Laman

Jumat, 02 April 2010

PP No. 37/2006, Paradoks Wakil Rakyat, dan Fenomena “Jaman Edan”



PUNGGAWA besar Keraton Surakarta, R.Ng. Ranggawarsita, pernah menulis karya-karya sastra seperti “Serat Kalatidha” dan “Pralambang Jayabaya”. Melalui historiografi yang sangat monumental tadi, beliau banyak melakukan pengamatan, analisis, dan proyeksi sosiologis umat manusia, misalnya tentang bakal datangnya “jaman edan”, yang antara lain dicirikan oleh gejala “wolak-waliking jaman” (sebuah jaman dimana norma-norma kehidupan serba terbalik). Dan ketika fenomena itu datang, yang terjadi sesungguhnya adalah hilangnya orientasi diri umat manusia sehingga terjebak pada tata kehidupan yang carut marut, dan kemudian memasuki sebuah era kegelapan (the age of darkness).

Wujud konkrit dari fenomena “wolak-waliking jaman” tadi dicontohkan oleh Ranggawarsita misalnya dalam frasa sebagai berikut:

·         Wong bener thenger-thenger, wong salah bungah; sing curang garang, sing jujur kojur (orang yang benar dan jujur kebingungan/terheran-heran dan bernasib sial, orang salah dan tidak jujur berbahagia dan bersenang-senang; the honest will be confused, the dishonest will be joyful).
·         Wong apik ditampik-tampik, wong jahat munggah pangkat (orang baik ditolak, orang jahat naik pangkat; the good will be rejected, the evil ones will rise to the top).
·         Akeh manungsa mung ngutamaake duwit, lali kamanungsan lali kabecikan (banyak manusia mementingkan materi saja, lupa nilai-nilai kemanusiaan dan kebajikan; many people will become fixated on money, ignoring humanity, forgetting kindness).
·         Njabane putih njerone dadu, ngakune suci nanging sucine palsu (di luar putih dan mengaku suci/tulus, padahal palsu dan berkhianat; outside is white while inside is crimson, they will proclaim their righteousness despite their sinful ways).

Pertanyaannya kemudian, adakah tanda-tanda ke-edan-an tadi tengah mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari kita dewasa ini? Dengan sedikit rasa prihatin, nampaknya kita harus berbesar hati untuk menjawab “ya”. Tanda-tanda tadi dapat disimak dari begitu mentradisinya kasus suap di tubuh lembaga legislatif. Mental rendah dan “budaya miskin” yang mereka tunjukkan, jelas sangat mencoreng wajah Indonesia di mata dunia.

Sebagaimana kita ketahui, setelah Al Amin Nasution (anggota DPR fraksi PPP) tertangkap tangan menerima suap pada kasus peralihan fungsi hutan lindung di Jambi, giliran Bulyan Royan (anggota DPR fraksi Golkar) yang terkena dugaan suap pengadaan kapal patroli Departemen Perhubungan. Kedua kasus ini menjadi tamparan yang kesekian kalinya bagi upaya pemberantasan korupsi.

Tanda-tanda jaman edan juga dengan sangat gamblang dapat kita amati dengan lahirnya produk kebijakan kontroversial – namun juga eksperimental – berwujud PP No. 37/2006 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 24/2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. PP ini telah sukses besar membuka wajah dan karakter asli para wakil rakyat.

Betapa tidak? Ditengah-tengah terjadinya bencana yang tiada henti menerpa bangsa kita, anggota parlemen malah “mengepung” Senayan guna memprotes revisi PP bermasalah tersebut. Anggota dewan yang semestinya menyerap aspirasi dan memperjuangkan kepentingan rakyat, justru memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Para politisi yang semestinya ikut prihatin, justru mengembangkan sikap yang sungguh memprihatinkan. Mereka yang seharusnya membantu si lemah, justru giat mencari bantuan (baca: tunjangan) untuk dirinya. Wakil rakyat yang seharusnya menjadi teladan dengan hidup sederhana, justru menunjukkan gaya hidup glamour dan boros. Sekedar contoh kecil, DPRD Kaltim sempat membagi-bagikan pin emas penjepit dasi untuk 45 anggotanya. Pengadaan pin emas tadi dibiayai APBD 2006 senilai Rp 225 juta (1 pin seharga Rp 5 juta). Saking jengkelnya, seorang pejabat senior Pemprov Kaltim pernah bergurau agar gigi seluruh anggota DPRD tadi lebih baik diganti sekalian dengan gigi emas!

Inilah paradoks DPRD yang pertama, yang semakin memuncak dengan munculnya PP No. 37/2006. Tidaklah aneh jika rasa antipati rakyat menjadi bergemuruh dengan melakukan protes, demo, dan segala bentuk ungkapan kekecewaan lainnya. Rasa kecewa, gundah bahkan marah di kalangan masyarakat kecil sebenarnya mudah dipahami. Sebab, selama inipun anggota DPRD sudah memiliki penghasilan dan tunjangan yang luar biasa “wah”, antara lain berupa Uang Representasi; Tunjangan Keluarga: Tunjangan Beras; Uang Paket; Tunjangan Jabatan; Tunjangan Panitia Musyawarah: Tunjangan Komisi; Tunjangan Panitia Anggaran; Tunjangan Badan Kehormatan: dan Tunjangan Alat Kelengkapan Lainnya. Selain itu, mereka juga mendapat Tunjangan Komunikasi Intensif dan bagi Pimpinan DPRD mendapat tambahan Dana Operasional. Yang membuah “heboh”, PP No. 37/2006 juga memberi tambahan berupa tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional anggota DPRD yang berlaku surut dan di rapel sepanjang tahun 2006. Uniknya lagi, mereka tidak dikenai Pajak Penghasilan, karena PPh 21 Pimpinan dan Anggota DPRD atas penghasilan dibebankan pada APBD, kecuali Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional (pasal 15). Inilah ketidakadilan dan kesalahan utama PP No. 37/2006.

Paradoks kedua, lembaga legislatif yang seharusnya berfungsi sebagai kontrol kebijakan dan penyelaras antar lembaga, justru cenderung mencari kambing hitam. Hal ini tercermin dari berbagai pernyataan tidak mau disalahkan dalam polemik tentang PP No. 37/2006. Argumen yang diajukan adalah bahwa PP merupakan produk eksekutif yang lahir dari inisiatif Presiden. Oleh karenanya, Presiden-lah yang harus disalahkan, sementara berbagai kritik kepada DPRD dinilai “salah alamat”. Pola pikir semacam ini benar-benar sebuah lelucon yang tidak cerdas, sekaligus mengindikasikan ambiguitas yang kronis. Disatu sisi, mereka mempersilahkan masyarakat untuk menyalahkan eksekutif (Presiden) atas lahirnya PP No. 37/2006. Namun disisi lain, mereka tidak merasa bersalah dengan menerima rapelan yang menggiurkan, bahkan berjuang agar PP tadi tidak dibatalkan. Dalam dunia psikologi, perilaku yang saling bertentangan seperti ini dikategorikan sebagai bentuk gangguan mental (mental disorder), yakni kepribadian ganda (double personality) atau kepribadian terbelah (split personality). Dan jika benar para anggota dewan telah terkena gejala ini, maka tidak ada lagi harapan untuk menghasilkan produk kebijakan yang berkualitas.

