Laman

Sabtu, 01 Mei 2010

Sistem Nilai dalam Kehidupan Manusia


Sebelum melangkah lebih jauh kepada pembahasan mengenai topik diatas, marilah kita ambil sebuah perumpamaan. Seandainya pada satu saat seluruh ke­kayaan masyarakat dikumpulkan, lalu dibagikan kembali secara merata kepada warganya sehingga tidak ada lagi kesenjangan sosial, apakah yang akan terjadi pada 5 sampai 10 tahun kemudian? Masih samakah kekayaan dan tingkat kese­jahteraan mereka? Kemungkinan sekali tidak, dan kemungkinan sekali kesenjangan sosial akan muncul kembali. Mengapa bisa demikian? Faktor-faktor apa yang menyebabkan hal ini?

Barangkali tidak satu jawabanpun yang bisa memberikan kepuasan atas pertanyaan itu, karena tidak ada seorangpun yang akan berani mencoba merealisa­sikan atau membuktikan pengandaian tersebut. Oleh karenanya, ulasan dalam bab ini juga bersifat “tidak pasti” atau “belum tentu”, dan membuka peluang yang sangat lebar untuk diperdebatkan atau diajukannya teori-teori dan alasan-alasan lain yang lebih masuk akal.

Salah satu faktor penyebab yang bisa dikemukakan adalah pandangan/filsafat hidup yang dianut oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Pengertian filsafat hidup disini meliputi sistem kepercayaan, tradisi-tradisi budaya yang turun-temurun, dan nilai-nilai sosio-psikologis, yang kesemuanya itu diyakini kebenarannya serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh misalnya ungkapan-ungkapan yang melekat pada sikap dan perilaku orang Jawa seperti alon-alon waton kelakon, urip mung mampir ngombe, mangan ora mangan asal kumpul, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan tersebut sering dianggap sebagai penyebab rendahnya etos kerja, lambannya proses kemajuan, dan lemahnya semangat pen­gabdian aparat pemerintah, sehingga harus diubah menjadi nilai baru yang lebih dinamis seperti cepet nanging kelakon, urip iku ora mung mampir ngombe, kumpul ora kumpul asal mangan, dan sebagainya.

Tuntutan dunia modern memang menghendaki sikap hidup pragmatis, efektif, dan efisien. Tetapi benarkah ungkapan diatas menyebabkan segala sesuatu menjadi berbelit-belit, inefekfif dan inefisien? Untuk menjawabnya — dan agar tidak terje­bak kepada anakronisme — harus dikembalikan pada zaman dan budaya pendu­kungnya.

Orang-orang Jawa tempo doeloe, adalah masyarakat yang menghendaki terjadinya keserasian dan keseimbangan (harmony) dalam segala aspek kehidupan, yang tercermin dalam konsep-konsep lingga-yoni, kawula-gusti, warangka-curiga, mikrokosmos-makrokosmos, dan sebagainya. Unsur yang satu membutuhkan unsur yang lain, sehingga jika salah satu unsurnya hilang, maka hilang pulalah keharmoni­san komunitas. Konsep-konsep yang digunakan memang berupa lambang-lambang atau simbol-simbol (sesuai dengan sifat orang Jawa sebagai homo simbolicum), dan ungkapan diatas sebenarnya juga merupakan lambang atau simbol. Itulah sebabnya tidak bisa diartikan secara harfiah, melainkan harus dicari, apa maksud yang ter­sembunyi didalamnya.

Ungkapan mangan ora mangan asal kumpul bukan berarti bahwa orang Jawa adalah manusia-manusia yang tahan lapar, atau yang tidak mempunyai sepeser uangpun untuk membeli sejumput padi, ataupun manusia malas yang maunya hanya kumpul terus. Dalam ungkapan ini terdapat dua kata kunci, yakni mangan (makan) dan kumpul. Makan adalah manifestasi dari nafsu biologis dan kepentingan perseorangan, sedang kumpul menunjukkan adanya kehidupan berkelompok atau bermasyarakat. Dengan demikian, ungkapan mangan ora mangan asal kumpul pada dasarnya ingin mengatakan bahwa orang Jawa merasa menjadi bagian integral dari masyarakatnya dan bersedia mendahulukan kepentingan kelompok/umum dari pada kepentingan individu.

Demikian pula terhadap ungkapan alon-alon waton kelakon. Adalah kurang tepat jika diartikan sebagai sikap hidup ragu-ragu, malas dan pesimis. Justru seba­liknya, hal itu menandakan manusia yang berpandangan optimis yang mampu melihat jauh kedepan, disamping merupakan anjuran untuk melakukan pekerjaan secara cermat agar selesai dengan baik. Orang Jawa dengan kekuatan spiritual atau kebatinannya yang didapatkan dari kegiatan-kegiatan asketis seperti semadi/tapa, pasa atau nglakoni (melaksanakan suatu syarat untuk suatu tujuan), selalu yakin akan kekuatan diri sendiri dan yakin pula bahwa apa yang dicita-citakan pasti akan terwujud. Jadi, mengapa harus tergesa-gesa kalau sesuatu yang dikejar itu pasti datang? Namun dalam hal ini harus diakui bahwa hanya orang-orang tertentu yang sudah mencapai taraf weruh sadurunge winarahlah yang bisa menghayati ungkapan alon-alon waton kelakon.

Adapun ungkapan urip mung mampir ngombe menunjukkan bahwa kehidu­pan manusia didunia begitu cepatnya, ibarat sepeminuman segelas air. Disini terkandung makna bahwa setelah selesai minum, masih ada kewajiban lain yang lebih penting. Oleh karenanya, selama proses minum berlangsung, betul-betul harus dapat dirasakan bahwa minum itu merupakan rahmat dari Yang Kuasa yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, sehingga dapat menjadi “bekal” untuk menunaikan kewajiban lainnya, yaitu agar tidak “kehausan” di tengah jalan.

Struktur Sosial dalam Ungkapan Kanca Wingking

Ungkapan lain yang bisa memberi kesan negatif adalah kanca wingking dan suwarga nunut neraka katut. Keduanya seolah-olah mendiskriminasikan wanita atau istri terhadap laki-laki atau suami. Interpretasi negatif akan mengatakan bahwa wanita hanya berfungsi sebagai pemuas kebutuhan biologis (seksual) atau sebagai pembantu rumah tangga. Tanpa pemahaman terhadap makna yang tersembunyi didalamnya, tuntutan emansipasi, persamaan hak, derajat dan kedudukan akan mengalir bagaikan air bah.

Apabila dikaji lebih lanjut, dalam ungkapan tersebut terdapat suatu struktur; dan karena struktur itu berada ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat, maka biasa disebut sebagai struktur sosial. Pengertian struktur sosial dapat diartikan sebagai susunan yang didalamnya menampakkan pembedaan fungsi masing-masing individu dalam masyarakat. Keluarga pada hakekatnya merupakan miniatur dari masyarakat, dan oleh karenanya dalam keluargapun terdapat struktur keluarga, yaitu susunan yang didalamnya menampakkan pembedaan fungsi, tugas, peran dan tanggung jawab, antar anggota keluarga, baik Ayah, Ibu, Anak, atau pembantu rumah tangga jika ada.

Dari pengertian tersebut sudah dapat dibayangkan bahwa ungkapan suwarga nunut neraka katut dan kanca wingking adalah dimaksudkan untuk menempatkan manusia pada peran, fungsi dan kedudukannya. Islam — yang ajaran-ajarannya banyak diserap oleh masyarakat Jawa kemudian digabungkan dengan pemikiran dalam ajaran Hindu Budha (sinkretisme) — mengajarkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, dan suami adalah pemimpin bagi istrinya. Sepanjang tidak bertentangan dengan agama, kesusilaan dan Undang-Undang, isri wajib mentaati perintah atau aturan suami. Jadi, arti suwarga nunut neraka katut bagi istri adalah mematuhi suami, disamping kewajiban untuk memperingatkan bila suami kurang benar. Istri yang tidak mau menegur kesalahan suami, berarti ikut menanggung dosa yang diperbuat suaminya.

Begitu pula ungkapan kanca wingking. Sebagai “teman belakang”, para istri memegang peranan yang amat penting dalam sebuah keluarga. Jika mereka tidak kuat memegang peran sebagai kanca wingking, maka keluarga itupun tidak dapat diharapkan kelangsungan eksistensinya. Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa surga laki-laki terletak ditelapak kaki wanita. Semboyan bahwa suatu revo­lusi tidak akan berhasil tanpa andil kaum wanita-pun, tidaklah mengada-ada.

Hanya saja persoalannya, mengapa wanita dikatakan sebagai kanca wingk­ing, bukan kanca ngajeng (teman depan)? Hal ini juga ada alasannya sendiri. Barangkali tidak seorangpun yang menyangkal bahwa masyarakat Jawa memiliki nilai-nilai dan norma-norma luhur yang dijunjung tinggi. Perbuatan yang melanggar atau tidak sesuai dengan nilai atau moral itu, dikatakan sebagai saru, ora lumrah, atau ora ilok.

Kedudukan wanita Jawa terhadap lawan jenisnya sebagaimana kedudukan wanita terhadap pria pada umumnya — secara kodrati (bedakan dengan kedudukan sosial politik) — adalah lebih rendah. Dengan demikian, adalah tidak patut apabila wanita yang memimpin suatu keluarga. Adalah tidak lumrah apabila wanita mencar­ikan nafkah bagi suaminya dan menempatkannya sebagai rewang (pembantu). Dan adalah tidak ilok (tidak boleh dilakukan) apabila seorang istri berani membantah suaminya.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, perlukah diadakan penyeragaman fungsi, peran, kedudukan dan tanggungjawab antar individu? Sebelum menentu­kan jawabannya, ada baiknya disimak ilustrasi berikut. Sebuah celana panjang dan sebuah baju adalah dua perlengkapan sandang yang memiliki fungsi, kedudukan dan tanggungjawab masing-masing. Apa yang terjadi jika celana panjang harus berperan dan berfungsi sebagai baju; apa pula yang terjadi jika baju harus memikul tanggung jawab celana panjang sebagai penutup aurat bawah manusia? Tentu kejadiannya sangat lucu, aneh, kacau dan akhirnya justru memporakporandakan tatanan yang telah ada.

Begitu juga dalam struktur sosial atau struktur keluarga. Pertukaran peran, kedudukan, fungsi dan tanggungjawab yang telah “ditakdirkan” secara alamiah, akan mengakibatkan disharmoni, ketidakserasian dan kekacauan sosial. Penyera­gaman hanya mungkin dilakukan terhadap bobot hak dan kewajibannya. Dalam ilustrasi diatas, penyeragaman hanya mungkin diterapkan terhadap bahan, gaya atau model pakaiannya.

Itulah sisi-sisi positif dari ungkapan-ungkapan lama yang saat ini sering menjadi kambing hitam bagi rendahnya etos kerja, lambannya proses kemajuan, dan lemahnya semangat pengabdian aparat pemerintah. Yang pasti, meskipun badai perubahan selalu menerpa, nilai-nilai kebajikan dan moralitas tidak akan pernah berubah atau luntur menjadi nilai-nilai kebiadaban. Ibaratnya, tanpa digosokpun, sebongkah permata akan tetap memancarkan cahaya keemasan. Oleh karena itu, manakala terjadi suatu ketidakberesan, maka harus segera dilakukan introspeksi, siapakah sebenarnya sumber ketidakberesan itu, sistem nilainya ataukah kesalahan manusia dalam menafsirkan dan menerapkannya?

