Sabtu, 05 Juni 2010

Birokrasi yang Frustrasi (Frustrated Bureaucracy)


BIROKRASI di Indonesia kembali membuat kejutan. Kali ini, Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang membuat “gebrakan” dengan melakukan tindakan represif berupa pencopotan pelat nomor kendaraan pribadi pelanggar parkir. Bahkan, Dishub juga merencanakan akan mengunci atau menggembok roda mobil para pelanggar lalu lintas secara paksa (Kompas, 2/10/02). Beberapa waktu sebelumnya, Pemda DKI juga telah membangun pagar pembatas di sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman yang dilengkapi dengan kawat berduri yang diolesi oli bekas, dengan maksud untuk mencegah orang menyeberang jalan.

Belakangan ini memang banyak sekali tindakan birokrasi (baik dalam pengertian pejabat maupun lembaganya) yang menggelikan. Ketika dituntut memberikan penjelasan tentang kasus pengungsi di Nunukan, Presiden malah menuduh pers terlalu membesarkan permasalahan dan menganggap bahwa urusan ketenagakerjaan adalah tanggungjawab Daerah. Demikian pula pada saat menyaksikan kinerja BKKBN yang rendah, seketika Wakil Presiden menganjurkan agar organisasi ini dibubarkan. Disisi lain, Akbar Tanjung selalu mengatakan “Ah, sudahlah …” setiap kali diminta komentar tentang vonis penjara yang diterimanya serta tuntutan non aktif sebagai Ketua DPR. Dan yang paling mengenaskan adalah kasus Menteri Agama dengan situs Batutulisnya.

Beberapa kasus diatas hanyalah sedikit contoh dari cerminan birokrasi kita yang mulai kebingungan dengan permasalahan yang dihadapi. Berbagai kebijakan yang telah ditempuh ternyata tidak menghasilkan dampak yang diharapkan. Sebaliknya, permasalahan sosial, ekonomi dan politik nampaknya makin bertambah banyak dan kompleks. Akibatnya, terjadilah kecenderungan birokrasi mencari pembenar atas tindakan yang sedang atau akan dilakukan, mencari kambing hitam atas kesalahan atau tanggung jawab yang ingin dihindari, serta mencari jalan termudah, tercepat dan termurah untuk meraih tujuan organisasi. Dengan kata lain, birokrasi kita dewasa ini menunjukkan tanda-tanda frustrasi yang cukup parah, yang diindikasikan oleh sikap pragmatisme yang berlebihan, tidak ramah dan cenderung arogan, tidak mampu menghasilkan terobosan kebijakan yang brilian, serta berpotensi menyimpang dari norma kepatutan, jika tidak dikatakan sebagai pelanggaran hukum.

Sebagai contoh, aksi pencopotan pelat nomor dalam kasus diatas tanpa seijin pemiliknya jelas-jelas merupakan perbuatan “mengambil hak milik orang lain secara melawan hukum”, dan oleh karenanya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian. Demikian halnya pada kasus penggembokan mobil yang mengakibatkan pemiliknya tidak dapat memanfaatkan haknya secara sah, maka aksi tersebut dapat ditafsirkan sebagai tindak pidana sabotase, atau minimal perbuatan yang tidak menyenangkan. Disamping itu, dilihat dari dimensi kepatutan, apa yang dilakukan Dishub DKI dan juga Presiden dalam kasus Nunukan Wapres dalam kasus BKKBN, serta Menag dalam kasus Batutulis, sangatlah tidak pantas dilakukan seorang birokrat negara.

Ironisnya, mereka tidak merasa bahwa perbuatan tersebut menyimpang dari kaidah normatif yang ada. Kahumas Dishub DKI misalnya, ia menyatakan bahwa pencopotan pelat nomor dan penggembokan roda mobil tersebut sebagai keharusan, bukan sesuatu yang melanggar aturan karena dilindungi oleh instruksi Gubernur (Kompas, 2/10/02). Ia juga menambahkan bahwa tindakan ini merupakan alternatif terakhir untuk mengatasi para pelanggar lalu lintas. Ini berarti bahwa jika upaya ini tetap tidak berhasil menertibkan lalu lintas Jakarta, maka tidak akan ada lagi kebijakan yang bisa diterapkan. Sekali lagi, hal ini memperkuat dugaan bahwa birokrasi kita sedang terjebak dalam sindrom frustrasi yang sangat dalam.

