Laman

Jumat, 02 April 2010

Dimensi Politik Pembangunan Lingkungan


PADA peringatan Hari Lingkungan Hidup tanggal 5 Juni 2000 yang lalu, Presiden mengatakan bahwa jika pemerintah mengabdi pada keserakahan, yang akan menjadi korban adalah lingkungan dan pada akhirnya masyarakat sendiri. Sebagai contoh, aksi penggundulan hutan sudah merata di semua lahan hutan di Indonesia, bahkan pulau Jawa bisa menjadi gurun pasir jika tidak hati-hati memelihata kelestariannya (Republika, 6 Juni 2000). Menyikapi kecenderungan yang kian memprihatinkan tersebut, tulisan ini mencoba menyibak aspek-aspek politis dalam kebijakan pembangunan lingkungan beserta agenda yang perlu dikedepankan. 

Sebagai negara berkembang, Indonesia lebih mengandalkan kepada keunggulan berbanding (comparative advantage) daripada keunggulan bersaing (competitive advantage) dalam pembangunan nasionalnya. Ini berarti bahwa kemajuan ekonomi bangsa dan kesejahteraan masyarakat lebih didasarkan kepada upaya diversifikasi dan eksploitasi kekayaan alam yang telah tersedia, daripada menciptakan nilai tambah terhadap suatu produk tertentu. Dan "atas nama pembangunan" atau dengan alasan "demi meningkatkan taraf hidup masyarakat", eksploitasi terhadap keanekaragaman lingkungan seolah-olah mendapatkan pembenaran. Akhirnya, bangsa kita lebih membanggakan diri sebagai produsen kayu nomor satu didunia, tanpa memikirkan bagaimana upaya konservasinya.  

Inilah salah satu kelemahan utama dalam pembangunan lingkungan di Indonesia selama ini. Para pengambil kebijakan kelihatannya lebih mempriorotaskan kepentingan ekonomis dan politis praktis, serta menutup mata bahwa daya dukung (carrying capacity) lingkungan sangatlah terbatas. Dengan kata lain, nasib lingkungan sangat ditentukan oleh pertimbangan politik. Akibatnya, alam mengalami proses exploitation de 'lhomme par lhomme besar-besaran baik secara ekonomis, sosial, maupun politik. Atas dasar ini, tidak mengherankan jika banyak orang berpendapat bahwa kasus-kasus seperti PT Inti Indo Rayon lebih kental nuansa politis dibanding nuansa teknisnya.  

Politisasi Lingkungan 

Eksistensi dan keberlangsungan fungsi lingkungan, tidak dapat dilepaskan dari masalah kebijakan (policy), serta masalah perumusan kebijakan dan atau pengambilan keputusan (politics). Ini berarti bahwa rusak atau lestarinya kondisi lingkungan, akan sangat ditentukan oleh baik buruknya sistem dan mekanisme pengambilan keputusan secara nasional. Dengan kata lain, upaya peningkatan kualitas pembangunan sektor lingkungan (alam maupun sosial) melalui konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), harus dimulai dari pembenahan sistem politik nasional (political reform).  

Dua contoh fakta berikut ini agaknya bisa dijadikan sebagai ilustrasi untuk memperkuat anggapan tersebut diatas. Pertama, di Amerika Serikat, sebuah perusahaan rokok terkemuka Philip Morris Inc. (PMI), pernah menjadi sponsor utama rapat Partai Republik pada 1992. Perusahaan ini kemudian merekrut Craig Fuller - pemimpin rapat waktu itu - menjadi eksekutif puncak PMI. Selain itu, PMI menyediakan dana sebesar US $ 17 juta untuk dihibahkan kepada warga kulit hitam dan hispanik. Semua ini ditujukan agar para politikus (dan juga masyarakat) yang telah mendapat dana PMI mendukung rencana perubahan UU Anti Tembakau yang sangat ketat, sehingga beberapa perusahaan rokok harus membatasi produksi (Hawken, dalam Sidharta, 1997 : 61). 

Kedua, di Indonesia, pelaksanaan suatu proyek pembangunan yang menggunakan sarana lingkungan sering dilalukan dengan alasan pembenar, yakni untuk kepentingan umum. Dalam kaitan ini, pengertian "kepentingan umum" menurut lampiran Inpres RI No. 9 tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya pada pasal 1 ayat (1) adalah jika suatu kegiatan tersebut menyangkut kepentingan bangsa dan negara, dan/atau kepentingan masyarakat luas, dan/atau kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan pembangunan". Selanjutnya dalam pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum.

Dari rumusan diatas belum terlihat definisi dan kriteria kepentingan umum, sehingga masih memungkinkan terjadinya penafsiran yang amat luas. Tanpa itikad baik, kebijaksanaan dan keadilan dalam menafsirkan kalimat tersebut, maka "kepentingan umum" justru akan menghambat kepentingan pembangunan dan sekaligus melanggar hak asasi rakyat. Yang terjadi kemudian adalah proses pendangkalan mutu lingkungan yang terlihat dari fenomena-fenomena antara lain : pemberian ijin HPH yang cenderung tidak terkendali, penebangan hutan secara liar oleh pemegang HPH tanpa memikirkan langkah peremajaan atau reboisasinya, pembangunan kawasan perumahan dan industri di daerah-daerah dataran tinggi sebagai resapan air, impor limbah B3, dan sebagainya.  

Contoh-contoh diatas menggambarkan sumber-sumber awal kerusakan lingkungan, yang jelas-jelas diakibatkan oleh keterlibatan politik dan politikus dalam mencapai kepentingan politik tertentu (vested interest) melalui penggunaan instrumen lingkungan yang dieksploitasi secara berlebihan.  

Kasus-kasus itu sendiri terjadi akibat sistem politik yang membuka peluang atau memberi kemungkinan yang sangat luas terhadap terjadinya "kejahatan" terhadap lingkungan. Dalam khazanah ilmu politik, konsep ini terkenal dengan istilah Ekopolitik, yang pertama kali dipergunakan oleh Pirages (dalam Sidharta, 1997: 61) untuk merujuk pada kebangkitan kesadaran manusia terhadap isu lingkungan serta kaitannya dengan etika dan ekonomi. Namun pada perkembangannya, istilah ini kemudian lebih erat dengan persoalan politik praktis lingkungan, terutama dengan terbentuknya beberapa partai politik yang "mengatasnamakan" lingkungan, seperti Partai Hijau (Green Party). Ini menunjukkan bahwa konsep ekopolitik telah mengalami distorsi secara etimologis, sehingga yang terjadi sesungguhnya justru adalah distorsi atau degradasi ekologis.  

Distorsi ekologis yang diakibatkan oleh peranan "politik" ini terjadi karena terdorong oleh kurang berfungsinya pranata-pranata politik (political institutions), yang terlihat dari indikator-indikator antara lain : 

1.      Kurang jelasnya mekanisme partisipasi dan pengawasan masyarakat (social control), baik secara individual maupun institusional (LSM).
2.      Pada masa Orde Baru, sistem perwakilan dikuasasi secara mutlak oleh satu kekuatan tertentu, sehingga tidak terdapat keseimbangan dan distribusi kekuasaan secara merata atau memadai (single majority). Sedangkan pada masa 'reformasi' saat ini, sistem perwakilan terdiri dari berbagai fraksi (partai) dengan distribusi kekuatan politik yang relatif merata namun menyebabkan kesulitan dalam pengambilan keputusan politik.
3.      Pada masa Orde Baru, sistem pemerintahan daerah lebih mencerminkan atau mengejawantahkan kehendak Pusat (politik sentralisasi) dari pada upaya pemberdayaan potensi dan kemampuan mandiri pemerintah serta masyarakat daerah, termasuk keberadaan masyarakat adat (politik otonomi). Kecenderungan sentralisasi ini nampak dari deretan pasal-pasal UU Pemerintahan Daerah lama (UU No. 5 / 1974) yang memberi bobot lebih besar pada kebijakan kewilayahan (dekonsentrasi) dari pada kebijakan kedaerahan (desentralisasi).
4.      Kekuasaan eksekutif (Presiden) yang relatif dominan (executive heavy) sehingga cenderung mengkooptasi fungsi kelembagaan politik lainnya (DPR, DPA, BPK, MA).
5.      Paradigma politik lama yang lebih mengembangkan jargon-jargon stabilitas, persatuan dan kesatuan, keseimbangan, serta kemapanan, dari pada visi tentang perubahan, reformasi, kesinambungan, dan pencerahan.

Kondisi sistem politik yang demikian pada gilirannya akan mempengaruhi proses perumusan kebijakan strategis dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan nasional, termasuk sektor lingkungan hidup. Ironisnya, kebanyakan produk kebijakan (khususnya sektor lingkungan hidup) yang dihasilkan selama ini (era Orde Baru) cenderung diskriminatif, sehingga hasil akhirnya adalah terjadinya distorsi atau degradasi ekologis. Degradasi ekologi ini sangat mudah ditemui di Indonesia pada kasus-kasus banjir bandang, kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, menipisnya lapisan ozon, pencemaran air / tanah / udara, musnahnya beberapa species flora dan fauna, penurunan kadar kesuburan tanah, dan sebagainya. Kasus-kasus ini harus disikapi secara bijaksana sebagai sebuah early warning system bahwa alam sudah mulai tidak kuat menanggung beban kegiatan politik dan sosial manusia. 

Upaya Depolitisasi 

Mengingat demikian eratnya hubungan antara aktivitas politik dengan kualitas lingkungan, maka distorsi atau degradasi ekologis hanya dapat dipulihkan jika ditunjang oleh pembenahan sistem politik. Atau dengan kata lain, kebijakan politik yang menghayati makna dan hakekat sustainability development merupakan conditio sine qua non bagi upaya penyelamatan lingkungan.  

Berakhirnya era Orde baru dan munculnya era Reformasi, sesungguhnya merupakan momentum untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar atau koreksi total terhadap berbagai kebijakan sektor lingkungan yang berlaku selama ini. Permasalahannya adalah, bagaimana bentuk perubahan tersebut, hingga saat ini masih sangat sulit untuk dirumuskan secara jelas. Untuk itu, dalam rangka mengantisipasi perubahan sistem politik tersebut, disini akan dikemukakan dua alternatif perubahan, yakni perubahan secara bertahap dan sebagian (gradual / parsial), serta perubahan secara keseluruhan aspeknya maupun cakupannya (radikal / total). 

Pertama, perubahan secara gradual / parsial. Hal ini mengandung makna bahwa proses pembenahan sistem politik dilakukan dalam kerangka waktu (time framework) yang cukup panjang (5 - 15 tahun), sedangkan perubahan secara parsial dilakukan dengan cara memberdayakan ketentuan-ketentuan lama yang belum terimplementasi secara optimal. Konsekuensinya, konstitusi negara tidak akan dirubah, dan kalaupun hendak disesuaikan isinya dengan semangat jaman yang berlaku saat ini, cukup dilakukan melalui amandemen. Selanjutnya, supra struktur politik relatif tetap dengan menambahkan fungsi-fungsi baru, sedangkan perubahan pada tingkat infra struktur politik lebih dimungkinkan. Dan akhirnya, para pelaku perusakan / pencemaran lingkungan harus diseret ke pengadilan, namun perusahaannya dapat dilanjutkan dengan beberapa pembenahan. 

Kedua, perubahan secara radikal / total. Hal ini mengandung makna bahwa proses pembenahan sistem politik dilakukan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya serta meliputi seluruh bidang baik sosial, ekonomi, politik maupun hukum. Konsekuensinya, siapapun yang jelas-jelas merugikan pembangunan lingkungan harus dihadapkan ke pengadilan disertai dengan penutupan perusahaannya. Pilihan ini perlu diutamakan tanpa kalkulasi ekonomi maupun politik tertentu. Selanjutnya, suprastruktur politik (cq. Meneg Lingkungan Hidup) dapat ditingkatkan menjadi Departemen dan dilengkapi dengan hak / wewenang pengusutan atau penyidikan terhadap kasus-kasus perusakan / pencemaran lingkungan. Disamping itu, perlu ada penegasan batas terhadap koordinasi fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. 


Penutup 

Alam sesungguhnya memiliki hukum sendiri yang tidak bisa dilanggar oleh manusia. Hal ini berarti bahwa pada suatu titik, alam akan mengeluarkan peringatan, teguran maupun hukuman kepada manusia. Berbagai peristiwa bencana alam seperti kekeringan, banjir, longsor, kebakaran hutan, penipisan lapisan ozon, dan sebagainya dapat ditunjuk sebagai aksi resistensi alam terhadap eksploitasi yang dilakukan umat manusia terhadapnya. 

Sehubungan dengan hal diatas, maka suatu kesadaran bahwa manusia dan alam merupakan dua dunia yang hidup bersama-sama secara harmonis, perlu lebih ditanamkan kepada generasi sekarang maupun yang akan datang. Dengan cara demikian, maka diharapkan pembangunan ekonomis yang memanfaatkan jasa dan daya dukung alam, tidak akan menimbulkan kerusakan secara ekologis. Dan ini berarti bahwa pembangunan akan lebih dapat dinikmati. Satu hal yang harus dipegang teguh adalah bahwa formulasi dan implementasi kebijakan dibidang lingkungan harus ditujukan untuk mencapai maximum benefit dengan minimum risk, sekaligus pula untuk menekan munculnya kerugian-kerugian sosial (social disadvantage) atau ongkos-ongkos lain akibat dampak eksternalitas. © Tri Widodo WU.


Tulisan ini dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat, 30 Juni 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar