Pagi ini, 18 Januari 2021, keluarga besar LAN dikejutkan oleh berita duka. Sesepuh yang sudah seperti ayah sendiri, Prof. Mustopadijaja AR.,SE.,MPIA, wafat dalam usia 77 tahun. Banyak sekali memori lama dalam benak saya yang tiba-tiba bermunculan kembali tentang sosok intelektual yang rendah hati ini.
Kesan pertama dan paling mendalam adalah ketika beliau berkenan hadir dalam resepsi pernikahan saya tanggal 10 September 1999, di Hotel Lingga Bandung. Waktu itu saya masih pegawai yang sangat yunior di LAN Perwakilan Jawa Barat, dengan masa kerja 5 tahun 9 bulan. Sementara beliau adalah Kepala LAN, orang nomor 1 yang sangat dihormati oleh para bawahannya. Saya sama sekali tidak memiliki ekspektasi beliau akan hadir mengingat status saya dan juga jarak Jakarta-Bandung yang lumayan jauh, apalagi belum ada jalan tol Cipularang. Itulah sebabnya, saya sangat terkejut dan sekaligus merasa amat terhormat ketika mendengar Kepala LAN akan hadir, didampingi oleh para pejabat LAN lainnya. Keberadaan beliau adalah hadiah terbesar bagi saya ketika itu, dan kebahagiaan saya semakin membuncah ketika bisa berfoto bersama beliau.
Saat itu saya bahkan tidak yakin bahwa pak Mus, panggilan akrab Prof. Mustopadidjaja, kenal dengan saya. Seingat saya, pertemuan pertama dengan beliau terjadi sekitar bulan Mei 1998 di ruang kerja beliau. Beliau masih relatif baru menjabat Kepala LAN. Saya diajak pak Desi Fernanda (saat itu menjabat sebagai Kepala Bidang Litbang) terkait rencana penerbitan Jurnal Wacana Kinerja edisi pertama. Pak Mus melontarkan banyak sekali pertanyaan kepada pak Desi tentang urgensi dan kemungkinan keberlanjutan jurnal ini. Belakangan saya sadari bahwa cara bertanya beliau adalah gaya seorang coach. Meskipun pertanyaannya kritis dan tajam, namun tidak terkesan mematahkan semangat kami. Beliau tidak serta merta memberi persetujuan atau sebaliknya menolak. Beliau hanya bertanya dan bertanya, sehingga membuat pak Desi cukup kewalahan dan harus menjawab dengan jawaban yang paling taktis dan diplomatis. Hati saya sendiri bergejolak dengan dialog pak Mus dan pak Desi. Saya takut inisiatif kami ditolak. Namun alhamdulillah, pada akhirnya beliau memberikan restu, sehingga terbitlah Edisi Perdana Jurnal Wacana Kinerja pada bulan Juni 1998. Jurnal inipun masih eksis hingga saat ini bahkan semakin berkembang baik dalam hal desain maupun kualitas isinya. Semoga ini menjadi salah satu legacy beliau yang akan terus tumbuh berkembang hingga waktu yang tidak tertentu.
“Pertemuan” selanjutnya dengan beliau terjadi di awal-awal tahun 1999. Kembali saya diajak oleh pak Desi, untuk mendengarkan “diskusi tingkat dewa” para intelektual nomor wahid negeri ini. Ada Prof. Ryaas Rasyid, Prof. Miftah Thoha, Dr. Son Diamar, Dr. Made Suwandi, dan nama-nama besar lainnya. Mereka mendiskusikan substansi RUU Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 5/1974 yang dianggap terlalu kuat nuansa sentralisasinya. Hebatnya, dan yang membuat saya bangga, pemimpin sidang adalah pak Mus. Kesan saya waktu itu, seluruh pakar otonomi, kebijakan publik, dan administrasi negara yang hadir menaruh respect yang amat besar terhadap pak Mus, bukan karena jabatannya sebagai Kepala LAN, melainkan karena pandangan-pandangan pak Mus yang seperti melampaui alam berpikir hadirin lainnya. Tidak lama setelah sessi diskusi tersebut, pada bulan Mei tahun 1999, UU No. 22/1999 akhirnya disahkan dan diundangkan. UU ini dikenal sebagai big bang decentralization, bahkan juga dianggap sebagai kebijakan desentralisasi paling berani di dunia. Tentu, ada jejak pemikiran pak Mus disana.
Sejak saat itu, atribut beliau sebagai intelektual semakin menguat dalam pikiran saya. Dan seiring dengan perjalanan waktu, saya mendapatkan kesadaran baru bahwa pak Mus bukan hanya pakar tentang otonomi daerah dan desentralisasi, beliau juga memiliki kompetensi yang paripurna dalam ilmu kebijakan publik. Bukunya yang berjudul “Manajemen Proses Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kinerja” (2003), bagi saya adalah referensi paling penting, paling sederhana dan mudah dipahami, juga paling lengkap namun praktis, melebihi buku karya Willian Dunn sekalipun. Pada berbagai kesempatan memberi materi tentang kebijakan publik, saya sangat menggantungkan pada materi pak Mus. Semoga ini akan menjadi amal jariyah yang terus mengalirkan pahala kepada beliau di alam keabadian.
Dalam kedudukan sebagai pakar kebijakan publik tadi, pak Mus dimata saya sangat berjasa dalam memperkuat positioning administrasi negara sebagai disiplin ilmu maupun sebagai program pembangunan. Hingga saat itu, sering muncul kebingungan dalam menafsirkan apa sesungguhnya administrasi negara itu. Administrasi negara bukan sektor pembangunan, namun ada disemua sektor. Inilah yang membuat bingung banyak orang. Administrasi negara tidak jelas “genre” atau “jenis kelaminnya”. Menjawab masalah ini, melalui buku SANKRI yang digagasnya, pak Mus dengan tegas menyatakan bahwa “Administrasi Negara adalah administrasi mengenai negara”. Sebuah definisi yang sangat singkat namun holistik dan mengena.
Pada proses penyusunan buku SANKRI itulah, kembali terjalin interaksi yang tidak mungkin terlupakan dengan beliau. Saat itu saya sedang tugas belajar di Nagoya University, Jepang. Ketika saya sedang pulang ke Indonesia untuk keperluan pengumpulan data, saya dipanggil bu Elis Kantiningsih untuk membantu penulisan dan editing terhadap draft buku. Bagi saya, tentu ini adalah sebuah kehormatan besar dari lembaga, sehingga siang malam terus saya kerjakan, bahkan hingga saya kembali ke Jepang. Sebelum kembali ke Jepang (saya lupa kapan), saya sempat berpamitan kepada pak Mus. Beliau kemudian bertanya apakah saya diberi honor, dan saya jawab iya. Beliau bertanya lagi berapa nominal yang saya terima, dan saya jawab apa adanya. Beliau nampak agak kecewa dan minta bu Elis untuk lebih menghargai kontribusi saya. Dari sini kembali respect saya semakin menguat kepada beliau, yang menunjukkan perhatian besar kepada bawahannya.
Jejak peninggalan penting lain dari pak
Mus dalam perspektif saya adalah diperkenalkannya istilah manajemen kebijakan
dan manajemen pelayanan. Seingat saya, sebelum pak Mus mempopulerkan kedua
istilah tersebut, literatur maupun perundang-undangan lebih banyak menggunakan
istilah kebijakan publik atau pelayanan publik, tanpa kata “manajemen”. Ambil
contoh UU No. 25/1999 tentang Pelayanan Publik, tidak ada satupun kata
“manajemen” didalamnya. Padahal pelayanan publik yang baik (sebagai output)
tidak mungkin bisa dihasilkan tanpa adanya proses atau manajemen yang baik.
Begitu juga dengan kebijakan, rasanya kita akan kehilangan konteks bicara
kebijakan publik tanpa memahami manajemen kebijakan.
Dan pak Mus sangat konsisten dengan kedua konsep ini, sehingga di berbagai kesempatan, beliau berulang kali bicara soal managing policy dan managing public service. Bahkan ketika mendorong restrukturisasi organisasi LAN, beliau juga menjadikan manajemen kebijakan dan manajemen pelayanan sebagai substansi yang harus dilakukan melalui fungsi kajian. Hal ini terjadi pada tahun 1999 ketika pak Mus mendorong transformasi kelembagaan LAN menjadi 5 (lima) kedeputian, sebagaimana tertuang dalam Keppres No. 8/1999 jo. Keppres No. 40/2000 tentang LAN. Dalam struktur baru ini, fungsi kajian manajemen kebijakan dan manajemen pelayanan merupakan tugas dari Deputi 2, yakni Deputi bidang Kajian Manajemen Kebijakan dan Pelayanan (KMKP). Struktur dengan 5 (lima) kedeputian ini semakin diperkuat melalui Keppres No. 166/2000 jo. Keppres No. 173/2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
Saya beruntung pernah mendapat amanah sebagai Kepala Pusat Kajian Manajemen Kebijakan (PKMK) tahun 2010-2012, meskipun pak Mus tidak lagi menjabat selaku Kepala LAN. Pada saat saya di PKMK, lahirlah Peraturan Menteri PAN RB No. 5/2012 tentang Jabatan Fungsional Analis Kebijakan (JFAK), yang diubah dengan Permenpan RB No. 45/2013. Sejak lahirnya Permenpan tersebut, hingga saat ini sudah lebih dari 1.000 orang ASN yang menduduki jabatan fungsional AK sejak jenjang pertama hingga utama. Dengan demikian, keberadaan para JFAK ini secara tidak langsung juga merupakan legacy dari pak Mus.
Apa yang saya tuliskan diatas hanyalah sedikit dari jasa dan karya pak Mus yang teramat banyak. Saya pribadi merasa beliau bukan hanya pimpinan yang hebat, namun juga orang tua yang baik dan sholeh. Itulah sebabnya, saya selalu mencium tangan beliau setiap kali bertemu. Bagi saya, bersalaman sangat tidak cukup dan kurang sopan untuk seorang sosok seperti pak Mus.
Selamat jalan pak Mus, insyaa Allah
ampunan Allah dan surga-Nya telah menanti bapak di alam keabadian. Walau raga
telah tiada, namun namamu akan selalu bersama kami untuk melanjutkan cita-cita
membangun administrasi negara yang lebih baik.