Dengan kondisi birokrasi yang demikian, dapatkah kita sekarang mengatakan bahwa bangsa kita tengah mengalami hal yang sama, yakni frustrasi? Pertanyaan ini menjadi relevan, sebab masyarakatpun sesungguhnya pernah dan masih menunjukkan gejala frustrasi pula. Sebagai contoh, saking lelahnya menanti penegakan hukum yang benar-benar adil dan transparan yang tidak penah kunjung tiba, akhirnya aksi main hukum sendiri menjadi pilihan terakhir. Dalam hubungan ini, kasus-kasus membakar hidup-hidup pencuri yang tertangkap tangan, mengarak telanjang pelaku perzinahan, dan sebagainya harus ditafsirkan sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum nasional yang berlaku, dan bukan wujud masyarakat yang barbar dan biadab.

Demikian pula, manakala masyarakat telah bosan dengan praktek politik yang tidak pernah berpihak pada rakyat jelata serta penuh dengan berbagai trik dan intrik, kolusi dan korupsi, dagang sapi dan persekongkolan jahat lainnya, maka demonstrasi yang brutal atau bahkan anarki yang keji menjadi pilihan terakhir yang terbaik. Inipun harus ditafsirkan sebagai kegagalan sistem politik dalam menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang damai, tertib, sejahtera, serta memiliki hubungan yang harmonis dengan birokrasinya.

Dari kedua contoh terakhir ini dapatlah disimpulkan bahwa eskalasi rasa frustrasi akan makin membesar dan tidak terkendali jika terjadi kegagalan sistem hukum dan politik. Hal ini dapat dijadikan analogi bahwa terjadinya birokrasi yang frustrasi adalah akibat langsung dari kegagalan sistem administrasi publik atau sistem birokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, tindakan mencari kambing hitam sungguh berlebihan dan sangat tidak bijaksana. Yang harus dilakukan justru adalah pembenahan internal dan meningkatkan efektivitas kebijakan. Dalam konteks mencapai efektivitas kebijakan publik yang tinggi sekaligus mencegah terjadinya kegagalan birokrasi ini, gagasan privatisasi atau outsourcing perlu diaktualisasikan kembali.

Privatisasi sendiri adalah gagasan tentang perlunya pemangkasan peran dan struktur birokrasi. Secara teoretis, birokrasi dapat dianalogikan dengan air. Ketika suhu air meningkat, air tersebut menjadi semakin panas. Seperti halnya birokrasi, semakin besar perannya dalam pembangunan dan semakin panjang rentang kendali yang dimiliki, maka makin rumitlah prosedur pelayanan. Oleh sebab itu, peran birokrasi harus dikurangi hingga titik tertentu, namun tidak menghilangkan sama sekali. Sebab, ketiadaan birokrasi juga dapat mengakibatkan situasi yang runyam. Sebagaimana air, hingga 40C air akan semakin dingin dan membeku. Namun begitu suhu diturunkan kembali, maka air tadi justru akan mencair. Dengan kata lain, baik air maupun birokrasi mengenal hukum anomali.

Kembali ke kasus Dishub DKI, urusan parkir dan pengaturan lalu lintas sudah saatnya diserahkan kepada sektor privat / swasta. Puluhan tahun urusan ini dipegang oleh birokrasi, terbukti hanya menghamburkan anggaran tanpa pernah menghasilkan model berlalu lintas yang nyaman dan pengaturan parkir yang profesional. Lebih memprihatinkan lagi, birokrasi menjadi frustrasi terhadap hasil kerjanya sendiri. Dengan privatisasi, paling tidak dapat diraih tiga keuntungan: 1) birokrasi tidak perlu terjun langsung ke urusan teknis sehingga lebih hemat dan terhindar dari perbuatan melanggar hukum, 2) peran swasta sebagai salah satu komponen civil society lebih terberdayakan, dan 3) ketertiban berlalu lintas dan urusan parkir lebih dapat diharapkan.

Satu hal yang perlu ditekankan juga adalah bahwa dalam masa transisi menuju demokrasi dewasa ini, birokrasi dituntut memiliki kesungguhan, optimisme dan perencanaan pembangunan yang matang. Tanpa modal ini, bukan tidak mungkin biirokrasi kita dimasa mendatang akan semakin frustrasi.

Tidak ada komentar: