Laman

Minggu, 09 Mei 2010

Mencermati Penataan PKL Kota Bandung


PENATAAN Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Bandung sangat menarik untuk dicermati. Disamping telah memakan waktu yang sangat panjang, juga karena adanya tarik-menarik yang sangat kuat antara para PKL dengan Pemkot Bandung.

Tarik menarik kepentingan ini bisa disimak dari penolakan sekira 3.000 pedagang yang tergabung dalam Koperasi Pedagang Kaki Lima Busana Bandung Mandiri (KbbM) untuk pindah ke Gedebage sesuai waktu yang disepakati semula, yakni 24 Juli 2004. Menurut para pedagang, Pemkot Bandung dalam mengambil keputusan tidak pernah mengajak bermusyawarah. Selain itu, keputusan pemkot melalui nota dinas Sekretaris Daerah Kota Bandung, tidak sesuai kesepakatan terdahulu yang menyatakan pedagang akan di tempatkan di Ciroyom (“PR”, 27/06/04).

Menyikapi penolakan pindah tadi, Camat Regol menegaskan bahwa mengingat lingkungan Tegallega akan ditata menjadi kawasan hijau dan taman kota, mau tidak mau sesuai program Pemkot Bandung, relokasi para pedagang kaki lima Tegallega ke Pasar Induk Gedebage, tetap harus dilaksanakan. Bahkan keberadaan Koperasi Pedagang Kaki Lima Busana Bandung Mandiri (KbbM) tidak diakui oleh Camat Regol dan juga oleh Ketua Gabungan Pengusaha Kecil dan Jasa Lapangan (“PR”, 29/06/04).

Meskipun para pedagang akhirnya menyatakan setuju untuk direlokasi (“PR”, 10/07/04), belum tentu Bandung akan segera terbebas dari masalah klasik ini. Bahkan tidak ada satu jaminanpun bahwa pada tanggal 24 Juli ini Tegallega akan kosong dari keberadaan PKL. Pengalaman beberapa Walikota Bandung dalam mengatur pada pedagang selama ini menggambarkan betapa sulitnya menata kawasan kota. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan penataan PKL menjadi sedemikian rumit?

Kalau dicermati lebih dalam, keruwetan penataan kota, khususnya yang menyangkut PKL Tegallega ini bersumber dari 3 (tiga) macam perception gap atau asymetriic information yang berhubungan dengan masalah waktu, lokasi, serta biaya relokasi. Dalam hal waktu, para pedagang kokoh pada pendiriannya bahwa mereka akan pindah setelah lebaran tahun ini, sementara Pemkot meminta mereka untuk pindah pada tanggal 24 Juli 2004. Dari aspek lokasi, para pedagang lebih memilih Ciroyom yang dinilai jauh lebih strategis dan prospektif disbanding Gedebage. Sementara, argumen Pemkot untuk memindahkan PKL ke Gedebage juga masuk akal, yakni agar terjadi efek penyebaran pembangunan dan pemerataan pertumbuhan di berbagai kawasan. Adapun dalam hal biaya relokasi, para pedagang masih menunggu uang subsidi yang telah dijanjikan Pemkot namun belum juga diberikan. Dan ini juga menjadi salah satu alasan untuk menolak kepindahan ke lokasi baru.
* * *
TERLEPAS dari kontroversi diatas, penataan kota (termasuk didalamnya PKL) memang harus dilakukan, tentu saja dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan dan keberlanjutan usaha pedagang yang bersangkutan. Sebab, tanpa adanya penataan yang matang, wajah kota justru akan kehilangan sisi kemanusiaannya. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa penataan PKL seolah tidak pernah selesai?

Kota Bandung, nampaknya bisa disebut sebagai kota yang selalu bermasalah dengan PKL. Berbagai upaya telah dilakukan, dan bermilyar rupiah telah dikeluarkan untuk menata PKL. Namun, ketika PKL dapat dibersihkan dari lokasi tertentu di Kota Bandung, ternyata hanya bertahan satu hari, dan setelah itu menjamur kembali (“PR”, 16/12/02). Pemkot Bandung seperti kehilangan akal dan cara untuk menertibkan PKL sekaligus menekan laju pertumbuhannya. Secara samar dapat ditangkap kesan bahwa PKL lebih dipandang sebagai masalah yang harus segera dituntaskan, dari pada sebagai kelompok yang harus diberdayakan. Pemkot Bandung nampaknya juga menerapkan asumsi “makin kecilnya jumlah PKL berarti makin tingginya tingkat ketertiban umum”.

Justru asumsi inilah yang perlu diluruskan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa PKL sering menyebabkan permasalahan ketertiban. Namun harus disadari pula bahwa PKL sesungguhnya memiliki potensi yang besar untuk kehidupan perekonomian perkotaan. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus ditempuh dalam program penataan kota ini adalah menghilangkan stigma bahwa PKL merupakan sumber berbagai persoalan yang menyangkut “ketertiban”. Dalam banyak hal, PKL justru dapat dijadikan sebagai solusi bagi kehidupan ekonomi yang belum pulih dari krisis.

Dengan demikian, persoalan PKL perlu dikaji secara cermat dan hati-hati, sehingga dapat dihasilkan kebijakan yang manjur untuk menciptakan ketertiban umum di perkotaan tanpa harus menggusur kelompok marjinal tersebut. Bagaimanapun, PKL adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang terpaksa menghadapi realita kegagalan pemerintah dalam membangun perekonomian rakyat.
* * *
DALAM bukunya berjudul The Microfinance Revolution: Sustainable Finance for the Poor (2001), Robinson mengatakan bahwa munculnya pedagang kecil informal merupakan konsekuensi dari disfungsi kebijakan ekonomi. Mengacu pada pendapat ini, maka permasalahan PKL akan hilang dengan sendirinya jika program pembangunan ekonomi pemerintah mampu menghidupkan dinamika usaha kecil dan menengah, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Jadi jelaslah bahwa yang semestinya paling bertanggung jawab atas hal ini adalah pemerintah, sehingga mengejar-ngejar, menutup dengan paksa, dan kadang disertai dengan penyitaan dan aksi kekerasan terhadap PKL, nyata-nyata bukan kebijakan yang manusiawi. 

Lebih lanjut Robinson mengatakan pula bahwa pola penanganan sektor informal bersifat tidak konkrit (invisible) dalam pengertian tidak terintegrasi kedalam (atau tidak tersentuh oleh) perencanaan dan penganggaran pemerintah, model para ekonom, porto folio perbankan, maupun kebijakan makro nasional. Sebaliknya, langkah represif-lah yang dipakai seperti memindahkan dari jalanan, mengirim kembali para pedagang ke desa asalnya, atau memaksa mereka untuk berpindah profesi. Akibatnya, akar permasalahan PKL semakin tidak tersentuh (more invisible).

Padahal kalau mau jujur, keberadaan PKL menawarkan banyak keuntungan. Yang terpenting adalah menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan pendapatan bagi kaum miskin dan pengangguran. Sebagian dari mereka juga berjasa dalam memperbaiki atau mengolah kembali barang-barang bekas / buangan seperti elektronik, pakaian, atau barang kebutuhan rumah tangga lainnya. Kemudian, mereka juga menawarkan barang dengan harga sangat murah yang terjangkau bagi masyarakat berpendapatan rendah. Disisi lain, mereka memiliki daya fleksibilitas (waktu, tempat, komoditas, harga, dsb) yang tinggi sebagai kunci untuk dapat bertahan hidup ditengah persaingan antar PKL yang sedemikian ketat.

Dengan demikian, merebaknya jumlah PKL bukan semata-mata karena hasrat para pelaku bisnis jalanan tadi untuk memperoleh pendapatan (push factors), tetapi lebih karena demand / tuntutan pasar yang membutuhkan jasa PKL (pull factors). Pada saat yang bersamaan, jenis usaha ini juga memberikan dampak ikutan yang menguntungkan (positive spillovers) seperti mengurangi beban pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja, membantu proses daur ulang beberapa jenis sampah, serta menjadi alternatif terbaik bagi kelompok berdaya beli rendah. Mengingat berbagai keunikan tersebut, upaya menghapus PKL dapat dipastikan tidak akan pernah berhasil, malahan hanya menghabiskan anggaran yang semestinya digunakan untuk memberdayakan mereka.
* * *
URAIAN diatas menyiratkan bahwa persoalan PKL mengandung dimensi ganda. Disatu sisi, PKL memiliki potensi menimbulkan kerumitan sosial di perkotaan, dari kemacetan lalu lintas dan penumpukan volume sampah sampai dengan kasus penyerobotan lahan dan kemungkinan tindak kriminal. Oleh karenanya, jumlah dan penyebaran PKL perlu dibatasi. Disisi lain, sektor ini menawarkan solusi bagi kehidupan perekonomian yang masih gonjang-ganjing, sehingga perlu diperbesar lagi peranannya. Sayangnya, sebagian besar kota-kota di Indonesia terkesan lebih condong kepada mainstream yang pertama. Ini berarti bahwa para pedagang masih menghadapi tantangan yang cukup berat di kemudian hari.

Dalam perspektif kedepan, agenda yang perlu dikedepankan adalah bagaimana meminimalisir dampak yang mungkin terjadi tanpa meniadakan sumber penyebabnya. Dengan kata lain, bagaimana mengakui dan membina PKL tanpa menimbulkan akibat negatif. Untuk ini, paling tidak tiga kebijakan perlu dipertimbangkan.

Pertama, pemerintah harus mengintegrasikan sektor informal kedalam perencanaan makro ekonomi secara formal. Artinya, ketika bicara tentang kebijakan ketenagakerjaan, pengentasan kemiskinan, pengembangan wilayah, dan sebagainya, sektor informal khususnya PKL perlu dijadikan salah satu variabel yang ikut menentukan arah kebijakan tersebut. Dengan demikian, legalitas dan keamanan berusaha mereka akan lebih terjamin, sekaligus juga mendapat akses yang lebih besar terhadap kredit atau jasa sektor publik lainnya. Kasus pembangunan ITC di Bandung yang berdampak pada membludaknya jumlah PKL dan runyamnya kemacetan, menunjukkan tidak adanya integrasi dalam perencanaan pembangunan.

Kedua, pemerintah perlu memiliki kesamaan visi dalam penataan perkotaan. Contoh buruk terjadi lagi di Bandung dimana Walikota melarang pendirian stan atau kios dagangan baru, namun Badan Perparkiran telah memberikan ijin dan bahkan telah menerima uang pungutan. Akibatnya, Walikota harus mengembalikan uang yang telah diterima ditambah dengan ganti rugi kios-kios tersebut (Pikiran Rakyat, 7-9/12/02). Akhirnya, penyediaan lahan khusus dengan disain yang menarik layak dipikirkan pula untuk mewadahi PKL sekaligus sebagai daya tarik wisata. Rencana Pemda Jateng menyediakan puluhan hektar untuk menampung 1.500 pedagang kecil di area wisata Borobudur (Kompas, 16/12/02), serta upaya Pemkot Bandung untuk memindahkan PKL ke kawasan Gedebage bisa dipandang sebagai contoh yang baik, terlepas adanya kekurangan disana-sini.

Dengan upaya-upaya yang positif, diharapkan PKL tidak dipandang lagi sebagai “musuh” yang selalu menjadi duri bagi pemerintah, melainkan sebagai mitra yang bersama-sama menciptakan solusi bagi setiap permasalahan yang dihadapi bersama. Dengan kata lain, program penataan kota yang baik akan menjadi key factor yang menentukan apakah PKL akan tetap menjadi masalah perkotaan, atau justru menjadi solusi bagi keberlangsungan hidup rakyat miskin di perkotaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar