Jumat, 30 Mei 2014

Tentang "Bertanya"



Dalam artikel sebelumnya berjudul “Kreativitas: Bawaan Lahir atau Produk Kreatif?” sudah saya jelaskan bahwa salah satu cara untuk menjadikan kreativitas sebagai sebuah tradisi atau budaya adalah dengan bertanya. Ya, kemampuan bertanya selalu menunjukkan kemampuan analisis dan aktivitas berpikir kreatif dari seseorang. Bertanya adalah situasi dimana seseorang memiliki rasa ingin tahu (curiosity) tentang sesuatu, sedangkan rasa ingin tahu itu adalah pintu gerbang pengetahuan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa segala bentuk kemajuan ilmu dan teknologi yang kita rasakan saat ini bermula dari pertanyaan kecil yang disusul oleh pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ketika kita sudah mampu menjawab sebuah pertanyaan, pada hakekatnya saat itulah kita telah mendapatkan pengetahuan baru. Bertanya juga merupakan titik awal dari sebuah perubahan besar. Inilah yang dikatakan oleh Martin B. Kormanik, Presiden dan CEO dari perusahaan OD System dengan kalimatnya “Change begins with inquiry”. Tidak ada perubahan yang terjadi tiba-tiba, melainkan didahului oleh sebuah proses identifikasi ketidakpuasan atas kondisi sebelumnya, harapan akan kondisi yang lebih baik, serta rasa penasaran tentang bagaimana perubahan tersebut dapat dilakukan.

Bahkan, bertanya juga dapat menyelamatkan sesuatu dari kehancuran. Sebagai contoh, percayakah anda atau kita semua jika disebutkan bahwa faktor penyebab tenggelamnya Titanic atau meledaknya pesawat ruang angkasa Challenger adalah ketidakberanian para insinyurnya untuk bertanya? Statement terakhir ini nampak berlebihan. Sayapun sebelumnya tidak yakin akan kehebatan bertanya (the power of asking) hingga saya menemukan buku berjudul “Leading with Question: How Leaders Find the Right Solutions by Knowing What to Ask” karya Michael J. Marquardt (2014, John Wiley and Sons).

Dalam buku itu dijelaskan panjang lebar bahwa pada kasus Titanic atau Challenger, sebagian orang merasa khawatir bahwa merekalah satu-satunya orang yang menaruh perhatian terhadap sesuatu (ternyata belakangan diketahui bahwa banyak orang yang memiliki perhatian yang sama). Sebagian yang lain ingin mengajukan pertanyaan, namun mereka merasa bahwa pertanyaannya sudah terjawab pada pikiran orang lain, sehingga jika dia tetap bertanya malah dianggap sebagai pertanyaan bodoh. Mereka khawatir dianggap tidak mampu mengikuti pemikiran koleganya. Dalam investigasi tenggelamnya Titanic terungkap bahwa para perencana dan pembuat kapal tersebut memiliki kekhawatiran dengan struktur dan sistem keselamatan kapal, namun tidak berani menyatakannya. Mereka berpikir bahwa jika para ahli dan teknisi yang lain tidak mengemukakan kekhawatiran yang sama, berarti semuanya dalam keadaan sempurna. Celakanya, kekhawatiran dan ketidakberanian mengungkapkan kekhawatiran seperti ini menghinggapi banyak orang dalam pembuatan dan pelayaran Titanic. Akibat dari itu semua adalah tragedi yang sangat fatal, yakni lenyapnya nyawa lebih dari 1.500 orang di lautan Atlantik pada tanggal 14 April 1912.

