Minggu, 25 Oktober 2015

Dinamika Kontemporer Administrasi Publik di China: Oleh-oleh dari EROPA Conference 2015



Saya beruntung mendapat kesempatan mengikuti konferensi EROPA (Eastern Regional Organization for Public Administration) di Shanghai, 17-21 Oktober 2015 di Shanghai, China. Beruntung karena peluang seperti ini belum tentu bisa diperoleh dalam kurun 2-3 tahun. Lebih beruntung lagi karena momentum konferensi seperti ini selalu membuka wawasan tentang dunia yang baru, sistem sosial-politik-ekonomi-pemerintahan yang berbeda, praktek manajemen yang berlainan, dan sebagainya. Meskipun kesan “gado-gado” tidak bisa terhindarkan, dan meskipun tidak semua presentasi bisa kita ikuti, namun tetap saja banyak insights baru atau inspirasi yang bisa dipetik. Diantara banyak kasus yang dipaparkan, saya menaruh perhatian khusus terhadap geliat China yang begitu progresif. Dari forum ini saya berharap bisa menemukan kata kunci dari keberhasilan China di berbagai bidang. Dan meskipun pada akhirnya kata kunci itu tidak saya temukan, minimal ada sedikit pembelajaran dari negeri raksasa ekonomi dunia ini.

Selama ini, China terkenal sebagai negeri komunis yang sangat otoriter dan cenderung menutup diti dari gerakan perubahan, terutama di bidang politik. Demokrasi, kapitalisme, hak asasi manusia, kebebasan, dan konsep-konsep sejenisnya, merupakan hal yang asing atau sengaja diasingkan. Masih kita ingat kasus demonstrasi massa di lapangan Tiananmen tahun 1989 yang berakhir tragis karena menuntut keran demokrasi yang lebih luas di China.

Namun dalam bidang ekonomi dan administrasi publik, cukup banyak program reformasi yang telah dijalankan dan memberi hasil cukup signifikan. Proses transformasi yang telah diinisiasi sejak tiga dekade ini menurut Gao Xiaoping, Wakil Presiden dan Sekjen Chinese Public Administration Society (2015) telah menghasilkan 3 (tiga) perubahan besar, yakni:

1.      Pemerintah menggeser fokusnya dari penyelenggaraan tugas-tugas mikro menjadi manajemen makro, pelayanan publik, perumusan kebijakan, dan pemeliharaan ketertiban (from micro invention to macro management, public services, rule formulation, and justice preserving). Implikasi dari perubahan orientasi ini adalah berkurangnya jumlah persetujuan administratif yang diberikan, dari 5.000 menjadi hanya 1.000.[1]
2.      Kelembagaan pemerintah juga berubah dari kondisi sebelumnya yang berlebihan jumlah pegawainya serta saling tumpang tindih, menjadi kelembagaan yang lebih ramping, terpadu, dan teratur (from overstaffed and redundant to simplified, integrated, and regulated government institution). Hasil dari perubahan ini adalah berkurangnya jumlah kementerian dari 52 menjadi hanya 25 saja.[2]
3.      Perilaku dan budaya kerja pegawai berubah dari sebelumnya tertutup, inefisien, dan tidak terorganisir dengan baik menjadi lebih tertata, transparan dan efisien (from disordered, closed, inefficient to well-ordered, transparent, and highly-efficient). Salah satu wujud perubahan ini adalah terbentuknya pusat layanan pemerintah sebanyak 3.000 buah, dari sebelumnya tidak ada sama sekali.[3]

Ada beberapa logika atau dasar pemikiran dari dilakukan transformasi diatas, diantaranya adalah: 1) menciptakan hubungan yang lebih baik antara pemerintah, pasar, dan masyarakat madani; 2) pemerintah yang mengatur pasar, dan pasar yang akan mengelola perusahaan; 3) pemerintah mengelola organisasi sosial, dan organisasi sosial itu yang akan mengelola warga masyarakat. Ketiga logika ini mengilustrasikan bahwa pemerintah China ingin membangun interaksi yang lebih seimbang dan sinergis antar pilar government, business/market, dan society.

Selanjutnya, dalam model baru interaksi antar pilar tadi didorong terciptanya 8 (delapan) prinsip kombinasi untuk menciptakan keseimbangan, yakni antara keterbukaan dengan efisiensi (balance between openness and efficiency); antara kepemimpinan CPC (Partai Komunis China) dan pemerintah dengan elemen lain dalam pengambilan keputusan yang menyangkut urusan publik (combine the leadership of the Party and the government with participation of multiple subjects in decision-making on public affairs); antara kebebasan berpikir dan berusaha dengan menjaga kohesi sosial (combine freeing minds, liberating productive forces, and stimulating social vitality); antara desain tingkat tinggi dengan upaya bertahap dari bawah (combine top-level design with step-by-step advancing); antara reformasi dan pembangunan dengan stabilitas (combine reform, development, and stability); antara peran pasar, masyarakat dan kepastian hukum dalam kebijakan alokasi sumber daya dengan fungsi pemerintah yang semakin baik (combine the decisive role of market, society and rule by law in resource allocation with better functioning of the government); antara kehidupan modern yang bersumber dari sistem hukum dengan nilai-nilai tradisional yang bersumber dari budaya dan kearifan lokal (combine modern rule by law with traditional rule by virtue, combine decentralization with strengthening management); serta antara manajemen rutin dan manajemen resiko dengan manajemen krisis (combine routine management, risk management, and crisis management).

Adanya keseimbangan antar nilai diatas menunjukkan bahwa China sudah mulai terbuka terhadap aneka ragam perubahan, namun pada saat yang sama mereka ingin mempertahankan keunggulan yang sudah dimiliki sebelumnya seperti peran pemimpin nasional, stabilitas politik, nilai-nilai budaya, dan seterusnya. Dengan adanya jaminan bahwa setiap perubahan harus dalam koridor keseimbangan inilah, maka tidak terjadi gejolak yang mengganggu proses pembangunan secara umum. Dalam bidang politik, peristiwa 16 tahun lalu di Tiananmen bisa disebut sebagai kerusuhan politik yang terakhir di China (kecuali kasus provinsi Xinjiang dimana sebagian etnis Uighur ingin memisahkan diri). Sementara di bidang ekonomi, meski pertumbuhan ekonomi akhir-akhir mengalami penurunan, namun tidak terjadi depresiasi atas nilai tukar mereka, tidak muncul inflasi yang tidak terkendali, tidak melonjak angka kemiskinan dan pengangguran, dan seterusnya. Bahkan, China masih bisa terus melakukan ekspansinya dalam investasi di luar negeri, termasuk rencana pembangunan infrastruktur Kereta Api Cepat di Indonesia.

Dari pengalaman China ini saya melihat bahwa keseimbangan adalah kata kunci dalam manajemen perubahan. Tanpa memperhatikan kemungkinan munculnya gangguan terhadap keseimbangan, perubahan akan berjalan secara tidak efektif. Barangkali model rekrutmen terbuka  untuk JPT ASN dapat ditunjuk sebagai salah satu contoh kecil. Tidak dapat disangkal bahwa ini merupakan cara baru yang sangat ampuh untuk mencari kandidat terbaik dalam mengisi sebuah jabatan tinggi. Cara ini juga mampu menekan politisasi birokrasi yang selama ini marak di berbagai daerah atau instansi. Singkatnya, prinsip meritokrasi akan diperkuat melalui open bidding ini. Namun faktanya, tetap saja banyak pelanggaran yang dilakukan para Kepala Daerah atau para Pejabat Pembina Kepegawaian di berbagai instansi. Resistensi juga muncul dari para JPT incumbent yang merasa bahwa kader internal selalu lebih baik dibanding yang berasal dari luar. Selain itu, semakin hari semakin menguat praduga bahwa pembentukan panitia seleksi dan pelaksanaan seleksi terbuka ini hanyalah sandiwara belaka, mengingat pemenangnya dengan mudah sudah dapat diprediksi sejak awal mulainya proses tersebut.

Mengapa hal seperti ini terjadi? Saya menduga karena kita terlalu fokus pada upaya menghilangkan politisasi untuk alasan meritokrasi, namun kurang menggarap sisi lain yang amat penting yakni kewenangan yang melekat pada Pejabat Pembina Kepegawaian, kekompakan antara pimpinan dan bawahan, serta upaya menumbuhkan kesadaran semua pihak untuk bersama-sama menjaga prinsip meritokrasi tanpa harus dipaksa-paksa dari luar. Ketika perubahan terkesan sebagai sesuatu yang sipaksanak dari luar sehingga membuat seseorang menjadi terpaksa melakukannya, maka dapat dipastikan bahwa perubahan itu tidaklah sepenuh hati. Maka, menjaga birokrasi yang netral namun kompeten idealnya tumbuh dari tanggungjawab moral seorang pejabat, bukan karena takut akan teguran atau ancaman dari lembaga yang secara hukum berwenang melakukan pengawasan.

Kembali ke proses perubahan di China, administrasi negara memegang peran penting dalam proses transisi dari sistem sosialis murni yang diajarkan oleh Karl Marx ke sistem yang lebih terbuka, yang mereka sebut sebagai socialist market economy, yang dicetuskan pertama kali oleh Deng Xiaoping pada tahun 1992. Menurut Dong Zhichao (2015), ada empat karakteristik utama sistem socialist market economy yang membedakannya dengan sistem sosialis murni, yakni:

§  The socialist market economic system is a leap in the ownership structure. private ownership coexist with the main body of the public ownership as a variety of ownership;
§  The system of socialist market economy is a leap from fully freedom economy to government macro-control economy;
§  The socialist market economy is a leap from equalitarianism of "eating from the same big pot” to economic efficiency priority, fairness, and gradually move toward common prosperity;
§  The socialist market economy is a leap from the area of protection, administrative monopoly, and isolation to openness and equal competition.

Masih menurut Zhichao, masa transisi dari sistem sosialis kepada socialist market economy tadi membawa implikasi munculnya banyak kontradiksi, bahkan konflik sosial, misalnya dalam bentuk merebaknya korupsi, semakin tajamnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin, struktur penduduk yang menua (aging population), meningkatnya polusi lingkungan, dan seterusnya. Dalam rangka menjaga keseimbangan, menjamin keadilan sosial bagi semua komponen bangsa, dan melanjutkan proses reformasi itulah, peran administrasi negara menjadi sangat penting. Adapun bentuk nyata reformasi administrasi yang dilakukan antara lain meliputi: desentralisasi yang lebih luas kepada daerah, reformasi perusahaan milik negara, pemberlakuan kawasan perdagangan bebas, serta pembentukan zona pembangunan ekonomi regional (Zhichao, 2015)[4]. Sejalan dengan pemikiran Zhichao, Zhiyong Lan (2015) juga menyebutkan bahwa saat ini pemerinrah China terus mendorong kebijakan open door dengan memperkuat kerjasama dengan WTO atau negara-negara OECD, memperbaiki kebijakan bidang keuangan dan ketenagakerjaan, serta meningkatkan reformasi perijinan administratif dengan memberi ruang dan peran yang lebih besar kepada swasta melalui skema public-private partnership.

Beragam langkah reformasi tadi semakin kokoh semenjak Xi Jinping terpilih sebagai Sekjen PKC (Partai Komunis China) pada bulan November 2012, dan selanjutnya terpilih menjadi Presiden China menggantikan Hu Jintao pada bulan Maret 2013. Pada pidato pertamanya selaku Sekjen PKC, Jinping bertekad untuk mewujudkan the great renaissance of the Chinese nation. Dia memperkenalkan semboyan baru yakni Chinese Dream, sebuah visi untuk membangun bangsa China yang lebih kuat dengan berbasis pada the Chinese path, the Chinese spirit, dan the Chinese strength. Selain itu, Jinping bertekad mengangkat kaum miskin menjadi kaum menengah yang benar-benar merasakan dampak positif perkembangan ekonomi China.

Untuk mewujudkan janjinya tersebut, Xi Jinping fokus pada upaya memberantas perilaku tidak pantas seperti korupsi, menerima suap, tidak melayani rakyat dengan baik, dan memberi porsi berlebih untuk hal-hal yang sifatnya formalitas dan birokratis. Jinping juga bersumpah untuk menindak pemborosan (extravagance) dan korupsi dari level “macan” hingga “lalat”. Dia juga melakukan prombakan kabinet, antara lain penghapusan Kementrian Perkeretaapian dan menggabungkan dua badan regulasi media cetak dan televisi menjadi satu regulator media super, serta menggabungkan Kementerian Kesehatan dengan komisi yang mengurusi kebijakan satu anak. Artinya, janjinya untuk menekan pemborosan dan meningkatkan efisiensi birokrasi dilaksanakan dengan konsisten. Dengan komitmen yang luar biasa dari pimpinan negara, China terus tumbuh menjadi raksasa ekonomi dunia. GDP terus meningkat secara signifikan setiap tahun, bahkan diramalkan dalam waktu dekat China akan menggeser Amerika Serikat (AS) dan Eropa sebagai pusat ekonomi dunia.

Paparan singkat diatas diharapkan dapat menjadi pembanding atas proses perubahan kebijakan strategis yang terjadi di Indonesia dan peran peran administrasi negara dalam mengawal perubahan besar tersebut.

Shanghai, 22 Oktober 2015.


[1]   Tidak ada informasi lebih rinci terkait jenis perijinan/persetujuan yang diberikan, institusi baru yang menangani perijinan tersebut seiring dengan beralihnya fokus pemerintah beserta evaluasi kinerjanya, dan seterusnya.
[2]   Sebagaimana point sebelumnya, dalam hal kelembagaan juga tidak ada data yang lebih terinci tentang kapan perubahan itu terjadi, apakah terjadi secara bertahap ataukah serentak, kementerian apa saja yang dihapus/dilebur, instansi apa yang melaksanakan fungsi kementerian yang dihapus/dilebur, dan seterusnya.
[3]   Terhadap perubahan inipun tidak ditemukan data pendukung yang lebih konkrit tentang distribusi 3.000 pusat layanan baik secara geografis maupun berdasarkan jenis layanannya.
[4]   Tulisan ini tidak mengelaborasi tentang keempat bentuk reformasi administrasi diatas karena ketiadaan referensi yang memadai.

Sabtu, 24 Oktober 2015

Sepenggal Cerita tentang Negeri China



China, siapa yang tidak mengaguminya? China boleh dikata sebagai fenomena paling menonjol abad ini. Hal ini bukan hanya karena warisan leluhurnya yang sangat dahsyat seperti tembok besar (the great wall) atau perguruan Shaolin yang melahirkan pendekar-pendekar Kung-fu kelas wahid. Bukan pula hanya karena kehebatannya di dunia olahraga yang selalu mendominasi semua cabang mulai level Asian Games hingga Olimpiade. Lebih dari lagi semua, China hebat karena kemampuannya mengelola negara, sehingga meskipun memiliki beban teramat besar berupa jumlah penduduk yang lebih dari 1 milyar jiwa, tidak menjadikan negeri ini mengalami ketergantungan pasokan bahan pangan dari luar negeri. Pendapatan perkapita yang mencapai 30 ribu USD dan tingkat kesejahteraan rakyat juga jauh lebih tinggi dibanding banyak negara dengan jumlah penduduk yang hanya seperempat atau bahkan sepersepuluh penduduk China. Kawasan pantai timur China juga tumbuh menjadi kawasan-kawasan termodern di dunia seperti Shanghai, Beijing, Guangzhou, dan yang lainnya, yang ditandai dengan munculnya ratusan gedung pencakar langit baru.

Nah, ketika saya mendapat kesempatan berkunjung untuk pertama kalinya ke China daratan, tepatnya Shanghai, saya merasa begitu antusias. Mengunjungi China adalah salah satu obsesi bawah sadar saya selama ini, yang terstimulasi oleh setting berpikir sebagaimana saya gambarkan diatas. Saya membayangkan bahwa saya akan mengalami proses mutasi ke dunia baru yang tidak terbayangkan sebelumnya, yang serba mencengangkan, yang tidak akan saya lewatkan untuk menikmatinya meski sekejap mata sekalipun.

Walaupun saya akui bahwa infrastruktur perkotaan sangat maju, namun ekspektasi saya terhadap negeri ini nampaknya terlalu tinggi. Sejak hari pertamapun, sudah banyak peristiwa yang meruntuhkan mimpi-mimpi indah saya tentang negeri tirai bambu ini. Saat saya check-in di hotel, misalnya, begitu saya masuk ke kamar, ternyata kamar itu masih dihuni oleh tamu yang lain. Dalam kasus seperti itu, wajar seandainya saya dan penghuni kamar itu marah dan komplain kepada manajemen hotel. Namun saya tidak protes sedikitpun, hanya meminta kamar baru, namun kesan pertama saya menjadi sangat berubah tentang China. Bukannya saya bermutasi ke dunia dongeng yang penuh dengan fantasi, yang saya alami justru peristiwa yang di negara belum berkembangpun rasanya tidak akan pernah terjadi.

Saya mencoba melupakan kejadian “sepele” ini, dan melanjutkan upaya menikmati Shanghai apa adanya. Waktu saya masuk kamar hotel untuk pertama kali, saya senang karena setiap kamar dilengkapi dengan personal computer, yang tersambung ke internet. Saya pikir, inilah cara mereka melayani tamu untuk mengakses internet, karena memang mereka tidak menyediakan fasilitas wi-fi di kamar. Namun ketika saya mulai menggunakan PC tersebut, ternyata banyak sekali situs yang tidak bisa diakses, terutama media sosial. Jika di Indonesia atau negara lain ada jutaan pengguna Google, Facebook, Twitter, Slideshare, Youtube, atau Academia, maka semua itu tidak dikenal disini karena diblok oleh otoritas negara. Mesin pencari yang disediakan adalah Baidu (www.baidu.com), yang ketika saya masukkan frasa “strategic management”, misalnya, 90% item yang muncul adalah informasi/sumber berbahasa China. Kebiasaan mengunduh film pendek di Youtube, atau mengeksplor artikel/jurnal ilmiah melalui Google, atau mencari bahan paparan / paper di Slideshare/Academia sebagai referensi menyusun bahan ajar, secara serta-merta tidak dapat dilakukan disini. Demikian pula, aplikasi Line di smart-phone tidak bisa dipakai di China, hanya Whatsapp yang tersedia. Entahlah, apa kesalahan Lee Hae Jin, pendiri/pembuat Line sehingga diperlakukan secara diskriminatif dibanding Jan Koum, penemu Whatsapp?

Semua itu sempat membuat saya mengalami perasaan kembali ke “jaman batu”, dimana keberadaan seseorang atau suatu bangsa dipisahkan secara tegas oleh batas-batas teritorial. Konsep borderless world yang sering saya dengar, sepertinya tidak terlalu cocok di China. Saya merasa terputus dari dunia luar. Kebutuhan saya tentang informasi tidak dapat terpenuhi secara bebas, karena tertutupnya media belajar melalui internet. Pastilah pemerintah China memiliki alasan mengapa mereka menutup akses terhadap beberapa situs internet tadi. Hanya saja, saya berpikir lain. Seandainya Google, Slideshare, Youtube, atau Academia diperkenankan, bukankah akan terjadi efek pembelajaran yang luar biasa bagi rakyat China? Bukankah instansi pemerintah juga lebih mudah berinteraksi langsung dengan masyarakat yang dilayaninya dengan menggunakan media sosial tadi? Memang tidak semua orang akan memanfaatkan untuk hal-hal positif, namun kemungkinan buruk seperti itu mestinya tidak menutup kesempatan bagi kemanfaatan yang lebih besar. Fungsi regulasi pemerintah dalam hal ini akan lebih indah jika tidak diarahkan dalam bentuk pelarangan (prohibition), namun lebih pada pembatasan (limitation). Gara-gara saya tidak bisa mengakses Google, Slideshare dan Youtube, dengan terpaksa saya harus menolak permintaan mengajar Strategic Management bagi pejabat Eselon I dan II Kementerian Perdagangan Pemerintah Timor Leste.

Observasi saya masih terus berlanjut tentang negeri ini. Ketika saya mengambil master di Jepang tahun 2002-2004 yang lalu, ada stigmatisasi untuk orang China dan Indonesia sebagai bangsa yang suka membuang sampah sembarangan. Dengan modal positive thinking, saya membuang jauh-jauh stigma itu saat datang di Shanghai. Sayangnya, saya harus membenarkan stigma yang saya dengar sejak 13 tahun yang lalu. Baik di lingkungan kampus maupun di jalan-jalan raya, bukan sekali dua kali saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, begitu mudahnya orang membuat puntung rokok atau sampah-sampah kecil. Saya yang orang asing-pun menyayangkan tindakan mereka, namun mereka malah tidak sayang dengan kotanya yang begitu modern. Tidak sampai disitu, saya juga kerap merasa jengah dengan bau asap rokok dimana-mana. Semenjak keluar bandara, lorong-lorong pertokoan, hingga di loby hotel, saya sering terperangkap dalam asap rokok. Bahkan, saya hampir pingsan ketika masuk lift di lantai 1 yang begitu pekat dengan bau asap rokok, sementara saya akan menuju ke kamar saya di lantai 17. Bayangkan, dari lantai 1 hingga 17 itu saya mencoba menahan nafas dan menutupi hidung dengan lengan baju saya. Sungguh ini pengalaman paling mengerikan yang saya temui di China, dan belum pernah saya temui di belahan planet bumi yang lain.

Satu lagi yang membuat saya tidak suka pada pengalaman pertama di China adalah soal taksi. Perilaku sopir taksi yang kami naiki di Shanghai mirip sekali dengan sopir angkot di Indonesia yang mengejar setoran. Mereka tidak menjaga jarak aman dengan kendaraan di depannya, memotong jalur tanpa malu-malu, sesukanya membunyikan klakson meski tahu jalanan macet, dan tidak ada ramahnya sedikitpun kepada penumpang. Meskipun baru naik taksi 2 kali sampai saat tulisan ini saya buat, namun kesan taksi ugal-ugalan sulit sekali saya hindari. Mungkin saja hal seperti ini sudah menjadi sesuatu yang biasa disini, namun bagi saya hal seperti ini dapat merusak citra bangsa China. Untungnya, para sopir taksi disini tidak suka berputar-putar agar tarifnya membengkak. Meskipun tidak nyaman karena perilaku yang kurang bersahabat dan karena kendala bahasa, minimal kita yakin bahwa para sopir taksi di China tidak suka ngibulin penumpangnya.

Itulah beberapa pengalaman pertama yang saya temui pada kunjungan pertama saya di China. Ternyata, negeri sendiri selalu lebih indah dan lebih enak untuk dinikmati. Saya berharap bahwa kejadian atau pengalaman yang saya dapatkan di kunjungan pertama di Shanghai ini hanyalah sebuah kebetulan semata, dan bukan cerminan budaya bangsa China secara utuh. Saya berharap, ketika suatu hari kelak saya berkunjung lagi ke China, bukan pengalaman ini yang saya dapatkan kembali, melainkan China yang ada dalam alam mimpi dan fantasi saya selama ini. Meskipun saya tahu bahwa the world is not perfect, tidak ada salahnya untuk terus memelihara mimpi dan fantasi. Ketika kita menemukan fakta yang bertolak belakang denagn mimpi kita, yang harus kita lakukan begitu sederhana: rajutlah mimpi baru. Tidak perlu kecewa ketika realita berkata lain. Mimpi itu butuh keberanian, maka jangan pernah takut untuk terus bermimpi indah. Ke China lagi? Siapa takut, hehehe … :)

Haixing Hotel Shanghai, 19 Oktober 2015