Sayangnya, paradoks tadi belum berakhir sampai disini. Tatkala parlemen berbagai negara bergabung untuk memberantas korupsi, komitmen serupa belum terdengar dari ratusan gedung parlemen di Indonesia. Sebagaimana diketahui, saat ini telah terbentuk GOPAC (Global Organization of Parliamentarians Against Corruption) yang bertujuan mempromosikan prinsip kepemerintahan yang baik (good governance) serta membasmi korupsi melalui peningkatan efektivitas parlemen sebagai lembaga demokrasi yang berfungsi mengontrol tugas-tugas pemerintahan. Penguatan fungsi dan kapasitas parlemen ini telah diakui secara luas sebagai salah satu dari 10 prinsip dasar untuk mewujudkan negara yang kapabel dan akuntabel (capable and accountable states). Sembilan prinsip lainnya adalah: deepening legal and judicial reforms, improving public sector management, improving the delivery of public services, removing bottlenecks to private enterprise, tapping the potential of information and communication technologies, fostering credible and responsible media, maximizing the contribution of traditional modes of governance, confronting the governance dimension of HIV/AIDS, serta getting partners to live up to their commitments (UN Economic Commission for Africa, 2005). Nah, jika parlemen kita tidak memiliki rencana matang dan roadmap yang jelas untuk memperkokoh kapasitas dirinya, bagaimana mungkin akan lahir bangsa yang kapabel?

Terlepas dari berbagai paradoks diatas, harus diakui bahwa PP No. 37/2006 adalah contoh sebuah produk kebijakan yang gagal. Lahirnya sebuah aturan, secara filosofis, haruslah ditujukan untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban, pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, serta memperbaiki kesejahteraan dan kondisi kehidupan bangsa. Dalam hal ini, kebijakan publik yang berkualitas prima haruslah memenuhi ciri-ciri sebagai berikut: 1) mampu mengatasi permasalahan aktual yang sedang dihadapi, 2) mampu memberikan manfaat nyata secara positif dan konstruktif, 3) mampu memprediksi dampak-dampak negatif yang mungkin timbul beserta alternatif pemecahannya, 4) mampu memerankan diri sebagai fungsi mediasi dan moderasi dalam suatu kontroversi, 5) memiliki daya akseptabilitas dan aplikasi yang tinggi, serta 6) memiliki konsistensi dengan kebijakan terkait dan mampu menghindarkan kemungkinan terjadinya diskriminasi dalam implementasi (Utomo, 2000).

Namun nyatanya, PP No. 37/2006 tidak memenuhi keenam persyaratan tersebut. Bahkan, aturan tadi menjadi pemicu terjadinya kontroversi berkelanjutan antar lembaga dan antar aktor, yang berujung pada terjadinya public veto, yakni penolakan oleh masyarakat atas pemberlakuan kebijakan tertentu. Bahkan PP ini dapat dianalogkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) era Orde Baru yang sarat dengan nuansa KKN. Sebagaimana pernah dikaji oleh Masyarakat Transparansi Indonesia, dari 528 Keppres yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soeharto pada periode 1993-1998, tercatat 79 buah Keppres yang dinilai menyimpang atau mengandung permasalahan (MTI, 1999). Maka, sungguh ironis jika praktek buruk masa lalu terulang kembali di era reformasi saat ini, terlebih lagi rezim SBY-JK sudah berkomitmen penuh untuk membersihkan sistem politik dan birokrasi Indonesia dari tindak KKN.

Sekarang, nasi telah menjadi bubur. Jajaran eksekutif dan legislatif perlu mengambil hikmah, dengan menjadikan PP No. 37/2006 sebagai “alat uji” komitmen pengabdian, bukan kesempatan mendapatkan keuntungan finansial. Selain itu, anggota dewan yang terhormat seyogyanya memahami betul prinsip value for money, dimana kompensasi finansial yang tinggi dapat diterima jika terlebih dahulu telah dibuktikan dengan kinerja yang maksimal.

Kearifan para anggota DPRD dan para petinggi negeri yang lain untuk mengedepankan empati dan bersikap sebagai negarawan, akan menghindarkan stigma mereka sebagai anak ”TK” (meminjam julukan yang pernah diberikan oleh Gus Dur). Lebih dari itu, sindiran R.Ng. Ranggawarsita tentang jaman edan sesungguhnya hanya sebuah peringatan moral. Jaman edan itu tidak akan pernah terjadi jika elit politik kita tidak bertindak ”edan”. Semuanya berpulang kepada hati nurani kita ... © Tri Widodo WU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar