Laman

Jumat, 02 April 2010

Tinjauan Kritis Tentang Pemerintah dan Kewenangan Pemerintah Menurut Hukum Administrasi Negara


Abstrak

 

During New Order period, government was the most powerful institution with ‘unlimited’ authorities and having less control from other state institutions. Consequently, it tended to promulgate many policies overwhelming its power. Only after the 2004 Election, the new regime has declared its pledge to reform the bureaucracy. Bureaucratic reform alone is inadequate, however. It has to be accompanied by law reform, particularly in the field of constitutional / public administration law (hukum administrasi negara). In that sense, this paper tries to elaborate two basic dimensions of constitutional law, i.e. government dimension and authority dimension. Those two dimensions consist certain facets that contribute to violation of law as practiced in the past. Hence, to prevent the appearance of similar case in the future, all facets of government (bureaucracy) and authority should be carefully scrutinized and simultaneously recovered.

PENGANTAR

Dalam menjalankan fungsinya, pemerintah memiliki instrumen khusus berupa kewenangan yang disebut freies ermessen atau pouvoir discretionnaire. Freies ermessen ini pada hakekatnya adalah sebuah kekuasaan atau kewenangan bebas yang diberikan kepada pemerintah dengan maksud agar dapat berperan lebih aktif dalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan demi kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, konsep pemerintah dan konsep kewenangan adalah dua hal yang sesungguhnya berbeda, namun membentuk satu kesatuan yang utuh.
Dalam prakteknya, berjalannya roda pemerintahan seringkali menyimpang dari norma yang ada, atau melebihi dari kewenangan yang semestinya. Dari perspektif hukum administrasi negara, kejatuhan Orde Baru juga bersumber dari operasionalisasi kewenangan yang berlebihan dan kebablasan. Dalam hubungan ini, Sjachran Basah (1985) menulis bahwa secara teoretis paling tidak terdapat 3 (tiga) bentuk tindakan hukum pejabat/badan tata usaha negara (TUN) yang menyimpang, yaitu perbuatan melanggar hukum (onrechmatige overheidsdaad), perbuatan menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir), serta perbuatan yang sewenang-wenang (abus de droit).
Berbagai bentuk penyimpangan tersebut dapat dipelajari dari seluk beluk tentang pemerintah, atau dari anatomi dan jenis-jenis wewenang (kewenangan) pemerintah. Dari dimensi pemerintah, entry points yang menjadi sumber penyimpangan adalah karakteristik kontrak yang struktur dan proses operasi kewenangan yang sentralistis dan monopolistis, serta output kewenangan (kebijakan dan program) pemerintah yang tidak partisipatif dan demokratis. Sementara dari dimensi hukum administrasi negara (ajaran kewenangan), hal-hal yang berpotensi mendorong pemerintah keluar dari rambu-rambu hukum antara lain adalah rumusan wewenang pemerintahan yang tidak bersifat limitative, tidak adanya ketentuan dalam konstitusi tentang batas-batas / rambu-rambu kewenangan, mekanisme kontrol dari unsur kekuasaan negara yang lemah, tidak adanya atribusi dari peraturan perundang-undangan, serta kurang jelasnya proses pendelegasian kewenangan dari suatu badan/pejabat yang kepada badan/pejabat lain yang lebih rendah.
Dalam kerangka mewujudkan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan bebas KKN, serta membangun birokasi yang modern, profesional, efektif dan efisien, perlu disambut dengan positif upaya duet SBY-Kalla untuk menggulirkan reformasi birokrasi. Namun demikian, pemerintahan baru hasil Pemilu 2004 seyogyanya tidak hanya memfokuskan reformasi birokrasi pada pembenahan dimensi kelembagaan, ketatalaksanaan serta SDM aparatur saja. Lebih dari itu, reformasi hukum administrasi negara (HAN) juga harus mendapat perhatian yang proporsional. Sebab, birokrasi pada hakekatnya hanyalah sosok sebuah materi yang statis, yang baru dapat berfungsi secara baik jika didukung oleh adanya roh dan nurani yang menuntut kemana dan bagaimana “materi” itu seharunya bergerak dan bekerja. Dalam hal ini, HAN berfungsi sebagai penuntun perilaku bagi birokrasi dalam mengaktualisasikan sikap tindak (perubuatan hukum) tertentu. Dengan demikian, reformasi birokrasi dan reformasi HAN ibarat dua sisi pada kepingan mata uang yang sama. Atau dapat dikatakan pula bahwa pembenahan dimensi-dimensi strategis HAN (khususnya aspek kewenangan) merupakan salah satu condition sine qua non bagi keberhasilan reformasi birokrasi yang digalakkan oleh SBY.
Atas dasar pemikiran diatas, tulisan ini mencoba mengelaborasi dimensi-dimensi kritis dari pemerintah dan kewenangan pemerintah, serta menelusuri berbagai aspek yang menjadi sumber terjadinya perbuatan hukum yang menyimpang oleh pemerintah, serta beberapa upaya pembenahannya dalam rangka reformasi birokrasi Indonesia baru.

DIMENSI POKOK PEMERINTAH

Pemerintah (government) menurut Mackenzie (1986: 5) adalah institusi formal dan proses kewenangan untuk merumuskan keputusan-keputusan publik (the formal institutions and authorirative processes in which public decisions are made). Dari pengertian tersebut dapat ditemukan tiga unsur utama yang membentuk suatu pemerintah, yaitu: a) Organisasi atau kelembagaan (institusi) formal; b) Proses administratif untuk menjalankan kewenangan; dan c) Putusan-putusan atau kebijakan yang dirumuskan dari proses kewenangan.
1.      Pemerintah Sebagai Organisasi
Mengenai unsur pertama, organisasi secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan manusia yang diintegrasikan dalam suatu wadah kerjasama untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan yang ditentukan. Dalam kerangka teori Mc. Kinsey, terdapat tujuh aspek yang membedakan organisasi yang satu dengan organisasi lainnya. Tujuh aspek tersebut adalah: 1) structure, 2) strategy, 3) style (leadership), 4) skill, 5) staff, 6) share value, dan 7) system.
Dalam hal struktur, beberapa organisasi lebih senang memilih tipe garis atau lini, sementara organisasi lain memilih tipe garis dan staf, tipe kepanitian, atau tipe fungsional. Dalam aspek strategi, dapat ditemukan perbedaan mengenai pencapaian tujuan organisasi dalam jangka panjang dan jangka pendek. Kemudian dalam aspek gaya kepemimpinan atau style, ada pemimpin organisasi yang menonjolkan sifat-sifat karismatik, otoriter, partisipatif demokratik, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam aspek keahlian/keterampilan, jelas bahwa setiap organisasi akan membutuhkan keahlian yang spesifik sesuai dengan misi dan tujuan yang akan diraihnya. Begitu juga dalam aspek personalia (staffing), organisasi yang bergerak dibidang pengantaran (delivery) misalnya, akan sangat berbeda kualifikasi staff-nya dibanding dengan organisasi konsultansi. Sedangkan aspek share value artinya bahwa seluruh aspek yang telah disebutkan diatas, pada akhirnya difokuskan kepada super ordinate goals, atau tujuan organisasi yang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, jelas bahwa tujuan yang lebih tinggi dari setiap organisasi akan berbeda-beda pula. Adapun aspek sistem, antar organisasi juga cenderung berbeda, baik mengenai pemanfaatan sistem informasinya, penerapan sistem perencanaan dan pengawasannya, dan sebagainya.
Meskipun pengertian, bentuk, karakteristik, maupun tujuan setiap organisasi tidak sama, namun terdapat satu aspek yang dapat menyamakan persepsi tentang organisasi, yakni bahwa organisasi merupakan jalinan kontrak (a nexus of contracts). Dan oleh karena organisasi merupakan jalinan kontrak, maka faktor penting bagi keberadaan organisasi adalah sejauhmana organisasi tersebut mampu mengadakan kontrak dengan pihak lain.
Dengan demikian, cakupan organisasi sesungguhnya tidak hanya meliputi bentuk-bentuk kelembagaan formal seperti pemerintah maupun organisasi bisnis, tetapi lebih dari itu juga meliputi setiap kontrak (perjanjian) yang terjadi antara dua orang / pihak atau lebih. Dengan kata lain, organisasi tidak hanya diartikan sebagai wujud saja tetapi juga sebagai proses interaksi berbagai pihak. Kontrak atau perjanjian yang membentuk organisasi ini sendiri terdiri dari tiga macam, yaitu:
a.       Spot Contract,
Yaitu kontrak yang terjadi karena adanya transaksi dadakan (spot transaction). Kontrak jenis ini bersifat tidak fleksibel (inflexible) dalam pengertian bahwa para pihak yang mengadakan kontrak tadi tidak memiliki kebebasan untuk saling mengajukan penawaran. Termasuk dalam jenis kontrak ini adalah belanja di supermarket, ketaatan terhadap peraturan lalu lintas, menonton sepakbola di stadion, dan sebagainya.
b.      Relational Contract,
Yaitu kontrak yang terjadi dari adanya hubungan atau relasi antar dua orang atau lebih. Kontrak jenis ini lebih fleksibel sifatnya karena memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Dengan kata lain, kontrak ini mengenal adanya clausul escape atau klausul yang berhubungan dengan diadakannya kontrak tersebut. Contohnya adalah pengangkatan seorang pekerja dengan terlebih dahulu membuat kontraknya, pegawai negeri yang tunduk pada aturan tentang hak dan kewajiban pegawai, dan sebagainya. Khususnya mengenai posisi pegawai negeri ini – dilihat dari ketidakbebasan untuk menentukan pilihan – sesungguhnya bisa dikelompokkan kedalam spot contract. Namun karena sifat relasionalnya yang lebih kuat dan proses untuk menjadi pegawai juga panjang (tidak bersifat dadakan), maka ini lebih tepat dikelompokkan dalam relational contract.
c.       Implicite Contract,
Ini merupakan jenis kontrak yang paling fleksibel, dimana tanpa adanya ikatan kontrak secara formal, seseorang dapat menjadi anggota suatu organisasi. Seorang warga negara misalnya, tanpa melakukan sesuatu tindakan telah melekat dalam dirinya perasaan bangga sebagai anggota masyarakat serta memiliki sense of belonging yang tinggi terhadap negaranya. Kelemahan dari kontrak implisit ini adalah sifatnya yang tidak lengkap (incomplete) dan susah terukur, sehingga ada baiknya jika diadakan escape clausule.
Dari berbagai jenis kontrak diatas dapatlah dipahami bahwa pemerintah dan organisasi sektor publik adalah merupakan jalinan kontrak pula. Dalam hal ini, kontrak yang terjadi pada organisasi sektor publik (pemerintahan) lebih banyak bersegi satu atau eenzijdige publiekrechtelijke handelingen, dari pada suatu perjanjian yang berlandaskan persesuaian kehendak kedua belah pihak atau vrye verdrag. Dengan kata lain, organisasi pemerintah lebih banyak berjalan atas dasar kontrak istimewa (contract suigeneris) dan bukan kontrak sukarela. Pendukung utama ide ini, Buys (dalam Marbun dan Mahfud, 1987), memberi contoh kontrak istimewa ini dalam hal kepegawaian. Ia berpendapat bahwa dalam contract suigeneris ini disyaratkan keharusan pegawai negeri untuk setia dan taat selama menjadi pegawai negeri. Lebih jauh ia mengatakan bahwa pegawai negeri yang melakukan contract suigeneris itu tidak dapat melakukan hak-hak azasinya secara penuh sepanjang berkaitan dengan statusnya sebagai pegawai negeri yang memangku hubungan dinas publik, sebab kalau pegawai negeri itu berkeinginan melak­sanakan hak-hak asasinya secara penuh pemerintah dapat berkata bahwa pegawai negeri bersangkutan bukanlah orang ang diperlukan bantuannya oleh pemerintah. Menurut Buys (dalam teks aslinya) pemerintah dapat menyatakan: Saya menghormati hak-hak tuan tetapi apabila tuan akan melaksanakan hak-hak itu, tuan bukan orangnya yang saya perlukan dan kepada siapa saya minta bantuan”.

2.      Pemerintah Sebagai Proses Kewenangan
Beberapa teori menyebutkan bahwa negara bertujuan untuk memelihara dan menjamin hak-hak alamiah manusia, yaitu hak hidup, hak merdeka dan hak atas harta sendiri (John Locke), untuk mencapai the greatest happines of the greatest number (John Stuart Mill), menciptakan perdamaian dunia dengan jalan mencipta­kan undang-undang bagi seluruh umat manusia (Dante). Sedangkan James Wilford Garner membagi tujuan negara menjadi 3 (tiga), yaitu tujuan asli ialah pemeliharaan perdamaian, ketertiban, keamanan dan keadilan, tujuan sekunder ialah kesejahteraan warga negara, dan tujuan memajukan peradaban.
Pakar lain menyebutkan bahwa fungsi negara adalah melaksanakan penertiban, menghendaki kesejahteraan dan kemakmuran, fungsi pertahanan, dan menegakkan keadilan. Ini berarti pula bahwa fungsi negara dan pemerintah adalah memberikan perlindungan bagi warganya, baik dibidang politik maupun sosial ekonomi. Oleh karenanya tugas pemerintah diperluas dengan maksud untuk menjamin kepentingan umum sehingga lapangan tugasnya mencakup berbagai aspek seperti kesehatan rakyat, pendidikan, perumahan, distribusi tanah, dan sebagainya.
Tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurzorg) ini merupakan tugas dari negara yang berbentuk Negara Kesejahteraan (Welfare State). Dan pendapat-pendapat yang mengaitkan fungsi dan wewenang pemerintah dengan upaya / tujuan menciptakan kemaslahatan yang sebesar-besarnya bagi jumlah yang sebesar-besarnya ini disebut sebagai paham utilitarianisme.
Dalam menyelenggarakan tugasnya tadi, pemerintah diberikan discretionary power atau freies ermessen (pouvoir discretionnaire), yakni kewenangan yang sah untuk turut campur dalam berbagai kegiatan masyarakat, termasuk didalamnya membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya tanpa persetujuan lebih dulu dari legislatif. Dari sini dapat diketahui bahwa penyelenggaraan fungsi kesejahteraan pada Welfare State dilakukan melalui regulasi (pengaturan). Dengan kata lain, tugas-tugas kenegaraan dan atau pemerintahan tersebut dapat dilaksanakan dengan adanya kewenangan (authority).
Dalam setiap pembicaraan mengenai kewenangan tersebut, selalu terkait dengan konsep kekuasaan politik, yaitu suatu kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. (Budiardjo, 1993). Dalam setiap kajian mengenai konsep kekuasaan, terdapat suatu fenomena yang unik dimana kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain seringkali tidak disertai dengan kewibawaan, sehingga tingkat ketaatan dan kepatuhan seseorang sering tidak dilandasi oleh kesadaran secara suka rela melainkan karena pemaksaan oleh instrumen atau alat-alat kekuasaan. Selanjutnya, jika pembahasan telah memasuki dimensi ketaatan atau ketertundukan seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain, menjadi mutlak untuk diketahui tentang authority (otoritas, kewenangan) dan legitimacy (keabsahan), dua konsep yang tidak pernah bisa dilepaskan dari konsep kekuasaan.
Otoritas atau wewenang sendiri menurut Robert Bierstedt dalam karangannya yang berjudul An Analysis of Social Power adalah kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power). Pengertian ini bersesuaian pula dengan pandangan Laswell dan Kaplan, yang menyatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan formal (formal power), dalam arti dimilikinya hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta dimilikinya hak untuk mengharap kepatuhan orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya (Budiardjo, 1993).
Dalam suatu negara yang bersifat demokratis konstitusional, kewenangan tersebut tidak dimiliki secara sentralistis oleh suatu badan / organisasi atau seorang pejabat tertentu. Kewenangan yang ada tersebut didistribusikan kepada beberapa badan agar tidak menimbulkan penumpukan yang dapat berekses terhadap penyalahgunaan kewenangan oleh pemegang kewenangan (onrechtmatige overheidsdaad). Dengan kata lain, suatu kewenangan atau kekuasaan dalam suatu negara / pemerintahan perlu dibagi dan atau dipisahkan.
Munculnya gagasan tentang pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (division of power) dilatarbelakangi oleh adanya absolutisme (monarki absolut) di Eropa abad pertengahan yang mengarah kepada polarisasi rakyat dengan penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Oleh karena itu, agar terdapat proses demokratisasi dan saling kontrol antar lembaga negara sekaligus mengakomodir kepentingan masyarakat, kekuasaan negara perlu dipisahkan kedalam berbagai organ.
Dalam kaitan ini, John Locke melalui bukunya Two Treaties of Government memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga macam, yaitu: kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan kekuasaan federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain). Sementara Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois (1748) memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga macam, yaitu: kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang), serta kekuasaan yudikatif (mengadili kalau terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut). Pemisahan kekuasaan menjadi tiga pusat kekuasaan tadi, oleh Emmanuel Kant diberi nama Trias Politika (Tri = tiga; As = poros; Politika = kekuasaan). Dalam prakteknya, prinsip trias politika ini dijalankan secara kontekstual (sesuai dengan kondisi sosial politik) untuk masing-masing negara.
Disamping adanya prinsip trias politika, konsep pembagian kewenangan juga ditempuh melalui prinsip dan proses desentralisasi. Ini berarti bahwa pemerintah pusat mengalihkan (baik melalui penyerahan, pendelegasian maupun pengakuan) sebagian kewenangan pemerintahan kepada daerah-daerah yang ada di wilayah negara yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan agar tugas-tugas pemerintah dapat berjalan secara lebih cepat, efektif dan efisien, sehingga fungsi pelayanan dan kesejahteraan yang menjadi tanggung jawab pemerintah dapat terlaksana secara optimal. Pada gilirannya, prinsip desentralisasi ini diharapkan dapat mendekatkan masyarakat dengan pemerintah, meningkatkan kepuasan masyarakat, dan sekaligus memperkuat legitimasi politis pemerintah dimata masyarakat.
Sistem pemerintahan yang terpusat (sentralistis) dan terlalu kuat (monopolistis determinatif) jelas dapat merangsang munculnya beinh-benih penyalahgunaan kewenangan serta struktur politik yang menganut konsep diktatorisme atau otoritarianisme. Struktur politik yang demikian tadi antara lain dicirikan oleh beralihnya kekuasaan institusi (institutional power) kepada kekuasaan perorangan (personal power), yang mengarah pada terbangunnya personifikasi negara dalam pribadi kepala negara.[1] Itulah sebabnya, proses operasionalisasi kewenangan pemerintah harus dipecah, baik melalui division of power (pembagian dan penyebaran kekuasaan) maupun devolution of authority (desentralisasi).

3.      Keputusan Pemerintah Sebagai Output Kewenangan
Operasionalisasi kewenangan oleh pemerintah selalu berbentuk tindakan hukum yang berwujud kebijakan publik (public policy). Dalam hal ini, kebijakan publik adalah isi atau materi dari keputusan-keputusan publik yang dibuat dan diimplementasikan oleh pemerintah, baik untuk berbuat sesuatu maupun untuk tidak berbuat sesuatu (the substance of those public decisions as implemented, what the government actually does or doesn’t do).
Menurut Mackenzie (1986: 3-4), kebijakan publik tidak selalu identik dengan hukum. Hukum adalah petunjuk bagi kebijakan publik, atau suatu pernyataan yang diharapkan oleh pembuat hukum (lawmakers) menjadi kebijakan. Disamping itu, peranan pelaksana (implementator) dalam perumusan hukum (lawmaking) tidak sebesar peranan pelaksana dalam perumusan kebijakan publik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan filosofi dalam penyusunan aturan hukum dan kebijakan publik. Aturan hukum lebih banyak didasarkan pada nilai-nilai normatif yang relatif universal seperti baik – buruk, benar – salah, boleh – tidak boleh, dan sebagainya. Sedangkan kebijakan publik lebih bersifat politis, dimana terlibat berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada yang saling bertentangan.
Dalam proses ini terlibat berbagai macam policy stakeholders, yaitu mereka-mereka yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan. Policy stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat negara, lembaga pemerintah, maupun dari lingkungan publik (bukan pemerintah) misalnya partai politik, kelompok kepentingan, pengusaha dan sebagainya. Proses untuk mempengaruhi kebijakan publik inilah yang pada hakekatnya disebut sebagai proses politik. Sebagaimana diungkapkan Mackenzie (1986: 5), politik adalah usaha-usaha individu maupun kelompok yang terorganisir untuk mengawasi atau mempengaruhi pemerintah dalam menentukan isi / materi kebijakan publik (the efforts of individuals and organized groups to control or influence the government in order to affect the substance of public policy). Dengan kata lain, politik berkaitan dengan masalah partisipasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik oleh pemerintah.
Selanjutnya menurut pendapat Hogwood dan Gunn sebagaimana dikutip Sunggono (1994: 15-20), kebijakan (policy) dapat dikelompokkan menjadi 10 (sepuluh) pengertian, yaitu kebijakan sebagai merek bagi suatu bidang kegiatan tertentu (as a label for a field activity), kebijakan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan tertentu yang dikehendaki (as an expression of general purpose or desired state of affairs), kebijakan sebagai usulan-usulan khusus (as specific proposals), kebijakan sebagai keputusan pemerintah (as a decision of government), kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal (as a formal authorization), kebijakan sebagai program (as a programme), kebijakan sebagai keluaran (as an output), kebijakan sebagai hasil akhir (as outcomes), kebijakan sebagai suatu teori atau model (as a theory or model), serta kebijakan sebagai proses (as a process).
Dari ke-10 pengertian tersebut, kebijakan publik lebih merujuk kepada pengertian yang keempat dan keenam, yaitu bahwa kebijakan publik merupakan keputusan pemerintah dan juga sebagai sebuah program. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Edwards dan Sharkansky (dalam Islamy, 1988: 20) yang mengartikan kebijakan publik sebagai “… what the government say to do or not to do. It is the goals or purpose of government programs”. Atau menurut Jones (1996: 49), kebijakan adalah unsur-unsur formal atau ekspresi-ekspresi legal dari program-program dan keputusan-keputusan. Dalam pengertian yang serupa, Eulau dan Prewitt mendefinisikan kebijakan sebagai a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide it (keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut).
Dengan demikian dapat disederhanakan bahwa kebijakan publik merupakan keputusan (formal) pemerintah yang berisi program-program pembangunan sebagai realisasi dari fungsi atau tugas negara, serta dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
Dalam sebuah organisasi sektor publik (pemerintahan), keputusan yang berisi program-program pembangunan tersebut disusun dalam suatu hierarkhi yang sejajar dengan struktur organisasi. Artinya, struktur yang lebih atas dalam suatu organisasi harus melaksanakan perencanaan yang memiliki ruang lingkup lebih luas dibanding struktur yang lebih rendah. Dalam hal ini, maka atas (top manajer) melaksanakan program pembangunan yang terwujud dalam bentuk penetapan tujuan, misi, sasaran, dan strategi organisasi. Sedangkan struktur menengah (middle manager) dan struktur bawah (lower manager) melaksanakan program pembangunan yang terwujud dalam bentuk pelaksanaan program, proyek, dan prosedur.
Disamping itu, pada setiap struktur hierarkhi atau tingkatan organisasi, rencana / program pembangunan mempunyai dua fungsi, yakni menentukan sasaran yang harus dicapai pada tingkat yang lebih rendah, dan sebagai alat mencapai sasaran pada tingkat lebih tinggi berikutnya. Dalam kaitan dengan perencanaan program pembangunan ini, Utomo (2004) mencatat adanya kemajuan yakni dengan diciptakannya instrumen-instrumen baru perencanaan seperti Propeda, Renstra and Repetada. Namun ia juga mensinyalir bahwa rakyat kurang dilibatkan dalam proses dan siklus pembangunan di daerah. Selengkapnya, ia menulis sebagai berikut:
People are supposed to be actively involved in development processes starting from the very beginning of planning system. Unfortunately, people participation is rather superficial one. People may only engage in the first and the lowest level of the planning process, i.e. at the village development meeting (Rapat LKMD), while the subsequent higher steps would simply incorporate government officers. In addition, there was no real public participation, but people mobilization instead … In that sense, local authorities seem to deploy a “benign neglect”, where consultation forum is viewed merely as a formalized democratic mechanism of developmental decision-making process”.
Belum aktifnya masyarakat dalam proses pembangunan ini membawa beberapa bahaya, antara lain berupa kurang terakomodasikannya kepentingan masyarakat dalam program-program pemerintah, besarnya kemungkinan kegagalan untuk membangun tata yang berbasis good governance, serta lemahnya kontrol sosial terhadap jalannya program-program pembangunan sehingga membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah. Itulah sebabnya, reformasi pemerintahan dan reformasi HAN harus ditempuh pula melalui pemberdayaan masyarakat sebagai pilar penting dalam konstruksi pemerintahan yang demokratis.

DIMENSI POKOK KEWENANGAN PEMERINTAH

Kewenangan pemerintah secara umum dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis seperti kewenangan konstitusi atau kewenangan asli dan pokok, kewenangan atribusi yang diperoleh dari delegasi kekuasaan lain khususnya legislatif, serta kewenangan delegasi dan mandat. Diantara ketiga jenis kewenangan tadi, kewenangan pemerintahan yang tertuang dalam konstitusi serta kewenangan atribusi paling banyak mendapat sorotan sebagai kewenangan yang selama ini (era Orde Baru) banyak terjadi penyimpangan. Penjelasan yang lebih terinci dari masing-masing jenis kewenangan diatas dapat diuraikan sebagai berikut.

1.      Kewenangan Konstitusi (wewenang asli atau pokok)

Dilihat dari sejarah ketatanegaraan, kewenangan pemerintah (baca: presiden) telah ditetapkan sebelum lahirnya lembaga pemerintah itu sendiri. Oleh karena itu, pada saat pembentukannya, pemerintah langsung memiliki kewenangan yang secara organik telah melekat pada dirinya, yakni kewenangan yang diberikan oleh konstitusi. Itulah sebabnya, kewenangan ini dapat dinamakan sebagai kewenangan konstitusi.
Dalam hukum dasar negara Indonesia yakni UUD 1945, kekuasaan presiden dibagi menjadi 2 (dua) yakni sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Dalam hubungan ini, MTI berpandangan bahwa kekuasaan presiden sebagai kepala negara hanya kekuasaan administratif, simbolis dan terbatas, yang merupakan suatu kekuasaan di samping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Dengan kata lain, meskipun secara umum hak sebagai kepala negara bersifat istimewa dan mutlak (prerogatif), namun dalam konteks negara demokrasi dan negara hukum modern hal ini tidak dibenarkan lagi, dan harus ditempatkan dalam kerangka kontrol lembaga negara lain. Atas dasar pandangan seperti ini, maka kewenangan kepala negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 10 – 15 UUD 1945 tetap harus melewati mekanisme tertentu, baik yang bersifat pemberitahuan, pertimbangan maupun persetujuan lembaga tertentu (terutama DPR dan MA).
Sementara mengenai kewenangan sebagai kepala pemerintahan, MTI berpendapat bahwa kekuasaan pemerintahan sama artinya dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan lembaga legislatif. alasan bahwa perkembangan kehidupan kenegaraan di masa mendatang membutuhkan rasionalisasi kekuasaan yang didasarkan pada kebutuhan pertanggungjawaban (accountability) yang kongkret dan jelas. Itulah sebabnya, kekuasaan pemerintahan tidak lagi didefinisikan sebagai kekuasaan yang abstrak dan menyerahkan penentuan definisi abstrak tersebut pada satu lembaga saja yakni presiden.
Pola pikir seperti ini mengandung makna bahwa meskipun pemerintah berhak membuat dan menjalankan peraturan perundang-undangan sebagaimana ditetapkan dalam konstitusi, namun harus memperhatikan batas-batas tertentu sehingga tidak mengarah pada terjadinya penggunaan kewenangan yang berlebihan. Secara lebih spesifik, MTI berpendapat bahwa kekuasaan pemerintahan ini terbatas hanya pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi-fungsi bestuur (administrasi), politie (keamanan) dan regeling (pengaturan) yang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Diantara kewenangan kenegaraan (prerogatif) dan kewenangan pemerintahan diatas, kewenangan jenis kedua nampaknya lebih membuka peluang terjadinya penyimpangan. Beberapa hal yang menyebabkan hal ini adalah: pertama, rumusan wewenang pemerintahan tidak bersifat limitatif sehingga dapat mengundang penafsiran yang berbeda dan beragam (multi interpretation). Kedua, konstitusi tidak menentukan batas-batas kewenangan dan rambu-rambu yang harus diperhatikan pemerintah dalam penyusunan sebuah produk hukum eksekutif. Ketiga, kewenangan pemerintahan lebih banyak yang bersifat pengaturan (regeling), sedangkan kewenangan kenegaraan relatif bersifat penetapan (beschikking) seperti pengangkatan duta dan konsul. Keempat, mekanisme kontrol dari unsur kekuasaan negara yang lain (trias politika) kurang berjalan optimal.
Untungnya, kewenangan konstitusi seperti yang dimiliki presiden, tidak dimiliki oleh para kepala daerah. Dengan demikian, tidak terbuka peluang untuk terjadinya abuse of power terhadap jenis kewenangan ini pada level daerah. Hal yang harus dicermati hanyalah kedudukan Kepala Daerah (Gubernur) yang pada satu sisi merupakan pejabat daerah tertinggi yang dipilih oleh rakyat daerah, namun disisi lain juga sebagai wakil pemerintah (pusat) yang mewakili kepentingan strategis nasional.[2]

2.      Kewenangan Atribusi (delegasi legislatif)

Kewenangan atribusi adalah kewenangan (baru) eksekutif yang diperoleh dari atau diberikan oleh lembaga legislatif. Dengan demikian, wewenang tadi sesungguhnya adalah wewenang yang melekat pada lembaga legislatif namun untuk implementasinya kemudian diserahkan kepada eksekutif. Contohnya adalah kewenangan untuk memungut iuran / pungutan kepada masyarakat. Pada masa silam ada pembebanan kepada masyarakat yang disebut IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah)[3] dan Pajak / Iuran TV. Kedua pungutan ini dikeluarkan oleh eksekutif (Presiden dan Menteri). Tanpa adanya pernyataan dari peraturan perundang-undangan bahwa Presiden diberi kewenangan untuk melakukan pemungutan tadi, maka dapat dikatakan bahwa Presiden telah melakukan penyalahgunaan wewenang.[4]
Keputusan Presiden dan Keputusan/Peraturan Menteri sendiri tidak dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan, melainkan hanya peraturan kebijaksanaan. Keppres dan Kepmen/Permen tadi baru menjadi peraturan perundang-undangan jika sudah ada atribusi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni UU. Dalam kasus pungutan iuran TV, misalnya, produk hukum eksekutif (PP, Kepres, Kepmen) baru menjadi peraturan perundang-undangan apabila telah ada suatu UU (katakanlah UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran) yang mengatur bahwa “iuran TV (atau iuran lainnya) diatur lebih lanjut oleh pemerintah”.[5] Klausul seperti inilah yang menjadi dasar hukum timbulnya kewenangan atribusi.
Dalam praktek administrasi negara selama ini terdapat kecenderungan bahwa produk hukum eksekutif tidak memiliki payung hukum yang kuat. Dengan kata lain, Presiden cenderung tidak memperhatikan ketentuan peraturan UU, dan menjadi sewenang-wenang. Prof. Hamid Attamimi (1991) dalam disertasinya menyebut Keputusan Presiden yang tidak memiliki payung hukum (atribusi dari UU) tadi sebagai Keppres Mandiri Non-atribusian. Hal ini masih dapat ditolerir jika Keppres tadi berisi suatu persoalan yang sangat penting dan mendesak (darurat), serta dikeluarkan sebagai wujud tanggungjawab Presiden yang sangat besar. Namun jika jenis Keppres ini terlalu banyak dan terlalu mudah disusun, maka dapat mengurangi kadar demokrasi di suatu negara (Indonesia) dan upaya membangun pemerintahan rakyat.
Itulah sebabnya, lahirnya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan perlu disambut positif. Lahirnya UU ini diharapkan akan membawa kejelasan bahwa Peraturan Presiden adalah produk hukum yang bersifat pengaturan secara umum (regeling), sedang Keputusan Presiden adalah produk hukum yang bersifat penetapan secara konkrit dan individual (beschikking) seperti pengangkatan dan pemberhentian pejabat, pembentukan panitia-panitia negara yang bersifat ad-hoc, dan sebagainya. Sebelum lahirnya UU No. 10/2004, Keputusan Presiden dapat berisi baik pengaturan maupun penetapan. Dengan kata lain, Keputusan Presiden saat itu berkedudukan sebagai peraturan perundang-undangan, sekaligus sebagai peraturan kebijaksanaan. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan kebingungan, perbedaan interpretasi, serta peluang untuk disalahgunakan oleh Presiden. [6] Lebih dari itu, wewenang bebas untuk mengatur suatu hal tertentu ini juga mendorong pemerintah untuk bertindak otoriter.
Mengingat hal tersebut, maka penyusunan suatu peraturan perundang-undangan kedepan paling tidak perlu memperhatikan 2 (dua) hal. Pertama, perlu adanya upaya untuk melakukan kodifikasi secara limitatif kewenangan-kewenangan pemerintah yang diperoleh dari proses atribusi. Kedua, produk hukum yang dikeluarkan pemerintah juga harus memperhatikan batas-batas tertentu.
Dalam kaitan dengan batasan ini, Sjachran Basah (1986) pernah mengajukan adanya batas atas dan batas bawah. Batas atas diartikan sebagai ketaatasasan ketentuan perundang-undangan, dimana peraturan (keputusan/ketetapan) yang dikeluarkan pejabat/badan TUN tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Sedangkan batas bawah berarti bahwa peraturan yang dibuat pejabat/badan TUN tidak boleh melanggar hak-hak masyarakat. Batas atas dari suatu aturan misalnya adalah pasal 27 UUD 1945 yang menentukan bahwa “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan yang layak”. Atas dasar ini, maka setiap peraturan (yang dikeluarkan pemerintah) dilarang menimbulkan akibat hilangnya pekerjaan bagi seorang warga negara, karena bertentangan dengan UUD 1945. Dalam kasus ini, batas bawahnya adalah hak setiap warga negara untuk berkarya dan mendapat nafkah yang layak.
Sementara itu SF. Marbun (2004a) mengajukan batas-batas yang harus dipedomani oleh pejabat/badan TUN dalam menggunakan tindakan atau hak freies ermessen-nya, sebagai berikut: 1) sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri, 2) sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan penting dan mendesak yang timbul secara tiba-tiba, 3) sikap tindak itu ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas public service, 4) sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum, dan 5) sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun secara moral.

3.      Kewenangan Delegasi dan Mandat [7]

Dalam HAN dikenal pula adanya delegasi dan mandat. Menurut Artikel 1.A.1.2.1 Algemene Wet van Bestuurrecht (AWB) naskah 1992/1993, pengertian delegasi adalah Onder delegatieverlening wordt Verstaan; het overdragen door een bestuursorgaan van zijn bevoegheid tot het nemen van besluiten aan een ander die deze onder eigen verantwoordelijkheid uitofent (delegasi adalah pemberian / pelimpahan wewenang oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil keputusan atas tanggung jawab sendiri). Sedangkan pengertian mandat diatur dalam Artikel 1.A.1.1.1 AWB yang berbunyi: het door een bestuursorgaan aan een ander verlenen van de bevoegdheid in zijn naam besluiten te nemen, yang artinya adalah ”mandat adalah kewenangan yang diberikan oleh suatu organ pemerintahan kepada organ lain untuk atas namanya mengambil keputusan” (SF. Marbun, 2004b).
Dengan mengutip Amrah Muslimin, Sinaga (2004) menulis adanya 3 (tiga) bentuk delegasi dalam pengertian makro, yaitu:
  1. Delegasi Bersyarat (voorwardelijke delegatie). Artinya, UU memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk berbuat sesuatu atau membentuk suatu peraturan perundang-undangan ketika negara dalam keadaan sangat terdesak (darurat).
  2. Delegasi dalam bentuk UU Penugasan (machtigingswet). Artinya, dalam suatu UU hanya mengatur hal-hal yang pokok, sedangkan pengaturan lebih lanjut diserahkan atau ditugaskan kepada pemerintah.[8]
  3. Delegasi dalam bentuk UU yang memberikan kerangka dan batas-batas tertentu (kaderwet atau raamwetten). Artinya, lembaga legislatif hanya memberikan kerangka atau sendi-sendi pokok secara politis dalam UU, sedangkan pengkhususannya secara teknis diserahkan kepada pemerintah.
Jika dicermati makna dari ketiga jenis delegasi diatas, maka kebebasan atau keleluasaan pemerintah (pejabat / badan TUN) untuk mengatur suatu substansi tertentu berdasarkan delegasi atau mandat, terbatas hanya pada masalah serta maksud dan tujuan yang digariskan dalam UU tadi.
Sementara itu perbedaan antara delegasi dan mandat dapat dilihat dari beberapa hal. Pemberi delegasi disebut Delegan, sedangkan pemberi mandat disebut Mandan. Penerima delegasi disebut Delegataris, sedangkan penerima mandat disebut Mandataris. Dalam proses delegasi, delegataris dapat bertindak untuk atas namanya sendiri dan bertanggungjawab atas atas tindakannya tadi. Sementara dalam proses mandat, mandataris bertindak dan bertanggungjawab atas nama Mandan (tidak dapat bertindak atas namanya sendiri). Selain itu, delegasi menimbulkan pergeseran kompetensi, sedangkan mandat membiarkan hak-hak jabatan kompetensi yang telah ada mendahului mandat, tetap berada pada tangan Mandan.
Pelayanan penerbitan KTP adalah contoh mandat. Dalam hal ini, Camat (sebagai pejabat yang menandatangani KTP) bertindak atas nama Walikota (sebagai pejabat yang berwenang mengeluarkan KTP dan bertanggungjawab atas tindakannya mengeluarkan atau tidak mengeluarkan KTP). Itulah sebabnya, dalam KTP tadi tertera adanya “atas nama” atau alieno nomine, yang berarti bahwa Camat bertindak sebagai mandataris dari Walikota. Namun jika kewenangan pelayanan KTP tadi sudah didelegasikan kepada Camat, maka Camat dapat menandatangani KTP atas namanya sendiri.
Sementara itu, contoh mengenai delegasi yang sangat mudah ditemui dalam era otonomi daerah saat ini adalah pelimpahan / pendelegasian kewenangan bupati / walikota kepada camat untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan tertentu. Kewajiban untuk melimpahkan kewenangan ini tertuang dalam UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (telah diubah dengan UU Nomor 32 tahun 2004), yang pada pasal 66 berbunyi “Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota”. Oleh karena ada pernyataan eksplisit bahwa hal tersebut merupakan “delegasi kewenangan”, maka camat sebagai delegataris tidak memiliki kompetensi baru untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan yang dilimpahkan dari bupati/walikota.
Prinsip yang sangat perlu diperhatikan disini adalah, walaupun hanya delegasi maupun mandat, namun batasan-batasan kewenangan antara mandan dan mandataris, serta antara delegan dan delegataris perlu ditetapkan secara jelas dan tegas (limitatif). Selain itu, substansi kewenangan yang didelegasikan atau dimandatkan juga harus diperjelas. Semuanya ini untuk meghindarkan agar pelaksanaan delegasi dan mandat tadi dapat berjalan sebagaimana maksud dan tujuan pemberian delegasi dan mandate tersebut, dan mengurangi sebesar mungkin peluang terjadinya operasionalisasi kewenangan yang berlebihan dan kebablasan.

CATATAN PENUTUP

Discretionary power atau freies ermessen yang dimiliki pemerintah memiliki kelemahan fundamental yakni kemungkinan terjadinya perbuatan yang menyimpang dari peraturan sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Untuk itu, guna mempertinggi perlindungan hukum bagi masyarakat diperlukan adanya Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) sebagai dasar etika berpemerintahan. Selama ini pendekatan etika dalam law enforcement nampaknya tidak begitu diperhatikan, dengan argumen telah ada hukum nasional yang terkodifikasi. Sayangnya, aturan hukum selalu tertinggal beberapa langkah dibanding kemajuan cara hidup manusia yang sarat potensi konflik. Itulah sebabnya, banyak pasal-pasal hukum yang kemudian tidak dapat menyelesaiakan suatu peristiwa secara memuaskan. Dalam keadaan sepertti inilah, pendekatan etika berfungsi sebagai sumber hukum baru yang sekaligus mengisi kekosongan hukum.
Oleh karena itu, lahirnya UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, dari perspektif etika dan HAN merupakan kemajuan yang sangat berarti dalam praktek berpemerintahan. Atas dasar aturan ini, legalitas dan kemanfaatan tindakan pemerintah tidak hanya diukur dari tingkat penyimpangannya terhadap norma hukum, tetapi juga terhadap norma-norma lain yang belum diwadahi secara formal dalam bentuk peraturan perundangan tertentu. Dengan kata lain, apabila seorang anggota masyarakat dirugikan oleh suatu keputusan atau tindakan pejabat tertentu, dasar gugatan yang bisa digunakan tidak hanya berasal dari ketentuan hukum positif, namun juga apakah keputusan atau tindakan pejabat tersebut bersesuaian dengan nilai-nilai etika atau tidak. Dalam konteks itulah, maka reformasi birokrasi yang dipadukan dengan reformasi HAN menjadi opsi yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.
Implikasi terpenting dari reformasi birokrasi yang dipadukan dengan reformasi HAN ini adalah terbebasnya para pejabat negara dan pejabat pemerintahan dari praktek-praktek kotor dan tidak terpuji, misalnya KKN. Birokrasi yang sehat dan bermoral, merupakan prasyarat munculnya kebijakan publik yang berkualitas prima, dengan ciri-ciri: 1) mampu mengatasi permasalahan aktual yang sedang dihadapi, 2) mampu memberikan manfaat nyata secara positif dan konstruktif bagi masyarakat, 3) mampu memprediksi dampak-dampak negatif yang mungkin timbul beserta alternatif pemecahannya, 4) mampu memerankan diri sebagai fungsi mediasi dan moderasi dalam suatu kontroversi, 5) memiliki daya akseptabilitas dan aplikasi yang tinggi, serta 6) memiliki konsistensi dengan kebijakan terkait dan mampu menghindarkan kemungkinan terjadinya diskriminasi dalam implementasi.
Akhirnya, adanya kebijakan publik yang prima diharapkan dapat membawa dampak yang signifikan berupa: 1) terjalinnya hubungan antara pemerintah dengan masyarakat secara harmonis, 2) stabilisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai bidang, serta 3) peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat secara progresif.

Daftar Referensi
Asshiddiqie, Jimly, 2000, Tata Urut Perundang-Undangan dan Problema Peraturan Daerah, makalah dalam Lokakarya Anggota DPRD se-Indonesia, diselenggarakan oleh LP3HET, 22 Oktober, Jakarta.
Attamimi, Hamid S., 1991, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I - Pelita IV, Disertasi Doktor pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Basah, Sjachran, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni.
______________, 1986, Perlindungan Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung: Alumni.
Huntington, Samuel P., 1994, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rajawali. Islamy,
Islamy, Irfan, 1988, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bina Aksara
Jones, Charles O., 1996, Pengantar Kebijakan Publik, terjemahan Ricky Istamto, Cet. Ketiga, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mackenzie, G. Calvin, 1986, American Government: Politics and Public Policy, New York: Random House.
Marbun, SF., 2004a, Alternatif Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara, makalah disampaikan pada Diklat Peningkatan Pengetahuan SDM Aparatur Dalam Bidang HAN, diselenggarakan oleh PKP2A I LAN, 3 Desember, Bandung.
______________, 2004b, kata pengantar pada buku “Mandat, Delegasi, Attribusi dan Implementasinya di Indonesia”, karangan H. Mustamin DG. Matutu (et.al.). Yogyakarta: UII Press.
______________ (ed.), 2004c, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press.
Marbun, SF, dan Mahfud, Moh., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : Liberty, 1987.
Matutu, H. Mustamin DG, H. Abdul Latief, dan Hj. Hikmawati Mustamin, 2004, Mandat, Delegasi, Attribusi dan Implementasinya di Indonesia”, Yogyakarta: UII Press.
MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia), tanpa tahun, Pembatasan Kekuasaan Presiden RI: Kajian Terhadap Mekanisme Pelaksanaan Kekuasaan Presiden RI dalam Hukum Positif Indonesia”.
______________, tanpa tahun, Keputusan Presiden yang Menyimpang Periode 1993-1998. Tersedia online di http://www.transparansi.or.id/kajian/
Sinaga, Patuan, 2004, “Hubungan Antara Kekuasaan Dengan Pouvoir Discretionnaire Dalam Penyelengggaraan Pemerintahan”, dalam SF Marbun (ed.), 2004, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press.
Sunggono, Bambang, 1994, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta: Sinar Grafika.
Utomo, Tri Widodo W., 2004, Decentralization and Capacity Building in Indonesian Local Administration: A Long Journey for Discovering A Model of Democratic Developmental Regime (Case Study of Bandung City Government). Unpublished Master Thesis, Graduate School of International Development, Nagoya University.


[1]     Personifikasi negara dalam pribadi kepala negara ini nampak dalam pernyataan Raja Louis XIV di Perancis bahwa negara adalah saya (l’etat c’est moi). Dalam ekspresi yang berbeda, ungkapan the king can do no wrong di Inggris, atau sabda pandhita ratu di wilayah bekas Mataram (DIY, Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur) juga melambangkan adanya totalitas kenegaraan dalam diri seorang raja (kepala negara).
[2]     Dalam UU Pemerintahan Daerah tahun 1974 (UU No. 5/1974), baik Gubernur maupun Bupati / Walikota berkedudukan sebagai Kepala Daerah (pelaksana asas desentralisasi) sekaligus Kepala Wilayah (pelaksana asas dekonsentrasi). Namun dalam UU berikutnya (UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004), hanya Gubernur yang masih memiliki posisi rangkap, yang dapat memunculkan ketidakjelasan atau ambivalensi dalam keputusan yang dikeluarkan, apakah sebagai Kepala Daerah ataukah sebagai Wakil Pusat di daerah.
[3]     Istilah IPEDA pertama kali muncul tahun 1965 saat dibentuknya Direktorat Iuran Pembangunan Daerah pada Ditjen Moneter, Departemen Keuangan. Dengan Keputusan Presiden No. 12/1976, Direktorat IPEDA diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat Jenderal Pajak. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 1985 melalui UU No. 12/1985, Direktorat IPEDA berganti nama menjadi Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Dengan demikian, istilah “iuran” berubah menjadi “pajak”. Meskipun esensinya sama-sama “pungutan”, namun perubahan tadi jelas membawa konsekuensi yang serius, dimana pajak bersifat wajib dan mengandung sanksi hukum tegas bagi pihak yang mengabaikannya. Sedangkan iuran bersifat sukarela dan tidak ada sanksi hukum yang menyertainya.
[4]     MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) pernah mempublikasikan 2 (dua) hasil kajian yang terkait satu sama lain. Pertama adalah mengenai “Pembatasan Kekuasaan Presiden RI: Kajian Terhadap Mekanisme Pelaksanaan Kekuasaan Presiden RI dalam Hukum Positif Indonesia”. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi kajian ini adalah bahwa dalam menjalankan kekuasaannya, presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh UUD 1945, antara lain tercantum dalam Pasal 10 sampai Pasal 15. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata kekuasaan tersebut telah banyak menimbulkan berbagai masalah serius, seperti tidak jelasnya mekanisme pertanggungjawaban yang jelas atas kekuasaan yang besar tadi. Kajian kedua adalah tentang “Keputusan Presiden yang Menyimpang Periode 1993-1998”. Dalam kesimpulannya, MTI menegaskan bahwa sekurang-kurangnya 79 Keputusan Presiden yang dikeluarkan antara tahun 1993 sampai dengan 1998, telah menyimpang baik secara legalitas, materi, maupun dampaknya bagi kehidupan masyarakat. Lebih lanjut, Kepres-Kepres tersebut telah dijadikan alat legitimasi dalam penyalahgunaan kekuasaan, sehingga tindak penyelewengan terlindungi secara legal, dan berlangsung terus menerus dalam kurun waktu yang cukup lama. Apabila dicermati dalam pembuatan Kepres tersebut terdapat indikasi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau penggunaan kekuasaan yang berlebihan (excessive use of power).
[5]     Dasar hukum pungutan iuran TV adalah Keputusan Presiden (Keppres) No. 40/1990. Dalam pasal 2 Keppres tersebut dinyatakan, "Semua pemilik TV di seluruh Indonesia dikenakan sumbangan wajib iuran TV." Kalimat itu sangat kontradiktif atau ambivalen. Disatu pihak disebutkan bahwa iuran itu merupakan sumbangan (yang tentu saja bersifat sukarela dan tanpa paksaan). Namun di sisi lain juga dinyatakan bahwa iuran itu bersifat wajib.
[6]     Pembedaan antara kedua jenis keputusan itu selama ini hanya diadakan dalam pemberian nomor kode Keppres, sehingga bagi masyarakat umum, sulit dibedakan mana yang bersifat mengatur (regeling) dan karena itu dapat disebut sebagai per-ATUR-an, dan mana yang bukan. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Tata Urut Perundang-Undangan dan Problema Peraturan Daerah, makalah dalam Lokakarya Anggota DPRD se-Indonesia, diselenggarakan oleh LP3HET, 22 Oktober 2000, Jakarta. Ketentuan UU No. 10/2004 ini bersesuaian dengan pasal 146 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa “Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah”. dengan demikian, di tingkat daerah-pun telah muncul produk hukum baru yaitu Peraturan Kepala Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota), disamping Keputusan Kepala Daerah yang selama ini telah berjalan. Ketentuan ini diharapkan dapat menghilangkan ambivalensi keputusan (bersifat mengatur sekaligus menetapkan).
[7]     Dalam berbagai literatur, pengertian atribusi, delegasi, dan mandat sering dipergunakan secara bergantian, sehingga menimbulkan kekaburan. Matutu (2004) mencatat bahwa kekaburan dan pencampuradukan istilah / pengertian “atribusi” dengan “delegasi” dapat ditemukan dalam tulisan atau karya-karya Utrecht; sedangkan kekaburan dan pencampuradukan istilah / pengertian “atribusi” dengan “mandat” terdapat dalam tulisan atau karya Logemann.
[8]     Pengertian delegasi penugasan ini sama dengan kewenangan atribusi, sebagaimana dipaparkan pada bagian sebelumnya. Dengan demikian, berdasarkan pembagian delegasi yang dilakukan Amrah Muslimin tadi dapat ditarik suatu pemahaman bahwa wewenang atribusi merupakan salah satu bagian dari delegasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar