Laman

Sabtu, 01 Mei 2010

Bagaimana Ajaran Ratu Adil Berkembang?


Pola Ideologi Ratu Adil

Fenomena Ratu Adil agaknya tidak akan mungkin dibatasi oleh kurun waktu (temporal) dan wilayah (spasial) tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ajaran-ajaran tentang Ratu Adil merupakan ajaran yang secara kodrati melekat pada sistem kepercayaan masyarakat manapun dan dimanapun. Ini berarti pula bahwa pada hakekatnya Ratu Adil adalah sebuah ideologi. Hanya saja, istilah-istilah, model dan motif gerakan, serta ciri-cirinya akan berbeda-beda.

Sebagai sebuah ideologi, maka faham Ratu Adil (millenarianisme) atau Juru Selamat (mesianisme) dalam “perjuangan” atau aplikasinya menampakkan strutur yang matang. Inilah sebabnya, pada masa lalu gerakan-gerakan keagamaan yang telah diramu dengan faham Ratu Adil merupakan ancaman yang sangat potensial bagi rezim kolonial. Sementara dipihak lain, terdorong oleh ketakutan pemerintah kolonial terhadap kekuatan-kekuatan spiritual (Islamofobi) — dan sesuai pula dengan politik devide et impera — maka gerakan-gerakan tadi disamakan dengan gerakan revolusioner atau gerakan anti asing yang harus diberantas secara tuntas.

Uraian diatas memperlihatkan kepada kita bahwa gerakan-gerakan tersebut merupakan alat perjuangan “kelompok terjajah” (uraian selanjutnya menunjukkan pengertian “terjajah” tidak terbatas pada konteks politik, tetapi juga konteks sosial ekonomi) terhadap penjajah atau kelompok yang dianggap menjajah. Dalam per­juangan tersebut, selalu ditampilkan ciri-ciri khusus, baik yang menyangkut watak pimpinan, pola ideologi, maupun sistem kepercayaannya.

Seorang pemimpin agama selalu dianggap sebagai prophet, guru, dukun, tukang sihir atau utusan mesias, serta diakui diilhami oleh wahyu atau wangsit. Salah satu contoh adalah peristiwa Tambakmerang seperti dikemukakan pada bab I, dimana Wirasenjaya berperan sebagai mesias atau Ratu Adil setelah diakui menda­pat wahyu yang didapatnya dari berpuasa selama 40 hari. Pada umumnya, tokoh-tokoh prophetic dipercaya sebagai orang-orang suci yang memiliki kekuatan gaib yang didasarkan pada pembawaan karisma seperti wahyu, keramat atau sakti.

Adapun pola ideologi semua gerakan keagamaan ialah penolakan terhadap situasi yang ada dan harapan akan datangnya millenium (ratu adil), yang akan menciptakan masyarakat ideal dan romantis, tiada lagi pertentangan, ketidakadilan dan penderitaan, serta tidak akan ada penyakit dan pencuri.

Unsur-unsur millenium ini sebetulnya sudah ada sebelum datangnya pengaruh Barat, hanya saja belum menemukan saluran implementasinya. Dan setelah bangsa Barat datang, barulah gerakan millenium ini mampu membangkitkan daya potensi revolusioner yang besar untuk menolah, mencegah atau menghilangkan perubahan-perubahan sosial yang dihasilkan oleh masuknya kekuasaan Barat seperti rasa permusuhan antara sesama bangsa, terpengaruhnya pejabat keagamaan oleh orang tak beriman (orang Eropa selalu dianggap kafir), dan sebagainya.

Disinilah sistem kepercayaan menampakkan peran yang sangat besar dalam memotivasi suatu gerakan. Ide-Ide tentang perang sabil atau perang suci secara luar biasa mendorong militansi dikalangan pemeluk agama (Islam), sehingga mereka dengan sukarela menyerang orang kafir dan semua situasi dan kondisi yang dicipta­kan oleh orang asing. Meskipun demikian, untuk dapat mengerti arti yang sebe­narnya tentang gerakan keagamaan di Jawa, haruslah diperhatikan aspek nativistic mereka. Aspek ini menjanjikan datangnya bumi pertiwi yang telah pulih, tidak akan ada orang kulit putih, serta akan diperintah oleh dinasti lama.

Contoh-contoh gerakan ratu adil yang bersifat keagamaan dapat ditunjukkan antara lain adalah peristiwa Nyi Aciah di Sunda (1870 - 1871), kasus Jumadilkubra di Pekalongan dan Banyumas tahun 1871, peristiwa Jasmani di Jawa Timur tahun 1887, dan masih banyak lagi yang lain, namun intinya sama, yaitu bahwa seseor­ang yang mendapat wahyu kemudian mengajak warga desa untuk mengadakan “pemberontakan” terhadap kekuasaan Eropa, dengan akibat ditumpasnya gerakan itu dengan kejam.

Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa gerakan-gerakan keagamaan pada umumnya menyandang watak reaksi total yaitu menolak kehadiran Eropa. Dengan demikian, millenarianisme pada asasnya berwatak revolusioner karena berkaitan dengan perombakan status quo secara total. Adapun alat yang dipakai sebagai dasar gerakan tersebut adalah agama, jadi sifatnya religius.

Dimensi Politik Radikalisme Agraria

Seiring dengan perkembangan kondisi-kondisi sosial politik, maka terjadi pula perubahan sifat dan pola ideologi dalam gerakan-gerakan pedesaan. Salah satu bentuk gerakan politik di desa adalah mobilitas kaum tani yang merupakan ungka­pan paling baru dan dramatis dari keresahan agraria yang terjadi terus-menerus.

Jika pada masa-masa silam gerakan-gerakan sosial mengandung sifat religius dan bertujuan melenyapkan orang asing dengan segala akibat yang ditimbulkannya, maka gerakan sosialpada akhir abad 19 dan abad 20 lebih dilatarbelakangi oleh keadaan-keadaan keagrariaan yang dirasakan tidak adil. Jadi disini sifat ekonomis dan politis lebih menonjol dibanding sifat religius yang sekedar sebagai pelengkap atau sebagai alat legitimasi.

Oleh karena itu penalaran pemahaman antara kedua gerakan tersebut juga berlainan. Untuk memahami proses politik pada tingkat desa, konsep radikalisme harus disesuaikan dengan latar belakang masyarakat tani. Analisis tentang radika­lisme agraria harus memperhitungkan susunan dan hirarki nilai-nilai pedesaan, karakteristik lambang-lambang, serta tujuan dan pola-pola tindakan dari politik agraria tersebut.

Radikalisme agraria menurut Sartono Kartodirdjo adalah gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku, dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak istimewa atau yang berkuasa, dimana gerakan ini menarik pengikutnya dari kaum tani. Dan perlu ditekankan disini bahwa radikalisme agraria merupakan bagian dari gerakan ratu adil yang bersifat revolusioner.

Dalam mengungkapkan sebab-sebab gerakan ratu adil, kita akan menemui kesulitan ibarat sulitnya mencari ketulusan penjajahan. Kesulitan itu terjadi karena adanya kecenderungan untuk menerangkannya dari kolonialisme serta menghu­bungkannya dengan proses modernisasi. Akan tetapi focus yang paling sering dikemukakan adalah akibat utama dari dominasi Barat, yaitu kehancuran sistem ekonomi politik tradisional dan terjadinya disintegrasi kebudayaan.

Seperti dimaklumi, identitas budaya kaum tani terikat secara tidak terpisah­kan dengan agama mereka, sehingga mereka akan cenderung mempertahankan identitas tersebut apabila diancam oleh nilai-nilai asing. Oleh karenanya, radikalisme agraria harus pula dianalisis didalam sorotan persaingan untuk memperoleh kese­tiaan kaum tani.

Stratifikasi sosial masyarakat pedesaan pada masa-masa pra dan pasca kemerdekaan pada umumnya ditentukan oleh pemilikan tanah, disamping oleh jabatan keagamaan. Stratifikasi ini terdiri dari 2 (dua) golongan besar yaitu kaum bangsawan atau tuan tanah, dan kaum buruh tani.

Pada masa kolonial, para bangsawan yang biasanya kurang taat agamanya dibandingkan kaum tani dan santri, banyak diangkat sebagai pejabat sipil.  Hal ini oleh pemerintah Belanda dimaksudkan untuk memecah belah atau memperhebat antagonisme antara elit priyayi abangan (para birokrat tradisional) dengan masyara­kat desa (santri atau kaputihan) yang dianggap berbahaya bagi hegemoni jajahan.  Dengan demikian diskriminasi yang dilakukan Belanda ini akan mengakibatkan kaum tani yang dahulu mendukung para bangsawan (pelajari tentang konsep manunggal­ing kawula-gusti) berbalik memusuhi mereka. Dari sini terlihat betapa politik devide et impera begitu jahatnya menciptakan permusuhan antar penduduk pribumi. Dan inilah yang merupakan salah satu alasan timbulnya radikalisme dikalangan wong cilik atau kawula alit.

Mengenai ciri-ciri khusus radikalisme agraria, tidaklah mungkin dikategorikan kedalam pemberontakan kaum tani secara definitif dan semata-mata bersifat ratu adil, juru selamat, pribumi atau perang suci. Ini berarti bahwa dalam setiap gerakan tercakup corak-corak millenarianisme, mesianisme, nativisme dan kepercayaan kepada perang salib.

Millenarianisme adalah gerakan yang mencita-citakan diakhirinya ketidakadi­lan dan dipulihkannya keharmonisan. Namun sebelum hal itu terwujud, akan didahu­lui atau ditandai dengan bencana alam, dekadensi moral dan kemelaratan masyara­kat. Kepercayaan mesianistis merupakan suatu gagasan tentang juru selamat yang menyatakan suatu abad keemasan, dimana gerakan mesianistis inipun cenderung bersifat millenarianistis. Adapun nativisme atau kepribumian — seperti telah dising­gung diatas — yaitu suatu tuntutan bagi pemulihan nilai dan cara hidup tradisional yang telah mengalami degradasi akibat ulah tingkah orang asing. Namun dalam prakteknya, gerakan kepribumian ini tidak hanya ditujukan kepada kekuasaan asing, melainkan juga kelas Jawa yang sedang berkuasa (elite birokrasi pribumi) yang dianggap sebagai penghianat.

Dari deskripsi diatas, secara tersirat telah terkandung 3 (tiga) kelompok manifestasi dalam radikalisme agraria. Kelompok pertama mencakup pergolakan pergolakan agraria yang memuat ketidakpuasan sosial ekonomi lokal sehingga ideologi menjadi sangat penting. Contoh kelompok ini adalah pemberontakan Bekasi tahun 1869.

Dalam kelompok kedua, terjadi protes yang digeneralisasikan dari kekerasan ekonomi khusus menjadi kritik yang lebih luas mengenai kemerosotan budaya dan moral. Salah satu contoh adalah peristiwa Haji Rifangi di Kalisasak tahun 1870-an. Adapun kelompok ketiga memperlihatkan perkembangan tipe protes keagrariaan yang lebih berbau politik, dengan pengertian bahwa keluhan-keluhan petani dan merosotnya nilai budaya memberikan petunjuk untuk memanfaatkan rangkaian tradisi gerakan ratu adil, kepribumian dan perang suci sebagai titik tolak ideologi perlawanan mereka. Contoh gerakan protes yang lebih bersifat politis ini adalah peristiwa Kiai Nurhakim dan peristiwa Cimareme tahun 1919 yang dipimpin oleh Haji Hasan.

Pada masa-masa setelah kemerdekaan, gerakan-gerakan tersebut dapat dibagi kedalam 2 (dua) golongan. Yang pertama merupakan gerakan sosial yang mewakili suatu penolakan lengkap dari apa yang secara konvensional dipandang sebagai politik. Gerakan ini percaya bahwa perubahan secara mendasar dalam suatu peristiwa hanya dapat terjadi melalui bentuk kebangkitan kembali keagamaan, baik kebangkitan kembali Islam radikal atau nilai-nilai dan adat istiadat abangan. Contoh gerakan ini misalnya gerakan Hidup Betul dan Agama Adam Makrifat yang didirikan oleh Rama Resi Pran-Suh Sastrasuwignya. Adapun golongan kedua mencakup gerakan sosial yang mempunyai watak politik tinggi dan revolusioner. Sebagai contoh dapat ditunjuk misalnya gerakan Embah Sura di Nginggil dan gera­kan Semana di Loano, Purworejo.

Dari pembahasan mengenai radikalisme agraria ini, dapat kita simpulkan bahwa satu aspek yang paling menarik tentang gerakan sosial di Jawa adalah dimensi politiknya. Meski begitu, ideologi mereka tetap diliputi oleh lambang keagamaan. Dengan demikian sejauh protes agraria terus diberi bentuk oleh lam­bang keagamaan tradisional, maka efektivitas gerakan millenaristis sebagai suatu landasan aksi politik secara massal, tetap tidak akan melemah.

Pergeseran Penafsiran Pola Ideologi

Ciri-ciri yang menonjol dari gerakan millenaristis pada hakekatnya adalah persamaan, homogenitas, tak bernama, dan tidak memiliki harta benda. Sedang tujuan dari aliran ini adalah melahirkan negara yang sempurna, semua anggota masyarakat berstatus sederajat, kedudukan sosial dihapus, dan kepatuhan mutlak pada pimpinan.

Rumusan tujuan dan ciri-ciri gerakan Ratu Adil seperti itu dapat menimbulkan minimal 2 (dua) penafsiran yang sangat bertentangan satu sama lain. Disatu pihak, sifat-sifat yang melekat pada gerakan tersebut dapat dikatakan merupakan refleksi dan implikasi dari ajaran keagamaan yang cukup kental (untuk tidak mengatakan ekstrem). Agama mengajarkan bahwa seluruh manusia di bumi adalah sama, hanya taqwa-lah yang membedakan kemuliaannya. Selain itu, umat manusia yang beriman juga diwajibkan untuk taat dan patuh kepada Allah, Rasul dan para pemimpin atau ulil amri (baca QS 4: 59).

Akan tetapi sebaliknya, ciri-ciri dan tujuan diatas sedikit banyak sejalan dengan ciri-ciri masyarakat yang berdasar pada faham sosialisme-komunisme. Disi­nilah pangkal dari gerakan-gerakan sosial modern, dimana nilai-nilai religius telah dibelokkan/dimanipulasi dan diberi muatan-muatan politis oleh kelompok tertentu untuk memobilisasi rakyat pedesaan guna mencapai tujuan kelompok tersebut.

Apabila diperhatikan lebih seksama, akan terlihat satu gejala bahwa dalam pergerakan sosial-politik-keagamaan di desa, para petanilah yang memegang peran utama dan secara aktif mendukung gerakan tersebut. Gerakan para petani inilah yang dimaksudkan sebagai mobilisasi pedesaan. Permasalahan yang sangat krusial disini adalah, sejauh manakah terdapat kecenderungan atau kemungkinan dikalan­gan penduduk desa untuk dimobilisasikan kearah partisipasi dan integrasi politik didalam perhimpunan politik modern? Juga, seruan-seruan macam apakah yang dapat membangkitkan sambutan baik yang lebih besar dari rakyat, serta bagaimana hubungannya dengan perkembangan politik di Indonesia?

Masalah keadilan, rupanya merupakan faktor yang sangat sensitif, sehingga faktor ini pulalah yang  dijadikan motivasi untuk memobilisasikan kaum tani. Para tuan tanah atau kaum tani besar yang melaksanakan teknologi revolusi hijau, dapat melepas atau mengusir para penyewa tanahnya, dan mengkonsentrasikan pada pola pemilikan tanah dengan cara membeli tanah milik kaun tani kecil. Keadaan demikian dan ditambah pula dengan terjadinya proses polarisasi, menyebabkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

Keadaan yang begitu kritis, telah dimanfaatkan oleh PKI untuk mempengaruhi dan menghasut kaum tani untuk melenyapkan segala penghisapan dan ketidakadi­lan yang ditimbulkan oleh kaum ningrat, setengah feodal dan kelas-kelas yang ada. Bahkan dalam program PKI yang dirumuskan menjelang Konggres Barisan Tani Indonesia (BTI) dinyatakan bahwa “semua tanah yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah asing dan Indonesia akan disita tanpa ganti rugi. Kepada semua petani tak bertanah dan petani miskin akan dibagikan tanah secara cuma-cuma”.

Seruan-seruan semacam inilah yang menarik kaum tani untuk mendukung dan masuk menjadi anggota PKI, sehingga dalam 1 (satu) dasawarsa anggota BTI yang dikuasai PKI meningkat dari 400.000 menjadi 4 (empat) juta orang. Jadi tidak terlalu mengherankan apabila pada Pemilu 1955, PKI muncul sebagai salah satu dari empat partai besar. Di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, suara mayoritas untuk parlemen menempatkan PKI diurutan teratas dengan 204.778 suara, disusul PNI (100.859 suara) dan Masyumi (48.683 suara).

Disamping berusaha menarik anggota dari kalangan tani sebanyak-banyakn­ya, PKI juga membentuk Daerah Basis (DB) dan Tentara Rakyat guna melakukan perang rakyat. Keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu memobilisasi kaum petani untuk melawan kelas yang berkuasa dan menjadi pelaksana revolusi.

Demikianlah, gerakan-gerakan petani dengan ideologi ratu adil yang dulu bersemangatkan nafas keagamaan, kini menjadi gerakan radikal dibidang politik. Dan apabila gerakan itu dahulu bertujuan untuk menghapuskan segala hal yang berbau asing yang mengembalikan unsur-unsur nativisik, sekarang tujuan utamanya adalah menuntut keadilan (dalam pengertian sama rata sama rasa) serta distribusi tanah yang merata.

Pergeseran dalam pola dan motivasi gerakan seperti tersebut diatas harus membangkitkan kesadaran dan kejelian kita untuk menilai dan menyikapi suatu gerakan yang telah, sedang atau akan muncul. Hal ini sangat penting agar kita tidak mudah terjebak dan terbawa arus dinamika perubahan. Perubahan memang diperlu­kan, tetapi yang hendaknya dan seharusnya diterapkan adalah perubahan yang sesuai dengan jiwa dan budaya masyarakat, serta perubahan yang membawa kebaikan dan kebajikan.

Daftar Referensi

Jafar, Hasan, Girindrawardhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Direktorat PPPM Dirjen. Pendidikan Tinggi Depdikbud, 1978
Kartodirdjo, Sartono, Ratu Adil, Sinar Harapan, Jakarta, 1984
______________ , Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Tradisional, Suatu Alternatif, Gramedia, Jakarta, 1986
______________ ,  Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur, Gramedia, Jakarta, 1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar