HINGGA saat ini, citra PNS masih “kembar identik” dengan sosok manusia yang kurang sejahtera, hanya mencari jaminan masa tua, tidak terampil, serta cenderung bermental malas dan korup. Dengan setumpuk atribut negatif seperti itu, sudah dapat dipastikan mereka tidak mungkin menjadi faktor produksi yang unggul bagi organisasi. Pelayanan publik yang prima otomatis juga jauh panggang dari api. Yang terjadi justru sebaliknya, dimana para PNS tadi lebih banyak menjadi beban dari pada pengabdi negara.
Bahkan, tidak jarang seorang PNS yang masih aktif sudah berpikir jauh kedepan tentang berbagai persiapan saat memasuki masa pensiun. Masa pensiun dipersepsikan sebagai era kegelapan dimana manusia tidak mampu lagi berkarya secara kreatif dan produktif, sehingga masa kerja benar-benar menjadi kesempatan menumpuk modal menjelang pensiun.
Itulah kira-kira gambaran tentang mental pensiun dari seorang PNS. Dengan jelas kita bisa melihat ciri-ciri manusia bermental pensiun ini, misalnya tidak punya cukup keterampilan, tidak memiliki target dan ukuran kinerja dalam aktivitasnya, pulang cepat ketika kolega atau atasannya masih menunjukkan kesibukan tinggi, khawatir dan kasak-kusuk jika tidak masuk dalam SK kegiatan, tidak pernah atau tidak mau memegang posisi penting dalam sebuah tim, memiliki sumber penghasilan yang sangat terbatas karena tidak mampu menjalin network, serta mudah puas dengan kondisi seadanya dan tidak menyukai tantangan baru dari pekerjaannya.
Jika mental seperti itu hanya menghinggapi segelintir orang, mungkin tidak perlu terlalu dirisaukan. Namun jika kondisi tersebut sudah menjadi kecenderungan umum, maka institusi pemerintah jelas berada pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Mereka pada dasarnya adalah benalu/parasit yang membawa spread-effect seperti kanker, yakni menggerogoti dari dalam secara perlahan-lahan. Semakin banyak benalu dalam organisasi, maka semakin cepatlah organisasi tadi layu dan akhirnya mati. Ironisnya, ternyata mental pensiun itu tidak hanya menjangkiti para pegawai di instansi pemerintah, namun juga lembaga pemerintahan itu sendiri.
Mari kita lihat pemerintah daerah secara umum.
Ketika kebijakan otonomi daerah digulirkan, tujuan utamanya adalah membentuk sosok daerah yang kuat dan mandiri. Pada gilirannya, daerah diharapkan dapat menjalankan fungsi pelayanan dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Sayangnya, konstruksi daerah yang kuat dan mandiri tadi nampaknya masih lebih berada di alam idealita dibanding alam realita. Peristiwa-peristiwa maraknya protes buruh dan sengketa pertanahan, atas kasus-kasus gizi buruk dan epidemi berbagai jenis penyakit, atau kelangkaan energi dan sembako, menunjukkan bahwa pelayanan dan kesejahteraan publik masih belum sesuai harapan khalayak, untuk tidak menyebut tidak ada peningkatan.
Fenomena yang terang benderang justru semakin menguatnya tingkat ketergantungan daerah terhadap alokasi angaran dari Pusat. Berbagai daerah yang dinilai memiliki kapasitas fiskal yang tinggi, dan oleh karenanya harus dikurangi porsi DAU-nya, ternyata menjerit dan menolak dengan keras. Dan faktanya, jumlah dana perimbangan yang digelontorkan Pusat semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, kondisi ketergantungan ini menjurus kepada hubungan dependensi yang makin akut, yang jika tidak segera dicarikan jalan keluarnya, maka dapat menimbulkan jebakan atau perangkap ketergantungan (dependency trap).
Kondisi dependency trap ini pernah pula terjadi pada level negara. Selama masa Orde Baru, hutang luar negeri menjadi sumber pendanaan utama yang jumlahnya semakin menggunung. Padahal, fungsi hutang luar negeri hanyalah sebagai pelengkap dari sumber pendanaan domestik. Ketika kita sadar bahwa jumlah hutang kita sudah diluar perhitungan akal sehat, saat itulah kita tersadar bahwa bangsa kita sudah masuk perangkap negara donor (debt trap). Dan ketika independensi ekonomi keuangan sudah goyah, maka independensi politik-pun menjadi terganggu.
Dalam skala lokal, jika daerah memiliki dependensi yang kronis terhadap Pusat, maka pada saat itu sesungguhnya sudah tidak ada lagi semangat otonomi. Sekali lagi, otonomi dan desentralisasi harus berkorelasi secara positif terhadap kemandirian daerah. Pertanyaannya, mengapa daerah masih relatif memiliki ketergantungan yang makin besar terhadap Pusat?
Judul tulisan ini barangkali bisa membantu mencari jawaban.
