Laman

Senin, 31 Mei 2010

Globalisasi, Perdagangan Bebas, dan Peran Pemerintah


Globalisasi dan Implikasinya


Menurut George C. Lodge dalam bukunya Managing Globalization In The Age Of Interdependence (1995: 1), globalisasi adalah suatu proses dimana masyarakat dunia menjadi semakin terhubungkan (interconnected) satu sama lainnya dalam berbagai aspek kehidupan mereka baik dalam hal budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan. Akibatnya, dunia saat ini telah menjadi sebuah pasar global, bukan hanya untuk barang dan jasa, tetapi juga untuk penyediaan modal dan teknologi. Atau dengan kata lain, negara-negara di dunia, secara berangsur telah beralih kepada mekanisme pasar (market-driven) daripada campur tangan pemerintah dalam memecahkan berbagai persoalan perekonomian nasional.

Dengan keterkaitan antara satu negara dengan negara lainnya ini, salah satu implikasi yang muncul adalah ketatnya persaingan antar bangsa, baik dalam hal produk barang dan jasa, kapasitas sumber daya manusia, maupun dalam hal penyediaan fasilitas dan prosedur yang memadai untuk kegiatan investasi dari negara tertentu. Jika suatu negara tidak memiliki basis keunggulan berbanding (comparative advantage) apalagi keunggulan bersaing (competitive advantage), maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut akan tergilas oleh negara lain, sehingga pada gilirannya, secara internasional akan menempatkan negara tersebut pada posisi terbelakang.

Dalam kaitan ini, sangat menarik untuk menyimak pendapat Kristiadi (1997: 75-76) mengenai pergeseran basis perekonomian dari komparatif menjadi kompetitif suatu negara sebagai berikut:

“Dalam menghadapi era liberalisasi ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan dunia (WTO) yang tidak mungkin dihindari, pergeseran basis kompetitif dari sumber daya alam kepada sumber daya manusia, sudah menjadi tuntutan mutlak. Sebab, hanya negara-negara yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas sajalah yang akan mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya dengan cepat. Negara-negara yang hanya mengandalkan kekayaan SDA tetapi mengabaikan kualitas SDM, tidak akan mampu bersaing dalam dunia internasional dibandingkan dengan negara yang mempunyai SDA terbatas namun memiliki SDM yang unggul”.

Untuk menghindari kekalahan dalam persaingan global ini, maka suatu negara harus melakukan upaya-upaya reformasi dalam kebijakan publiknya. Bahkan Tanri Abeng (1997: 91) menegaskan bahwa proses globalisasi selalu menghendaki dilakukannya transformasi manajemen bagi setiap organisasi, baik privat maupun organisasi publik. Tuntutan akan perlunya transformasi manajemen atau penerapan paradigma baru manajemen ini ditekankan juga oleh Emil Salim (1997: 18-19) yang mengatakan sebagai berikut:

“……. proses globalisasi yang sedang melanda dunia sekarang ini melahirkan kebutuhan mengkaji ulang pola-pola manajemen yang dilaksanakan sekarang untuk diubah dan disesuaikan agar mampu menanggapi tantangan jaman. …… pola manajemen modern ini tidak hanya perlu dikembangkan dalam lingkungan bisnis, tetapi lembaga pemerintah dan organisasi kemasyarakatan umumnya juga perlu mengembangkan pola manajemen modern, sungguhpun tidak serupa dengan keperluan bisnis – tetapi paling tidak – sesuai dengan keperluan untuk menanggapi tantangan global”.

Perlunya transformasi manajemen sektor publik ini dilatar belakangi oleh suatu masalah yang sangat krusial, yaitu bagaimana menciptakan efisiensi kerja serta mendorong kinerja sektor publik. Sebab, kondisi aktual maupun faktual selama ini menunjukkan bahwa organisasi pemerintah masih cenderung bersifat organik dengan mekanisme kerja yang tidak efisien serta kurang memiliki daya saing yang memadai dibanding sektor privat atau swasta, apalagi dibandingkan dengan pihak luar negeri.

Hal ini menunjukkan adanya ironi, bahwa ditengah penilaian positif dari dunia internasional kepada Indonesia dalam bidang ekonomi – seperti yang akan dipaparkan dibawah – ternyata kondisi riil lebih banyak bersifat negatif. Dalam kasus ini muncul permasalahan, apakah penilaian dunia internasional tersebut benar-benar obyektif. Sebab, hanya dalam beberapa tahun setelah predikat “ajaib” tersebut, justru Indonesia kembali terlempar ke jurang krisis kegelapan, kelaparan dan keterbelakangan.

Bahkan secara terbuka, Presiden Soeharto (dalam Kompas, 1 April 1998: 1) mengakui bahwa sebagai akibat krisis moneter dan krisis ekonomi, pendapatan rata-rata per kapita rakyat telah menurun, yang berarti makin banyak jumlah penduduk miskin di Indonesia dalam sembilan bulan ini. Dalam keterangan lebih rinci, Menko Ekuin / Ketua Bappenas mengatakan bahwa pendapatan per kapita Indonesia tahun 1998 diperkirakan sebesar US $ 610, atau menurun dibandingkan tahun 1996 sebesar US $ 1.155 dan tahun 1997 sebesar US $ 1.088.

Oleh karena itu, salah satu hantu yang membayangi dari krisis moneter dan perekonomian ini adalah mandegnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, serta penurunan kualitas pelayanan umum (public service) pada khususnya. Inilah tantangan utama bangsa Indonesia dalam memasuki abad 21 yang penuh persaingan, terutama bagaimana memelihara konsistensi suatu kebijakan serta menjaga keberhasilan pembangunan pada tingkat yang diharapkan.

Meskipun demikian, reformasi sektor publik sesungguhnya tidak hanya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan untuk menciptakan efisiensi kerja serta mendorong kinerja sektor publik, melainkan juga sebagai strategi dalam mengantisipasi terjadinya perubahan bentuk dan sifat organisasi (baik privat maupun publik) yang disebabkan oleh proses globalisasi itu sendiri. Dengan kata lain, paradigma administrasi pemerintahan – baik kelembagaan maupun pola kepemimpinannya – tidak dapat disamakan pada suatu komunitas tradisional yang relatif bersifat placid randomized, dengan masyarakat informasi yang turbulent.

Dalam hubungan mengenai perubahan bentuk dan sifat organisasi ini, Steven A. Rosell (1992: 26-27) menyebutkan adanya empat lingkungan organisasi.

Pertama, adalah organisasi dengan lingkungan yang bersifat placid randomized environment (tenang dan acak). Ini merujuk kepada suatu komunitas kecil yang masing-masing angggotanya hampir tidak memiliki hubungan sama sekali (separate units very loosely connected). Disamping itu, tahap ini dicirikan oleh adanya persaingan sempurna. Namun, organisasi tipe demikian sesungguhnya tidak pernah ada, sebab membutuhkan adanya prasyarat bahwa setiap orang harus well informed dan semua organisasi berskala atomistik. Oleh karena itu, pada tahap ini tidak terdapat perbedaan antara strategi dan taktik dalam pola kepemimpinan yang dibutuhkan.

