Laman

Minggu, 10 Juni 2012

Merenungkan Kembali Desentralisasi Asimetris


1.      Selama ini cukup sering muncul pertanyaan yang belum terjawab tuntas, yakni: “apakah kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32/2004 juga mengakomodir desentralisasi asimetris?” Banyak pihak yang menyatakan bahwa kajian tentang desentralisasi asimetris tidak terlalu urgen mengingat UU No. 32/2004 sendiri sesungguhnya sudah bersifat asimetris. Hal ini bisa dilihat misalnya dari konsep kewenangan pilihan sesuai dengan potensi daerah, atau tipologi besaran OPD yang berbeda, atau variasi jumlah DAU yang diterima, atau beragamnya Perda yang diterbitkan, hingga keleluasaan kebijakan lain yang dimiliki oleh daerah. Dengan kata lain, desentralisasi di Indonesia saat ini adalah desentralisasi asimetris. Tugas tim peneliti selanjutnya adalah mencari faktor determinan yang menjadikan kebijakan ini cenderung seragam (simetris) pada tahap implementasinya.

Namun saya memiliki pandangan pribadi yang agak berbeda. Bagi saya, desentralisasi UU No. 32/2004 dan UU Pemerintahan Daerah sebelumnya masih bernuansa sentralistis, karena perbedaan yang diusung masih pada tataran prinsip (beginsel) dan belum sampai kepada tataran implementasi (praktijk). Pengakuan terhadap keanekaragaman daerah bahkan hak-hak asal-usul (autochtoon rechts) ternyata masih pada level konstitusi, dan belum menjelma dalam aktualisasi kebijakan, terutama dibawah UUD dan UU. Dalam praktiknya, peraturan perundang-undangan setingkat PP kebawah nampaknya memberi pedoman yang cenderung seragam, hanya berbeda dalam kadarnya saja.

Artinya, desentralisasi yang masih seragam secara prinsipiil pada hakekatnya adalah sentralisasi. Desentralisasi yang hakiki harus membuka kemungkinan perbedaan se-ekstrim apapun sepanjang perbedaan tersebut benar-benar obyektif/faktual, dapat dibuktikan/dilacak secara akademik, dan mendapat pengakuan luas dari publik. Perbedaan-perbedaan seperti wewenang pilihan, tipologi besaran OPD, variasi jumlah DAU, atau keragaman Perda, hanyalah perbedaan dalam skala (perbedaan administratif), bukan perbedaan dalam identitas (perbedaan substantif/prinsip/material). Artinya, perbedaan dalam wewenang pilihan, tipologi besaran OPD, variasi jumlah DAU, dan lain-lain cukup diterjemahkan sebagai wewenang yang asimetris, kelembagaan OPD yang asimetris, dan perimbangan keuangan yang asimetris, namun bukan desentralisasi asimetris.

Perbedaan skala diatas saya maksudkan sebagai sebuah kondisi yang relatif sama dan ada di sebagian besar daerah otonom, hanya berbeda dalam skalanya saja. Sementara perbedaan identitas saya maknakan sebagai sebuah kondisi faktual yang ada di suatu daerah otonom, namun tidak ditemukan sama sekali di daerah otonom yang lain. Meskipun perbedaan dalam skala tetap layak diapresiasi dalam koridor perwujudan pemerintahan demokratis (democratic governance), namun kebijakan desentralisasi di Indonesia akan lebih meyakinkan disebut asimetris yang hakiki jika berani mengakomodir jenis perbedaan yang kedua.



2.      Kondisi antar daerah di Indonesia yang teramat berbeda juga mempersulit diskursus serta upaya mendesain kebijakan tentang desentralisasi asimetris. Paling tidak, keragaman daerah di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yakni:

a.       Secara sosiologis, ada daerah yang memiliki latar belakang budaya (cultural affairs) yang sangat khas, yang secara fisik membedakan dengan identitas budaya yang lain. Contoh konkrit faktor budaya ini misalnya Papua yang merupakan ras Polinesia, sementara bagian barat dan tengah Indonesia sebagian besar adalah ras Melanesia.

b.      Secara historis politis, ada daerah yang memiliki hak atas territorial (right to territorial integrity), dan hak menentukan nasib sendiri, termasuk memilih pemimpinnya (right to self-determination). Contohnya adalah DIY yang merupakan eks kerajaan Mataram dengan wilayah sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur dan memiliki perjanjian politik dengan pemerintah Belanda (http://id.wikisource.org/wiki/Perjanjian_Politik_1940).

Daerah dengan faktor sosiologis kultural maupun historis politis seperti itulah yang secara konseptual paling berhak untuk menerima desentralisasi asimetris. Diluar kedua karakter dasar tersebut memang dimungkinkan adanya perbedaan antar daerah, yang kemudian direspon dengan treatment kebijakan yang berbeda (asimetris). Bedanya, kebijakan asimetris untuk kategori (a) dan (b) diatas muncul karena dorongan dari bawah, sementara pada daerah lain yang tidak memiliki alasan sosiologis kultural maupun historis politis, kebijakan asimetrisnya lebih merupakan grant dari atas (pemerintah pusat).