawai Negara Sipil (PNS), sedangkan yang menjalankan fungsi pelayanan dalam RUU ini disebut Pegawai Tidak Tetap Pemerintah (PTTP) atau Pegawai Pemerintah (PP). Dengan kata lain, profesi ASN terdiri dari Pegawai Negara Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah (PP) yang menduduki Jabatan Eksekutif, Jabatan Administratif, dan Jabatan Fungsional pada instansi Pemerintah, pemerintah derah, dan perwakilan RI di luar negeri. PNS merupakan pegawai yang memiliki status sebagai pegawai tetap sampai pegawai tersebut berhenti sebagai PNS karena. PP adalah pegawai Aparatur Administrasi Negara yang diangkat dengan perjanjian kerja untuk waktu lebih lama dari 12 bulan untuk menjalankan tugas pelayanan publik dan atau tugas profesional.
Sementara itu, untuk menghasilkan kader pemimpin birokrasi publik secara sistematis dan berkesinambungan, RUU ASN mengusulkan pembentukan suatu Aparatur Eksekutif Senior (AES) sebagai bagian dari ASN. Pegawai AES berstatus sebagai PNS dengan golongan IV/c sampai dengan IV/f yang dipilih sebagai pegawai AES karena menonjol dalam kepemimpinan, menunjukkan keteladan dalam pengamalan nilainilai dasar ASN, berpengalaman luas dalam penyelenggaraan fungsi pemerintah diberbagai sektor, dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas dan fungsinya. Keberadaan AES diharapkan dapat mengatasi hambatan mobilitas pegawai setelah desentralisasi, sekaligus dalam rangka menjaga fungsi PNS sebagai perekat NKRI.
PNS dan PP yang memenuhi kualifikasi dan memiliki kompetensi yang diperlukan dapat mengikuti seleksi calon pegawai AES. Calon dari dunia bisnis atau organisasi nonpemerintah yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sesuai juga dapat mengikuti seleksi calon pegawai AES. Jumlah pegawai AES pada jabatan struktural eksekutif lebih kurang berjumlah 6.500 orang (Gol IV/c sampai IV/e yang menduduki eselon 1 dan 2). Pegawai Jabatan Fungsional yang menjalankan tugas penelitian dan perekayasa, perencanaan, analisis kebijakan, analisis anggaran, dan yang sejenis, juga dapat ditetapkan sebagai pegawai AES nonstruktural. Jumlah total pejabat yang dikategorikan sebagai pegawai AES pada instansi di Pusat dan Daerah kirakira berjumlah 30.000 orang. 

3.      Jabatan dan Penempatan
Kebutuhan pegawai tidak harus selalui dipenuhi dengan pengadaan pegawai baru, tetapi dapat juga dilakukan melalui penugasan pegawai dari unit lain dalam suatu instansi, melalui pemindahan antara instansi, atau melalui pemindahan antar daerah. 

4.      Promosi dan Penilaian Kinerja
Pegawai ASN berhak memperoleh pengembangan kompetensi dan promosi (dinaikkan jabatannya) secara kompetitif. Promosi pegawai ASN dilaksanakan berdasarkan hasil penilaian kompetensi, integritas, moralitas oleh Tim Penilai Kinerja Pegawai ASN. 

5.      Penggajian, Tunjangan, dan Kesejahteraan Sosial
Gaji dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Selain gaji, pemerintah daerah dapat memberikan tunjangan kepada Pegawai ASN di daerah sesuai dengan tingkat kemahalan. Selain gaji dan tunjangan, Pemerintah memberikan jaminan sosial kepada Pegawai ASN. 

6.      Pemberhentian Pegawai ASN
Pegawai ASN dapat diberhentikan dengan hormat, diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, diberhentikan tidak dengan hormat, atau diberhentikan sementara, dengan kondisinya masing-masing. Sumber pembiayaan pensiun berasal dari iuran Pegawai ASN yang bersangkutan dan pemerintah selaku pemberi kerja dengan perbandingan 1:2 (satu banding dua). Pengelolaan dana pensiun diselenggarakan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan. 

7.      Perlindungan
Pemerintah wajib memberikan perlindungan hukum serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja terhadap Pegawai ASN dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. 

8.      Hak Menduduki Jabatan Negara
Pegawai ASN yang mencalonkan diri untuk jabatan politik mengajukan permohonan berhenti sebagai Pegawai ASN sejak masa pencalonan. Pegawai ASN yang diangkat pada jabatan negara diberhentikan sementara dari jabatan yang didudukinya dan tidak kehilangan status sebagai Pegawai ASN. 

9.      Organisasi
Pegawai ASN yang berstatus PNS dapat membentuk Asosiasi Korps Pegawai ASN RI yang bersifat non-kedinasan, sedangkan pegawai ASN yang berstatus Pegawai Pemerintah dapat membentuk Serikat Pegawai Pemerintah. 

10.  Penyelesaian Sengketa
Sengketa Pegawai ASN diselesaikan melalui upaya administratif dan Peradilan Tata Usaha Negara. Upaya administratif terdiri dari keberatan dan banding administratif.


Sumber: Naskah Akademik RUU ASN, Komisi II DPR-RI, draft 25 Mei 2011.

Seri Pelayanan Publik 3: Kelas III Tetaplah Kelas III


Ketika menemani istri dirawat di sebuah RS Swasta di wilayah Tangerang Selatan, saya memiliki kesan awal bahwa RS ini telah memiliki paradigma yang berbeda dibanding RS yang lain, terutama RS Pemerintah. Karena melihat gedung yang mentereng, serta pertimbangan biaya, saya memilih Kelas III. Meskipun demikian, sekilas dapat diamati bahwa Kelas III di RS ini nampaknya lebih baik dibanding Kelas VIP di RSUD. Ruangan yang bersih dan indah, ditunjang fasilitas yang berfungsi optimal, memperkuat kesan awal saya tersebut. 

Namun, selama seminggu menempati Kelas III membuat kesan tadi berubah cukup drastis. Soal keramahan, ketulusan dan sikap/perilaku petugas, misalnya, masih ada petugas yang terkesan menjalankan tugasnya sebagai beban atau kewajiban belaka, bukan sebagai bentuk pengabdian atau ibadah. Masih ada sebagian petugas yang memancarkan aura ketidaktulusan dan hawa kurang bersahabat. Beberapa hal diantaranya adalah: 

a.     Saat istri saya dimandikan dengan cara wash-lap, hanya dilakukan di bagian depan. Ketika diingatkan oleh istri saya bahwa bagian belakang belum, dia hanya bilang “o iya, lupa”. Kesan kami, dia sengaja melakukannya dan berharap istri saya tidak mengingatkannya.
b.    Ketika salah satu bayi saya kembalikan ke ruang bayi agar dibersihkan empup-nya, salah seorang petugas sedang memberikan susu kepada bayi yang lain sehingga meminta temannya untuk membersihkan empup, tapi dengan entengnya dia hanya menjawab “iya entar”. Meski akhirnya dilakukan juga, terkesan oleh saya saat itu bahwa petugas ini sangat tidak rela membersihkan empup bayi orang lain.
c.     Sesaat setelah operasi, petugas kamar operasi memperlakukan istri saya secara kasar. Ketika istri saya minta agar mereka sedikit lebih sabar dan pelan, malahan kemudian mencubit kaki istri saya seraya bertanya: “coba apa yang saya lakukan terhadap ibu”. Tentu saja istri saya menjawab: “mencubit”. Si petugas mengira bahwa istri saya masih dalam pengaruh bius sehingga seenaknya memperlakukan pasien. Dalam kasus ini, ada dua kesalahan sekaligus yang dilakukan si petugas “brengsek” tadi, yaitu: 1) berbuat kasar dan tidak hati-hati yang mengakibatkan munculnya rasa sakit baru bagi pasien; dan 2) tidak memiliki pengetahuan media yang baik sehingga salah dalam membuat estimasi apakah pasien sudah lepas dari pengaruh bius atau belum. 

Selain itu, soal kebersihan ternyata tidak seperti yang terlihat dalam pandangan mata. Beberapa yang saya observasi diantaranya: 

a.      Entah karena Kelas II atau karena memang perawatan kurang, kamar mandi menyebarkan bau sangat menyengat yang bersumber dari sampah medik dan non-medik, atau sumber lainnya. Tidak ada pengharum ruangan di dalam kamar mandi atau kamper sama sekali. Frekuensi pembersihan-pun hanya dua kal –agi dan sore – yang menurut saya sangat tidak cukup mengingat banyaknya pasien dan keluarganya yang menggunakan kamar mandi tersebut. Mestinya, kamar mandi dibersihkan minimal setiap 2 jam sekali.
b.     Lantai ruangan juga sangat jarang dibersihkan, hanya pagi dan sore, itupun terkesan sekedarnya dan asal-asalan. Pada saat terdapat noda dari betadine atau percikan darah, sebagaimana yang kami alami di bed, juga tidak langsung dibersihkan, namun menunggu hari berikutnya. Demikian pula untuk seprei yang terkena noda atau percikan darah, tidak langsung diganti dan dibiarkan hingga hari berikutnya.
c.     Gordyn sudah nampak sangat kusut yang menandakan sudah terlalu lama tidak diganti, dan menimbulkan potensi menyimpan debu dan kotoran. 

Hal yang paling memprihatinkan adalah kenyataan bahwa RS ini masih menerapkan prinsip ketidakpercayaan terhadap pasien dan keluarganya. Pasien dan keluarganya masih diposisikan sebagai pihak yang membutuhkan RS, sedangkan RS adalah pihak yang dibutuhkan. Itulah sebabnya, sentuhan kemanusiaan masih belum terasa sama sekali. Hal ini nampak ketika dokter yang menangani istri saya sudah mengijinkan pulang sekitar jam 10, yang disusul oleh dokter anak yang mengijinkan kedua bayi saya untuk pulang sekitar jam 12.30. Namun saat itu, istri dan kedua bayi saya masih belum bisa pulang karena saya masih harus membereskan administrasi. Pada jam 13.00 saya sudah mendesak untuk membereskan administrasi, namun diminta menunggu terus sampai pihak FO (Front Office) selesai membuat perincian. Oleh karena kami sudah menunggu terlalu lama, dan pihak FO tidak juga menyelesaikan tugasnya, maka menjelang jam 15.00 saya putuskan untuk mendatangi FO. 

Semestinya, pada waktu tunggu tersebut, obat-obatan sudah diserahkan pasien/keluarganya dan diberi penjelasan seperlunya. Faktanya, pihak RS baru akan menyerahkan obat dan memberi penjelasan apabila saya sudah menyelesaikan administrasi. Dengan kata lain, obat-obatan tersebut sengaja ditahan, sementara istri dan bayi saya juga belum diperkenankan pulang (penghalusan dari kata “ditahan”) hanya karena administrasi belum selesai. Padahal, kelambatan administrasi bukan karena saya yang menunda atau minta penangguhan, tapi karena memang proses administrasi RS yang sangat lambat dan melelahkan bagi pasien dan keluarganya dalam menunggu proses tersebut. Lagi pula, sejak awal saya tidak sedikitpun menunjukkan itikad akan minta dispensasi, atau minta penangguhan, apalagi pembebasan biaya. Bahkan pada awal perawatan ketika saya mengurus Askes, sudah saya “tantang” kepada FO jika perlu saya akan titip deposit. 

Tindakan RS “menahan” pasien inilah yang sangat menyakitkan dan sangat menyinggung perasaan saya. Saya sangat tidak menyangka bahwa di era pelayanan prima berbasis humanisme saat ini, praktek buruk seperti itu masih dipraktekkan di RS yang bahkan pernah meng-claim diri sebagai RS bertaraf internasional. 

Contoh-contoh diatas mengindikasikan bahwa Visi Misi RS belum sepenuhnya terinternalisasi dalam operasionalisasi RS yang dijalankan para petugasnya. Masih banyak dibutuhkan upaya pengembangan SDM berupa building commitment, building shared-vision, building learning organization, dan sebagainya. Jika proses seperti ini tidak dilakukan, saya khawatir RS ini akan semakin kehilangan trust dari pelanggannya. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah dengan membuat survey harapan pelanggan (costumer expectation survey). Lembar feedback yang diberikan pada saat pasien pulang, sangat tidak memadai karena tidak dapat menampung sepenuhnya perasaan dan pengalaman pelanggan. Maka, diperlukan mekanisme khusus dan instrumen (kuesioner) yang lebih komprehensif untuk mengetahui harapan dan kebutuhan yang lebih mendasar dari pelanggan (what costumers really need and expect). 

Sebagai keluarga pasien yang emmang selalu berposisi lemah, saya sudah mencoba mengajukan pengaduan, namun respon yang saya peroleh sangat dibawah harapan saya. Selain tidak ada pihak/petugas yang secara khusus menangani pengaduan, atau tidak jelasnya mekanisme dan saluran pengaduan, juga sikap petugas yang terkesan lari dari tanggung jawab. Seolah-olah mereka kompak mengatakan bahwa “itu bukan urusan dan tanggung jawab saya”. Bahkan alamat email untuk menampung keluhanpun tidak mereka sediakan. 

Akhirnya, saya hanya bisa pasrah. Pasien Kelas III tetaplah Kelas III, jangan bermimpi laksana punguk yang merindukan bulan … itulah potret buram dan menyedihkan pelayanan publik yang saya alami, semoga tidak terjadi di RS lain dan pasien lain di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di Kota Tangerang Selatan L

Seri Pelayanan Publik 2: Transparansi Pelayanan Publik

Terus terang, saya sering geleng-geleng kepala dengan resistensi RS Swasta besar untuk memajang tarif secara terbuka kepada customer-nya. Padahal, unit pelayanan sekelas Puskesmas saja berani memampangkan kebijakan tarif apa adanya di tempat-tempat yang mudah dilihat oleh siapapun.  

Seperti pengalaman yang saya alami sendiri (lihat catatan sebelumnya: Seri Pelayanan Publik 1). Ketika saya merasa janggal dengan kuitansi yang saya terima, saya mencoba meminta SK Direktur tentang Penetapan Tarif Jasa Kesehatan, untuk memastikan bahwa tarif yang tertera dalam kuitansi benar-benar sesuai dengan tarif yang tertuang dalam produk hukum yang dikeluarkan oleh pejabat RS yang berwenang. Namun yang saya peroleh adalah penolakan dari pihak Front Office dan Bagian Keuangan. Mereka tidak mau memberi informasi dengan alasan daftar tarif bersifat rahasia dan hanya untuk kalangan internal. Nampak sekali bahwa mereka tidak paham sama sekali kebijakan nasional di bidang pelayanan publik seperti UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik, UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, atau UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. 

Maka, alangkah baiknya bagi setiap penyelenggara maupun pelaksana pelayanan publik untuk memahami benar peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kewajiban untuk menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas pelayanan. Disini saya kutipkan beberapa pasal dari beberapa UU yang menurut saya mutlak harus dipahami oleh seluruh unit pelayanan yang bergerak di bidang jasa apapun. 

1)      UU No. 25/2009 pasal 15, penyelenggara pelayanan publik berkewajiban antara lain:
·       Menyusun dan menetapkan standar pelayanan;
·       Menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan;
·       Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
·       Membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya;
·       Dan lain-lain. 

2)      UU No. 25/2009 pasal 18, masyarakat berhak antara lain:
·         Mengetahui kebenaran isi standar pelayanan;
·         Mengawasi pelaksanaan standar pelayanan;
·         Mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;
·         Dan lain-lain. 

3)      UU No. 14/2008 pasal 2, asas dan tujuan keterbukaan informasi publik:
·      Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.
·       Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
·       Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
·      Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan UU, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. 

4)      UU No. 14/2008 pasal 4, hak pemohon informasi publik:
·       Setiap orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan UU ini.
·       Setiap orang berhak:
o     Melihat dan mengetahui Informasi Publik;
o   Menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik;
o     Mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau
o     Menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
·      Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan permintaan Informasi Publik disertai alasan permintaan tersebut. 

5)      UU No. 8/1999 pasal 7, kewajiban pelaku usaha antara lain:
·       Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
·       Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
·       Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
·      Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 

Jika penyelenggara dan pelaksana pelayanan belum memahami peraturan-peraturan seperti itu, maka dapat dipastikan bahwa kualitas pelayanan yang diberikan akan berada dibawah standar (below average). Jika excellent service didefinisikan sebagai kepuasan yang melampaui harapan awal pelanggan (exceeding expectation services), maka unit pelayanan yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan akan sangat sulit masuk kategori Service Excellence 

Selain masalah transparansi dan akuntabilitas, unit-unit pelayanan publik di Indonesia juga relatif lemah dalam hal dasar hukum penetapan tarif. Dalam kasus yang saya alami diatas, ketentuan tarif tidak dituangkan dalam sebuah produk hukum formal, misalnya dalam bentuk Keputusan (beschikking). Ketika saya tanyakan kepada petugas Costumer Service apa bentuk hukum yang mengatur, dia tidak menjawab dan hanya menunjukkan kop yang bertuliskan “Laporan Master Tarif”. Dokumen seperti ini menurut hemat saya adalah laporan administratif belaka, yang jelas tidak memiliki kekuatan hukum bagi pihak luar (pelanggan) dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan mengikat (bound).  

Dari pengalaman diatas, saya berani mengambil kesimpulan bahwa reformasi pelayanan publik masih membutuhkan waktu yang teramat panjang. Sepanjang transparansi dan akuntabilitas masih dipandang sebagai “momok” bagi penyelenggara maupun pelaksana pelayanan, maka sepanjang itu pula bangsa ini akan selalu berada dalam pola pelayanan publik yang menjengahkan … L

Seri Pelayanan Publik 1: Kebijakan Penetapan Tarif (Pricing)

Belum lama ini saya menggunakan jasa sebuah rumah sakit swasta yang cukup besar dan mewah di wilayah Tangerang Selatan. Jasa layanan yang saya gunakan memang agak berat, yakni pengobatan anemia (kurang darah) sekaligus persalinan istri saya yang mengandung bayi kembar sehingga harus dilakukan secara Cesar. Meski saya menyadari bahwa biaya yang harus saya keluarkan cukup besar, namun tetap saja membuat saya sangat terkejut ketika tagihan yang disodorkan kepada saya mencapai Rp. 30 juta lebih untuk jangka perawatan selama 1 minggu. 

Karena saya merasa tarif tersebut kurang realistis dan tidak masuk akal, saya mencoba membaca rincian kuitansi yang saya terima. Dari sinilah saya bertanya-tanya, bagaimanakah sesungguhnya cara lembaga pelayanan menentukan tarifnya? Jangan-jangan tidak ada standar teoretik atau rujukan normatif yang digunakan, sehingga tarif ditetapkan asal-asalan. Saya juga berpraduga bahwa unit-unit pelayanan di Indonesia belum memahami hakikat pelayanan publik, serta memandang pelanggan sebagai sumber keuntungan finansial belaka, bukan sebagai mitra institusi yang harus diposisikan diatas kepentingan jangka pendek.

Jika benar dugaan saya bahwa tarif pelayanan publik belum dikalkulasi secara rasional dan obyektif, maka wajarlah jika biaya pelayanan publik di Indonesia saat ini masih teramat mahal. Bukan hanya pelayanan RS, pelayanan di sektor lain seperti pendidikan, air bersih, listrik, bahkan pelayanan Akta Kependudukan sekalipun masih relatif mahal.  

Dalam konteks pelayanan rumah sakit, saya memiliki sebuah hipotesis bahwa mahalnya biaya rumah sakit terjadi karena adanya indikasi pungutan ganda (double tariff). Sejak awal saya percaya bahwa tarif haruslah bersifat tunggal, yakni hanya untuk membiayai suatu jenis layanan tertentu. Sebagai contoh, ketika melakukan kontrol rutin atas kehamilan istri saya, tarif resmi adalah Rp 150 ribu untuk dokter dan Rp 30 ribu untuk biaya administrasi. Obat-obatan (jika ada) akan dibayar secara terpisah. Apakah dokter akan menggunakan USG 2 dimensi maupun sekedar konsultasi lisan, tarifnya sama.  

Nah, saat saya membaca rincian kuitansi tadi, terperanjatlah saya dengan adanya item-item tarif “sewa” seperti sewa selimut, sewa alat resusitasi, biaya penggunaan ruangan operasi, dan pungutan lain yang sejenis. Dalam pemahaman saya, pengadaan alat-alat kesehatan seperti selimut atau alat resusitasi adalah bentuk investasi rumah sakit. Demikian pula pembangunan gedung atau ruangan, adalah modal awal agar rumah sakit tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Investasi ini diambilkan dari bagian keuntungan yang diperoleh dari penjualan jasa kesehatan RS kepada pasien/pelanggannya. Oleh karena itu, menurut akal sehat saya, pelanggan (pasien) tidak boleh dibebani tarif ganda, yakni tarif terhadap pelayanan kesehatan sekaligus tarif untuk menyewa alat-alat kesehatan atau sewa ruangan.  

Sekedar analogi, dalam pelayanan jalan tol oleh PT Jasa Marga tidak ada tarif apapun selain tarif resmi penggunaan jalan tol tersebut. Investasi dalam bentuk pelebaran jalan, pemasangan marka dan rambu jalan, patroli, dan sebagainya, tidak lagi dibebankan kepada pengguna jasa. Demikian pula jika mobil pelanggan macet di tengah jalan tol, maka diberikan layanan derek mobil secara gratis. Bahkan jika terjadi kecelakaan, pihak PT Jasa Marga masih memberikan santunan kepada korban. Analogi lain yang lebih sederhana, jika kita membeli Pizza Hut melalui delivery service, kita cukup membayar harga Pizza Hut yang kita pesan dan tidak ada tambahan ongkos sewa kendaraan yang digunakan untuk mengantar pesanan kita ke rumah. Pelayanan penyambungan jaringan listrik oleh PLN juga tidak ada komponen sewa tiang listrik. 

Jika dugaan saya tentang adanya tarif ganda ini benar, maka sesungguhnya telah terjadi praktek Pungli (pungutan liar) di RS ini. Ironisnya, hal seperti ini nampaknya sudah berlangsung sejak lama dan mungkin pemerintah (cq. Kementerian Kesehatan) juga tidak menyadarinya dengan berdalih bahwa wewenang menetapkan tarif berada pada manajemen RS yang bersangkutan. Dan lebih ironis lagi, aparat pemeriksa keuangan sekelas BPK ternyata juga tidak memiliki wewenang untuk melakukan audit terhadap institusi swasta. Manajemen swasta nampaknya masih begitu “merdeka” untuk menetapkan tarif tanpa disertai dengan transparansi dan akuntabilitas yang memadai.  

Dalam situasi seperti ini, kembali rakyat yang dirugikan, dan entah kapan rakyat kita benar-benar “merdeka” dari praktek eksploitasi yang tidak kentara (disguise exploitation). Di era reformasi ketika – katanya – pelayanan publik adalah segala-galanya, dan dikala peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan publik atau perlindungan konsumen telah berjalan, tetap saja rakyat masih terengah-engah memperjuangkan haknya untuk dilayani. Perlukah kita membentuk Public Service Watch meski sudah ada YLKI atau Komisi Ombudsman? Entahlah … gelap rasanya melihat praktek pelayanan publik saat ini … L