Masalah serupa terjadi pada peristiwa meledaknya pesawat ulang alik Challenger pada tanggal 28 Januari 1986, hanya 73 detik setelah diluncurkan. Ternyata, hasil penyelidikan membuktikan adanya mis-komunikasi antara NASA, Morton Thiokol Inc. (MTI), dan Marshal Space Center (MSC). MTI, kontraktor yang bertanggungjawab dalam pembuatan komponen yang gagal pada saat peluncuran, sangat tergantung pada MSC dalam kesepakatan kontrak, sementara MSC sendiri tergantung pada NASA untuk aspek pembiayaan. Sekitar dua tahun sebelum peristiwa naas itu, MTI sudah menyadari kemungkinan terjadinya masalah pada O-ring, sebuah komponen yang berfungsi untuk mencegah lepasnya booster pada roket yang mengakibatkan kebakaran pada lubang tangki bahan bakar. Para insinyur MTI sudah melakukan pengujian ulang dan menemukan bahwa O-ring tadi memang tidak layak, terutama ketika temperatur turun hingga 53 derajat. Namun mengapa Challenger tetap diluncurkan pada suhu 36 derajat? Ternyata mereka takut mengungkapkan keraguan mereka, bahkan takut untuk bertanya sekalipun.

Satu pelajaran lagi tentang arti penting bertanya dapat disimak dari invasi militer AS ke Kuba tahun 1961 yang terkenal dengan penyerangan Teluk Babi (Bay of Pigs Invasion). Invasi tersembunyi ini melibatkan lebih dari 1.400 tentara yang jauh melebihi jumlah yang dibutuhkan. Kurangnya dukungan udara, amunisi, dan rute untuk pelarian, telah mengakibatkan situasi yang amat sulit bagi para penyerbu sehingga lebih dari 1.200 orang menyerah sedangkan yang lainnya tewas. Presiden JFK yang mengambil keputusan sampai mengeluarkan pernyataan: “How could I have been so stupid?” Peristiwa yang sangat memalukan bagi bangsa Amerika ini terjadi karena para penasihat utama Presiden tidak mau memberi pertimbangan yang berbeda karena takut dianggap mengganggu persetujuan kelompok. Sebelum keputusan diambil, salah seorang penasihat JFK yakni Arthur Schlesinger sebenarnya memiliki keberatan terhadap rencana penyerangan, namun hal itu ditekan dalam pertemuan tim. Jaksa Agung Robert Kennedy menegur Schlesinger untuk mendukung keputusan Presiden. Beberapa bulan setelah kekalahan AS dalam tragedi Teluk Babi itu Schlesinger menyesal dan mengatakan: “Saya begitu mengutuk diri saya sendiri karena tidak berani berbicara pada saat genting di ruang kabinet” (I bitterly reproached myself for having kept so silent during those crucial discussion in the cabinet room).

Tiga peristiwa diatas memberi pelajaran nyata betapa berharganya sebuah pertanyaan, keraguan, sikap berbeda pendapat, dan keberanian mengemukakan gagasan. Menurut saya pribadi, tidak ada pertanyaan bodoh atau pertanyaan konyol; yang ada adalah sudut pandang yang berbeda dalam melihat sesuatu sehingga sebuah pertanyaan dari seseorang terdengar aneh bagi orang lain. Oleh karena itu, dari sisi individu harus dihilangkan rasa sungkan, malu, atau takut untuk bertanya. Sedangkan dari sisi lingkungan, harus diciptakan iklim kerja yang menghormati pendapat orang lain, menghargai perbedaan, serta mendorong diskusi yang saling melengkapi, saling memperkuat, dan saling mengkonfirmasi. Sejak blunder kebijakan pada peristiwa Teluk Babi tadi, JFK sendiri mengubah proses pengambilan keputusannya dengan memberi ruang tak terbatas untuk pertanyaan, perbedaan pendapat, serta evaluasi kritis dari setiap anggota timnya.

Selama ini, “bertanya” menjadi teknik dan instrumen manajemen yang terabaikan. Ada kalanya seorang pemimpin menghindari “tanya jawab” karena kekhawatiran tidak mampu memberi jawaban yang tepat sehingga mengesankan bahwa dirinya bukanlah seorang pemimpin yang hebat. Seorang pemimpin juga enggan bertanya karena takut muncul kesan tidak lebih pandai dibanding bawahannya. Bahkan tidak jarang “bertanya” lebih diposisikan sebagai sikap yang berlawanan, mencari kesalahan/kelemahan seseorang, atau malah menyerang secara pribadi. Sementara dari sisi bawahan, keengganan untuk bertanya juga didorong oleh sikap takut menyinggung atasan, takut dianggap tidak bermutu, malu dikatakan kurang belajar, minder dengan sesama temannya, dan seterusnya. Itulah sebabnya, mengapa “bertanya” menjadi tool yang tidak disukai dan cenderung dihindari. Disamping itu, sebagai sebuah teknik manajemen, “bertanya” juga belum memberi bukti yang ampuh untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas manajemen dalam sebuah organisasi. Hal ini semakin memberi banyak alasan untuk tidak mengembangkan tradisi bertanya dalam sebuah kelompok maupun organisasi.

Padahal, masih menurut Marquardt, “bertanya” memiliki banyak sekali keuntungan, misalnya: to elicit information, to encourage full participation and teamwork, to spur innovation and outside-the-box thinking, to prompt new ideas, to empower others, to wake people up, to show people new places and new ways of doing things, to build relationship with costumers, to solve problems, to help us admit that we don’t know all the answers, to help us become more confident communicators, and more. Bahkan studi dari Center for Creative Leadership terhadap 191 eksekutif menunjukkan bahwa kunci kesuksesan seorang pemimpin adalah menciptakan kesempatan untuk bertanya, dan kemudian mengajukan pertanyaan secara lebih sering.

Tentu yang dimaksud bukan pertanyaan-pertanyaan standar seperti siapa yang bertanggung jawab atas jadual ini, siapa yang tidak mengikuti instruksi, apa masalah pekerjaan anda, atau ide siapa ini? Pertanyaan seperti ini menurut Marquardt adalah pertanyaan yang tidak memberdayakan bawahan, dan cenderung mencari kesalahan seseorang. Ada pula jenis-jenis pertanyaan yang mengandung manipulasi terselubung, seperti apakah anda tidak setuju dengan saya, bukankah anda adalah pemain dalam tim ini? dan sejenisnya. Adapun jenis-jenis pertanyaan yang dianjurkan misalnya: what needs to be done, what is right for the enterprise, atau pertanyaan yang terkait dengan pengembangan rencana aksi, pemanfaatan peluang, distribusi tanggungjawab dalam pengambilan keputusan dan komunikasi, dan seterusnya.

Ternyata, bertanya bukanlah suatu hal yang sepele meski sering disepelekan. Manfaat bertanya juga tidak sekecil seperti anggapan selama ini. Untuk itu, sudah saatnya bertanya dijadikan sebagai budaya organisasi, mulai dari lingkungan terkecil di sekitar kita. Dengan rajin bertanya, maka inovasi pun akan menjadi sebuah budaya dalam sebuah organisasi. Semoga.

Villa Melati Mas Serpong, 31 Mei 2014

Jumat, 23 Mei 2014

Menginovasi Penguatan Integritas


Kompas online edisi 23/5/2014 memuat berita menarik terkait penetapan status tersangka kepada Menteri Agama, SDA. Dalam berita itu disebutkan bahwa selama tiga tahun menjabat jadi Menteri Agama, harta SDA melonjak Rp 7 miliar, yakni sebesar Rp 24 milyar pada tahun 2012, sedangkan pada tahun 2009 saat dilantik menjadi menteri masih sebesar Rp 17 milyar. Ironisnya, meskipun memiliki harta miliaran rupiah, SDA hanya melaporkan kepemilikan satu Honda Jazz yang bernilai sekitar Rp 190 juta. 

Kebetulan sekali, sehari sebelumnya saya berada dalam satu forum dengan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas dalam rangka seminar proyek perubahan peserta Diklatpim I. Pak Busyro menjadi mentor bagi salah seorang Deputi KPK, sementara saya menjadi nara sumber. Pada kesempatan itu beliau mengemukakan bahwa LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) tidak sama dengan harta yang secara riil dimiliki oleh pelapor. Hal ini biasanya diketahui setelah seseorang menjadi tersangka, dan KPK melakukan penelusuran terhadap harta/asset orang tersebut.  

Fakta ini menyiratkan adanya ketidakjujuran dari para penyelenggara negara. Dan ketidakjujuran selalu menyiratkan ada sesuatu yang disembunyikan karena berhubungan dengan pelanggaran hukum atau etika. Nah, jika ada penyelenggara negara yang tidak melaporkan hartanya karena indikasi pelanggaran hukum atau etika, itu adalah problem besar tentang rendahnya integritas para pejabat publik kita. Selain dengan tidak melaporkan hartanya secara lengkap, problem integritas juga dapat dilihat dari tingkat ketaatan penyelenggara negara untuk menyetorkan LHKPN kepada KPK.  

Berdasarkan data yang ada, pejabat publik yang telah memenuhi kewajiban melaporkan harta kekayaannya adalah sebanyak 17,87 persen pada tahun 2011, dan meningkat menjadi 22,14 persen (2012), dan meningkat lagi 25,57 persen (2013). Ini artinya, kenaikan dalam hal ketaatan pejabat publik sangat rendah, hanya berkisar 4 persen (dari 2011 ke 2012). Memasuki tahun 2013, kenaikan tingkat ketaatan menurun menjadi hanya sekitar 3,5 persen. Jika dikaitkan dengan pembentukan KPK pada tahun 2003 atau lebih dari satu dekade yang lalu, ketaatan sebesar 25 persen adalah sebuah capaian yang sangat rendah. 

Itulah sebabnya, harus dipikirkan strategi yang lebih inovatif untuk meningkatkan tingkat ketaatan oejabat publik dalam melaporkan hartanya, sekaligus strategi memperkuat integritas. LHKPN sendiri menurut pengalaman saya sudah sangat baik dan tidak serumit pada saat awal diperkenalkan. Petugas yang melayani pelaporan LHKPN juga cukup gesit, ramah, dan terampil, meski masih perlu ditingkatkan dalam hal komitmen terhadap SOP dan upaya menjaga kedekatan dengan pelapor. Artinya, inovasi itu bukan dimaksudkan untuk memperbaiki format LHKPN-nya, melainkan lebih kepada strategi komunikasi dan instrumentasinya. 

Dalam kaitan itu, saya mengusulkan beberapa gagasan yang saya yakin akan menjadi cara baru yang lebih efektif dan inovatif untuk memperkuat integritas pejabat publik dalam pelaporan LHKPN. Pertama, perlu diciptakan sistem (baca: aturan) yang lebih memaksa pejabat untuk melaporkan. Saat ini pelaporan harta kekayaan hanya berada pada ranah etika dan himbauan, sehingga tidak ada sanksi bagi pejabat yang tidak menyerahkan KHKPN. Untuk itu, dalam perspektif kedepan LHKPN harus menjadi instrumen wajib bagi pejabat di seluruh tingkatan. Ketidakpatuhan dalam melaporkan LHKPN harus disertai dengan sanksi tertentu misalnya penundaan kenaikan pangkat, pemberian teguran tertulis, nahkan jika perlu penghentian tunjangan jabatan.  

Kedua, KPK tidak boleh menjaga jarak dengan pejabat yang wajib lapor. LHKPN adalah instrumen dalam pencegahan korupsi, bukan penindakan. Maka, pendekatan yang diperlukan tentu juga harus berbeda. Dalam aspek penindakan, petugas KPK harus menjaga jarak dengan saksi, tersangka, atau siapapun yang terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi, bahkan jika perlu selalu mengedepankan praduga bersalah (assumption of guilty). Namun dalam aspek pencegahan, semestinya KPK lebih menerapkan pendekatan yang persuasif dan interpersonal, jika perlu dilakukan kontak secara pribadi dengan si wajib lapor. Strategi humanisme yang mengedepankan prinsip praduga tidak bersalah (assumption of innocence) ini saya yakin sangat ampuh untuk menggugah kesadaran dan kesukarelaan untuk melaporkan harta kekayaannya. Strategi ini sekaligus akan mengurangi kesan KPK sebagai lembaga yang angker, seram, tidak ramah, kaku, dan tidak bersahabat. 

Selanjutnya, strategi untuk melibatkan berbagai pihak adalah pilihan yang patut ditempuh. Sebagai contoh, perlu dibuat sistem dimana KPK akan memberikan penghargaan kepada masyarakat yang mau melaporkan pejabat di sekitar tempat tinggalnya yang diindikasikan memiliki harta kurang wajar. Saat ini ada keengganan masyarakat untuk melapor karena malas berhubungan dengan KPK, atau takut dianggap sebagai fitnah, atau khawatir akan berdampak buruk bagi diri dan keluarganya, dan sebagainya. Oleh karena itu, KPK harus memastikan bahwa setiap partisipasi akan dihargai dengan insentif tertentu. Selain itu, agar imbang maka perlu dibuka sistem pelaporan tentang pejabat yang hidup serba pas-pasan. Pejabat seperti ini harus diangkat, diapresiasi, diberi perhatian khusus, serta dijadikan sebagai contoh bagi pejabat lainnya (khususnya yang hidup melebihi kepatutan) untuk menumbuhkan rasa malu.  

Pada saat yang bersamaan, stakeholder dari pemerintah, yakni K/L dan Pemda juga harus menumbuhkan sistem internal untuk menumbuhkan kejujuran, keterbukaan, dan budaya kerja berbasis integritas. Dalam kaitan ini, saya menyarankan agar KPK fokus untuk menciptakan champions pada level instansional, misalnya dengan memilih 10 persen instansi pusat dan daerah sebagai proyek percontohan pengembangan integritas. Instansi yang terpilih inilah yang diberi target dalam waktu tertentu (2-3 tahun) untuk mampu menunjukkan integritas total berupa 100 persen pejabatnya telah menyerahkan LHKPN. Setelah terbukti ada instansi yang mampu mencapai target integritas 100 persen, barulah ditularkan kepada instansi lainnya.  

Tentu masih banyak ruang-ruang inovasi untuk memperkuat integritas para penyelenggara negara. Beberapa poin diatas hanyalah tawaran yang belum dirumuskan secara akademis melalui kajian yang mendalam, melainkan hanya sebuah common sense belaka. Paling tidak, ide-ide sederhana ini diharapkan dapat memancing diskusi lebih jauh tentang perlunya langkah-langkah yang lebih cerdas, lebih jitu, dan lebih inovatif untuk membangun integritas bangsa. Sebab, integritas bukan hanya urusan etika atau urusan hukum saja, namun juga terkandung didalamnya urusan inovasi. Dengan menginovasi strategi penguatan integritas, maka tugas sistem hukum dan etika juga akan menjadi lebih mudah dijalankan, karena tidak ada lagi orang yang berani membuat LHKPN yang berbeda dengan harta yang dimiliki secara nyata. 

Jakarta, 23 Mei 2014
*lepas terdengar adzan isya’ dari ruang kerja, saatnya kemas-kemas menuju baiti jannati*

Fenomena Migrasi Politik


Ada hal menarik untuk diamati dalam hingar bingar pemilihan Presiden 2014 sekarang ini, yakni begitu mudahnya seorang politisi memindahkan dukungannya hanya karena kecewa dengan kebijakan partainya. Mahfud MD dan Rhoma Irama yang sudah diakui “berkeringat” menaikkan raihan suara PKB, akhirnya berbalik arah mendukung Gerindra hanya karena mereka gagal menjadi kandidat Presiden atau Wakil Presiden dari PKB. Begitu pula Hary Tanoesudibyo yang meninggalkan Hanura begitu saja dan berbalik mendukung Gerindra. Sebaliknya, kubu PDI-P juga memperoleh limpahan tokoh-tokoh yang tidak sejalan dengan pilihan politik ketua umum partainya. Luhut Pandjaitan dan Fahmi Idris sudah menyatakan mundur sebagai anggota Dewan Pembina Partai Golkar untuk mengalihkan dukungan kepada kubu Jokowi. Wanda Hamidah  juga menyatakan sakit hatinya gara-gara PAN berkoalisi dengan Gerindra. Terakhir dari Partai Demokrat yang selama ini nampak seperti menikmati peran sebagai penonton, beberapa peserta konvensi dan petinggi partainya seperti Anis Baswedan dan Suaidi Marasabessy sudah menyatakan keberpihakannya kepada salah satu kandidat, yakni Jokowi-JK. Fenomena inilah yang saya sebut sebagai fenomena migrasi politik, dimana terdapat arus perpindahan basis dukungan dari satu tempat ke tempat lainnya. 

Memang benar bahwa soal dukungan ke capres/cawapres adalah hak individu, terlebih jika individu tadi warga negara biasa yang bukan tokoh partai. Namun bukankah partai memiliki kebijakan yang idealnya diikuti anggotanya, sebagaimana negara memiliki peraturan yang harus ditaati oleh warganya? Bahkan dalam keluarga-pun ada tata nilai yang harus dijunjung tinggi dan dihormati bersama. Maka agak naif seorang tokoh partai yang pernah menjadi pejabat negara lebih dari satu posisi menyatakan bahwa sikapnya yang berseberangan dengan haluan partainya adalah hak pribadinya.  

Tentu semua orang akan sangat menghormati sikap dan pilihan politik seseorang. Namun dalam pandangan saya, sikap yang begitu mudah berubah hanya karena kekecewaan yang menyangkut posisi dirinya, hanya menunjukkan sikap kekanakan dan kurang matangnya jiwa politik mereka. Meskipun pada umumnya mereka menyatakan bahwa pilihan itu adalah upaya mereka berkontribusi untuk Indonesia yang lebih baik, rakyat bisa membaca motif yang sesungguhnya dibalik pernyataan normatif mereka. Satu hal yang saya belum bisa memahami, bagaimana mungkin mereka meninggalkan begitu saja rumah (baca: partai) yang turut mereka bangun sekaligus yang telah membersarkan nama mereka? Itulah sebabnya, saya memandang bahwa para migran politik itu adalah mereka-mereka yang tidak memiliki loyalitas dan integritas terhadap organisasi. Tidak terhindarkan untuk mengatakan bahwa ada pamrih pribadi dibalik setiap perjuangan mereka selama ini. Begitu pamrih itu tidak mereka dapatkan, maka mereka dengan mudahnya mencampakkan organisasinya. 

Lucunya lagi, meskipun mereka beralih ke parpol lain, mereka juga tidak mendapatkan yang mereka inginkan. Jika Mahfud MD dan Rhoma Irama pindah haluan harena gagal menjadi capres/ cawapres PKB, merekapun tidak mendapatkan posisi itu di kelompok barunya. Baik di partai induknya maupun di kubu barunya, mereka memang tidak diposisikan sebagai capres/cawapres karena kalah dalam kompetisi politik dengan kandidat lainnya. Dengan demikian, pada hakekatnya mereka mencari sesuatu yang tidak hilang. Mereka hanya ngambek dan ingin menunjukkan protes terhadap institusi induknya yang tidak memenuhi hasrat politiknya. Sikap ngambek seperti inipun kemungkinan besar akan muncul lagi saat mereka menerima fakta baru yang tidak memuaskan harapannya. Kasus Hary Tanoe yang berpindah dari Partai Nasdem ke Hanura dan berpindah lagi ke Gerindra, membuktikan loyalitas semu dan sesaat dari jajaran politisi di tanah air. Motif berpolitik mereka menjadi kabur dan abu-abu, dan platform perjuangan mereka menjadi sumir. Yang terjadi kemudian adalah gejala munculnya para oportunis politik yang tidak berideologi. 

Fenomena migrasi politik ini memberi pelajaran berharga buat bangsa Indonesia bahwa persoalan nasionalisme sejatinya menjadi akar masalah kebangsaan kita. Jika para politisi yang relatif sudah hidup sejahtera saja tidak memiliki loyalitas terhadap organisasi, bagaimana mungkin kita menuntut loyalitas terhadap para pegawai dan orang-orang yang masih berpikir soal kebutuhan dasarnya? Jika para elite tadi tidak memiliki patriotisme terhadap institusi, bagaimana mungkin mereka memiliki patriotisme terhadap tanah air? Sebelum bisa mengatakan dengan gagah berani bahwa “baik atau buruk bangsa ini, Indonesia tetaplah negeri yang akan saya bela”, semestinya mereka bisa mengatakan bahwa “baik atau buruk partai ini, ia adalah partai yang akan selalu saya bela”. Nah, kalimat seperti inilah yang sangat langka dalam dunia politik kita. Seolah-olah politik hanyalah ladang “bercocok tanam” untuk mendapatkan panen bagi dirinya, bukan ladang pengabdian untuk rakyat banyak. 

Semoga saja akan segera ada migrasi balik yang akan menjadi tontonan indah bagi masyarakat. Dalam iklim demokrasi yang belum dewasa dan belum terkosolidasi seperti saat ini, keberadaan tokoh-tokoh politik yang bisa menjadi suri tauladan bagi rakyat akan menimbulkan perasaan damai, jauh dari nuansa persaingan yang tidak sehat. Jika para tokoh tadi tidak bisa menjadi contoh yang baik, kepada siapa lagi rakyat Indonesia akan berharap? 

Jakarta, 23 Mei 2014.

Kamis, 22 Mei 2014

Inovasi dan Inpres Nomor 4/2014



Membicarakan inovasi dari perspektif penghematan anggaran dan pemotongan program adalah sesuatu yang mengasyikkan dibalik kegetiran. Asyik, karena inovasi itu bisa tumbuh dimanapun, bahkan di iklim tergersang atan tanah tertandus sekalipun. Bahkan banyak fakta bicara bahwa inovasi justru lebih subur dan berkembang di sebuah lingkungan yang serba sulit dan terbatas. Situasi kesulitan itulah yang menjadi pemantik ide-ide kreatif sebuah masyarakat. Sebagaimana dikatakan Peter F. Drucker, salah satu sumber inovasi itu adalah situasi incongruities, yakni situasi dimana ada dua tuntutan yang bertolak belakang. Sebagai contoh, disatu sisi kita dihadapkan pada sumber daya (termasuk anggaran) yang sangat minim, namun disisi lain organisasi dan bangsa kita membutuhkan inovasi yang lebih banyak, lebih cepat, lebih bervariasi, dan lebih berkualitas. Situasi seperti inilah yang justru sangat kondusif untuk bersemi dan bersemainya inovasi.

Dengan cara berpikir seperti ini, maka lahirnya Instruksi Presiden No. 4/2014 tentang Penghematan dan Pemotongan Belanja K/L Dalam Rangka Pelaksanaan APBN 2014, boleh disambut dengan optimis bahwa minimnya anggaran tidak akan mempengaruhi secara negatif semangat menghasilkan banyak perubahan dan pembaharuan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi.

Untuk diketahui, dengan Inpres No. 4/2014 tadi pemerintah ingin melakukan penghematan sebesar Rp 100 triliun dengan memotong anggaran instansi di tingkat pusat (kecuali Bawaslu, KPU, dan Kemdikbud). Konsekuensinya jelas bahwa program kerja yang sudah direncanakan harus dibatalkan. Kalaupun bisa dilakukan, otomatis akan mengurangi volume kerja, mengurangi IKU (indikator kinerja utama), dan mengurangi output pekerjaan. Dengan pengurangan IKU, volume dan output pekerjaan tadi, maka logikanya pemerintah tidak bisa mencapai visinya. Ini berarti pula bahwa pemerintah relatif gagal memenuhi tugas dan kewajibannya. Bayangkan saja, ketika anggaran Kementerian PU dipotong sebesar Rp 22 triliun lebih, berapa infrastruktur yang semestinya dapat dinikmati oleh rakyat harus ditunda, untuk tidak mengatakan dibatalkan? Bayangkan pula, ketika anggaran Kementerian Pertahanan dipangkas lebih dari Rp 10 triliun, bagaimana bangsa ini bisa meremajakan teknologi militernya? Seorang teman berkelakar bahwa boleh jadi militer kita akan kembali mengandalkan senjata tradisional berupa bambu runcing dan ketapel untuk menjaga kedaulatan bangsa ini. Itu baru sedikit contoh dari situasi kritis yang dihadapi oleh setiap instansi yang mengalami nasib sama berupa pemotongan anggaran.

Itulah sebabnya, Inpres tadi juga membawa kegetiran yang cukup menyayat. Disaat negara-negara lain semakin memperbesar anggaran untuk penelitian dan inovasi, negara kita malah memangkas secara besar-besaran. Disaat negera lain sudah menghasilkan beraneka ragam inovasi, kita semakin banyak menggunakan inovasi mereka. Mimpi mewujudkan perekonomian Indonesia yang maju berbasis inovasi pada tahun 2025 sebagaimana dirumuskan oleh Komite Inovasi Nasional (KIN), nampaknya harus segera dikoreksi.

Faktanya, meski idealnya inovasi itu tidak tergantung pada besaran biaya, namun realita berbicara lain. Pemotongan anggaran yang berimplikasi pada pemotongan program kerja dan pemotongan IKU dan output program, secara faktual membuktikan korelasi tegak lurus antara anggaran dengan program dan output inovasi. Anggaran adalah “faktor produksi” yang memungkinkan pengolahan input menjadi output. Anggaran juga memberi keleluasaan bagi pengelolanya untuk menentukan strategi, mekanisme, maupun pemilihan metode untuk menghasilkan output tadi. Maka, tanpa adanya anggaran, faktor produksi menjadi berhenti. Kalaupun proses produksi tetap berjalan, pasti tidak akan seefektif jika didukung dengan anggaran yang memadai. Oleh sebab itu, pemerintah harus siap dengan “harga yang harus dibayar” dengan kebijakan berupa pemotongan tadi, yakni kemungkinan menurunnya kinerja instansi pemerintah.

Meskipun tidak bisa dihindarkan adanya pengaruh faktor anggaran terhadap program riset dan/atau inovasi, namun para pelaku riset dan inovasi harus tetap yakin bahwa innovation never die. Dalam kondisi sulit dan terjepit, inovasi harus semakin melangit. Mentalitas seperti inilah yang harus dimiliki oleh para innovator, sehingga kendala, hambatan, dan segala bentuk permasalahan tidak dipersepsi sebagai penghalang, melainkan sebagai pemacu untuk berinovasi. Hal ini tentu sangat berat, meskipun bukan sesuatu yang mustahil. Saya yakin bahwa motivasi untuk berinovasi dan motivasi untuk maju (needs for achievement) akan menjadikan segala bentuk rintangan terasa lebih ringan dan mudah dihadapi.

Jakarta, 22 Mei 2014.