Dengan mengambil analogi pegawai yang pasif dan kurang kreatif, maka seperti itu pula-lah kondisi beberapa daerah di Indonesia. Dengan kata lain, daerah terkena mental pensiun, yang kurang bekerja keras namun ingin hidup serba berkecukupan. Daerah kurang dapat memanfaatkan faktor produksi seperti kekayaan alam yang dimiliki secara bijak dan lestari. Sebaliknya, mereka cenderung mengeluarkan kebijakan yang ekstraktif eksploitatif dalam jangka pendek. Hasil dari eksploitasi tadi kemudian dihabiskan secara cepat untuk program-program konsumsi non-investasi.
Manajemen ekstraktif eksploitatif tadi secara nyata menghasilkan orang-orang kaya baru dan kerusakan lingkungan yang semakin nyata pula. Tanah longsor dan banjir semakin merajalela dan tidak terkendali. Makin banyak income dari eksploitasi alam, makin banyak dana perimbangan, dan makin banyak dana dalam APBD, makin sering pula kasus bencana alam (karena ulah manusia) terjadi. Bagaimana logika tersebut terjadi? Seharusnya, setiap rupiah harus berdampak positif terhadap masyarakat, bukan sebaliknya! Kalau kita mau jujur, itulah bukti telah terjadinya mal-administrasi atau mis-manajemen dalam pembangunan.
Dalam khasanah akademis, mis-manajemen seperti dipaparkan diatas sering dikenal dengan istilah Dutch Disease (penyakit Belanda). Ketika menemukan sumber minyak baru yang berlimpah, bukan kemajuan yang di dapat, tetapi justru kemelaratan penduduknya. Dalam hal ini, lembaga penelitian bernama Christian Aid selama 10 tahun menyimpulkan bahwa “bukannya memicu kemajuan dan mendorong pertumbuhan, bukannya mengangkat jutaan orang miskin dan memberi masyarakat miskin kebutuhan mendasar, minyak justru lebih sering menghambat pembangunan/kemajuan” (Sudi Ariyanto, Kompas, 8/10/2004). Dalam istilah yang serupa, Dutch Disease sering dikenal juga dengan resource curse (kutukan sumber daya alam). Dapat dibayangkan, ketika sumber daya alam habis, dan aktivitas perekonomian menjadi lumpuh, apa yang akan terjadi? Gambaran kota-kota yang ditinggalkan penduduknya karena sudah tidak ada sumber kehidupan, seperti San Zhi di Taiwan, Craco di Itali, Gunkanjima di Jepang, Kadykchan dan Chernobyl di Rusia, Otzenrath di Jerman, dan sebagainya, adalah ilustrasi yang harus menjadi pembelajaran serius bagi kita semua.
Baik Dutch Disease maupun resource curse terjadi karena pemerintah yang tidak kreatif dan kurang bijak dalam menerapkan politik dan manajemen anggaran. Semestinya, mereka memikirkan investasi masa depan, memperbesar government saving, sesedikit mungkin mengeksploitasi sumber daya alam, serta membangun daya saing industri. Pada saat yang sama, pengelolaan anggaran harus benar-benar cerat dan diperuntukkan bagi kegiatan yang prioritas saja.
Faktanya, kemampuan daerah dalam pengelolaan anggaran kian mengecewakan di era otonomi. Di Kalimantan Timur, misalnya, dari 13 kabupaten/kota, hanya Malinau yang mendapat predikat wajar dari Badan Pemeriksa Keuangan, sedangkan 12 daerah lainnya masuk dalam kategori ‘bermasalah’. Ketua BPK Anwar Nasution menyebutkan, persentase LKPD yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian, atau opini terbaik dari BPK, terus berkurang, dari 7 persen pada 2004 menjadi 1 persen tahun 2007. Sedangkan LKPD yang mendapatkan opini Tidak Wajar (disclaimer), atau opini terburuk dari BPK, justru bertambah dengan cepat, yakni dari 4 persen menjadi 19 persen dari jumlah LKPD yang diaudit. Selain itu, pengelolaan keuangan daerah juga mengkhawatirkan karena banyak pemda yang cenderung mengalokasikan dananya dalam bentuk bantuan sosial yang jelas-jelas tidak produktif.
Menyimak situasi diatas, nampaknya kita membutuhkan re-design dalam kebijakan otonomi daerah di masa depan. Inovasi, kreativitas, dan semangat pembaruan dari jajaran pemerintah daerah harus didorong terus untuk menghasilkan kemandirian yang hakiki. Mentalitas pengabdian berupa kerja keras, rela berkorban, pantang menyerah, dan keikhlasan dalam berbakti, harus terus ditumbuhkan. Sosok pensiunan yang konsumtif dan tidak mampu lagi produktif (layaknya mayat hidup) harus ditinggalkan dengan membangun kemampuan diri tiada henti. Setiap diri kita adalah faktor produksi dan faktor produktif yang harus terus diasah, sehingga kita dapat menatap masa depan dengan tegak, meskipun memasuki usia pensiun. Tri Widodo WU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar