Laman

Sabtu, 01 Mei 2010

Manusia Dalam Perkawinan


Bagi manusia, perkawinan adalah suatu peristiwa bersejarah yang mengan­dung aspek-aspek religius, sosial, dan hukum. Dari segi keagamaan, perkawinan adalah sesuatu yang di-wajibkan bagi orang-orang yang telah “mampu”, yang membawa akibat sah atau halalnya hubungan seksual suami istri, serta timbulnya hak-hak dan kewajiban tertentu secara timbal balik diantara keduanya.

Dalam hubungan kemasyarakatan, perkawinan adalah suatu fenomena obyektif yang membawa beberapa konsekuensi sosiologis seperti sambatan (membantu dengan tenaga), kewajiban moral untuk nyumbang atau memberi kenang-kenangan barang atau uang, dan bersatunya 2 (dua) buah keluarga yang semula tidak ada ikatan apapun, sampai kepada hilangnya pantangan bagi mempelai pria untuk “mondok” dikamar mempelai wanita.  Adapun secara yuridis, perkawinan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa  (pasal 1 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan).

UU No. 1 tahun 1974, saat ini merupakan peraturan pokok atau pedoman resmi bagi rakyat Indonesia untuk menyelenggarakan perkawinan.   Meskipun demikian — khusus bagi umat Islam — hukum perkawinan Islam tetap berlaku sebagaimana dijamin sendiri oleh pasal 2 ayat 1 UU tersebut diatas, yang menyata­kan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.

Tetap berlakunya Hukum Perkawinan Islam bukan berarti lantas bertentangan dengan UU Perkawinan Nasional, melainkan justru terdapat keserasian diantara keduanya. Kalaupun ada yang tidak sejalan, pada umumnya terdapat cara pemeca­hannya. Misalnya pasal 10 UU Perkawinan menyatakan bahwa talak atau cerai paling banyak 2 (dua) kali, tetapi dilanjutkan dengan sepanjang masing-masing agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Seperti kita ketahui, sebelum UU No. 1 tahun 1974 lahir, di Indonesia berla­ku bermacam-macam peraturan atau ketentuan yang mengatur tentang pelaksa­naan perkawinan, misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wet­boek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen  (Huwelijks Ordonantie voor de Christenen Indonesiers)  Staatsblad 1933 no. 74, Peraturan  Perkawinan Campuran  (Regeling op de Gemengde Huwelijken)  Staadsblad 1898 no. 158, dan sebagainya.   Oleh karena itulah kemudian diusahakan suatu hukum perkawinan nasional yang berlaku bagi seluruh golongan masyarakat Indonesia  (Unifikasi Hukum Perka­winan).

Pembahasan mengenai hal diatas, agaknya tidak mungkin dilakukan tanpa menengok ketentuan yang termuat dalam ajaran Islam.   Hal ini disebabkan karena Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, dan mengatur masalah perkawinan dengan sangat teliti, dari yang menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan Allah berpasang-pasangan (Adz Dzariyat: 49), manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian dijadikan ber­bangsa-bangsa agar saling mengenal (Al Hujurat: 13), perintah kawin kepada laki-laki dan perempuan yang belum kawin (Ar Rum: 21), sampai kepada masalah-masalah seperti poligami (An Nisaa’: 23), talak/cerai (Ath Thalaq, Al Baqarah: 229-231),  dan sebagainya.

Semua yang diatur oleh Islam tersebut tidak ada yang bertentangan dengan yang diatur dalam UU Perkawinan Nasional. Fakta ini menun­jukkan bahwa penyusunan hukum perkawinan nasional tidak melepaskan unsur-unsur keagamaan. Dalam uraian selanjutnya, perbandingan antara hukum perkawi­nan Islam dengan UU No. 1 tahun 1974 akan disinggung secara garis besarnya.

Sejarah Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974

Bagi umat Islam Indonesia, perkawinan menjadi persoalan sejak masa penja­jahan. Mereka menghendaki agar Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secepat mungkin merampungkan sebuah undang-undang tentang Perkawinan.   Seperti dimaklumi, sebelum lahirnya UU No.1 tahun 1974, di Indonesia berlaku berbagai macam hukum perkawinan sebagai peraturan pokok dalam melaksanakan perkawinan, yaitu:

1.      Bagi orang-orang Eropa dan yang disamakan dengan mereka, berlaku Burgelijk Wetboek (KUH Perdata) Staadsblad 1847 no. 23,  mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.
2.      Bagi golongan Timur Asing Tionghoa, berlaku KUH Perdata kecuali Buku I Bab I tentang Akta-akta Catatan Sipil dan Bab IV tentang acara yang mendahului atau mencegah perkawinan.
3.      Bagi golongan Timur Asing selain Tionghoa berlaku hukum adat mereka. KUH Perdata hanya berlaku bagi mereka di lapangan harta benda.
4.      Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Ordonanci Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI)  Stb. 1933 no. 74  juncto   Stb. 1936 no. 247.   Untuk pencatatannya diatur dengan Stb 1933 no. 75 juncto Stb. 1936 no. 607
5.      Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Islam yang telah diterima atau diresepsi kedalam hukum adat.  Hal ini sangat dipengaruhi oleh teori Receptio in Complexu yang dikemukakan oleh L.W.C.van den Berg dan Salmon Keyzer. Teori ini menyatakan bahwa hukum agama baru menjadi hukum apabila telah diresipir atau diterima kedalam Hukum Adat.
6.      Bagi golongan yang tidak menggunakan ketentuan-ketentuan diatas, pengatu­rannya terdapat pada Koninklijk Besluit 29 Desember 1896 no. 23 tentang Peraturan Perkawinan Campuran (RGH).

Dengan melihat uraian diatas jelaslah bahwa pengaturan perkawinan sebelum era UU No.1 tahun 1974 dilaksanakan berdasarkan golongan penduduk. Ini berarti, perkawinan seseorang diselenggarakan dengan berpedoman pada peraturan yang berlaku bagi golongannya — bukan golongan orang lain — kecuali ia menundukkan diri terhadap suatu hukum tertentu. Dalam hal penundukan diri, misalnya orang Indonesia asli yang beragama Islam menundukkan diri pada KUH Perdata, maka baginya berlaku hukum yang baru, in casu Burgelijk Wetboek, sedang hukum Islam tidak lagi berlaku baginya.

Agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan keanekaragaman dalam hukum perkawinan nasional, maka oleh pemerintah dan rakyat Indonesia telah diusahakan suatu hukum perkawinan yang berlaku bagi seluruh golongan penduduk Indonesia.

Pada tahun 1946 sudah ada sebuah undang-undang yang dimaksudkan sebagai unifikasi hukum perkawinan, yaitu UU No. 22 tahun 1946 tentang Nikah, Talak dan Rujuk (NTR),  yang dinyatakan berlaku diseluruh wilayah Indonesia dengan UU No. 32 tahun 1954.  Akan tetapi undang-undang itu belum mengatur materi perkawinan seperti kehendak umat Islam, melainkan hanya pencatatan yang berhubungan dengan nikah, talak dan rujuk saja. Oleh karena itulah pada tahun 1950 pemerintah membentuk suatu panitia yang bernama Panitia Penyelidik Peratu­ran dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Panitia ini bertugas meninjau kembali semua peraturan perkawinan dan menyusun RUU Perkawinan untuk umat Islam. Akan tetapi RUU ini gagal dibicarakan di sidang DPR, bahkan menjadi beku setelah keluar Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.

Kemudian dalam Ketetapan MPR No. XXVIII/MPRS/1968 dinyatakan perlu adanya UU Perkawinan Nasional. Sebagai realisasi ketentuan ini pada tahun 1967 pemerintah menyampaikan 2 (dua) buah RUU kepada DPR yaitu RUU tentang Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok Perkawinan. Namun karena ada 1 (satu) fraksi yang menolak  — meskipun 13 fraksi lain menyetujui — maka kedua RUU itu tidak dapat disahkan oleh DPR.

Setelah terpilihnya anggota DPR/MPR hasil Pemilu 1971 dan atas desakan beberapa pihak seperti Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia tanggal 29 Januari 1972, Badan Musyawarah Organisasi Wanita Islam Indonesia tanggal 22 Februari 1972 dan Himpunan Mahasiswa Islam tanggal 11 Februari 1973, maka pemerintah mengajukan RUU Perkawinan yang baru kepada DPR RI tanggal 31 Juli 1973. Atas berkat rahmat Allah dan kerjasama yang baik antara pemerintah dan DPR, akhirnya RUU tersebut dapat disetujui oleh semua fraksi dengan suara bulat (aklamasi).   RUU yang disetujui pada tanggal 2 januari 1974 (Lembaran Negara 1974 no.1) ini, berlaku secara efektif sebagai Undang-Undang mulai tanggal 1 Oktober 1975, yaitu sejak dikeluarkannya peraturan pelaksanaannya.

Pelaksanaan Perkawinan Dan Beberapa Prinsipnya

Dengan lahirnya UU No.1 tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975,  maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam BW atau KUH Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran dan per-aturan-peraturan lain yang mengatur tentang perka­winan, sejauh telah diatur dalam UU ini, dinyatakan tidak berlaku.   Dengan demi­kian, sejak saat itu semua perkawinan yang dilakukan oleh seluruh golongan penduduk Indonesia, pelaksanaannya harus bersumber kepada UU No.1 tahun 1974, kecuali terhadap hal-hal yang belum diatur dalam UU tersebut.

Adapun tata cara pelaksanaan perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya — dengan demikian merupakan syarat yuridis — adalah sebagai berikut.

Calon mempelai atau orang tuanya atau wakilnya memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan (pasal 3 dan 4 PP no.9 tahun 1975). Pegawai tersebut kemudian meneliti apakah syarat-syarat dan surat-suratnya sudah lengkap, juga apakah tidak terdapat halangan menurut UU (pasal 5 dan 6 PP).  Apabila ternyata dari hasil penelitian itu didapatkan halangan perkawinan atau belum dipenuhi syarat-syarat yang diperlukan, maka keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya (pasal 7 ayat 2 PP).   

Sebaliknya, bila pemberitahuan itu telah dipandang cukup dan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan serta tidak terdapat halangan untuk kawin, maka Pegawai Pencatat membuat pengumuman tentang pemberita­huan kehendak melangsungkan perkawinan. Pengumuman serupa itu juga dilakukan di kantor pencatatan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman masing-masing mempelai (pasal 8 dan penjelasan pasal 9 PP).

Adapun pelaksanaan perkawinannya baru dapat dilangsungkan pada hari kesepuluh sejak dikeluarkannya pengumuman (pasal 10 PP).   Ketentuan ini dimak­sudkan untuk  memberi kesempatan pada pihak ketiga untuk mengajukan keberatan dan memohon pencegahan perkawinan (pasal 13 - 16 UU).    Pencegahan itu sen­diri harus diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum tempat perkawinan itu dilangsungkan (pasal 17 UU).

Dengan memperhatikan tata cara dan ketentuan perkawinan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, maka perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Perkawinan dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi (pasal 10 PP). Sedang bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam, akad nikahnya dilakukan oleh wali nikah atau yang mewakilinya.

Sesudah perkawinan itu berlangsung, kedua mempelai menandatangani Akta Perkawinan yang disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, yang kemudian diikuti oleh kedua saksi dan oleh wali nikah dalam hal perkawinan dilakukan menur­ut Agama Islam. Akta itu juga ditandatangani oleh Pegawai Pencatat yang ber­sangkutan. Dengan selesainya penandatanganan tersebut, maka perkawinan telah tercatat secara resmi (pasal 11 PP).   Sampai pada tahap ini, norma-norma keaga­maan, kesusilaan, dan norma hukum mengakui dan memberikan dasar yang kuat bagi kedua mempelai untuk “berbuat hukum” dalam arti menunaikan hak-hak dan kewajibannya sebagai suami istri.

Mengenai prinsip-prinsip perkawinan, antara hukum perkawinan nasional dengan hukum perkawinan Islam terdapat banyak kesamaan dan kesesuaian. Kesamaan atau kesesuaian itu antara lain terletak pada beberapa masalah berikut ini.

1.      UU No.1 tahun 1974 dan hukum perkawinan Islam berasas monogami, sehing­ga poligami dibatasi secara ketat.

Asas monogami ditandaskan dalam pasal 3 ayat (1) UU tersebut sebagai berikut: “pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.  Namun demikian, berdasar pasal 3 ayat (2) seorang pria dimung­kinkan untuk beristri lebih dari seorang. Ayat tersebut menyatakan: “Pengadi­lan, dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Adapun cara melakukan poligami diatur dalam pasal 4 dan 5.   Pasal 4 mewajibkan suami yang akan beristri lebih dari seorang untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya. Pengadilan akan memberi ijin apabila:

a.   Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b.   Istri mendapat cacat badan / penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.   Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Sedang dalam pasal 5 diatur syarat-syarat untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, yaitu ada persetujuan dari istri, ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak- nya, dan ada jaminan bahwa suami akan berbuat adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

Dari prosedur dan syarat-syarat yang ada, terlihat betapa sulitnya proses yang dilalui oleh seorang pria yang ingin berpoligami. Hal yang sama terdapat pula pada hukum perkawinan Islam. Poligami dalam Islam diatur pada Surat An Nisaa’ ayat 3.  Ayat ini menjelaskan, agar jangan sampai berbuat tidak adil terhadap anak-anak yatim, orang laki-laki diperbolehkan kawin dengan perempuan, dua, tiga atau empat. Jika laki-laki tersebut takut berbuat tidak adil, supaya kawin dengan seorang wanita saja, karena perkawinan monogami lebih menjamin seseorang tidak akan berbuat aniaya.

