Laman

Jumat, 02 April 2010

Mahasiswa, Demokrasi Populis Dan Penjatuhan Rejim


DALAM diskusi peluncuran Indonesian Policy Dialogue Forum (www.ipdf.org) di Tokyo tanggal 30/01/2003 lalu, Fajroel Rachman kembali melontarkan gagasan tentang popular democracy (demokrasi rakyat atau demokrasi populis), sebuah konsep yang biasanya dilawankan dengan elite democracy (demokrasi para penguasa). Dalam konsep ini, rakyat semestinya memiliki peran dan tempat yang proporsional dalam konstelasi kepemimpinan dan kebijakan nasional. Nyatanya, rakyat tetap hanya sebagai penonton dari panggung politik yang dimainkan hanya oleh beberapa gelintir tokoh. Parahnya lagi, para tokoh tadi seolah tidak sadar bagaimana mereka menduduki kursinya dan untuk siapa seharusnya mereka duduk disana.

Bebalnya para pejabat tinggi negara dan kaum politisi tentang sangkan paran (asal usul dan tujuan) mereka inilah agaknya yang mendorong beberapa kelompok masyarakat, khususnya mahasiswa, untuk menggugat. Bentuk gugatannya sendiri bervariasi dari kritik sopan melalui media hingga aksi jalanan yang tidak jarang membawa korban. Pada awalnya, materi gugatan lebih diarahkan kepada pembenahan ataupun perubahan konsep dan kebijakan publik yang kurang memihak wong cilik. Namun ketika suara-suara rakyat itu sudah tidak didengarkan lagi, maka isi tuntutanpun menjadi lebih tegas, yakni penurunan atau penggantian penguasa. Itulah sebabnya, ketika tuntutan menunda kenaikan dan/atau menurunkan harga-harga sudah dipenuhi, mahasiswa akan tetap melancarkan aksi hingga rejim yang ada berhenti.

Dalam konteks inilah Fajroel menandaskan bahwa gerakan mahasiswa seharusnya tidak berhenti sebagai gerakan moral dan gerakan menumbangkan rejim saja, tetapi juga harus merebut dan membangun kekuasaan. Tanpa kekuasaan ini tidaklah mungkin bagi mahasiswa untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Mengenai cara atau metode untuk mendapatkan kekuasaan ini, Fajroel menyarankan agar mahasiswa membangun gerakan ekstraparlementer lewat mobilisasi massa dan gerakan intraparlementer dengan masuk ke kancah politik formal. Oleh karena itu, sebagian gerakan mahasiswa harus mendirikan partai-partai politik (Kompas, 17/12/02).

Secara rasional maupun konseptual, adanya gagasan atau keinginan agar mahasiswa lebih berani dalam bermain politik, sesungguhnya tidaklah berlebihan. Mahasiswa sebagai salah satu pilar civil society yang terdidik, secara tradisional memiliki tanggung jawab moral untuk membawa masyarakat ke alam kehidupan yang lebih baik dan demokratis. Secara rasional tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa adalah penerjemah dan pencari solusi atas merebaknya kegelisahan sosial. Sementara secara akademis, James Madison (1751-1836) telah memberi legitimasi terhadap aksi-aksi sosial dengan mengatakan bahwa rakyat memiliki hak yang tidak terbantahkan untuk mengganti pemerintahan ketika terjadi penyelewengan terhadap tujuan-tujuan institusional (The people have an indubitable, unalienable, and indefeasible right to reform or change their government whenever it be found adverse or inadequate to the purposes of its institution).

Akan tetapi dilihat dari etika politik maupun perjalanan sejarah kemahasiswaan, cita-cita menggulingkan dan merebut kekuasaan hanya akan mengotori kemurnian dari gerakan mahasiswa itu sendiri. Memang dewasa ini terdapat tendensi bahwa setiap aktivitas politik selalu bermuara kepada kekuasaan. Sebagaimana disinyalir oleh Cahyadi (Sinar Harapan, 29/01/2003), politik telah terselewengkan dari maknanya, karena lebih berorientasi pada kekuasaan yang menguntungkan. Bila demikian, pemilu, ataupun upaya pendongkelan kekuasaan, bisa jadi hanyalah soal rebutan kesempatan untuk meraup keuntungan. Bila ini yang terjadi, maka politik hanyalah menjadi soal rebut-merebut rezeki. Pada media dan edisi yang sama, dalam tulisannya berjudul Gerakan Mahasiswa 2003, Silaen menyoroti ide pembentukan presidium dengan menyatakan bahwa hal ini justru menjadikan keadaan lebih rumit lagi dan berpotensi menambah persoalan.

Menyimak pendapat kedua penulis tadi, alangkah sayangnya jika mahasiswa kita saat ini mudah tergoda oleh hingar bingarnya dan gemerlapnya kepolitikan nasional. Mudah-mudahan, mahasiswa tidak terbius oleh ajaran Robson, bahwa the focus of interest of the political actors center on the struggle to gain or retain power, to exercise power or influence over others, or to resist that exercise (fokus perhatian sarjana dan pelaku politik tertuju pada perjuangan mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu). Ketika kaum intelektual sudah mulai terjun langsung kedalam dunia politik praktis, akankah para mahasiswa mengikuti jejak senior mereka? Lantas, kepada siapa rakyat akan mempercayakan mandat dan aspirasinya?

Padahal kalau kita simak kembali lembaran sejarah, gerakan mahasiswa itu sebenarnya tidak pernah mempunyai tujuan-tujuan politik praktis, sebagaimana gerakan-gerakan sosial pada abad 17 hingga 19. Gerakan mahasiswa sifatnya hanya berupa aktivitas atau reaksi-reaksi spontan dan sporadis yang bertujuan hendak mewujudkan atau menolak suatu perubahan, keadaan sosial atau tatanan politik tertentu. Gerakan para pemuda ini selalu dan hanya lahir pada saat-saat dimana terdapat fenomena social anomie atau social disorder. Manakala tertib sosial dan harmoni telah terbangun, dengan sendirinya mereka akan kembali menekuni dunia keilmuan (back to campus).

Tentu gerakan mahasiswa harus kita dukung. Tentu demokrasi populis harus kita wujudkan sekuat mungkin. Dan tentu pula aturan hukum harus ditegakkan. Namun, tentu saja ini semua tidak berarti bahwa penggulingan rejim dapat dibenarkan. Sejarah telah mencatat kiprah dan peran mahasiswa dengan tinta emas. Bahkan gerakan mahasiswa 1966 telah berhasil menciptakan sejarah dengan merombak total tatanan pemerintahan tanpa harus merebut kekuasaan. Berpijak pada pengalaman masa lampau, maka tugas mahasiswa sekarang yang semestinya adalah menciptakan momen dan membangun gagasan brilian tentang konsep bernegara yang demokratis dan efektif, sehingga kelak akan terekam sebagai sejarah baru kemahasiswaan Indonesia. Apakah mahasiswa generasi 2000-an mampu memanfaatkan peluang itu, hanya waktulah yang akan membuktikan kepada kita semua. © Tri Widodo WU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar