“Apa sih manfaat dari pelatihan (atau program pengembangan kompetensi
lainnya)?”
Pengantar
Pertanyaan
diatas cukup sering dilontarkan banyak pihak, dari pimpinan organisasi hingga
para ASN yang semestinya mengikuti pelatihan. Pelatihan seolah-olah hanya
sebuah ritual yang memboroskan waktu dan anggaran, serta tidak memiliki dampak
konkrit terhadap kinerja organisasi. Akibatnya, peserta pelatihan sering diasosiasikan
dengan mereka yang tidak cukup memiliki kesibukan atau bahkan “kurang terpakai”
oleh pimpinannya. Mereka dibiarkan ikut pelatihan, sementara kader-kader
terbaik dipaksa bekerja untuk menghasilkan produktivitas tertinggi bagi
organisasi.
Pandangan dan
praktik yang keliru seperti ini sangat berbahaya bagi masa depan sebuah
organisasi. Ketika manajemen mengurangi inventasi dan menghambat karyawannya
mengikuti pelatihan, itu sama artinya dengan membuat organisasinya mengalami
stagnasi. Mereka hanya nampak hebat pada jangka pendek, namun pada jangka
panjang mereka akan kehilangan daya saing karena gagal melakukan manajemen
pengetahuan. Inovasi tidak akan berkembang, sementara organisasi terjebak pada
rutinitas (business as usual). Meminjam
istilah Peter Senge dalam bukunya berjudul “The Fifth Discipline: The Art and
Practice of The Learning Organization“ (Random House Books; edisi revisi ke-2, 2006), organisasi seperti ini bisa dikategorikan mengalami ketidakmampuan
belajar atau learning disabilities.
Kalaupun
seseorang yang telah menyelesaikan pelatihan belum menunjukkan perbaikan
kinerja atau perilaku, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa program
pelatihannya yang gagal. Tentu, kinerja dan perilaku tidak bisa dibentuk dalam
waktu semalam. Mungkin saja kompetensi dan motivasi pegawai yang masih kurang.
Atau, boleh jadi porsi pelatihan yang perlu ditambah. Atau, dibutuhkan
intervensi lanjutan agar bisa menghasilkan dampak, misalnya lewat program coaching dan mentoring, aktualisasi ide perubahan, evaluasi sesama rekan kerja,
dan seterusnya. Singkatnya, jangan jadikan pelatihan sebagai kambing hitam
terhadap segala sesuatu yang masih dibawah ekspektasi.
Sebagai
contoh, ketika angka kemiskinan dan pengangguran masih cukup tinggi di sebuah
daerah, pelatihanlah yang sering dinilai gagal. Begitu pula saat ada seorang
pegawai yang tersangkut kasus korupsi atau pelangaran prinsip integritas,
seketika pelatihan yang dianggap kurang “ngefek” dalam membentuk kedisiplinan
atau perilaku yang baik. Pelatihan acap kali menjadi kambing hitam atas semua
masalah kebangsaan. Padahal, jelas banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi
tingginya tingkat kemiskinan atau korupsi. Pelatihan bukanlah segala-galanya,
namun tanpa pelatihan, segala hal dalam organisasi mungkin tidak akan mencapai
tingkat seperti adanya sekarang. Tidak ada sebuah pelatihan yang sempurna, dan
itulah sebabnya pelatihan harus terus-menerus diperbaiki. Namun tanpa
pelatihan, kesempurnaan bagi sebuah organisasi semakin menjadi utopia belaka.
Pengalaman Beberapa Perusahaan
Dalam
tulisannya berjudul “The Living Company: Habits for Survival in a Turbulent Business
Environment” (Harvard Business School Press,
1997), Arie de Geus mengatakan bahwa rata-rata usia (life expectance) perusahaan-perusahaan di Jepang dan Eropa
adalah 12,5 tahun. Sementara disisi lain, Stora (perusahaan Swedia) telah
berdiri sejak tahun 1288 atau berumur sekitar 800 tahun; Sumitomo berdiri tahun
1919 meskipun Sumitomo Group sudah beroperasi sejak abad ke-17 atau berusia 400
tahunan; DuPont pertama kali berdiri tahun 1802 hingga tahun 2017 terjadi
penggabungan antara DuPont de Nemours, Inc.,
dan E.I. du Pont de Nemours and Company. Serupa dengan DuPont, Pilkington, perusahaan
Inggris telah berusia lebih dari 200 tahunan sejak didirikan pada tahun 1826.
Perusahaan yang berusia pendek dan gagal mempertahankan
eksistensinya terjadi karena fokus mereka lebih untuk meraih laba sebanyak
mungkin (profit orientation), bukan
pada pengembangan manusia yang menjalankan perusahan tadi. Sebaliknya,
perusahaan dapat berusia panjang karena menjadikan pegawainya sebagai fokus dan
modal utama. Dalam artikelnya tadi, De Geus mengingatkan pentingnya
pembelajaran pegawai sebagai berikut:
“Capital is no
longer king; the skills, capabilities and knowledge of people are. The
corollary from this is that a successful company is one that can learn
effectively. Learning is tomorrow's capital.”
(Modal bukan lagi yang utama; keterampilan,
kemampuan, dan pengetahuan manusialah yang kini menjadi kunci. Konsekuensinya,
perusahaan yang sukses adalah perusahaan yang mampu belajar secara efektif.
Pembelajaran adalah modal masa depan).
Sekarang, mari
kita tengok pengalaman beberapa perusahaan yang sukses karena memberi perhatian
serius terhadap program pembelajaran bagi pegawainya.
Google mungkin
bisa kita sebut sebagai salah satu yang terbaik dalam hal investasi belajar
bagi pegawainya. Perusahaan ini memiliki prinsip “20% time rule”, dimana setiap
pegawai diminta mengalokasikan waktu sebanyak 20% untuk mengembangkan diri pada
bidang-bidang yang menjadi passion-nya
(bukan pekerjaan rutin). Sergey Brin & Larry Page, sang pendiri Google.
Dalam Founder’s IPO Letter menandaskan hak sekaligus kewajiban belajar bagi
karyawannya, sebagai berikut: “We
encourage our employees, in addition to their regular projects, to spend 20% of
their time working on what they think will most benefit Google”.
Inti pesannya,
kita jangan terjebak kedalam rutinitas, namun pastikan ada 20% waktu kita
investasikan untuk self-development. Prinsip
ini lahir dari kepercayaan bahwa kreativitas akan tumbuh subur jika setiap
pegawai diberi ruang untuk bereksperimen. Beberapa fitur seperti Gmail dan
Google Maps juga terlahir dari kebijakan ini, yang membuktikan bahwa investasi
pada ide-ide karyawan bisa menjadi sumber keunggulan perusahaan.
Contoh lain
tentang praktik learning organization yang sangat baik adalah Microsoft. Dalam
artikelnya berjudul “How Microsoft built
a learning culture” (2020), Alex Payn menjelaskan bahwa perusahaan ini
mengadopsi konsep growth mindset yang
ditulis oleh Carol Dweck dalam bukunya berjudul “Mindset:
The New Psychology of Success” (2016). Ketika Satya Nadella mengambil alih
jabatan CEO Microsoft pada tahun 2014, ia menjadikan growth mindset (pola pikir
berkembang) sebagai pilar budaya bagi perusahaan. Berbeda dengan fixed mindset (pola
pikir tetap), seseorang dengan pola pikir berkembang percaya bahwa mereka dapat
belajar dari keberhasilan dan kegagalan untuk mengembangkan kemampuan mereka
dan terus belajar melalui aneka usaha.
Untuk
mengembangkan pola pikir tumbuh tadi, dikembangkan inisiatif bernama Microsoft Learn, sebuah
platform pembelajaran digital yang dirancang untuk mendukung pembelajaran
mandiri yang fleksibel dan praktis. Microsoft menawarkan kepada karyawan
serangkaian opsi pelatihan termasuk pembelajaran mandiri (self-paced
learning), pelatihan yang dipandu
instruktur (instructor-led training), dan sertifikasi. Selain
itu, diinisiasi pula Microsoft Training
Events untuk memberikan pengalaman peningkatan keterampilan yang unik
melalui kombinasi presentasi, demo, diskusi, dan moda pelatihan lainnya.
Tentu masih
banyak sekali perusahaan yang sangat pantas untuk kita pelajari dan adopsi
strateginya dalam mendorong budaya belajar bagi para pegawainya. Toyota dan
Amazon adalah dua diantaranya. Amazon memiliki filosofi belajar yang sangat
unik yakni “It’s always Day
One”,
sebuah praktik menuntut para pegawaianya untuk terus belajar, berinovasi, dan
tidak merasa puas dengan pencapaian saat ini. Dengan filosofi tadi, setiap
karyawan Amazon bekerja seolah tidak ada hari kedua. Setiap hari mereka harus
bekerja dengan penuh konsentrasi seperti hari pertama, tidak membiarkan ada
kesalahan, dan tidak menunda pekerjaan.
Ketika Jeff
Bezos, pendiri dan pemilik Amazon, ditanya “Seperti apa hari ke-2?”, ia
menjawab: “Day 2 is stasis. Followed by
irrelevance. Followed by excruciating, painful decline. Followed by death.
And that is why it is always Day 1.” Hari ke-2 cenderung stabil. Diikuti dengan penyimpangan. Diikuti
dengan penurunan tajam dan perih. Diikuti oleh kematian. Dan itulah mengapa
selalu Hari ke-1.” Untuk menghindari budaya Hari ke-2, perusahaan harus sangat
waspada, tetap berfokus pada pelanggannya, dan menghindari praktik yang
menghambat kemampuannya dalam berinovasi secara cepat.
Baik Google,
Microsoft, maupun Amazon, adalah perusahaan yang sangat disiplin menerapkan organization learning (LO), yang oleh
Peter Senge (The Fifth Discipline: The
Art and Practice of The Learning Organization, edisi revisi ke-2, 2006)
didefinisikan dengan:
“…organizations
where people continually expand their capacity to create the results they truly
desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where
collective aspiration is set free, and where people are continually learning to
see the whole together.”
Perhatikan
ciri pertama dari LO yakni people
continually expand their capacity (pegawai secara terus-menerus
mengembangankan kapasitasnya). Bagaimana kapasitas pegawai dapat ditingkatkan?
Tentu melalui pembelajaran, pelatihan, pengembangan kompetensi, atau apapun
istilah dan apapun caranya.
Jadi, masihkah
kita ragu untuk mengikuti pelatihan, atau untuk berinvestasi dalam
mengembangkan kapasitas pegawai? Jika ya, jangan pernah bermimpi organisasi
kita akan mampu bersaing dan menjadi entitas pelayanan yang baik bagi
stakeholder kita. Seandainya organisasi kita bukan institusi pemerintahan,
jangan-jangan organisasi kita tidak akan berumur panjang karena kehilangan
relevansi dan akhirnya ditinggalkan oleh pelanggan.