Laman

Jumat, 01 Oktober 2010

Rezim Demokratis dan Tuntutan Institusionalisasi Kebijakan


DIBALIK hingar bingar pemilihan Kepala Daerah (pilkada) yang marak akhir-akhir ini baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, ada satu hal yang cukup menarik untuk dicermati, yakni motivasi para bakal calon (balon) Kepala Daerah. Disatu sisi, hampir dapat dipastikan bahwa seorang Kepala Daerah yang masih memiliki kesempatan, akan mencalonkan diri untuk periode berikutnya. Alasan klasik yang sering dipakai adalah belum tuntasnya program pembangunan pada masa lima tahun sebelumnya. Sementara disisi lain, balon-balon pesaing sering mengkritisi kebijakan pembangunan dengan menonjolkan hasil-hasil negatif dari pada positifnya. Itulah sebabnya, merekapun memiliki motivasi klasik untuk “mengabdi pada daerah dan memperbaiki kinerja pemerintahan sebelumnya“.

Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan berbagai motivasi tadi. Persoalannya menjadi lain ketika motivasi dan visi pribadi tadi diterjemahkan menjadi visi daerah dengan cara merombak secara total desain pembangunan yang dirintis para pendahulunya. Akibatnya, seperti diungkapkan seorang pakar dari Unpad, Prof. Oekan S. Abdullah, konsep perencanaan pengembangan daerah senantiasa meloncat-loncat, tak konsisten, dan tak berkesinambungan (sustainable) sehingga kemudian muncul adagium ganti Kepala Daerah ganti kebijakan. Akhirnya, pembangunan daerah pun menjadi carut-marut sementara gulungan berbagai persoalan di daerah menjadi semakin rumit (PR, 12/9/03).

Fenomena ini mengilustrasikan lemahnya peran dan posisi birokrasi beserta berbagai kelompok stakeholder dalam proses penyusunan rencana pembangunan. Memang pada kenyataannya, kedudukan Kepala Daerah (dan pimpinan DPRD) sangatlah determinatif dalam menentukan kebijakan daerah, sehingga cenderung mengabaikan perlunya mekanisme konsultasi dengan berbagai komponen masyarakat sipil dan pelaku bisnis lokal. Kondisi seperti ini diakui oleh Dirjen Perkotaan Depdagri yang mengatakan bahwa perencanaan daerah/kota selama ini bersifat tertutup sehingga aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, termasuk perancang kota, sebagai pelaku pembangunan, tidak tertampung dengan baik. Bahkan, masyarakat cenderung dipandang sebagai obyek pembangunan atau kelompok obyek fungsional perencanaan (Kompas, 12/9/03).

Pertanyaannya, mengapa Kepala Daerah dan DPRD menjadi sedemikian sentral peranannya dalam pembangunan daerah, sementara birokrasi professional (Sekda, para Kepala Dinas/Instansi dan Staff) serta kelompok civil society cenderung terpinggirkan? Hal ini tidak terlepas dari sistem otonomi baru yang membuka peluang besar terjadinya politisasi pemerintahan daerah.

Semenjak berlakunya UU No. 22/1999, gejala politisasi pemda sudah nampak dengan jelas. Kepala Daerah yang dahulu dikenal dengan sebutan “Pejabat Negara”, sekarang berubah menjadi “Pejabat Politis”. Kepala Daerah pada masa UU No. 5/1974 dipilih dan diangkat oleh pemerintah Pusat melalui tiga calon yang diajukan DPRD. Ini berarti ada upaya menggabungkan aspirasi daerah dengan kepentingan pusat. Sedangkan menurut UU No. 22/1999, Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Pemerintah Pusat pada dasarnya tidak memiliki hak campur tangan dalam proses pencalonan dan pemilihan Kepala Daerah. Hanya untuk pemilihan Gubernur, DPRD perlu berkonsultasi dengan Presiden (pasal 38).

Dengan sistem yang baru ini, maka terjadilah perpindahan kekuasaan politik riil dari pemerintah pusat kepada partai-partai politik melalui para wakilnya di DPRD. Oleh karena partai politik memiliki suara yang sangat menentukan dalam proses pemilihan Kepala Daerah, tidak aneh jika proses pemilihan tadi sering disertai dengan praktek lobby, tawar menawar, bahkan politik dagang sapi dan “jual beli” suara. Inilah salah satu sumber terjadinya korupsi dan praktek politik uang (money politics) di daerah. Dalam konteks political bargaining seperti inilah, posisi DPRD dan Kepala Daerah dalam hal-hal tertentu bisa saling melindungi dan saling menguatkan.

Disamping itu, jabatan Sekda juga tidak lepas dari kepentingan-kepentingan politik tertentu. Sebab, sesuai dengan ketentuan pasal 61 UU No. 22/1999, Sekretaris Daerah diangkat oleh Kepala Daerah dengan persetujuann DPRD. Dengan kata lain, seseorang tidak dapat dan tidak mungkin menduduki jabatan Sekretaris Daerah tanpa persetujuan DPRD. Disini terlihat bahwa DPRD memiliki peran yang sangat vital dalam sistem birokrasi daerah. Padahal, Sekda adalah murni jabatan karier, sehingga semestinya terbebas dari tarik menarik kepentingan antar fraksi di DPRD. Tanpa disadari, keadaan ini mengarah kepada terjadinya birokrasi sebagai subordinasi dari politik (legislative ascendancy).

Peran partai politik dalam sebuah rezim demokratis memang sangat penting sebagai wahana pendidikan politik sekaligus saluran aspirasi publik. Namun hal ini mestinya tidak sampai mengurangi netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ini harus diperhatikan benar-benar dalam revisi UU No. 22/1999 yang akan datang.

Dalam perspektif kedepan, institusionalisasi kebijakan pembangunan harus menjadi agenda pokok pemerintah daerah. Caranya adalah dengan membangkitkan potensi dan memberdayakan peran stakeholder seperti perguruan tinggi, pebisnis lokal, forum-forum warga, LSM, organisasi profesi, media, Kadin dan Koperasi, organisasi semi pemerintahan, dan sebagainya dalam proses perencanaan pembangunan. Birokrasi local golongan menengah seperti staff juga perlu dilibatkan dalam mekanisme konsultasi dengan multi stakeholder tersebut.

Hal ini bertujuan untuk membangun sosok local good governance yang dapat diartikan sebagai sebuah proses interaksi yang harmonis dan saling mendukung antar elemen-elemen pemerintah dan masyarakat daerah dalam rangka membangun sistem perencanaan pembangunan daerah yang partisipatif, transparan dan berkelanjutan. Dalam hal ini, interaksi antar elemen sosial politik tadi terbangun dari tiga dimensi, yakni sinergi antar sektor (publik, privat/bisnis, forum warga/masyarakat madani); integrasi antar jenjang pemerintahan (kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa); dan konsolidasi/koordinasi internal antar unit kerja.

Dalam upaya membangun networking antar sektor dan antar aktor dalam pembangunan daerah tadi, memang harus diakui masih terdapat kecenderungan bahwa aspirasi kelompok-kelompok tersebut tidak dapat sepenuhnya terpenuhi (benign neglect). Namun yang lebih penting adalah telah terjalinnya mekanisme konsultasi antara otoritas kebijakan dengan para stakeholdernya.

Keberadaan forum konsultasi kebijakan pembangunan daerah ini sangat penting dilihat dari 3 hal.

Pertama, forum ini dapat berfungsi sebagai media masyarakat untuk berekspresi dan menyalurkan ide dan harapannya tentang masa depan daerah. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa forum ini adalah sarana mendemokrasikan proses pengambilan keputusan di level daerah. Kedua, sebagai tempat bertemunya beragam kelompok masyarakat dan beragam kepentingan, forum ini diharapkan mampu menghasilkan sebuah kompromi yang dinamis untuk menghasilkan dokumen perencanaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat di daerah. Ketiga, hubungan timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat secara tidak langsung akan melahirkan mekanisme check and balance. Pada gilirannya hal ini tentu akan mendorong pemerintah untuk meningkatkan akuntabilitas publiknya.

Dengan adanya proses seperti ini, kebijakan pembangunan akan terinstitusionalisasikan, sehingga tidak akan mudah diubah-ubah oleh Kepala Daerah maupun DPRD. Sebab, perubahan kebijakan pembangunan hanya dapat dilakukan dengan menempuh mekanisme yang sama. Ini berarti pula bahwa apapun hasil Pilkada, proses pembangunan akan terus berlangsung berdasarkan blue print yang jelas.

Keuntungan dari institusionalisasi kebijakan ini adalah munculnya sosok pemerintah daerah yang berperan sedikit dan hemat (less and cheap government) karena tidak harus selalu membuat perencanaan pembangunan baru yang memakan biaya besar. Pada saat yang bersamaan, mekanisme konsultasi juga dapat dikatakan sebagai benih tumbuhnya demokrasi lokal dalam konteks mewujudkan rezim kepemerintahan daerah yang demokratis (democratic infrastructure of local governance).

Hak Asasi Manusia


Pengantar


Dewasa ini kita saksikan semaraknya peristiwa-peristiwa dalam panggung politik Indonesia yang cenderung “panas dan brutal”. Salah satu topik sentral dalam berbagai peristiwa tersebut menyangkut masalah Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti kita ketahui bersama, individu atau organisasi-organisasi kemasyarakatan yang merasa harus memiliki kepedulian terhadap pelaksanaan Hak Asasi Manusia, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya, kalangan intelektual, dan masyarakat umum sebagai obyek dan subyek dari kehidupan berbangsa dan bernegara, hampir setiap saat menyuarakan hati nuraninya menuntut ditegakkannya hak asasi secara konsekuen.

Munculnya fenomena ini merupakan salah satu wujud dari kedewasaan politik masyarakat menuju keterbukaan, atau merupakan ciri kemandirian sebagai keberhasilan pembangunan nasional kita. Mereka berkeinginan untuk menegakkan salah satu konsiderans Universal Declaration of Human Rights tanggal 10 Desember 1948, yaitu bahwa:

“sikap-sikap yang tidak mempedulikan dan sikap melecehkan hak-hak manusia akan mengakibatkan tindakan kurang beradab yang mendatangkan amarah pada hati nurani manusia, sehingga hak-hak manusia harus dilindungi oleh hukum supaya manusia tidak mengambil jalan ‘pemberontakan’ terhadap kelaliman atau penindasan”.

Fenomena kemunculan gerakan menuntut penghormatan terhadap hak asasi manusia diatas, secara implisit mengandung “gugatan” bahwa secara de facto, pemerintah belum sepenuhnya menghormati keberadaan hak-hak dasar yang melekat semenjak lahir pada diri setiap warga negara. Bahkan lebih jauh dapat ditafsirkan bahwa prinsip “negara hukum” (rechtstaat) yang kita anut, belum berjalan dengan baik dan optimal. Sebab, salah satu ciri dari negara hukum adalah pengakuan / penghormatan terhadap hak asasi manusia, disamping adanya supremasi peraturan perundangan (Legal Supremacy), peradilan yang bebas dan mandiri, serta keberfungsian lembaga PTUN.

Oleh karena itu, dapat dikatakan pula bahwa jika kita ingin menegakkan prinsip “negara hukum”, maka salah satu cara terbaik adalah dengan melakukan upaya yang terus menerus untuk memberikan jaminan hukum sekaligus jaminan politis terhadap hak asasi setiap individu dalam negara. Dan penegakan hak asasi manusia ini dapat terlaksana dengan baik jika disertai dengan pembenahan terhadap aparat penegak hukumnya sendiri. Sebab, sebagaimana yang diingatkan oleh Sir Alfred Dening bahwa “suatu bangsa akan jatuh apabila penegak hukumnya tidak berlaku adil”. Dengan kata lain, salah satu kunci penghormatan terhadap HAM terletak pada sejauhmana sifat “bersih dan berwibawa” telah melekat pada setiap diri aparat penegak hukum.


Ilustrasi Pelaksanaan HAM di Indonesia


Untuk memberikan gambaran serta ruang lingkup masalah penegakan HAM di Indonesia, karikatur-karikatur berikut ini diharapkan dapat mencerminkan aspek das sein maupun das sollen-nya. Ilustrasi dengan menampilkan karikatur ini didasari oleh pemikiran bahwa karikatur pada hakekatnya merupakan refleksi dari kondisi nyata yang dihadapi oleh suatu komunitas masyarakat tertentu, yang biasanya dituangkan dalam bentuk sindiran. Dari berbagai ilustrasi tadi, dapat ditemukan aspek-aspek substansial HAM meliputi:

§  Penggusuran, Pencaplokan dan Ganti Rugi Tanah
§  Manipulasi Hukum dan Budaya Main Hakim Sendiri.
§  Pembunuhan (menghilangkan nyawa orang lain)
§  Pembedaan Perlakuan Terhadap Seseorang (cq. Wanita), serta Pemerkosaan.
§  Pemerasan Tenaga Kerja.
§  Kemerdekaan (dari penjajahan maupun dari rasa takut)
§  Hak Bersuara dan Berbeda Pendapat, dan sebagainya.


Konsep Dasar HAM


Apabila kita menginginkan pengetahuan yang utuh atas binatang yang bernama “HAM”, maka perlu diketahui beberapa hal yang berkenaan dengan binatang tersebut, misalnya arti dan makna HAM, pandangan-pandangan Indoensia dan dunia internasional terhadap HAM, pelaksanaan HAM dalam proses pembangunan, serta peran dan sikap aparatur negara dalam menghadapi tuntutan pelayanan. Kesemuanya ini dimaksudkan untuk memberi gambaran yang lebih jelas tentang kondisi sosial kemasyarakatan, sehingga aparatur negara akan memiliki landasan yang lebih jelas pula dalam menjalankan fungsi pelayanan.

Pengertian hak asasi pada mulanya dikembangkan oleh aliran filsafat liberal yang bercorak individualistik atau perseorangan. Mereka mempunyai pandangan bahwa manusia dilahirkan bebas dan memiliki hak-hak dasar, yaitu hak yang mendasari kehidupan seseorang sebagai mahkluk yang mempunyai harkat dan martabat. Namun dewasa ini, hak asasi manusia tidak dipahami sebagai perwujudan paham individualisme dan liberalisme, melainkan sebagai hak-hak manusiawi yang melekat dengan harkat kemanusiaan, apapun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan sebagainya. Dengan pemahaman ini, maka konsep modern tentang HAM adalah sebagai berikut (Bahar, 1997: 6):

Human rights could generally be defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings.

(Secara umum hak asasi manusia dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia; yang bila tidak ada, mustahil kita akan dapat hidup sebagai manusia).

Karena menjadi dasar kehidupan kemanusiaannya, hak asasi ini tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Hak yang paling asasi adalah hak untuk hidup, kebebasan dan hak milik. Hak-hak ini kemudian dikembangkan dalam kehidupan bernegara di bidang politik, ekonomi-sosial dan budaya. Apa sebenarnya isi atau subtansi hak asasi itu? Piagam PBB tanggal 10 Desember 1948 menentukan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sederajat (equal) dalam martabat dan hak-haknya. Mereka dikaruniai akal budi (reason) dan hati nurani (conscience) dan harus bertindak terhadap satu sama lain dalam semangat persaudaraan, tanpa membeda-bedakan bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, status politik, hukum dan sebagainya.

Atas dasar itu PBB menetukan hak-hak serta larangan-larangan yang harus diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh seluruh negara dan masyarakatnya; tentu saja dengan catatan harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang ada.

Dari kelompok hak, antara lain terdapat hak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan perorangan (pasal 3), hak atas perlindungan hukum yang sama (pasal 7), hak untuk bergerak (pasal 13), hak untuk memiliki sesuatu (pasal 17), hak berpikir, berkumpul dan berserikat (pasal 18 – 20), hak untuk bekerja dan mendapat jaminan sosial (pasal 22 – 23), hak berpartisipasi (pasal 27), dan sebagainya. Adapun dalam hal larangan, Piagam PBB menentukan larangan-larangan perbudakan dan penganiayaan (pasal 4 –5), penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang (pasal 9), dan mencampuri kehidupan pribadi (pasal 12).

Secara khusus, UUD 1945 telah mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia, seperti persamaan hak dalam hukum dan pemerintahan serta hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27), hak berserikat dan berkumpul (pasal 28), hak beragama (pasal 29), hak pembelaan negara dan hak pendidikan (pasal 30 –31), dan hak dipelihara oleh negara (pasal 34).

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hak asasi mansuia pada dasarnya bersifat universal dan melingkupi berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek ekonomis, sosial, budaya, kepercayaan, hukum dan politik, sampai pertahanan dan keamanan, adalah aspek-aspek yang dalam realisasinya hampir selalu mensyaratkan hak asasi sebagai asas dan pedomannya. Secara lebih konkrit, permasalahan-permasalahan HAM berkisar disekitar pelanggaran hak-hak minoritas dan penduduk asli, pelecehan seksual dan diskriminasi terhadap perempuan, pemekerjaan anak-anak, pemaksaan pengakuan bersalah dan penganiayaan, jam kerja yang terlalu lama yang tidak seimbang dengan upah yang diterima, dan sebagainya. Itupun masing-masing masih dapat diperinci lagi menjadi persoalan-persoalan khas yang meminta penanganan yang serius.


Instrumen HAM


Dilihat dari sejarahnya, telah banyak sekali piagam-piagam, perjanjian maupun konstitusi di dunia yang memuat tentang pengakuan, jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, sebagaimana dikemukakan dibawah ini (Soehino, 1985: 84-88; Budiardjo, 1994: 144):

§  Di Amerika Serikat, dimuat dalam Declaration of Human Right dari Konstitusi Virginia tahun 1776; The Four Freedoms tahun 1941 gagasan Presiden Roosevelt yang meliputi kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari rasa takut (freedom from fear), dan kebebasan dari kemiskinan (freedom from want).
§  Di Perancis, dimuat dalam Declaration des Droits de l’homme et du citoyen tahun 1789 atas usaha Lafayette.
§  Di Inggris, tersebar dalam berbagai piagam yaitu Magna Charta tahun 1215, Petition of Right tahun 1628, dan Bill of Right tahun 1688.
§  Di Indonesia sendiri, selain termuat dalam UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, pada tahun 1966 telah dibentuk Panitia Ad-hoc IV MPRS dengan tugas menyusun “Rancangan Perincian Hak-Hak Asasi Manusia”. Hasil kerja Panitia Ad-hoc IV ini berupa Rancangan Tap MPRS tentang “Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kuajiban Warganegara”.

Disamping itu, instrumen HAM sedunia yang paling penting dan menjadi induk dari seluruh instrumen lainya, adalah The International Bill of Human Right, yang terdiri dari 3 dokumen pokok, yaitu (Bahar, 1997: 8):

§  The Universal Declaration of Human Rights.
§  International Convention on Economic, Social and Cultural Rights.
§  International Convention on Civil and Political Rights.


Sasaran Perlindungan HAM


Instrumen HAM diatas pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi seluruh umat manusia. Namun ada yang mendapat perhatian secara khusus, yaitu kelompok rentan yang lazimnya tidak mampu melindungi hak asasinya sendiri, yaitu:

§  Kanak-Kanak
§  Kaum Wanita
§  Kaum Pekerja
§  Minoritas
§  Penyandang Cacat
§  Penduduk Asli atau Suku Terbelakang (indigenous people)
§  Tersangka, Tahanan dan Tawanan
§  Budak
§  Korban Kejahatan
§  Pengungsi
§  Orang yang tidak berkewarganegaraan (stateless)


HAM: Antara Relativitas dan Universalitas


Diatas telah dikemukakan bahwa pada hakekatnya, HAM bersifat universal. Namun jika ternyata kemudian dalam prakteknya terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga nilai dan sifat universal HAM menjadi kabur, hal itu dikarenakan adanya perbedaan visi, persepsi dan interpretasi dari negara tertentu. Perbedaan ini lantas menimbulkan paham relativitas sebagai tandingan paham universalitas.

Relativitas HAM yang banyak dianut oleh negara-negara berkembang mendasarkan visi, persepsi dan interpretasinya pada kenyataan terdapatnya struktur sosiologis (istilah Satjipto Rahardjo) atau diversifikasi budaya (istilah T. Jacob) yang berbeda-beda untuk setiap bangsa. Yang dimaksud dengan struktur sosiologis atau diversifikasi budaya disini mencakup sejarah, perkembangan ekonomi, filsafat hidup, tingkat kecerdasan, partisipasi masyarakat dalam pembangunan politk, dan sebagainya. Faktor-faktor inilah yang meletakkan pondasi yang kuat bagi negara Timur dan Selatan untuk menolak universilitas HAM versi negara Barat dan Utara.

Kelompok pendukung relativitas HAM mengatakan bahwa mengingkari struktur sosiologis dan diversifikasi budaya sama artinya dengan melakukan pelanggaran terhadap HAM itu sendiri, sebab hal itu menunjukkan telah terjadinya “perampasan” hak sosiologis dan hak budaya suatu negara. Oleh karenanya, pemaksaan universalisme HAM seperti terlihat dalam bentuk bantuan-bantuan ekonomi dengan syarat-syarat politik tertentu, bertentangan dengan prinsip humanisme dan merupakan bencana bagi implementasi HAM.

Uraian diatas memperlihatkan adanya dua pandangan besar mengenai sifat dan implementasi HAM. Kelompok pertama memandang HAM bersifat universal sehingga harus dilaksanakan secara seragam berdasarkan standar nilai tertentu. Menurut mereka, negara-negara yang kuat harus menjaga ketertiban dunia dan kalau perlu mencampuri penindasan di negara lain dengan menghalalkan segala cara, baik melalui tekanan diplomatik, persyaratan utang dan perdagangan, maupun melalui ancaman militer. Oleh karenanya, penalaran kelompok ini disebut penalaran hegemonial. Sementara kelompok yang lain menganggap HAM bersifat relatif, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi subyektif dari setiap negara. Penalaran kelompok ini bersifat statis yang menegaskan bahwa suatu negara tidak berhak turut campur dalam urusan rumah tangga negara lain.

Disamping dua pandangan besar ini, ada lagi dua pandangan kecil yang saling bertolak belakang dan amat potensial sebagai sumber konflik. Dua pandangan kecil yang biasanya terjadi di negara berkembang ini adalah, disatu pihak pandangan dari rakyat kecil dan kelompok-kelompok pembelanya yang menginginkan pemenuhan hak-hak individual secara maksimal, sedang dilain pihak pemerintah cenderung mendukung hak-hak kolektif dengan mengajukan alasan logis bahwa kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan pribadi dan golongan.

Yang menarik dari perbincangan mengenai universalisme HAM adalah bahwa pelaksanaannya di negara yang menganut paham universalitas sendiri mengalami ambivalensi. Misalnya, dengan membunuh orang Vietcong sebanyak-banyaknya, prajurit AS akan memperoleh bintang kepahlawanan, tetapi jika ada prajurit AS hilang (Missing in Action) tanpa diketahui nasibnya, Gedung Putih akan menganggap pemerintah Vietnam mengabaikan hak-hak manusia. Contoh lain seperti dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Singapura pada Konferensi Dunia HAM di Wina, misalnya perbedaan penafsiran antara Negara Bagian di AS mengenai hukuman mati dan hak memperoleh pendidikan, serta masih ditentangnya keputusan Mahkamah Agung AS yang mengijinkan aborsi.

Ambivalensi yang terjadi di AS tersebut tidak dianggap sebagai penyelewengan dari keuniversalitasan, malahan menjadi model kebebasan demokrasi. Atas dasar sikap ini, mestinya merekapun akan menberikan sikap yang sama terhadap perbedaan kandungan nilai-nilai lokal dan nasional, serta perbedaan penafsiran HAM oleh negara-negara dunia ketiga.

Perbedaana visi, persepsi dan interpretasi tentang HAM, sebenarnya tidak terlalu sulit dipertemukan. Ini bisa tercapai jika kubu-kubu yang berbeda pendapat mempunyai itikad baik dan mengutamakan kepentingan bersama. Selain itu harus ada kesepakatan yang dimusyawarahkan bersama mengenai kriteria hak-hak yang dianggap universal atau relatif. Misalnya, pembunuhan semena-mena dan penyiksaan untuk memperoleh pengakuan harus dianggap sebagai pelanggaran hak asasi yang universal. Akan tetapi hak akan pelayanan kesehatan adalah hak asasi yang bersifat relatif tergantung kepada keadaan ekonomi dan fasilitas kesehatan suatu negara.

Tanda-tanda “kerukunan” itu mulai terlihat dengan diselenggarakannya Konferensi Dunia HAM II di Wina, Austria. Dalam konferensi tersebut Indonesia menegaskan sikapnya yang menerima prinsip universalitas HAM, tetapi prinsip diversity, kemajemukan dan kondisi kebudayaan, sejarah, tahap-tahap pertumbuhan serta sistem politik harus diperhatikan. Indonesia sendiri tidak ingin bersembunyi di relativisme kebudayaan dan partikularisme, tetapi yang penting adalah adanya keseimbangan antara politik dan ekonomi.

Apabila perbedaan dalam keolompok besar sudah mendekat, maka harus diupayakan pula untuk mendekatkan perbedaan dalam kelompok kecil. Seperti pada kelompok besar, maka upaya-upaya yang dilakukan pada kelompok kecil inipun harus datang dari kedua kubu dengan niat dan itikad baik. Disatu pihak, rakyat sebagai kelompok yang menikmati hasil-hasil pembangunan, harus menyadari benar akan tugas dan fungsi pemerintah yang teramat berat. Oleh karenanya, rakyat harus memberikan dukungan sepenuhnya serta dengan itikad baik berusaha sebisa mungkin menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan.


Mengapa Pelanggaran HAM Terjadi?

Dimensi Hukum Administrasi Negara


Pemerintah sesungguhnya memikul tugas yang sangat berat untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Dalam perspektif HAN, untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik ini, pemerintah diberi freies ermessen. Implikasi dari freies ermessen ini sendiri ada tiga, yaitu:

1.      Kewenangan atas inisiatif sendiri, untuk membuat peraturan perundangan yang setingkat dengan UU tanpa meminta persetujuan parlemen lebih dulu. Dasar filosofisnya adalah salus populi suprema lex (keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi). Contohnya Pasal 22 UUD 1945: “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu”.

2.      Kewenangan karena delegasi perundangan dari UUD, untuk membuat peraturan perundangan yang derajatnya lebih rendah dari UU. asal 5 (2) UUD 1945: “Presiden menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya”.

3.      Droit function, yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik memperluas maupun mempersempit) sendiri peraturan perundangan yang bersifat enunsiatif / enumeratif. Misalnya mengenai pengertian “kepentingan umum”. Lampiran Inpes RI No.9 tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya pada pasal 1 ayat (3) menyebutkan: “Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum”.Sedang pasal 1 ayat (1) menyatakan: “Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut: a) Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau b) Kepentingan masyarakat luas, dan/atau c) Kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau d) Kepentingan pembangunan”.

Dari rumusan dua ayat diatas belum terlihat definisi dan kriteria kepentingan umum, sehingga masih memungkinkan terjadinya penafsiran yang amat luas. Tanpa itikad baik, kebijaksanaan dan keadilan dalam menafsirkan kalimat tersebut, “kepentingan umum” justru akan menghambat kepentingan dan hak asasi rakyat. Contoh lain, Pasal 1 (1) Hinder Ordonantie: “larangan pendirian berbagai obyek tanpa ijin pemerintah ….. dan semua bangunan lain yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau gangguan”. Atau juga Inpres No. 9 tahun 1973: “Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya ….. yang menurut pertimbangan perlu bagi kepentingan umum”.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, pemerintah diberi hak, wewenang dan atau kebebasan untuk berbuat apa saja, sepanjang dimaksudkan untuk tercapainya kesejahteraan rakyat tersebut. Kebebasan inilah yang mengandung implikasi bahwa Administrasi Negara / Pejabat Tata Usaha Negara kemungkinan melakukan perbuatan yang menyimpang dari peraturan sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Dengan kata lain, munculnya pelanggaran terhadap hak asasi manusia oleh pemerintah muncul dari kewenangan yang dinamakan freies ermessen atau droit function ini.

Akan tetapi, meskipun memiliki kewenangan untuk berbuat atau droit function, hendaknya pemerintah menafsirkan dengan adil dan bijaksana suatu ketentuan hukum / kebijaksanaan yang belum terinci secara jelas. Dalam kaitan ini, maka pemerintah harus secara sungguh-sungguh memperhatikan asas-asas pemerintahan yang baik.

Adapun asas-asas pemerintahan yang baik ini meliputi: Kepastian Hukum, Keseimbangan, Kesamaan dalam Mengambil Keputusan, Bertindak Cermat, Motivasi dalam setiap Keputusan, Tidak Mencampuradukkan Kewenangan, Permainan yang Layak, Keadilan atau kewajaran, Menanggapi Pengharapan yang Wajar, Meniadakan Akibat Keputusan yang Batal, Perlindungan atas Pandangan Hidup, Kebijaksanaan, serta Penyelenggaraan Pelayanan Umum. Asas-asas ini bertujuan untuk mempertinggi perlindungan hukum bagi masyarakat luas.


Dimensi Politis


Lord Acton pernah mengatakan bahwa “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”. Artinya, kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan yang absolut, sudah pasti akan disalahgunakan. Hal ini dapat diamati dalam dua aspek sebagai berikut:

1.      Kekuasaan yang terpusat pada satu tangan / wadah, serta tidak ada sistem pembagian kekuasaan (division of power) atau pemisahan kekuasaan (separation of power). Kekuasaan yang terpusat pada satu tangan akan melahirkan pemerintahan diktator yang totaliter, sebab tidak ada fungsi kontrol dari unsur / komponen kenegaraan lainnya. Akibatnya, keinginan raja / penguasa menjadi hukum bagi rakyatnya, dan negara adalah milik penguasa (ingat ucapan Raja Louis XIV: L’etat c’est Moi). Dalam kondisi seperti ini, penguasa akan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Salah satu upaya untuk mengurangi kecenderungan pemerintah diktator adalah dengan membagi kekuasaan, misalnya gagasan Montesquieu atau John Locke, yang oleh Imanuel Kant diberi nama Trias Politika.

2.      Kekuasaan yang terlalu lama, dan tidak ada pembatasan waktu secara tegas. Kekuasaan yang relatif lama (diatas 20 tahun), misalnya Soekarno, Soeharto, Ferdinand Marcos, Deng Xiaoping, dan sebagainya, menunjukkan fenomena kearah kultus individu yang berlebihan. Dan kultus individu yang berlebihan ini akan menjurus kepada beralihnya kekuasaan institusi (institutional power) kepada kekuasaan perorangan (personal power). Pada saat kekuasaan telah berada pada satu tangan inilah, pelanggaran HAM menjadi pemandangan umum. Oleh karena itu, pada setiap jenjang kekuasaan, perlu diadakan ketentuan tentang pembatasan periode atau masa jabatan.


Kasus-Kasus HAM


Secara umum dapat dikatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami peningkatan dalam 30 tahun terakhir, khususnya yang menyangkut hak hidup, hak beragama, dan hak milik. Namun, hak untuk berserikat, mengeluarkan pendapat atau menyalurkan aspirasi, masih banyak pihak-pihak yang menyangsikan.

Kasus Marsinah dan tewasnya warga Nipah, Madura, menunjukkan bahwa suara arus bawah masih belum begitu terpedulikan. Kedudukan rakyat masih ibarat pelanduk ditengah-tengah sekawanan gajah, sehingga dalam segala gerak-geriknya, si pelanduk harus ekstra hati-hati agar tidak terinjak oleh Sang Gajah. Dalam kasus pembangunan waduk di Nipah, kita akan kesulitan menjawab pertanyaan, manakah yang termasuk kepentingan umum, pembangunan waduk itu sendiri ataukah rakyat yang tergusur tanahnya? Kalau disepakati bahwa pembangunan waduk itu adalah untuk kepentingan umum, mengapa harus dibeli dengan empat nyawa masyarakat yang sekedar ingin memperjuangkan nasibnya? Adakah dipertimbangkan aspek keadilan, itikad baik dan kebijaksanaan dalam kasus tersebut?

Dalam hubungan dengan pelanggaran HAM ini, ELSAM (1995) telah melakukan identifikasi beberapa kasus sebagai berikut:

1.   Pelanggaran secara umum

  1. Kebebasan Menyatakan Pendapat dan Berekspresi. Dibawah penerapan security approach, pemerintah Orde Baru berulangkali melakukan pelanggaran hak asasi dalam bentuk-bentuk:
§  Screening dan tuduhan simpatisan komunis.
§  Pembubaran diskusi atau forum yang tidak memiliki perijinan.
§  Penyensoran atau pembatasan secara ketat kebebasan menyatakan pendapat melalui senni sampai dengan bisnis.
§  Pembatasan kebebasan akademis.
b.      Kebebasan Berkumpul
  1. Tekanan Atas Nama Pembangunan.

2.   Kasus Kedung Ombo

  1. Tidak adanya Musyawarah sebagaimana ketentuan Permendagri Nomor 15 tahun 1975. Gubernur menetapkan secara sepihak besarnya ganti rugi berikut kriteria yang digunakan.
b.      Intimidasi dan Teror, misalnya menggedor pinntu tengah malam, ancaman akann di-petrus-kan, pencantuman label ET pada KTP, menuduh penduduk “anti Pancasila”, dan sebagainya.
c.       Penggenangan waduk dan “penenggelaman” penduduk, yang masih bertahan sejumlah 8000 jiwa
d.      Penangguhan eksekusi Putusan MA Nomor 2263/K/Pdt/1991 dengan alasan putusan tersebut sedikit bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

3.   Kasus Keluarga Berencana

  1. Hak Kesehatan Reproduksi, dimana penggunaan kontrasepsi dilakukan tanpa pemeriksaan dan pemantaua terlebih dahulu, serta tidak disertai dengan pemberitahuan efek sampingnya.
b.      Ketiadaan informasi yang memadai.
c.       Penggunaan unsur paksaan.
d.      Penggunaan sistem target.

Yang pasti, hampir tidak ada seorangpun yang menyangkal teori bahwa pembangunan haruslah menghasilkan manfaat yang betul-betul dinikmati rakyat. Jadi, jika ada suatu proyek pembangunan yang ditolak oleh rakyat, mana yang harus dikaji kembali, sifat dan implikasinya pembangunan atau sikap rakyat? Mungkin kedua-duanya harus dipertimbangkan, namun berdasarkan asas salus populi suprema lex (keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi) dan prinsip Kedaulatan Rakyat yang dianut oleh Negara kita, mestinya kepentingan rakyat diletakkan diatas segalanya.

 

Upaya Peningkatan Penghormatan HAM


Itulah tingkat pelaksanaan hak asasi yang tertinggi. Namun harus diakui bahwa saat ini Indonesia sedang menuju kesana, dan untuk itu dibutuhkan waktu yang cukup lama. Salah satu contoh sebagai bukti berjalannya proses ke arah itu adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden Noor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang mempunyai tugas pokok untuk: (1) membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam PBB, dan Deklarasi Universal PBB, serta (2) meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka Komisi Nasional melakukan kegiatan-kegiatan menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai HAM kepada masyarakat Indonesia maupun masyarakat Internasional dan mengkaji berbagai instrumen PBB tentang HAM dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan/atau ratifikasi. Kegiatan penting lainnya adalah memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM dan memberikan pendapat, pertimbangan atau saran kepada badan pemerintah negara mengenai pelaksanaan HAM; serta mengadakan kerjasama regional dan internasional dalam rangka memajukan dan melindungi HAM.

Masalahnya, mampukah Komisi Nasional bersifat independen dan memiliki wibawa dalam melaksanakan pekerjaannya, ataukah sebaliknya hanya merupakan implikasi kebijaksanaan tertentu? Disinilah diperlukan sekali political will pemerintah untuk memberikan kebebasan dan ruang gerak kepada Komisi Nasional tanpa tendensi tertentu. Bahkan kalau perlu, kompetensi absolut PTUN sebagai lembaga peradilan yang khusus menangani kasus-kasus onrechtmatige overheidsdaad diperluas serta diberikan otoritas untuk menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran HAM oleh birkorasi sebagai aparatur negara, sekaligus untuk memacu tertib kinerja birokrasi pemerintah dalam rangka semangat Reinventing Government.


Penutup: Pelayanan Umum Dalam Perspektif HAM


Antara tiga variabel aparatur, pelayanan masyarakat dan HAM terdapat hubungan saling timbal balik, artinya bahwa aparatur pemerintah dalam menjalankan tugas negara, baik tugas pemerintah umum maupun tugas pembangunan, dan terutama karena fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, dituntut untuk selalu memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi masyarakat.

Pelayanan masyarakat pada dasarnya merupakan implikasi yang paling menonjol dari suatu Welfare State atau Adminstrative State, sedang Negara Kesejahteraan atau Negara Administratif pada hakekatnya berarti rakyatlah yang berkuasa dan bahwa pemerintah hanya menerima delegasi wewenang dan kekuasaan dari rakyat yang diperintah. Dengan kata lain, pelayanan selalu berbentuk kegiatan pengaturan, pengurusan, koordinasi dan pelaksanaan kepentingan-kepentingan masyarakat agar tercapai suatu keserasian, ketertiban, dan pemerataan bagi seluruh anggotanya. Oleh karenanya, manakala ada yang merasa kepentingannya terganggu atau terusik -- baik oleh sesamanya atau oleh birokrat -- hal itu menandakan bahwa pelayanan publik yang diberikan belumlah sesuai dengan harapan.

Masyarakat selalu berkembang, sementara kepuasan manusia bersifat relatif. Karena itu, bagaimanapun baiknya pelayanan pemerintah, masyarakat terus menghendaki agar pelayanan tersebut ditingkatkan. Lalu, langkah dan kebijakan apa yang bisa ditempuh oleh pemerintah? Agar pelayanan dapat dirasakan secara maksimal oleh seluruh lapisan masyarakat, maka birokrasi harus selalu berpedoman pada aturan-aturan atau konvensi-konvensi yang telah disepakati bersama, dalam hal ini adalah butir-butir Pancasila, pasal-pasal UUD 1945 (terutama pasal 27 sampai 34), serta norma-norma kesusilaan dan keagamaan yang hidup dan terpelihara dalam sistem budaya masyarakat. Sepanjang pembangunan dilaksanakan secara konsekuan diatas rel-rel tersebut, dapat dipastikan angka-angka protes terhadap pelaksanaan HAM dapat ditekan serendah mungkin. Hal-hal seperti ini haruslah menjadi kepedulian yang selalu melekat pada birokrasi pemerintah sebagai abdi masyarakat.

Aspek lain yang sangat berkaitan dengan pelayanan aparatur dalam kerangka HAM adalah pengentasan kemiskinan. Pelayanan aparatur pada akhirnya juga bertujuan meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, dimana kesejahteraan ini merupakan salah satu determinan penting bagi rakyat untuk dapat menikmati hak-hak sosial dan ekonominya secara mantap.

Mengingat tingkat pendapatan rakyat yang tergolong masih rendah, maka tugas Komisi Nasional HAM semestinya diperluas sampai kepada usaha-usaha pemerataan hasil pembangunan bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, Komisi Nasional hendaknya memberi perhatian yang lebih besar bagi perjuangan-perjuangan untuk mempertahankan hidup (survival), memperoleh pangan dan hunian yang layak, akses kepada pendidikan dan kesehatan, dan sebagainya. Hak-hak sosial ini bila terpenuhi akan dengan sendirinya mendukung hak-hak lain, khususnya hak-hak sipil dan politik, baik dalam hubungan horisontal (antara warga masyarakat) maupun hubungan vertikal (antara masyarakat dengan pemerintah).

Usaha-usaha diatas diharapkan mampu melembagakan fungsi Komisi HAM sebagai konsultan hak asasi bagi masyarakat sekaligus menjadi alat social responsibility atau social accountability yang dituntut dapat memberikan nilai tambah bagi tegaknya nilai-nilai hak asasi bangsa melalui pengawasan sosial (social control). Dan dalam rangka meningkatkan kesetaraan pelaksanaan hak asasi antar bangsa sebagai bagian dari masyarakat global, Komisi HAM harus membuktikan perannya dalam mengendalikan kebijaksanaan birokrasi agar lebih berorientasi kepada public interest, disamping harus berfungsi menjadi penilai etika gerakan fenomenologis arus bawah. Adakah kemampuan untuk menegakkan peran yang seimbang dari Komisi HAM seperti yang diharapkan? Inilah pertanyaan asasi yang bersama-sama kita nantikan jawabannya.