Laman

Sabtu, 15 Agustus 2020

Transformasi Tiada Henti …

 Oleh: Tri Widodo W. Utomo

Seorang filosof Yunani Kuno, Herakleitos dari Efesus, atau sering kita kenal dengan Heraclitus, pernah berucap “There is nothing endures but change” (tiada yang abadi kecuali perubahan).

 

“Mantra” itu pula yang nampaknya berlangsung di Lembaga Administrasi Negara (LAN). Sejak tahun 2013 hingga sekarang, berbagai perubahan terus terjadi dan terasa semakin akrab bagi seluruh pegawainya. Perubahan bahkan sudah bergerak lebih dalam menjadi kebiasaan dan norma baru (the new normal).

 

Satu diantara aneka ragam perubahan tersebut terjadi di area kelembagaan. Lebih khusus lagi dalam tulisan ini kelembagaan di bidang inovasi. Kisah perubahan diawali ketika Prof. Agus Dwiyanto diangkat sebagai Kepala LAN pada tahun 2012. Beliau memiliki visi strategis untuk mendorong dan mempercepat inovasi sektor publik di Indonesia. Sayangnya, pada waktu itu belum ada institusi yang secara khusus bertugas memberikan fasilitasi dan meningkatkan kapasitas berinovasi bagi jajaran pemerintahan, khususnya di daerah. Maka, beliau mengambil inisiatif dengan mengusulkan unit kerja baru kepada Wakil Presiden Budiono. Gayung bersambut, gagasan itu justru telah lama ditunggu oleh pemerintah, sehingga usulan pak Agus diterima tanpa keberatan sedikitpun.

 

Maka, lahirlah Deputi Inovasi Administrasi Negara (DIAN) sebagai struktur dan fungsi baru di LAN. Unit kerja Eselon 1 ini dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 57/2013 tentang LAN. Sebagai unit kerja baru, tentu tidak bisa langsung berlari kencang. Di bulan-bulan awal DIAN disibukkan untuk merancang program yang mampu mengungkit kesadaran berinovasi di kalangan ASN. Salah satu program yang mendapatkan animo sangat besar adalah Laboratorium Inovasi, sebuah inisiatif advokasi yang terdiri atas 5 tahap, yakni Drum-up, Diagnose, Design, Deliver, dan Display (pada perjalanannya dikembangkan menjadi 6D dengan menambahkan Documentation). Program ini bertujuan untuk membangkitkan willingness to innovate, sekaligus meningkatkan ability to innovate. Mekanisme yang dilakukan adalah dengan pendekatan inside-out, dalam arti ide inovasi yang akan dikelola menjadi produk pembaharuan dalam tata kelola pemerintahan maupun pelayanan publik, harus lahir dari pejabat/instansi yang ingin berinovasi tersebut. Pendampingan dari DIAN (outside-in) hanya bersifat stimulatif, semacam inkubasi atau pengeraman untuk mematangkan sebuah gagasan. Itulah sebabnya, proses kreatif ini membentuk pola co-production atau co-­creation.

 

Diluar dugaan, sambutan Pemda sangat luar biasa. Tahun 2015 yang merupakan uji coba di 4 daerah dan sepenuhnya dibiayai LAN, pada tahun 2016 melonjak 300 persen menjadi 13 daerah, dengan pembiayaan sebagian besar oleh daerah. Tahun 2017 meningkat lagi menjadi 20 daerah, dan tahun 2018 menjadi 30 daerah yang didampingi (tahun 2019 masih ada 30-an daerah baru yang sedang dan akan dibina). Jumlah inovasinya-pun meningkat cukup signifikan. Berturut-turut pada periode 2015-2018 dihasilkan inovasi sebanyak 281, 1541, 1767, dan 3462 inovasi, sehingga total ide/produk inovasi yang dihasilkan sebanyak 7051.

 

Capaian angka-angka diatas sudah cukup sebagai ilustrasi membaiknya kesadaran dan kemampuan berinovasi di kalangan pemerintah. Adanya berbagai penghargaan kepada daerah yang inovatif, seperti dari Kementerian Dalam Negeri (IGA Award), Kemenpan RB (Sinovik), UNPSA (Public Service Award), Majalah Sindo (Kepala Daerah Inovatif), Apeksi-Apkasi (Entrepreneur Award), LAN (Inagara Award) dan sebagainya, semakin meneguhkan pandangan bahwa kondisi inovasi hingga akhir tahun 2018 sudah sangat berbeda dibanding 5 tahun sebelumnya.

 

Atas dasar progres yang exponensial tersebut, cukup masuk akal jika keberadaan DIAN tidak perlu terlalu lama dipertahankan. Ketika inovasi sudah menjadi budaya di setiap instansi pemerintah, secara logika tidak perlu lagi ada institusi yang secara khusus memberikan pendampingan untuk berinovasi. Estimasi saya, 10 tahun adalah batas paling lama eksistensi DIAN. Lebih dari itu justru bisa dianggap sebagai sebuah kegagalan karena tidak mampu mendinamisasi sektor publik dengan pelangi inovasi yang berwarna-warni di setiap penjuru negeri.

 

Dalam perkembangannya, menjelang akhir tahun 2018 lahirlah Peraturan Presiden No. 79/2018 tentang LAN yang meleburkan DIAN dan DKK (Deputi Kajian Kebijakan) menjadi satu unit kerja. Fungsi inovasi tidak lagi dijalankan oleh unit Eselon 1, melainkan hanya oleh 1 Pusat (Eselon 2), yakni Pusat Inovasi Administrasi Negara (sebut saja PIAN). Artinya, DIAN telah mengalami transformasi fundamental menjadi PIAN hanya dalam waktu 5 tahun!

 

Tantangan PIAN jauh lebih berat, bukan hanya untuk melayani mitra daerah yang semakin banyak dan semakin menuntut kualitas yang lebih baik, tetapi juga untuk melakukan konsolidasi internal dan penyiapan tim kerja baru. Apalagi sejak tahun 2018 DIAN sudah merencanakan program baru bernama villagepreneurship, sebuah platform baru untuk mengakselerasi inovasi di tingkat akar rumput. Sebagai sebuah program baru yang belum teruji, jelas membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi dari segenap jajaran PIAN. Program villagepreneurship ini benar-benar akan dilakukan dari nol pada tahun 2019 ini, sama seperti program Laboratorium Inovasi pada awal tahun 2014.

 

Meskipun tantangan PIAN saat ini sangat berat, bahkan lebih berat dibanding tantangan DIAN tahun 2014, namun itulah konsekuensi dari pilihan untuk melakukan transformasi. Perubahan selalu memindahkan para pelakunya dari comfort zone menuju competitive zone, zona baru yang penuh dengan misteri dan tantangan sehingga membutuhkan totalitas komitmen dan enduransi seluruh SDM. Namun perlu diyakini bahwa hanya zona yang tidak nyamanlah yang akan membawa sebuah organisasi kepada magic zone, sebuah zona yang penuh dengan kinerja dan kepuasan baru. Maka, seberat apapun implikasi sebuah transformasi, ia senantiasa worthed untuk dijalani.

 

Untuk itu, ketika angin perubahan berhembus, ia harus direspon dengan niat tulus untuk mengabdi pada ibu pertiwi, kerja keras dan determinasi yang tinggi, kesiapan untuk terus belajar dan berani menanggung kemungkinan kegagalan, serta semangat kolaborasi dengan berbagai pihak. Itulah yang akan menjadi garansi bahwa yang akan lahir dari perubahan  atau transformasi adalah cerita keberhasilan. Sebagaimana ajaran agama, dibalik setiap kesulitan selalu ada dua kali kemudahan, bahwa niat baik akan menuntun kepada orang-orang baik yang siap mengulurkan bantuan, bahwa hasil akhir tidak akan mengkhianati ikhtiar dan kesungguhan dalam menunaikan tugas.

 

Pengalaman 5 tahun bekerja bersama dalam rumah DIAN telah memberi banyak wisdom bagi para “lascar” inovasi bahwa masalah dan kesulitan bukan untuk dihindari melainkan untuk dihadapi, bahwa segala sesuatu itu tidak mungkin sebelum kita membuktikan sebaliknya, bahwa kerjasama dan saling percaya adalah fondasi yang paling kokoh untuk bangunan apapun. Pelajaran ini pulalah yang akan menjadi bekal bagi PIAN sebagai unit kerja baru di LAN, untuk menyosong tahun-tahun mendatang dengan optimisme sepenuh hati.

 

Jumat, 14 Agustus 2020

Puasa Ramadhan dan “New Normal”

 Oleh: Tri Widodo W. Utomo 

Mungkin jarang ada yang membingkai puasa Ramadhan dari perspektif “new normal”. Pada umumnya, puasa lebih sering di-framing dengan pendekatan religius untuk meningkatkan ketaqwaan, atau pendekatan sosiologis untuk memberikan “rasa” (sensing) tentang penderitaan si miskin, sehingga muncullah kepedulian dan kesetiakawanan sosial (presencing).

 

Namun sebenarnya puasa juga memiliki korelasi erat dengan new normal. Untuk melihat keterkaitan diantaranya keduanya, perlu kita pahami adanya tiga tahapan penting dalam puasa, yakni: 1) sebelum puasa, 2) pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan, dan 3) setelah puasa berakhir.

 

Pada masa sebelum puasa, boleh jadi kita jarang bangun malam untuk menegakkan qiyamul lail, malas bersedekah, membaca Al-Qur’an hanya sesempatnya saja, kurang menjaga pandangan mata, serta tidak mengendalikan nafsu-nafsu lahiriah lainnya. Kebiasaan buruk inilah yang ingin dihilangkan oleh ritual puasa Ramadhan. Pada tahap kedua yang merupakan masa “storming” ini (meminjam salah satu tahap dalam Team Development Model Bruce Tuckman), umat Islam melakukan perubahan radikal terhadap kebiasaan dan perilaku sehari-harinya. Apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang not business as usual, yang mengajak mereka untuk keluar dari comfort zone, yang merupakan anomali dari perilaku sebelumnya. Shalat yang biasanya kurang menjaga waktu, sekarang harus dilakukan di awal waktu dengan berjamaah. Mereka juga harus menahan lapar dan haus lebih dari 13 jam (di negara-negara subtropis bisa mencapai 18 jam atau lebih). Kitab suci Al-Qur’an harus dikhatamkan minimal sekali. Belum lagi mereka harus bangun dini hari untuk shalat malam dan menyiapkan sahur. Di 10 hari terakhir masih dianjurkan pula untuk I’tikaf di masjid, dengan kesadaran penuh untuk tidak merasakan nikmatnya tidur di kasur, berbuka enak di rumah bersama keluarga, dan seterusnya.

 

Proses storming itu tentu tidak cukup berhenti di tahap tersebut. Artinya, rutinitas baru selama 30 hari di bulan Ramadhan itu hanya akan berarti jika bisa dilanjutkan pasca Ramadhan. Indikator keberhasilan ibadah puasa itu tidak terletak di bulan puasa, namun justru terletak pada seberapa besar keshalihan yang bisa ditunjukkan pada 11 bulan berikutnya (dari Syawal hingga Sya’ban). Dengan kata lain, siapapun yang menjalani ibadah ini, haruslah menjadi pribadi dengan kualitas mental yang sangat berbeda dibanding sebelum menjalaninya. Inilah hakekat new normal yang ingin diwujudkan melalui puasa Ramadhan, sebuah hijrah spiritual atau transformasi mental yang akan dipraktekkan sebagai rutinitas baru (new routine, new normal).

 

Maka, jika setelah Ramadhan kita kembali kebanyakan tidur, tidak mampu mengontrol syahwat ragawi dan duniawi, membaca Al-Qur’an ala kadarnya, keikhlasan sedekah kembali melemah, dan seterusnya, artinya sia-sialah proses pembelajaran yang telah dijalani sebulan penuh. Dalam keadaan seperti ini, era new normal tidak akan pernah kita raih. Dan ketika kita tidak bisa meraih new normal, sesungguhnya kita masuk kedalam golongan orang-orang yang merugi, yaitu mereka yang harinya tidak lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

 

Tentang "New Normal"

Oleh: Tri Widodo W. Utomo

Akhir-akhir ini, kata “new normal” menjadi primadona dalam pergaulan sehari-hari. Dari ibu rumah tangga, kalangan intelektual, hingga politisi dan Presiden, semua beramai-ramai bicara soal new normal. Namun, pemahaman setiap orang terhadap istilah ini sangat berbeda-beda. Seorang Amien Rais bahkan menilai telah terjadi salah paham mengenai istilah new normal ini, sehingga beliau meminta agar istilah ini tidak dipakai lagi karena bisa mengelabui diri sendiri (CNN Indonesia, 25/05/2020).

Untuk itu, saya mencoba memaknai new normal sebagai sebuah tradisi baru yang baik, yang secara terpaksa atau sukarela dipraktekkan secara kolektif sebagai dampak dari penyebaran virus Korona. Perkuliahan melalui Google-classroom, rapat-rapat dan pelatihan yang diselenggarakan melalui aplikasi Zoom, belajar di rumah bagi anak-anak SD dengan pemberian penugasan melalui Whatsapp orangtuanya, atau tukang sayur yang melayani pengantaran ke rumah, adalah beberapa contoh rutinitas masyarakat yang dikategorikan sebagai “normal baru”. Kebiasaan mencuci tangan, memakai masker, atau menjaga jarak, baik saat masih ada pandemi maupun tidak, adalah juga new normal.

 

Namun, apakah benar kita sudah masuk pada era new normal itu? Saya memiliki pendapat yang berbeda dengan pandangan umum. Saya meyakini bahwa new normal itu belum terjadi dan belum tentu dalam waktu dekat akan benar-benar menjadi kenyataan. Banyak argumen yang bisa menjelaskannya. Pertama, jika ada new normal berarti ada situasi normal lain yang mendahuluinya, sebut saja “old normal”. Nah, coba perhatikan dengan baik, berapa lama kita hidup dalam era normal terdahulu? Berapa lama kita telah bekerja dengan cara normal, pagi buta berangkat ke kantor, terjebak kemacetan, sampai di kantor langsung absensi, menerima tamu dari luar kota secara tatap muka, berpindah dari rapat yang satu ke rapat lainnya, dan seterusnya? Atau, sudah berapa lama anak-anak kita belajar secara “normal” di sekolah dengan ibu guru di kelasnya? Lantas, mungkinkah new normal itu terjadi begitu tiba-tiba tanpa proses pembiasaan yang panjang sampai menjadi sebuah habit?

 

Kedua, dari perspektif manajemen perubahan, apa yang terjadi saat ini sebenarnya barulah sebatas “perubahan”, namun tidak ada garansi perubahan itu akan menjadi sebuah norma baru yang akan berlangsung lama. Salah satu teori yang sangat pas untuk menjelaskan fenomena perubahan dalam merespon pandemi Covid-19 adalah teori Kurt Lewin tentang Unfreeze, Change, Refreeze. Tahap “unfreeze” ditandai oleh munculnya peristiwa atau situasi yang memberi urgensi untuk sebuah perubahan, misalnya keuntungan perusahaan yang terus merosot, kinerja karyawan dan iklim kerja yang memburuk, dan seterusnya. Awal Maret 2020 ketika pertama kali pemerintah mengumumkan adanya pasien positif Covid-19, adanya juga tahap unfreeze. Begitu muncul kesadaran bahwa kita sudah berada di tahap unfreeze, maka dilakukanlah berbagai cara untuk merespon, yang disebut dengan change (perubahan). Perubahan kerja di kantor menjadi work from home, atau belajar dan kuliah dari rumah, ibadah dari rumah, belanja dari rumah, bisnis dari rumah, dan sebagainya, adalah tahap kedua dari Change Management Model-nya Lewin. Pada tahap ketiga atau “refreeze”, perubahan yang terjadi pada tahap kedua tadi harus dilembagakan untuk bisa menjadi kultur baru. Syaratnya, kultur lama harus ditinggalkan sebagian atau seluruhnya, sehingga membentuk kultur baru (sama sekali baru atau kombinasi kultur lama dan kultur baru). Inilah hakekat dari new normal itu.

 

Kita juga bisa telaah new normal dari teori Bruce Tuckman tentang Team Development Model. Meskipun teori ini lebih tepat untuk melihat bagaimana sebuah tim bisa dibentuk dalam sebuah organisasi, namun logikanya cukup bermanfaat untuk melihat bagaimana respon kita terhadap pandemi bisa diinstitusionalisasi. Menurut Tuckman, perkembangan tim atau organisasi dilalui tahapan forming, dilanjutkan dengan storming, norming, baru dihasilkan sebuah situasi baru bernama performing. Dalam konteks pandemi, tahap forming adalah tahap sebelum merebaknya virus dan masyarakat hidup dalam sebuah bentuk (form) yang ajeg atau rutin. Pengumuman pemerintah tentang pasien positif Covid-19 menandai tahap storming, yang dipenuhi dengan kebingungan, kecemasan, dan bahkan munculnya korban jiwa dari pandemi tersebut. Segera setelah wabah ini menyebar, muncul respon untuk tetap survive ditengah gempuran wabah yang semakin mengkhawatirkan. Kebijakan PSBB, pemberian bantuan sosial, pemanfaatan teknologi digital untuk mendukung fungsi pendidikan dan perkantoran, dan sebagainya, adalah upaya membentuk norma baru (norming) untuk menggantikan tradisi lama pada tahap pertama. Nah, jika upaya norming ini bisa dilanjutkan, maka akan sampailah pada tahap selanjutnya yakni performing. Tahap inilah yang kita maknakan sebagai new normal.

 

Dari teori Lewin maupun Tuckman diatas dapat dilihat bahwa new normal itu tidak mudah untuk dicapai. New normal juga berbeda dengan perubahan, bahkan jauh lebih menantang disbanding perubahan itu sendiri. Tahapan change (Lewin) atau norming (Tuckman) belum bisa dikatakan sebagai era normal baru, tetapi masih sebatas transisi menuju era baru. Untuk menuju kesana, kita harus pandai-pandai menjaga agar masa transisi dan segenap perubahan yang menyertainya, bisa terlembagakan menjadi tradisi dan sistem baru, bukan hanya sebagai inisiatif sesaat dikala terjadi situasi darurat.

 

Seandainya wabah Corona telah berlalu, kemudian kita mengulang lagi cara lama kita dalam bekerja, menempuh ilmu, berbelanja, dan seterusnya, maka tahap refreeze atau performing tidak akan pernah terwujud. Yang terjadi justru sebaliknya, kita kembali ke tahapan freeze atau forming. Dalam situasi seperti ini, tidak ada sama sekali era bernama new normal itu.

 

Oleh karena itu, tantangan terbesar kita adalah bagaimana melakukan institusionalisasi terhadap perubahan yang banyak terjadi dimasa transisi ini. Salah satu cara yang paling efektif untuk proses institusionalisasi tersebut adalah dengan menyesuaikan seperangkat aturan yang tidak lagi kompatibel dengan perubahan. Sebagai contoh, aturan working from home, mestinya segera diakomodir kedalam peraturan di bidang kepegawaian. Jika tidak, maka WFH hanya akan menjadi kenangan indah dimasa yang sulit. Demikian pula, jika anak-anak sekolah kembali ke kelasnya dan dijauhkan dari platform digital, sementara orang tua tidak lagi intens membimbing anaknya belajar dan menyerahkan kembali pendidikan anak sebagai urusan guru, artinya kita setback ke masa old normal.

 

Singkatnya, pandemi Covid-19 adalah momentum bagi umat manusia untuk memperbaiki cara menjalani kehidupannya. New normal adalah kurva baru yang menandakan umat manusia sudah beralih ke peradaban yang lebih baik. Jika pandemi tidak membawa manusia ke era new normal, ada dua kerugian besar yang harus dibayar, yakni korban materi dan jiwa yang amat banyak, serta kegagalan berhijrah ke peradaban baru. Namun, new normal pun jika berlangsung terlalu lama akan menjadi usang atau obsolete, sehingga umat manusia harus mencari new normal berikutnya. Ya, sejarah peradaban umat manusia pada hakikatnya adalah mencari perbaikan secara berkesinambungan, berpindah dari sebuah tradisi ke tradisi baru yang semakin baik.

Tribute to DIAN

DIAN adalah singkatan dari Deputi Inovasi Administrasi Negara. Unit kerja Eselon 1 ini dibentuk tahun 2013 melalui Peraturan Presiden No. 57/2013 tentang LAN. Adalah Prof. Agus Dwiyanto, Kepala LAN 2012-2015, yang memiliki visi strategis untuk mendorong dan mempercepat inovasi sektor publik di Indonesia. Sayangnya, pada waktu itu belum ada institusi yang secara khusus bertugas memberikan fasilitasi dan meningkatkan kapasitas berinovasi bagi jajaran pemerintahan, khususnya di daerah. Maka, beliau mengambil inisiatif dengan mengusulkan unit kerja baru kepada Wakil Presiden Budiono. Gayung bersambut, gagasan itu justru telah lama ditunggu oleh pemerintah, sehingga usulan pak Agus diterima tanpa keberatan sedikitpun. 

Sebagai unit kerja baru, tentu tidak bisa langsung berlari kencang. Di bulan-bulan awal DIAN disibukkan untuk merancang program yang mampu mengungkit kesadaran berinovasi di kalangan ASN. Salah satu program yang mendapatkan animo sangat besar adalah Laboratorium Inovasi, sebuah inisiatif advokasi yang terdiri atas 5 tahap, yakni Drum-up, Diagnose, Design, Deliver, dan Display (pada perjalanannya dikembangkan menjadi 6D dengan menambahkan Documentation). Program ini bertujuan untuk membangkitkan willingness to innovate, sekaligus meningkatkan ability to innovate. Mekanisme yang dilakukan adalah dengan pendekatan inside-out, dalam arti ide inovasi yang akan dikelola menjadi produk pembaharuan dalam tata kelola pemerintahan maupun pelayanan publik, harus lahir dari pejabat/instansi yang ingin berinovasi tersebut. Pendampingan dari DIAN (outside-in) hanya bersifat stimulatif, semacam inkubasi atau pengeraman untuk mematangkan sebuah gagasan. Itulah sebabnya, proses kreatif ini membentuk pola co-production atau co-­creation.

Diluar dugaan, sambutan Pemda sangat luar biasa. Tahun 2015 yang merupakan uji coba di 4 daerah dan sepenuhnya dibiayai LAN, pada tahun 2016 melonjak 300 persen menjadi 13 daerah, dengan pembiayaan sebagian besar oleh daerah. Tahun 2017 meningkat lagi menjadi 20 daerah, dan tahun 2018 menjadi 30 daerah yang didampingi (rencana tahun 2019 masih ada 30-an daerah baru yang akan dibina). Jumlah inovasinya-pun meningkat cukup signifikan. Berturut-turut pada periode 2015-2018 dihasilkan inovasi sebanyak 281, 1541, 1767, dan 3462 inovasi, sehingga total ide/produk inovasi yang dihasilkan sebanyak 7051.

Capaian angka-angka diatas sudah cukup sebagai ilustrasi membaiknya kesadaran dan kemampuan berinovasi di kalangan pemerintah. Adanya berbagai penghargaan kepada daerah yang inovatif, seperti dari Kementerian Dalam Negeri (IGA Award), Kemenpan RB (Sinovik), UNPSA (Public Service Award), Majalah Sindo (Kepala Daerah Inovatif), Apeksi-Apkasi (Entrepreneur Award), LAN (Inagara Award) dan sebagainya, semakin meneguhkan pandangan bahwa kondisi inovasi hingga akhir tahun 2018 sudah sangat berbeda dibanding 5 tahun sebelumnya.

Atas dasar progres yang exponensial tersebut, saya pribadi sering menyatakan bahwa DIAN tidak perlu terlalu lama dipertahankan. Estimasi saya, 10 tahun adalah batas paling lama eksistensi DIAN. Lebih dari itu justru bisa dianggap sebagai sebuah kegagalan karena tidak mampu mendinamisasi sektor publik dengan pelangi inovasi yang berwarna-warni di setiap penjuru negeri. Cara berpikir seperti ini saya yakini berlaku juga untuk intitusi lain seperti KPK, BNN, BNPT, BRG, dan seterusnya. Mereka seyogyanya memiliki estimasi target waktu kapan mandat/tugas bisa diselesaikan sehingga kelembagaan yang bersifat adhoc tidak perlu diubah menjadi permanen.

Dalam perkembangannya, menjelang akhir tahun 2018 lahirlah Peraturan Presiden No. 79/2018 tentang LAN yang meleburkan DIAN dan DKK (Deputi Kajian Kebijakan) menjadi satu. Fungsi inovasi tidak lagi dijalankan oleh unit Eselon 1, melainkan hanya oleh 1 Pusat (Eselon 2), yakni Pusat Inovasi Administrasi Negara (sebut saja PIAN). Perubahan struktur juga berimplikasi pada rotasi pegawai yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi SDM cukup drastis. Pegawai yang sudah menguasai substansi inovasi dan mahir menyusun instrumen inovasi (video, infografis, rencana aksi, dan lain-lain), berganti dengan mereka yang sebagian belum pernah sekalipun mempelajari inovasi.

Salah satu kawan saya berujar: situasinya menjadi seperti Pertamina, dimana seorang petugas pengisi BBM selalu mengatakan “Mulai dari Nol, ya pak ...” Tentu ini hanyalah guyonan saja, karena mutasi dan rotasi adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah organisasi. Meskipun ada ancaman terjadinya stagnasi kinerja dalam jangka pendek, namun kita harus lebih melihat masa depan, bahwa setiap pegawai memiliki hak yang sama untuk maju, bahwa setiap pegawai memiliki potensi yang harus dikembangkan di tempat berbeda.

Namun dalam situasi transisi ini harus diakui bahwa guyonan tadi tidak sepenuhnya keliru. Tantangan PIAN jauh lebih berat, bukan hanya untuk melayani mitra daerah yang semakin banyak dan semakin menuntut kualitas yang lebih baik, tetapi juga untuk melakukan konsolidasi internal dan penyiapan tim kerja baru. Apalagi sejak tahun 2018 DIAN sudah merencanakan program baru bernama villagepreneurship, sebuah platform baru untuk mengakselerasi inovasi di tingkat akar rumput. Sebagai sebuah program baru yang belum teruji, jelas membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi dari segenap jajaran PIAN. Program villagepreneurship ini benar-benar akan dilakukan dari nol pada tahun 2019 ini, sama seperti program Laboratorium Inovasi pada awal tahun 2014.

Meskipun saya menyadari sepenuhnya bahwa tantangan PIAN saat ini sangat berat, bahkan lebih berat dibanding tantangan DIAN tahun 2014, namun saya meyakini sepenuhnya bahwa dengan niat tulus untuk mengabdi pada ibu pertiwi, kerja keras dan determinasi yang tinggi, kesiapan untuk terus belajar dan berani menanggung kemungkinan kegagalan, serta semangat kolaborasi dengan berbagai pihak, akan menjadi garansi bahwa yang akan terjadi adalah cerita keberhasilan. Saya berkali-kali mengingatkan teman-teman bahwa dibalik kesulitan selalu ada dua kali kemudahan, bahwa niat baik akan menuntun kepada orang-orang baik yang siap mengulurkan bantuan, bahwa hasil akhir tidak akan mengkhianati ikhtiar dan kesungguhan dalam menunaikan tugas.

Pengalaman 5 tahun bekerja bersama dalam rumah DIAN telah memberi banyak wisdom bagi Laskar Inovasi bahwa masalah dan kesulitan bukan untuk dihindari melainkan untuk dilewati, bahwa segala sesuatu itu tidak mungkin sebelum kita membuktikan sebaliknya, bahwa kerjasama dan saling percaya adalah fondasi yang paling kokoh untuk bangunan apapun. Pelajaran ini pulalah yang saya harapkan mampu membesarkan hati PIAN untuk melewati 2019 dengan optimisme sepenuh hati.

Terima kasih DIAN, Selamat berjuang PIAN …

Jakarta, 29 Januari 2019.