Nilai Budaya dan Kepatuhan Hukum

Struktur sosial seperti terurai diatas, pertama kali dikemukakan oleh antro­polog Inggris Radcliff Brown. Menurutnya, struktur sosial yang disamakan dengan sistem organisasi sosial atau sistem kemasyarakatan ini, merupakan hubungan-hubungan antar individu dalam masyarakat.

Sistem organisasi sosial atau sistem kemasyarakatan adalah salah satu dari 7 (tujuh) unsur kebudayaan yang universal, selain bahasa, sistem pengetahuan, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan upacara keagamaan, serta kesenian. Adapun materi yang terkandung dalam sistem organisasi kemasyarakatan itu antara lain adalah:

1.      Sistem kekerabatan, yaitu hubungan yang terjadi antar individu yang didasarkan pada keturunannya (darah). Kekerabatan berdasarkan “darah” ini terdiri dari 2 (dua) macam, yakni bilateral dan unilateral.
2.      Lembaga kemasyarakatan atau pranata sosial.
3.      Hukum bagi masyarakat pendukung kebudayaan. Masyarakat dalam konteks ini adalah masyarakat sederhana atau tradisional, sehingga hukumnyapun bukan hukum positif yang berlaku hic dan nunc (disini dan sekarang), melainkan hukum adat yang berlaku secara turun temurun.

Pola kehidupan tradisional masyarakat sederhana bisa ditinjau dari sudut pandang pola pikirnya. Pola pikir yang kosmologis sangat mempengaruhi masyara­kat dalam berbuat atau bertindak hukum. Kosmologis berarti bahwa alam semesta dianggap memiliki kekuatan-kekuatan yang mampu mempengaruhi manusia, bahkan mengubah nasibnya. Semua peristiwa dan kejadian dalam alam nyata ini adalah takdir alamiah atau kehendak sejarah. Manusia tidak berperan sama sekali, pasif dan responsif. Pandangan seperti ini disebut kosmosentrisme, sedang kebalikannya, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa manusia adalah subyek dan penyebab utama dari segala keadaan di dunia dengan segala akibatnya, disebut Antroposen­trisme. Dengan kata lain pandangan antroposentrisme menegaskan bahwa manusia adalah pembuat sejarah (baca juga Bab I sub judul “Kosmosentris dan Antroposen­tris”).

Alam semesta dengan kekuatan gaibnya, telah memaksa manusia untuk berusaha mendapatkan keselamatan dan kemakmuran dari padanya, dengan jalan membakar kemenyan, melaksanakan labuhan dan sebagainya. Kepercayaan yang bersumber dari kontemplasi atau pengalaman kebatinan ini secara tidak langsung akan membawa pengaruh kepada perbuatan-perbuatan lahiriah. Bisa juga dikatakan, kelakuan riil seseorang adalah refleksi dari keyakinan batinnya. Dari sini dapat ditar­ik suatu analogi, apabila masyarakat tidak berani melanggar kepercayaannya, maka merekapun akan sulit untuk tidak mematuhi hukum adatnya.

Adanya kepercayaan yang amat kuat hingga mampu mengendalikan sifat, perilaku dan perbuatan para pemeluknya, menunjukkan bahwa masyarakat (dalam konteks ini masyarakat Jawa) sangat mementingkan kehidupan rohaninya dibanding kepentingan jasmani/ragawi. Kebudayaan rohani (mental spiritual), sering dipandang lebih rendah atau lebih terbelakang dibanding kebudayaan fisik; namun ukuran tinggi rendahnya suatu kebudayaan sangatlah sulit ditentukan mengingat sifatnya yang relatif. Jika dilihat dari segi kemajuan teknologi yang bisa secara langsung dilihat dengan mata, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya fisik lebih unggul. Seba­liknya jika dilihat dari segi moralitas dan ketenangan batin, kecanggihan yang beraneka warna belum tentu bisa dikatakan sebagai kemajuan peradaban.

Salah satu contoh, promesquitet (kehidupan seksual yang sangat bebas dimasa lampau; semacam kumpul kebo sekarang) adalah “penyelewengan” yang bisa dimaklumi mengingat pada masa itu belum dikenal nilai-nilai keagamaan dan peradaban yang luhur. Akan tetapi samen leven (hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah) yang sangat populer saat ini adalah suatu kemunduran, mengingat manusia sekarang telah mengalami perkembangan kebudayaan dan keagamaan yang sangat tinggi, yang dengan keduanya itu mestinya manusia sema­kin beradab, bukan semakin biadab.

Dari uraian diatas terlihat dengan jelas bahwa dalam suatu kebudayaan terkandung nilai-nilai. Nilai-nilai yang dikaitkan dengan pola pikir sering disebut sebagai nilai budaya, dimana nilai atau harga budaya inipun bersifat relatif tergan­tung kepada orang yang menghargainya. Nilai budaya merupakan konsepsi abstrak sebagian besar anggota masyarakat tentang sesuatu yang berharga dan penting, atau sesuatu yang tidak berharga dan tidak penting dalam hidup sehari-hari. Perwu­judan nilai-nilai budaya ini bisa berupa aturan atau norma-norma, hukum adat, adat istiadat, sopan santun, tata susila dan sebagainya.

Dalam kaitannya dengan hukum adat, sistem kekerabatan Jawa sebagaimana disinggung diatas, memiliki hubungan yang erat. Masyarakat Jawa — menurut para ahli — menganut pola kekerabatan bilateral atau parental yang berarti hubungan-hubungan kerabat ditelusuri dari 2 (dua) garis, yaitu garis Ayah (laki-laki atau patri­lineal) dan garis Ibu (perempuan atau matrilineal). Namun benarkah demikian, mari­lah kita tengok sistem pembagian harta peninggalan.

Hukum waris adat Jawa menetapkan bahwa bagian antara laki-laki dan perempuan adalah sepikul segendongan, dimana sepikul sama atau hampir sama dengan segendong (sistem ini kemungkinan besar mengadopsi dari Hukum Waris Islam). Fakta ini secara langsung mengajukan pertanyaan, benarkah sistem kekera­batan Jawa adalah parental, karena jika memang benar demikian, semestinya antara laki-laki dan perempuan tidak ada pembedaan bagian harta waris. Dengan kata lain, hukum harus dipertimbangkan secara parental pula.

Kupasan ini tidak dimaksudkan sebagai analisa terhadap kasus-kasus hukum dalam masyarakat, oleh sebab itu tidak digunakan pendekatan dan metode-metode yuridis. Pemahaman dan pemecahan masalah diatas haruslah dikembalikan lagi pada kerangka pemikiran tentang struktur sosial, dimana wanita adalah kanca wingkingnya pria, sehingga mau tidak mau wanita harus “berbeda” dengan pria. Tidaklah mungkin kodrat wanita dan pria akan sama, dan apabila hal itu dipaksa­kan, berarti telah terjadi pemaksaan terhadap hukum alam (Sunatullah).

Hukum waris adat dan hukum-hukum adat lainnya selalu dipatuhi oleh warga masyarakat karena adanya sistem kepercayaan yang amat berakar dalam hati, hingga mampu mengendalikan perilaku dan perbuatan para pemeluknya dari sifat-sifat negatif. Disamping itu juga karena secara material dan formal, hukum-hukum adat tadi berasal dari masyarakat itu sendiri. Dengan lain perkataan, hukum adat merupakan kehendak kelompok. Dan kepatuhan hukum itu akan tetap ada selama kehendak kelompok diakui dan di junjung tinggi bersama, karena kehendak kelom­pok inilah yang menyebabkan timbul dan terpeliharanya kewajiban moral warga masyarakat.

Meskipun demikian, sesuai dengan sifat hukum adat yang dinamis dan fleksi­bel, maka kehendak kelompok itupun bersifat dinamis pula, dalam arti bisa menga­lami perubahan-perubahan. Dalam skala yang lebih luas, hukum adat dan bahkan kebudayaan, kerapkali berubah-ubah sesuai dengan perkembangan dan perubahan masyarakatnya, baik dalam hal pola pikir, kebiasaan-kebiasaan, maupun pemaha­mannya terhadap sistem nilai tertentu. Yang jelas disini adalah bahwa perubahan kehendak kelompok, perubahan hukum adat, dan perubahan kebudayaan, selalu mengiringi perubahan apapun yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Perubahan yang menimpa hukum adat, secara otomatis berarti pula terjadin­ya perubahan sosial (social change). Hal ini disebabkan karena perubahan hukum adat dialami oleh seluruh anggota masyarakat (jadi tidak individuil), serta menyang­kut nilai-nilai dan fungsi masyarakat. Tanpa dipenuhinya kedua syarat ini, suatu keadaan yang menyimpang dari kebiasaan tidak bisa dikatakan sebagai perubahan, melainkan hanya dinamika.

Dalam kaitannya dengan kesadaran dan kepatuhan hukum, terdapat perbe­daan yang cukup mendasar antara hukum adat dengan hukum positif. Kesadaran masyarakat adat terhadap norma-norma baik dan buruk adalah secara sukarela sebagai akibat adanya kewajiban moral tadi, sedangkan kesadaran hukum manusia modern adalah karena adanya sifat memaksa dari hukum tersebut. Dengan demi­kian, kepatuhan hukum masyarakat modern-pun bukan karena di junjung tingginya aturan-aturan hukum, tetapi lebih disebabkan oleh ketakutan terhadap sanksi atau ancaman yang diberikan oleh hukum.

Pertanyaannya sekarang adalah, mana yang lebih baik diantara keduanya, dan sistem nilai manakah yang seharusnya kita kembangkan untuk menciptakan kepatuhan hukum masya-rakat? Barangkali semua pihak bisa menyetujui usul bahwa hukum pemaksa (dwang) tidaklah diperlukan bila sudah ada ketertiban dan keharmonisan. Hukum pemaksa tidak mungkin akan lahir seandainya semua warga masyarakat, baik dalam hubungan kekeluargaan maupun hubungan yang lebih luas, berusaha mempertahankan kewajiban moralnya terhadap hukum adat dan ajaran-ajaran lain yang mengandung ungkapan kebajikan.

Oleh karena itu, hukum adat dan nilai-nilai tradisional wajib diperhatikan, diperkembangkan dan dilestarikan, agar kewajiban moral tetap melekat dalam hati dan jiwa seluruh warga masyarakat, meskipun hukum nasional hendak dan atau sudah diberlakukan bagi mereka. Keuntungan yang pasti adalah bahwa hukum adat akan dapat membimbing dan mengarahkan masyarakat agar mau dengan sukarela mematuhi dan melaksanakan hukum yang berlaku bagi mereka dengan sebaik-baiknya.

2 komentar:

  1. bahasa saya ya pak, ungkapan itu mestinya kita maknai dengan makna positif.. mohon maaf karena kata2 saya sangat terbatas, apa karena beda ilmu ya pak hehe..

    BalasHapus
  2. sebujurnya artikel ini ulun buat sudah cukup lawas, ketika ulun masih giat mendalami aspek filsafat, budaya dan sejarah di ugm.
    setuju pak encik, semua hal mestinya kita lihat dari sudut positifnya. dan tentu saja ilmu etam beda pak ai ... ulun gin pasti harus belajar byk dari pian soal kebijakan pertanian dlm arti luas :)

    BalasHapus