Kedua, tipe lingkungan yang disebut placid clustered yang dicirikan oleh adanya organisasi-organisasi yang lebih besar dan mengelompok, serta menjalin hubungan secara lebih kuat melalui mekanisme persaingan tidak sempurna. Dalam keadaan ini, kehidupan organisasional lebih banyak diatur oleh mekanisme pasar (the invincible hand), sehingga tidak terjadi banyak distorsi. Dengan kata lain, lingkungan semakin terpola dan kelangsungan hidup organisasi akan sangat tergantung pada sejauhmana organisasi tersebut memahami pola-pola lingkungan disekitarnya. Akibatnya, pimpinan organisasi akan memandang strategi jauh berbeda dibanding sekedar taktik.

Selanjutnya pada tahap ketiga terdapat lingkungan yang disturbed-reactive sebagaimana halnya pada pasar oligopolistik. Disini terdapat beberapa unit organisasi yang besar dan bertipe sama, saling berinteraksi dan mengambil keuntungan dari interaksi yang dilaksanakan tersebut. Untuk itu, organisasi dalam lingkungan ketiga ini perlu menambahkan fungsi baru antara strategi dan taktik, yang disebut operasi.

Adapun tipe lingkungan organisasi terakhir adalah turbulent field. Organisasi pada tahap ini akan sangat saling berhubungan dan saling memberikan efek yang sangat kuat dari hubungan tersebut. Akan tetapi dinamika organisasi tadi sesungguhnya tidak hanya lahir dari hubungan yang dijalin, tetapi juga oleh lingkungan dimana hubungan itu sendiri dijalin. Dalam kutipan aslinya, Steven A. Rosell (1992: 27) menulis: “…. the dynamic properties arise not simply from the interactions of the component organizations, but also from the field itself. The ground is in motion”.

Bentuk dan sifat organisasi kemasyarakatan dan pemerintahan dewasa ini pada dasarnya berada pada tipe lingkungan yang keempat, sehingga setiap organisasi memiliki potensi besar untuk berubah disebabkan lingkungan yang turbulent. Dengan kata lain, dewasa ini telah terjadi perubahan lingkungan dari yang placid randomized menjadi lingkungan yang turbulent. Dan perubahan lingkungan ini selalu mensyaratkan adanya perubahan paradigma manajemen dalam suatu organisasi.

Dalam kaitan ini, Wahyudi Prakarsa (1997: 46) menyebutkan adanya tiga perubahan dimensi paradigma, yakni perubahan dalam struktur, sistem dan kultur. Dalam dimensi struktur, organisasi yang rigid dengan prinsip big is beautiful harus diubah menjadi fleksibel dengan prinsip small is beautiful. Dalam dimensi sistem, siklus pengawasan dengan model quality control circle menjadi total quality management. Sedangkan dalam dimensi kultur, prinsip competition harus berubah menjadi prinsip coopetition.

Sementara itu, dalam aspek sumber daya manusia, proses globalisasi dan implikasinya meniscayakan keberadaan manusia-manusia pelaksana pembangunan dan pemerintahan yang profesional. Dalam kaitan ini, Mary Ann von Glinow (1988: 12) menyatakan bahwa konsepsi profesional harus mencakup sedikitnya enam sifat sebagai berikut:

·        Expertise – normally gained from prolonged specialized training – in a body of abstract knowledge.
·         Autonomy – a perceived right to make choices that concern both means and ends.
·        Commitment to the work and profession – in short, the “calling”.
·         Identification with the profession and other professionals.
·        Ethics – a felt obligation to render service without concern for self-interest and without becoming emotionally involved with clients.
·       Collegial maintenance of standards – a perceived commitment to police the conduct of other professionals.

Sedangkan Noorsyamsa Djumara (1997: 19-20) menulis bahwa pembentukan kompetensi dan kepemimpinan aparatur / pegawai negeri harus dilakukan meliputi: (1) Aspek intelektual, (2) Aspek manajerial, dan (3) Aspek behavioral.

Kompetensi intelektual sangat diperlukan sehubungan dengan perkembangan berbagai bidang disiplin ilmu serta kemajuan masyarakat yang sangat pesat, sehingga aparatur pemerintah dituntut untuk dapat menghadapi setiap permasalahan dengan wawasan yang tajam dan analitis, sehingga dapat ditentukan kebijakan atau keputusan yang tepat, akurat dan bermanfaat. Kompetensi manajerial dibutuhkan mengingat bahwa kelompok aparatur sesungguhnya merupakan pemimpin (elite) dari masyarakat luas (massa). Menghadapi massa yang demikian heterogen disegala aspeknya, maka kepemimpinan yang partisipatif, responsif dan antisipatif menadi kebutuhan yang sangat mendesak. Adapun kompetensi behavioral atau perilaku, juga sangat diperlukan didalam era globalisasi yang sangat transparan ini. Sebab, sistem norma, kaidah atau nilai yang dibawa oleh arus globalisasi seringkali menjadikan orang cenderung individualis dan liberalis yang hanya mengejar keuntungan materi saja; sementara kaidah-kaidah humanisme, moralisme, keharmonisan, kekeluargaan dan kebersamaan justru dilupakan.

Perdagangan Bebas Antar Bangsa Sebagai Ciri Globalisasi


Pada pembahasan diatas telah disinggung bahwa globalisasi akan mengakibatkan terjadinya keterkaitan antar bangsa dan persaingan antar bangsa. Keterkaitan dan persaingan tersebut secara konkrit diwujudkan dalam hubungan perdagangan. Oleh karena itu, hanya bangsa atau negara yang memiliki daya saing (produk dan SDM) tinggi dengan dukungan struktur usaha yang lincah, sistem kerja yang efisien, serta budaya korporasi yang berbasis pada jiwa kewirausahaan, yang akan mampu memanfaatkan peluang globalisasi seoptimal mungkin.

Mengenai perdagangan internasional ini, secara teoretis mengacu kepada pendapat Adam Smith dan David Ricardo. Smith dalam bukunya berjudul The Wealth of Nations: An Inquiry into The Nature and Causes (1766) mengemukakan perlunya keunggulan mutlak (absolute advantage) bagi suatu negara, sementara Ricardo justru menganjurkan perlunya keunggulan nisbi (comparative advantage). Kedua tokoh ini tergolong dalam mashab ekonomi klasik.

Konsep absolute advantage mengajarkan bahwa pada umumnya akan menguntungkan bagi suatu negara bila mengkhususkan diri (specialization) dalam produk yang dapat dihasilkan dengan biaya lebih murah daripada negara lain. Jadi jika setiap negara melakukan hal yang serupa, maka semuanya akan beruntung atau lebih beruntung dari pada jika mereka menghasilkan sendiri semua produk yang mereka perlukan.

Sementara konsep comparative advantage mengajarkan bahwa meskipun suatu negara mampu menghasilkan berbagai produk yang biayanya lebih murah dari pada negara lain, tetap masih lebih menguntungkan baginya jika negara tersebut mengkhususkan diri hanya pada produk-produk yang paling murah biayanya dibanding negara lain. Suatu negara hendaknya membiarkan negara lain menghasilkan produk yang perbedaan biayanya sedikit, sebab dengan demikian akan lebih banyak dana dan tenaga yang dapat dipusatkan pada produk yang paling efisien.

Menurut Paul Ormerod (1997: 61), hingga hari ini konsep comparative advantage masih merupakan dasar perdagangan luar negeri. Konsep lanjutan dari konsep absolute advantage ini secara empirik berkembang seiring dengan perkembangan perekonomian Inggris berkat adanya penemuan-penemuan baru dibidang teknologi produksi dan industri. Kemajuan yang drastis dan dramatis tersebut mengakibatkan hampir semua barang dagangan waktu itu dapat dihasilkan oleh Inggris dengan biaya lebih murah (absolute advantage). Namun demikian, kenyataannya perdagangan dengan negara lain masih terus berlangsung. Hal ini disebabkan Inggris hanya mengkhususkan diri pada produk yang paling murah biaya pembuatannya, tidak hanya sekedar lebih murah dari biaya produk negara lain. Inilah inti dari prinsip comparative advantage.

Satu asumsi yang digarisbawahi dalam konsep Ricardo adalah bahwa teorinya hanya berlaku jika (assumption) dana dan tenaga yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk tidak bebas mengalir dari suatu negara ke negara lain. Jika faktor modal dan tenaga kerja bebas keluar masuk antar negara, maka teori ini tidak berlaku. Dengan demikian, sesungguhnya Ricardo mendukung pembatasan peredaran modal (capital mobility) dan sangat menyesalkan kendornya pembatasan tersebut.

Sementara kondisi empiris kehidupan ekonomi dunia saat ini tidak memungkinkan suatu negara melakukan pembatasan-pembatasan atau proteksi, sebagai konsekuensi logis dari era globalisasi sebagaimana telah dijelaskan diatas. Dengan kata lain, pengandaian dalam teori Ricardo sudah tidak dapat lagi dipertahankan secara empirik. Ironisnya, para ekonom ortodoks masih tetap memuji perdagangan bebas dan pasar bebas sebagai suatu sistem baru yang akan menguntungkan semua negara.

Hal ini sangat bertentangan dengan pendapat Maurice Allais (dalam Ormerod, 1997: 23) – ekonom Perancis peraih Nobel ilmu ekonomi tahun 1988 – yang mengeluarkan pernyataan pada bulan Maret 1993 sebagai berikut:

“Tidak betul bahwa perdagangan bebas pasti menguntungkan semua pihak. Perdagangan bebas hanya akan menguntungkan dalam keadaan yang snagat khusus, yakni jika tingkat perekonomian pihak yang terlibat kurang lebih sama. Itulah sebabnya, Perjanjian Maastricht itu keliru. Politik Komisi Eropa mengenai perdagangan bebas mengandung bahaya“.

Pandangan Allais menggambarkan betapa tingginya resiko yang akan dihadapi oleh suatu negara yang terikat dalam suatu kerjasama ekonomi regional dan yang menghilangkan batasan-batasan tertentu dalam praktek perdagangannya. Jangankan secara global, untuk lingkup negara-negara Eropa Barat yang relatif maju saja, masih mengandung kekurangan-kekurangan. Inti dari permasalahan ini adalah adanya hubungan yang tidak simetris (asymmetric association) dalam praktek perdagangan antar bangsa yang bersangkutan. Akibatnya, terjadilah trade – gap antara antara negara maju (developed countries) dengan negara yang relatif lebih terbelakang (developing countries).

Sehubungan dengan adanya bahaya dari prinsip perdagangan bebas tersebut, maka negara-negara berkembang yang akan bergabung kedalam forum kerjasama ekonomi internasional harus benar-benar memiliki keunggulan absolut, dan tidak semata-mata keunggulan nisbi seperti yang dianjurkan oleh Ricardo. Atau dengan kata lain, perlu dicapai suatu keseimbangan struktural ekonomi antar negara sebagai prasyarat keberhasilan sistem perdagangan bebas.

Dengan demikian, sistem perdagangan bebas tidak muncul menjadi ancaman, namun merupakan peluang bagi seluruh negara di dunia untuk meningkatkan kinerja ekonominya sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Ini dapat terealisasikan hanya apabila perdagangan bebas dapat menimbulkan tiga situasi utama, yakni:

o       Menghindarkan terjadinya X-inefficiency. Artinya, dalam alam kompetisi, pihak produsen akan didorong untuk melaksanakan proses produksi yang efisien (meminimumkan biaya produksi) sehingga harga yang dibebankan kepada pihak konsumen menjadi relatif murah.
o      Menghindarkan ketidakstabilan ekonomi makro yang menjurus kepada timbulnya stop-go macroeconomic cycles.
o       Mendorong berlangsungnya proses produksi dalam skala penuh dengan memperluas produksi untuk ekspor. Liberalisasi perdagangan diantisipasikan menimbulkan situasi yang berciri increasing returns to scale, sehingga dapat kompetitif dipasaran internasional (Sritua Arief, 1998: 149-150).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perdagangan bebas antar negara (international trade) dalam era globalisasi merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak, namun perlu disikapi dengan waspada dan hati-hati disertai dengan kesiapan sumber daya manusianya, baik dari kalangan aparatur dan pelaku ekonomi maupun lapisan masyarakat seluruhnya.

Peran dan Pergeseran Peran Pemerintah Dalam Era Perdagangan Bebas


Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi utama suatu negara dengan perangkat pemerintahannya adalah untuk melayani dan melindungi kepentingan masyarakat, membebaskan penduduk dari rasa takut, sekaligus meningkatkan kesejahteraannya (Arief Budiman, 1996: 29; Wahyudi Kumorotomo, 1992: 62). Bahkan Frans Magnis Suseno (1988: 305) mengatakan bahwa raison d’être atau alasan satu-satunya bagi eksistensi negara adalah kepentingan umum. Disamping itu, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi pada suatu negara (salus populi suprema lex).

Dalam konteks ke-Indonesia-an, birokrasi harus mampu mewujudkan tujuan nasional yaitu tercapainya masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera.

Adanya fungsi kesejahteraan dan fungsi pelayanan yang diemban oleh birokrasi tadi jelas tidak dapat dipisahkan dari filsafat kerakyatan sebagai inti ajaran kontrak sosial yang dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau (Du Contract Social, 1762). Teori ini mengajarkan bahwa manusia pada fase masyarakat primitif memiliki sifat-sifat kesamaan. Namun dengan timbulnya hak milik perseorangan (propriete privee), sifat tadi berubah menjadi ketidaksamaan, yang pada gilirannya menimbulkan bentrokan (conflict) dan peperangan antar manusia yang mengakibatkan suatu keadaan kacau (social disorder). Untuk memperoleh ketenteraman dan kebebasan, maka masyarakat mengadakan perjanjian bersama (kontrak sosial), yang membentuk suatu pemerintahan dengan tugas-tugas pelayanan dan kesejahteraan (Koentjoro Poerbopranoto, 1987: 17).

Untuk merealisasikan fungsi kesejahteraan dan fungsi pelayanan sebagaimana tersebut diatas, maka birokrasi pemerintahan harus menjalankan “kebijakan-kebijakan negara”. Dan untuk mengimplementasi-kan kebijakan yang telah ditetapkan secara baik dan lancar, pemerintah dilengkapi dengan berbagai instrumen maupun sarana yang diharapkan mampu memacu kinerjanya secara optimal (discretion of power).

Oleh karena mengemban dua fungsi pokok ini, maka salah satu sisi normatif yang melekat pada setiap tindakan atau keputusan pejabat publik (sebagai unsur pelaksana birokrasi) adalah bahwa tindakan atau keputusan tadi haruslah selalu bermuara kepada upaya mencapai kesejahteraan publik.

Pentingnya peranan atau fungsi negara dalam penyelenggaraan kesejahteraan umum terutama dalam sistem ekonomi menurut Didik Rachbini (1994: 83) didasarkan paling tidak pada dua alasan. Pertama, timbulnya kegagalan pasar (market failure) dalam sistem ekonomi, membuka kemungkinan masuknya peranan negara untuk mendorong terwujudnya mekanisme pasar yang efektif sehingga kesejahteraan para pelaku ekonomi bisa tercapai secara lebih baik. Kedua, kenyataan terdapatnya kegagalan distribusi pendapatan dan ketimpangan kesejahteraan masyarakat, sehingga peranan pemerintah lebih tertuju untuk melakukan kebijakan redistribusi atau pengalokasian kembali sumber-sumber ekonomi. Inilah dasar teoritis dari mazhab Welfare Economics yang menjadi basis pembenaran terhadap intervensi pemerintah dalam kehidupan masyarakat.

Meskipun demikian, dalam praktek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat dapat diamati bahwa pemerintah menghadapi berbagai kendala maupun hambatan yang menyebabkan pelaksanaan fungsi pelayanan dan kesejahteraan menjadi tersendat. Dengan kata lain, banyaknya tingkat keluhan masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik serta masih tingginya tingkat kemiskinan masyarakat, menunjukkan bahwa proses pencapaian tujuan nasional masih akan memakan waktu yang amat panjang, jika tidak dikatakan sebagai suatu kegagalan negara (state failure).

Oleh karena itu, wajarlah jika kemudian berkembang pemikiran yang menghendaki – atau bahkan menuntut – adanya perubahan orientasi pemerintahan yang lebih menekankan kepada fungsi-fungsi katalisasi, antisipasi dan desentralisasi. Artinya, masyarakat (atau swasta) perlu diberikan kebebasan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam bidang-bidang usaha, namun tetap dalam kerangka aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Disamping itu, pergeseran peran pemerintah juga merupakan suatu proses yang logis dan beralasan. Dikatakan logis dan beralasan, sebab pada tahap-tahap awal pembangunan, prioritas pembangunan masih ditekankan pada penyiapan sarana/prasarana dasar guna mendorong pertumbuhan ekonomi, mobilisasi dana, dan penjagaan keseimbangan pertumbuhan antar daerah. Dengan adanya prioritas seperti ini, wajarlah jika peran pemerintah menjadi menonjol. Namun manakala potensi swasta telah berkembang dengan pesat, sudah saatnya pemerintah menarik mundur segenap kekuatannya, serta lebih banyak berdiri di belakang sebagai pengendali dan pengatur irama kehidupan diberbagai sektor (tut wuri handayani).

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, suatu tugas dan atau urusan yang penyelenggaraannya masih bersifat sentralistis, jelas tidak sesuai lagi dengan tuntutan jaman. Oleh sebab itu, desentralisasi, deregulasi dan debirokratisasi merupakan salah satu pilihan strategis bagi para penentu kebijakan dan pengambil keputusan dalam upaya membangkitkan potensi, kemampuan dan kapasitas masyarakat (swasta) serta unit organisasi (birokrasi) yang lebih kecil.

Dengan adanya upaya otonomi atau desentralisasi dalam manajemen pembangunan dan pemerintahan, menurut Emil J. Sady (dalam Bintoro Tjokroamidjojo, 1990: 82) akan memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut:

o      Mengurangi beban pemerintah pusat, dan campur tangan tentang masalah–masalah kecil pada tingkat lokal dan memberikan peluang untuk koordinasi pelaksanaan tingkat lokal;
o        Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi, dan pada tingkat lokal dapat merasakan keuntungan dari pada kontribusi kegiatan mereka;
o       Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis;
o        Melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri; serta
o        Pembinaan kesatuan nasional.

Dalam perspektif yang agak berbeda, analisis Sofian Effendi (1996: 16 – 17) memberikan gambaran mengenai pentingnya “reformasi” sektor publik ini. Menurut Effendi, intervensi pemerintah yang terlalu besar dalam kegiatan ekonomi terbukti mengandung penuh keterbatasan serta telah menyebabkan inefisiensi yang sangat besar. Untuk itu sektor publik, terutama birokrasi publik, harus mengalami pergeseran nilai dari otoritarianisme birokratik ke otonomi birokratis, atau perubahan dari negara pejabat menjadi negara pelayan.

Dengan kata lain, pendapat yang beranggapan bahwa birokrasi merupakan organisasi mapan yang tidak pernah bangkrut, ternyata tidak memiliki relevansi lagi. Bahkan sesungguhnya, Peter Drucker sejak tahun 1968 lewat bukunya yang berjudul The Age of Discontinuity telah meramalkan secara jitu mengenai kebangkrutan pemerintahan birokratis.

Kondisi seperti ini mensyaratkan perlunya dilakukan penataan ulang, restrukturisasi, reformasi, revitalisasi, atau reengineering pemerintahan. Istilah ini dipergunakan bersamaan, sebab diantara keempat istilah ini menunjuk pada sesuatu yang sama, yaitu suatu proses perubahan yang menurut Caiden (dalam Soesilo Zauhar, 1996: 8) bertujuan:

“…… improve the administration performance of individual, groups, and institutions and to advise them how they can achive their operating goals more effectively, more economically, and more quickly”.
(…… meningkatkan kinerja administrasi pada tingkat individu, kelompok maupun lembaga, serta menunjukkan cara meraih tujuan operasional secara lebih efektif, ekonomis, dan lebih cepat).

Dalam rangka mengantisipasi tuntutan transformasi sektor publik yang didorong oleh proses globalisasi inilah, aktualisasi peranan aparat pemerintah Daerah Tingkat II semakin relevan. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, peran apakah yang dapat dijalankan oleh pemerintah daerah (Tingkat II), dan bagaimanakah peran tersebut dapat dijalankan?

Untuk memahami peranan pemerintah daerah ini, kiranya perlu diajukan John Stewart (1988: 79-82) yang mengajukan konsepsi tentang delapan peran pemerintah lokal, yakni sebagai berikut:

1.      Building the relationship between the political process and the management process.
Hal ini berarti bahwa seorang pimpinan daerah harus menjadi mediator yang adil dalam menerjemahkan kebijakan politis pemerintah Pusat kedalam kebijakan operasional bagi kepentingan masyarakat di daerahnya.
2.      Understanding the organization, realising its strengths and overcoming its weaknesses.
Jajaran aparatur pemerintah di Daerah tidak cukup hanya mampu mengidentifikasikan kekuatan dan kelemahan, namun harus mampu mengatasi kelemahan yang ada sekaligus memelihara faktor kekuatan yang dimiliki. Mereka perlu memastikan bahwa kinerja dan efektivitas organisasi tetap terjaga baik, sehingga akuntabilitas maupun responsibilitas organisasi berada pada tingkatan yang cukup tinggi..
3.      Appreciating policy not in service, but in authority terms.
Ini mengandung makna bahwa para penyelenggara pemerintahan daerah hendaknya memiliki wawasan yang tidak sebatas organisasi pemerintah daerah itu sendiri, tetapi harus bersifat lintas sektoral maupun multi disipliner. Akan tetapi, meskipun dituntut untuk memahami berbagai dimensi permasalahan, namun para penyelenggara pemerintahan daerah ini tetap harus memiliki peran yang tinggi dalam spesialisasi tertentu.
4.      The responsibility for resolving the problems that cannot be resolved departmentally.
Masalah kegagalan organisasi, konflik antar lembaga, dan seluruh permasalahan yang ditemui di suatu daerah, pada hakekatnya menjadi tangungjawab pemerintah daerah.
5.      Understanding the role of authority in its community and helping it to fulfil that role.
Para pejabat pemerintah daerah memiliki peran pelayanan yang diidentifikasikan berdasarkan area atau wilayah, bukan berdasarkan substansi dari pelayanan tersebut. Dengan peran ini, aparat pemerintah daerah dapat memanfaatkan sumber-sumber daya publik maupun privat, dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat seluruhnya.
6.      Having a sense of direction.
Artinya, aparatur pemerintah di Daerah Tingkat II harus memiliki kemampuan memberikan perintah secara cermat, khususnya dalam rangka mengatasi suatu krisis akibat tekanan dan perubahan politik, maupun konflik-konflik yang terjadi dilingkungan organisasinya.
7.      Helping the organization change in a changing society.
Aparatur pemerintah Daerah Tingkat II perlu menjamin keberlangsungan organisasi beserta pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya dalam rangka menjamin keberlanjutan pelayanan kepada masyarakat, melalui penciptaan stabilitas lingkungan (internal dan eksternal) organisasi. Dengan kata lain, aparatur harus mampu memberikan garansi bahwa dalam perubahan lingkungan seperti apapun, tujuan organisasi tetap dapat direalisasikan secara tepat waktu dan tepat kualitas.
8.      The head of the council paid service.
Aparatur pemerintah Daerah Tingkat II memikul tanggungjawab secara keseluruhan atas penyelenggaraan tugas-tugas yang dilaksanakannya maupun atas kewenangan yang diberikan kepada unit-unit kerjanya yang lebih kecil. Aparatur juga dituntut tanggungjawab untuk membangun sebuah tim kerja yang mampu bekerjasama secara baik guna meningkatkan peranan tim tersebut.

Apa yang dikemukakan oleh Stewart ini memang belum memuaskan dan belum mampu menggambarkan peran pemerintah (daerah) secara konkrit dan menyeluruh. Namun pemikiran mengenai delapan peranan pemerintah tadi dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan jika diingat bahwa semenjak terbitnya buku Il Principe dari Niccolo Machiavelli, belum ada lagi pakar ilmu politik yang mengkaji tentang tugas dan fungsi pemerintah.

Hal ini ditekankan oleh Peter Drucker (1997: 282) yang mengatakan sebagai berikut:

“….. kita memerlukan sesuatu yang tidak kita miliki: sebuah teori mengenai apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Tak ada pemikir politik yang besar, setidaknya setelah Machiavelli hampir 500 tahun yang silam, yang telah menjawab pertanyaan ini. semua teori politik sejak Locke dalam The Federalist Paper sampai dengan artikel-artikel ….. tak satupun yang mempertanyakan apa fungsi yang tepat dari pemerintah. Tak satupun yang mempertanyakan hasil-hasil dari kegiatan pemerintah yang seharusnya diperhitungkan”.

Sementara itu dalam konteks pembangunan secara umum, John Weiss (1995: 8) mengemukakan peranan dan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan – khususnya bidang ekonomi – terdiri dari empat wilayah, yaitu:

macroeconomic management, regulatory and promotional framework, investment in human capital and infrastructure, and protection of the poor and vulnerable”.
(mengelola dan menyelenggarakan kebijakan makroekonomi yang mantap, menyelenggarakan pengaturan dan promosi terhadap kebijakan dalam suatu kegiatan tertentu, mengembangkan kemampuan sumber daya manusia sebagai faktor modal, serta melindungi dan mengentaskan masyarakat miskin atau terbelakang).

Masing-masing dari keempat peranan pemerintah dalam pembangunan (berfokus pada bidang ekonomi) ini akan dipaparkan lebih lanjut dalam sub bab lain pada bab ini yang membahas mengenai “Kebijakan Makro Ekonomi Negara Berkembang (termasuk Indonesia) dan Tingkat Kinerjanya”.

Berbagai peran, campur tangan atau intervensi pemerintah dalam proses pembangunan tersebut, menurut Irving Swerdlow sebagaimana dikutip Bintoro Tjokroamidjojo (1990: 19) dapat dilakukan dengan beberapa strategi, antara lain operasi langsung (direct operation), pengendalian langsung (direct control), pengendalian tidak langsung (indirect control), pemengaruhan langsung (direct influence), serta pemengaruhan tidak langsung (indirect influence).

Lebih jauh dalam TAP MPRS No. XXIII tahun 1966 tentang “Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan” yang merupakan rumusan pertama mengenai peranan pemerintah dalam demokrasi ekonomi dan pembangunan, disebutkan:

“Dalam menjalankan peranannya di bidang ekonomi, maka Pemerintah harus lebih menekankan pengawasan kearah kegiatan ekonomi dan bukan pada penguasaan yang sebanyak mungkin dari kegiatan-kegiatan ekonomi”.

Ketentuan ini sangat bersesuaian dengan paradigma Reinventing Government yang diajukan David Osborne dan Ted Gaebler (1992) mengenai pemerintahan katalis, yakni pemerintah yang lebih banyak melakukan fungsi pengaturan dan pengendalian daripada sebagai pelaksana langsung suatu kegiatan (steering rather than rowing). Dengan kata lain, pemerintah sudah harus mulai berpikir mengenai pemberdayaan masyarakat melalui kebijakan privatisasi maupun kemitraan.


Daftar Bacaan

Arief, Sritua, Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia: Pemberdayaan Rakyat Dalam Arus Globalisasi, Bandung: Zaman, 1998
Budiman, Arief, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia, 1996
Djumara, Noorsyamsa, Prospek Pengembangan Jabatan Fungsional Penegak Hukum Bidang Pemasyarakatan, Orasi Ilmiah Disampaikan Pada Upacara Wisuda Ke-30 dan Dies Natalis Ke-33 Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Jakarta, Oktober 1997.
Drucker, Peter, Managing in A Time  of Great Change, terjem. oleh Agus Teguh Handoyo, “Manajemen di Tengah Perubahan Besar”, Jakarta: Elex Media Komputindo, 1997
Effendi, Sofian, Revitalisasi Sektor Publik Menghadapi Keterbukaan Ekonomi dan Politik, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FISIP UGM, Yogyakarta, 3 Agustus 1996
Kristiadi, JB., “Deregulasi dan Debirokratisasi Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan“, makalah pada Seminar Nasional PERSADI, Jakarta, 8-9 Maret 1997
Krugman, P., “The Mynth of Asia’s Miracle”, dalam Foreign Affairs, Vol. 73 No. 6/1994
Kumorotomo, Wahyudi, Etika Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992
Ormerod, Paul, Matinya Ilmu Ekonomi (The Death of Economics)¸ terjemahan oleh Parakitri tahi Simbolon, Jilid 1, Jakarta: Gramedia, 1998
Osborne, David and Gaebler, Ted, Reinventing Government (How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector), Addison-Wesley Publishing company, Inc, 1992.
Poerbopranoto, Koentjoro, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Bandung: Eresco, 1987
Prakarsa, Wahyudi, Dampak Perubahan Lingkungan Pasar Terhadap Organisasi dan Manajemen, makalah tidak diterbitkan, Jakarta: Program Pascasarjana UI, 1997
Rachbini, Didik J., t.t. , Ekonomi Politik: Paradigma, Teori dan Perspektif Baru, Jakarta: CIDES
Rosell, Steven A., (et.al.), Governing in an Information Society, Institute for Research on Public Policy, Montreal: 1992
Salim, Emil, (et.al.), Manajemen Dalam Era Globalisasi, Jakarta: Elex Media Komputindo, 1997
Tjokroamidjojo, Bintoro, “Pembangunan Administrasi Publik Dalam Pelita VII“, makalah pada Seminar Nasional PERSADI, Jakarta, 8-9 Maret 1997
von Glinow, Mary Ann, The New Professionals: Managing Today’s High-Tech Employess, Ballinger Publishing Company, 1988
Zauhar, Soesilo, Reformasi Administrasi: Konsep, Dimensi dan Strategi, Jakarta: Bumi Aksara, 1996

Minggu, 09 Mei 2010

Mencermati Penataan PKL Kota Bandung


PENATAAN Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Bandung sangat menarik untuk dicermati. Disamping telah memakan waktu yang sangat panjang, juga karena adanya tarik-menarik yang sangat kuat antara para PKL dengan Pemkot Bandung.

Tarik menarik kepentingan ini bisa disimak dari penolakan sekira 3.000 pedagang yang tergabung dalam Koperasi Pedagang Kaki Lima Busana Bandung Mandiri (KbbM) untuk pindah ke Gedebage sesuai waktu yang disepakati semula, yakni 24 Juli 2004. Menurut para pedagang, Pemkot Bandung dalam mengambil keputusan tidak pernah mengajak bermusyawarah. Selain itu, keputusan pemkot melalui nota dinas Sekretaris Daerah Kota Bandung, tidak sesuai kesepakatan terdahulu yang menyatakan pedagang akan di tempatkan di Ciroyom (“PR”, 27/06/04).

Menyikapi penolakan pindah tadi, Camat Regol menegaskan bahwa mengingat lingkungan Tegallega akan ditata menjadi kawasan hijau dan taman kota, mau tidak mau sesuai program Pemkot Bandung, relokasi para pedagang kaki lima Tegallega ke Pasar Induk Gedebage, tetap harus dilaksanakan. Bahkan keberadaan Koperasi Pedagang Kaki Lima Busana Bandung Mandiri (KbbM) tidak diakui oleh Camat Regol dan juga oleh Ketua Gabungan Pengusaha Kecil dan Jasa Lapangan (“PR”, 29/06/04).

Meskipun para pedagang akhirnya menyatakan setuju untuk direlokasi (“PR”, 10/07/04), belum tentu Bandung akan segera terbebas dari masalah klasik ini. Bahkan tidak ada satu jaminanpun bahwa pada tanggal 24 Juli ini Tegallega akan kosong dari keberadaan PKL. Pengalaman beberapa Walikota Bandung dalam mengatur pada pedagang selama ini menggambarkan betapa sulitnya menata kawasan kota. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan penataan PKL menjadi sedemikian rumit?

Kalau dicermati lebih dalam, keruwetan penataan kota, khususnya yang menyangkut PKL Tegallega ini bersumber dari 3 (tiga) macam perception gap atau asymetriic information yang berhubungan dengan masalah waktu, lokasi, serta biaya relokasi. Dalam hal waktu, para pedagang kokoh pada pendiriannya bahwa mereka akan pindah setelah lebaran tahun ini, sementara Pemkot meminta mereka untuk pindah pada tanggal 24 Juli 2004. Dari aspek lokasi, para pedagang lebih memilih Ciroyom yang dinilai jauh lebih strategis dan prospektif disbanding Gedebage. Sementara, argumen Pemkot untuk memindahkan PKL ke Gedebage juga masuk akal, yakni agar terjadi efek penyebaran pembangunan dan pemerataan pertumbuhan di berbagai kawasan. Adapun dalam hal biaya relokasi, para pedagang masih menunggu uang subsidi yang telah dijanjikan Pemkot namun belum juga diberikan. Dan ini juga menjadi salah satu alasan untuk menolak kepindahan ke lokasi baru.
* * *
TERLEPAS dari kontroversi diatas, penataan kota (termasuk didalamnya PKL) memang harus dilakukan, tentu saja dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan dan keberlanjutan usaha pedagang yang bersangkutan. Sebab, tanpa adanya penataan yang matang, wajah kota justru akan kehilangan sisi kemanusiaannya. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa penataan PKL seolah tidak pernah selesai?

Kota Bandung, nampaknya bisa disebut sebagai kota yang selalu bermasalah dengan PKL. Berbagai upaya telah dilakukan, dan bermilyar rupiah telah dikeluarkan untuk menata PKL. Namun, ketika PKL dapat dibersihkan dari lokasi tertentu di Kota Bandung, ternyata hanya bertahan satu hari, dan setelah itu menjamur kembali (“PR”, 16/12/02). Pemkot Bandung seperti kehilangan akal dan cara untuk menertibkan PKL sekaligus menekan laju pertumbuhannya. Secara samar dapat ditangkap kesan bahwa PKL lebih dipandang sebagai masalah yang harus segera dituntaskan, dari pada sebagai kelompok yang harus diberdayakan. Pemkot Bandung nampaknya juga menerapkan asumsi “makin kecilnya jumlah PKL berarti makin tingginya tingkat ketertiban umum”.

Justru asumsi inilah yang perlu diluruskan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa PKL sering menyebabkan permasalahan ketertiban. Namun harus disadari pula bahwa PKL sesungguhnya memiliki potensi yang besar untuk kehidupan perekonomian perkotaan. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus ditempuh dalam program penataan kota ini adalah menghilangkan stigma bahwa PKL merupakan sumber berbagai persoalan yang menyangkut “ketertiban”. Dalam banyak hal, PKL justru dapat dijadikan sebagai solusi bagi kehidupan ekonomi yang belum pulih dari krisis.

Dengan demikian, persoalan PKL perlu dikaji secara cermat dan hati-hati, sehingga dapat dihasilkan kebijakan yang manjur untuk menciptakan ketertiban umum di perkotaan tanpa harus menggusur kelompok marjinal tersebut. Bagaimanapun, PKL adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang terpaksa menghadapi realita kegagalan pemerintah dalam membangun perekonomian rakyat.
* * *
DALAM bukunya berjudul The Microfinance Revolution: Sustainable Finance for the Poor (2001), Robinson mengatakan bahwa munculnya pedagang kecil informal merupakan konsekuensi dari disfungsi kebijakan ekonomi. Mengacu pada pendapat ini, maka permasalahan PKL akan hilang dengan sendirinya jika program pembangunan ekonomi pemerintah mampu menghidupkan dinamika usaha kecil dan menengah, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Jadi jelaslah bahwa yang semestinya paling bertanggung jawab atas hal ini adalah pemerintah, sehingga mengejar-ngejar, menutup dengan paksa, dan kadang disertai dengan penyitaan dan aksi kekerasan terhadap PKL, nyata-nyata bukan kebijakan yang manusiawi. 

Lebih lanjut Robinson mengatakan pula bahwa pola penanganan sektor informal bersifat tidak konkrit (invisible) dalam pengertian tidak terintegrasi kedalam (atau tidak tersentuh oleh) perencanaan dan penganggaran pemerintah, model para ekonom, porto folio perbankan, maupun kebijakan makro nasional. Sebaliknya, langkah represif-lah yang dipakai seperti memindahkan dari jalanan, mengirim kembali para pedagang ke desa asalnya, atau memaksa mereka untuk berpindah profesi. Akibatnya, akar permasalahan PKL semakin tidak tersentuh (more invisible).