Adapun alasan diperbolehkannya poligami oleh Islam adalah sebagai berikut:
a.      apabila ada seorang pria yang kuat syahwatnya dan baginya seorang istri belum cukup.
b.      apabila ada suami yang benar-benar ingin punya anak, sedang istrinya mandul.
c.      apabila istri menderita sakit hingga tidak mampu melayani suaminya.
d.      apabila dalam suatu masyarakat jumlah perempuan lebih besar dari jumlah laki-laki.

2.      Perceraian dipersulit.

Seorang suami yang akan menceraikan istrinya menurut PP no. 9 tahun 1975, terlebih dahulu harus mengajukan surat kepada pengadilan didaer­ah tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud mencerai istrinya disertai alasan-alasannya (pasal 14). Pengadilan kemudian mempelajari isi surat tersebut dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil pengirim surat dan istrinya untuk meminta penjelasan (pasal 15). Pengadilan akan mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian apabila terdapat ala­san-alasan seperti dimaksud pasal 19, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan.

Alasan-alasan yang dapat mengakibatkan perceraian menurut pasal 19 adalah sebagai berikut:

a.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan lain seba­gainya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah.
c.      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman / penganiayaan berat yang memba­hayakan pihak lain.
e.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami / istri.
f.       Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun.

Ajaran Islam memperbolehkan suami istri untuk menjatuhkan cerai / talak dalam hal:
a.      Salah satu pihak mandul, sehingga tujuan mendapat keturunan terhalang.
b.      Salah satu pihak mengalami kelainan dan tidak mungkin melakukan hubun­gan kelamin.
c.      Antara suami istri selalu terjadi percekcokan yang tidak terselesaikan.
d.      Salah satu pihak tidak memperhatikan kewajibannya terhadap pihak lain.

Sejalan dengan prinsip perkawinan dalam Islam bahwa perkawinan untuk selamanya, maka dalam masalah talak-pun Islam memberikan langkah-langkah pendahuluan sebagai berikut:

a.      Apabila terjadi perselisihan antara suami istri, terlebih dahulu sedapat mu­ngkin diselesaikan sendiri.
b.      Apabila tidak dapat diselesaikan, hendaklah mengangkat hakim (wasit) dari keluarga suami dan istri.
c.      Apabila terpaksa perceraian tidak dapat dihindarkan, haruslah dijatuhkan talak satu, sehingga bagi suami istri itu masih ada kemungkinan untuk rujuk.

Menyimak alasan-alasan yang harus dipenuhi sebelum dijatuhkannya talak atau cerai, serta anjuran untuk menempuh langkah-langkah tertentu sebe­lum benar-benar memutuskan ikatan pernikahan, dapatlah dipahami bahwa hukum positif dan hukum agama sangat tidak menghendaki terjadinya perce-   raian. Bahkan dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa perceraian adalah perbuat-an halal yang paling dibenci oleh Allah.  Dari sudut pandang sosial kemasyara­katan, perceraian juga merupakan suatu kenyataan yang “memalukan”, yang menandakan bahwa keluarga tersebut tidak dapat menjaga kerukunan, hanya mementingkan perasaan pribadi tanpa memikirkan akibat yang dirasakan anak-anaknya.

Selain prinsip monogami dan dipersulitnya perceraian, masih terdapat banyak persamaan persepsi antara hukum perkawinan nasional dengan hukum perkawinan Islam, misalnya asas sukarela antar pihak-pihak yang bersangkutan, ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan tertentu, adanya persaksian dalam akad nikah, perkawinan untuk selamanya (tidak ditentukan untuk waktu tertentu), dan sebagainya.

Masalah-masalah tersebut sengaja tidak dibahas dalam bab ini dengan maksud agar tidak menimbulkan kebosanan dan kestatisan dalam cara pengur­aiannya. Yang jelas, keberadaan hukum perkawinan Islam disamping hukum perkawinan tidak dapat dikatakan sebagai dualisme hukum perkawinan di Indone­sia, karena keduanya tidak terpisah sama sekali, melainkan merupakan hukum yang saling mengisi dan saling menunjang. Meminjam istilah hukum, maka hukum perkawinan Islam merupakan lex spesialis atau hukum yang khusus berlaku bagi umat Islam, sedang hukum perkawinan nasional merupakan lex generalis atau hukum berlaku secara umum dan bagi penduduk-penduduk yang tidak memiliki aturan khusus mengenai perkawinan. Oleh karena itu, kenyataan ini tidak bisa disamakan dengan situasi sebelum lahirnya UU No.1 tahun 1974, dimana berlaku macam-macam hukum perkawinan bagi macam-macam golongan penduduk.

Daftar Referensi

Basyir, H. Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Bag. Penerbitan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1985
Sosroatmodjo, H. Arso dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,  Bulan Bintang, Jakarta, 1981

Tidak ada komentar:

Posting Komentar