Padahal kalau mau jujur, keberadaan PKL menawarkan banyak keuntungan. Yang terpenting adalah menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan pendapatan bagi kaum miskin dan pengangguran. Sebagian dari mereka juga berjasa dalam memperbaiki atau mengolah kembali barang-barang bekas / buangan seperti elektronik, pakaian, atau barang kebutuhan rumah tangga lainnya. Kemudian, mereka juga menawarkan barang dengan harga sangat murah yang terjangkau bagi masyarakat berpendapatan rendah. Disisi lain, mereka memiliki daya fleksibilitas (waktu, tempat, komoditas, harga, dsb) yang tinggi sebagai kunci untuk dapat bertahan hidup ditengah persaingan antar PKL yang sedemikian ketat.

Dengan demikian, merebaknya jumlah PKL bukan semata-mata karena hasrat para pelaku bisnis jalanan tadi untuk memperoleh pendapatan (push factors), tetapi lebih karena demand / tuntutan pasar yang membutuhkan jasa PKL (pull factors). Pada saat yang bersamaan, jenis usaha ini juga memberikan dampak ikutan yang menguntungkan (positive spillovers) seperti mengurangi beban pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja, membantu proses daur ulang beberapa jenis sampah, serta menjadi alternatif terbaik bagi kelompok berdaya beli rendah. Mengingat berbagai keunikan tersebut, upaya menghapus PKL dapat dipastikan tidak akan pernah berhasil, malahan hanya menghabiskan anggaran yang semestinya digunakan untuk memberdayakan mereka.
* * *
URAIAN diatas menyiratkan bahwa persoalan PKL mengandung dimensi ganda. Disatu sisi, PKL memiliki potensi menimbulkan kerumitan sosial di perkotaan, dari kemacetan lalu lintas dan penumpukan volume sampah sampai dengan kasus penyerobotan lahan dan kemungkinan tindak kriminal. Oleh karenanya, jumlah dan penyebaran PKL perlu dibatasi. Disisi lain, sektor ini menawarkan solusi bagi kehidupan perekonomian yang masih gonjang-ganjing, sehingga perlu diperbesar lagi peranannya. Sayangnya, sebagian besar kota-kota di Indonesia terkesan lebih condong kepada mainstream yang pertama. Ini berarti bahwa para pedagang masih menghadapi tantangan yang cukup berat di kemudian hari.

Dalam perspektif kedepan, agenda yang perlu dikedepankan adalah bagaimana meminimalisir dampak yang mungkin terjadi tanpa meniadakan sumber penyebabnya. Dengan kata lain, bagaimana mengakui dan membina PKL tanpa menimbulkan akibat negatif. Untuk ini, paling tidak tiga kebijakan perlu dipertimbangkan.

Pertama, pemerintah harus mengintegrasikan sektor informal kedalam perencanaan makro ekonomi secara formal. Artinya, ketika bicara tentang kebijakan ketenagakerjaan, pengentasan kemiskinan, pengembangan wilayah, dan sebagainya, sektor informal khususnya PKL perlu dijadikan salah satu variabel yang ikut menentukan arah kebijakan tersebut. Dengan demikian, legalitas dan keamanan berusaha mereka akan lebih terjamin, sekaligus juga mendapat akses yang lebih besar terhadap kredit atau jasa sektor publik lainnya. Kasus pembangunan ITC di Bandung yang berdampak pada membludaknya jumlah PKL dan runyamnya kemacetan, menunjukkan tidak adanya integrasi dalam perencanaan pembangunan.

Kedua, pemerintah perlu memiliki kesamaan visi dalam penataan perkotaan. Contoh buruk terjadi lagi di Bandung dimana Walikota melarang pendirian stan atau kios dagangan baru, namun Badan Perparkiran telah memberikan ijin dan bahkan telah menerima uang pungutan. Akibatnya, Walikota harus mengembalikan uang yang telah diterima ditambah dengan ganti rugi kios-kios tersebut (Pikiran Rakyat, 7-9/12/02). Akhirnya, penyediaan lahan khusus dengan disain yang menarik layak dipikirkan pula untuk mewadahi PKL sekaligus sebagai daya tarik wisata. Rencana Pemda Jateng menyediakan puluhan hektar untuk menampung 1.500 pedagang kecil di area wisata Borobudur (Kompas, 16/12/02), serta upaya Pemkot Bandung untuk memindahkan PKL ke kawasan Gedebage bisa dipandang sebagai contoh yang baik, terlepas adanya kekurangan disana-sini.

Dengan upaya-upaya yang positif, diharapkan PKL tidak dipandang lagi sebagai “musuh” yang selalu menjadi duri bagi pemerintah, melainkan sebagai mitra yang bersama-sama menciptakan solusi bagi setiap permasalahan yang dihadapi bersama. Dengan kata lain, program penataan kota yang baik akan menjadi key factor yang menentukan apakah PKL akan tetap menjadi masalah perkotaan, atau justru menjadi solusi bagi keberlangsungan hidup rakyat miskin di perkotaan.


Modal Sosial dan Masalah Perkotaan


SEBUAH media lokal di Jawa Barat pernah memberitakan bahwa Walikota Bandung sempat marah ketika menyaksikan kawasan Cikapundung penuh dengan tumpukan kardus dan pemukim liar. Padahal, kawasan tadi baru dibersihkan seminggu sebelumnya melalui Gerakan Cikapundung Bersih. Pada kasus lain dapat diamati bahwa jumlah pedagang kaki lima (PKL) di Kota Bandung terus membengkak tidak terkendali meskipun telah dilakukan program penertiban yang memakan biaya milyaran rupiah. Sementara itu, fasilitas umum perkotaan seperti halte bis, telepon umum, rambu-rambu lalu lintas, hingga trotoar dan pagar pembatas, berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Selain ketiga kasus itu, sesungguhnya masih banyak lagi masalah-masalah perkotaan, yang dengan mudah dapat ditemukan oleh mata telanjang kita.

Dalam perpsektif manajemen pemerintahan, gambaran situasi diatas paling tidak mengindikasikan dua hal. Pertama, program-program pembangunan di perkotaan masih didominasi Pemerintah Kota (Pemkot), dan kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi langsung dalam proses pembangunan tersebut. Kedua, lemahnya dan makin lunturnya kepedulian masyarakat (community awareness) untuk mengelola dan memecahkan persoalan-persoalan bersama yang mereka hadapi sehari-hari. Dengan kata lain, proses pembangunan selama ini belum mampu menumbuhkan modal sosial (social capital) di kalangan penduduk kota. Padahal, adanya modal sosial yang kuat akan menjadi dasar yang kokoh bagi implementasi program pembangunan perkotaan secara efektif.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mencari akar penyebab dari kegagalan menumbuhkan modal sosial di perkotaan. Namun, lebih kepada upaya memotret kondisi yang ada saat ini serta upaya mengakselerasi pembangunan perkotaan melalui modal sosial, sekecil apapun itu.
* * *
MENURUT David L. Debertin dalam tulisannya berjudul A Comparison of Social Capital in Rural and Urban Settings, modal sosial dimaknakan sebagai paduan kepercayaan, norma-norma dan jaringan kerja yang dapat dipergunakan oleh masyarakat untuk mengatasi masalah bersama (stocks of social trust, norms and networks that people can draw upon in order to solve common problems).

Dari definisi diatas dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa merebaknya permasalahan di Kota Bandung juga bersumber dari lemahnya kohesi dan pranata sosial. Sayangnya, kebijakan Pemkot sendiri kurang mencerminkan adanya upaya untuk menanamkan hal tersebut dalam pengelolaan suatu urusan tertentu. Dalam kasus Cikapundung, misalnya, Pemkot terkesan tidak memberikan peran utama dalam pengelolaan dan pemeliharaan kebersihan Cikapundung kepada masyarakat yang tinggal di sekitar sungai. Pemkot seolah bertindak sebagai pemilik dan penanggungjawab tunggal atas kebersihan, keindahan, dan kelestarian Cikapundung. Akibatnya, program pengendalian dan rehabilitasi sungai selalu ditempuh melalui pendekatan “proyek”, sebagaimana nampak dalam program “Cikapundung Bersih”. Dan salah satu kelemahan utama dalam pendekatan proyek ini adalah sifatnya yang tidak berkelanjutan (unsustained).

Demikian pula yang terjadi pada kasus penataan PKL di tujuh titik kritis. Jumlah PKL di Jalan Kepatihan dan sekitar alun-alun, misalnya, semakin bertambah secara tidak terkendali. Hasilnya, lalu lintas dan ketertiban kota menjadi semakin semrawut. Dalam kondisi yang sudah “parah” tadi, Pemkot menggulirkan berbagai program (baca: proyek) penertiban PKL. Namun sayangnya, program tersebut juga kurang berbasis pada kebutuhan, kepentingan dan harapan para pedagang sendiri. Pemkot seakan tahu dan pasti mampu menangani masalah PKL dengan cara dan pendekatannya. Nyatanya, hingga kini persoalan PKL belum bisa ditangani secara memadai.

Dari dua contoh kasus diatas dapat disimak bahwa beberapa kebijakan Pemkot Bandung masih bersifat top down dan struktural, serta belum mengakomodir dimensi-dimensi sosial budaya dan psikologi suatu kelompok masyarakat. Itulah sebabnya, implementasi suatu kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat, justru sering ditolak dan menimbulkan konflik vertikal yang kontra-produktif. Hal seperti ini sungguh sangat ironis di era otonomi luas seperti saat ini.
* * *
RENDAHNYA modal sosial sesungguhnya bukan monopoli Kota Bandung semata. Berbagai kota di Indonesia, bahkan di negara maju seperti Amerika, juga mengalami hal serupa. Seperti diungkap Robert D. Putnam dalam tulisannya berjudul The Prosperous Community, Social Capital and Public Life (1993), masyarakat Amerika-pun ternyata mengalami erosi modal sosial pula. Politik diskriminatif telah melahirkan kesenjangan sosial ekonomi yang sangat kronis antara penduduk kulit putih (whites) dengan warga kulit hitam dan latin (ghettos). Besarnya pengangguran, fasilitas pendidikan yang minim, serta layanan kesehatan yang buruk bagi kalangan ghettos, telah berdampak pada rendahnya civic engagement (keaktifan dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan sosial). Pada gilirannya, civic disengagement ini membawa pengaruh buruk terhadap munculnya penyakit-penyakit sosial seperti penyalahgunaan obat terlarang, kriminalitas, tingginya angka putus sekolah dan aborsi, dan sebagainya.

Disisi lain, pada tahun 1950-1960an, 75% rakyat Amerika menyatakan sangat percaya bahwa pemerintah AS melakukan hal yang benar. Namun sekarang, jumlah tadi sudah jauh merosot menjadi hanya 19%. Hasil temuan Putnam ini diperkuat pula oleh David Osborn dan Ted Gaebler dalam bukunya yang berjudul Reinventing Government, How the Entrepreneurial Spirit is Transforming to Public Sector (1993).

Dengan demikian, agenda pertama yang perlu dijalankan bukan bagaimana mengatasi suatu “penyakit” sosial, namun lebih pada upaya untuk menginjeksikan esensi dan semangat modal sosial pada formulasi kebijakan publik. Ini berarti pula bahwa kebijakan pembangunan tidak boleh hanya berorientasi pada physical capital, financial capital, dan human capital semata, tetapi harus pula mengacu pada penguatan social capital. Semuanya itu bersifat komplementer, dan bukan pilihan atau prioritas yang saling mengalahkan (competing alternatives).

Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana mengintegrasikan seluruh dimensi diatas dalam sebuah produk kebijakan publik di daerah?

Dalam kasus Cikapundung, kepedulian Walikota dengan terjun langsung ke tengah sungai dan mengambil sampah-sampah yang berserakan, sangat patut dipuji. Namun dari perspektif administrasi publik, langkah Walikota tadi kurang proporsional, karena mengambil alih tugas-tugas teknis yang mestinya dijalankan oleh staf teknis. Oleh karena itu, langkah terpenting yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan partisipasi masyarakat setempat. Pendekatan “proyek” perlu direvisi dengan metode yang lebih kolaboratif dan melibatkan peran langsung warga. Dengan metode baru ini, perlu dibentuk kelompok-kelompok warga semacam “RT / RW Pengawas Cikapundung” atau “Masyarakat Peduli Cikapundung”. Kelompok inilah yang seharusnya menjadi mitra atau “rekanan” Pemkot dalam pemeliharaan sungai. Dan sebagai “rekanan”, kelompok masyarakat ini diberi sejumlah dana tertentu disertai tanggung jawab untuk melakukan berbagai aktivitas yang dapat menjamin kebersihan Cikapundung.

Dengan pola pengelolaan seperti ini, diharapkan dapat menghasilkan output berupa terjaganya kawasan sungai dari pencemaran, terberdayakannya masyarakat yang bertempat tinggal disekitar sungai, serta berkurangnya beban Pemkot untuk turun langsung dalam aktivitas sosial yang sesungguhnya bisa diserahkan kepada masyarakat sendiri.

Sementara itu dalam kasus penataan PKL, bisa saja dibentuk kelompok pedagang yang misalnya, tergabung dalam “Koperasi PKL Kepatihan”, “PKL Peduli Kota”, atau nama lainnya. Kelompok pedagang inilah nantinya yang akan memegang peranan kunci dalam mengatur ketertiban PKL di kawasan Kepatihan. Dengan kata lain, kepada kelompok ini diberikan tanggung jawab untuk memantau perkembangan jumlah PKL, menjamin kebersihan sekitar tempat usaha, menyelesaikan perselisihan antar PKL, dan sebagainya. Tentu saja, tanggung jawab PKL tadi perlu disertai dengan upaya pembinaan secara konkrit dari pihak Pemkot.

Dengan model “kerjasama” tersebut, peran pemerintah dapat dikurangi secara signifikan, sehingga sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara lebih produktif untuk sektor-sektor yang lebih membutuhkan. Ini berarti pula bahwa kebijakan Pemkot lebih mampu “memanusiakan” kelompok-kelompok marginal yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pada saat yang bersamaan, upaya ini juga dapat menumbuhkan rasa saling percaya (trust) diantara para pedagang maupun antara pedagang dengan pemerintah, sekaligus mengembangkan jaringan kerja (network) yang harmonis antar sektor. Dengan kata lain, kebijakan yang partisipatif dan memperhatikan norma-norma sosial budaya akan mengantarkan pada menguatnya modal sosial (social capital) untuk mengatasi masalah-masalah perkotaan.

Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa pola-pola kebijakan yang partisipatif ini dapat pula dikembangkan untuk bidang-bidang lain seperti penghijauan / reboisasi, penertiban pengemudi becak dan ojek, pemeliharaan fasilitas umum, penertiban kawasan “hitam”, dan sebagainya. Intinya adalah, penyakit sosial (social pathology) mestinya di sembuhkan melalui mekanisme sosial kemasyarakatan pula, bukan dengan pendekatan struktural.