Laman

Sabtu, 05 Juni 2010

Desentralisasi Fiskal dan Disorientasi Alokasi Anggaran


SECARA normatif, pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999 dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Namun dalam prakteknya, asumsi tadi diragukan dapat berjalan sesuai harapan. Keraguan ini terutama disebabkan oleh disorientasi pemerintah Daerah dalam mengalokasikan anggaran. Desentralisasi fiskal yang tercermin pada UU Nomor 34 Tahun 2000, serta PP Nomor, 16, 104, 105, 106, dan 107 Tahun 2000, ternyata lebih diarahkan untuk membiayai kebutuhan rutin dari pada pembangunan. Implikasinya, kepentingan masyarakat menjadi “terabaikan”, dan ini berarti menyimpang dari filosofi dasarnya.

Atas dasar hal tersebut, wajarlah jika kemudian muncul pertanyaan, benarkah asumsi bahwa otonomi daerah akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat ? Adakah kemauan baik dari jajaran pemerintah daerah untuk benar-benar mengabdikan seluruh sumber daya yang dimiliki bagi kepentingan warganya ? Pertanyaan seperti ini sangat penting diajukan mengingat dewasa ini terdapat kecenderungan pemerintah Daerah hanya membenahi aspek kepemerintahan saja. Sebagai ilustrasi, anggaran rutin dalam APBD DKI 2001 mencapai 67 %, sedangkan anggaran pembangunan hanya 33 %. Demikian pula kasus di Kalimantan Barat dengan anggaran rutin sebesar Rp 172.058.085.001 (63 %), berbanding anggaran pembangunan sebesar 102.479.286.141 (37 %). Kondisi serupa secara umum berlangsung di sebagian besar Daerah Propinsi maupun Kabupaten / Kota di Indonesia.

Tulisan ini mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut, mengidentifikasikan potensi sumber-sumber keuangan Daerah dan faktor-faktor penyebab yang mendorong terjadinya disorientasi Daerah dalam pengalokasian anggaran.

Potensi Penerimaan Daerah


Seiring dengan meningkatnya kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh Daerah, kewenangan penggalian dan pengelolaan potensi sumber-sumber penghasilan (misalnya pajak dan retribusi) juga ikut meningkat pula. Dengan kata lain, desentralisasi kewenangan memiliki hubungan tegak lurus dengan desentralisasi fiskal sebagai prasyarat keberhasilan otonomi daerah.

Sayangnya, meskipun kewenangan pengelolaan potensi sumber-sumber keuangan telah diberikan kepada Daerah, namun masih banyak pihak-pihak yang menyangsikan kemampuan keuangan Daerah dalam mendukung kebijakan otonomi. Hal ini sangatlah ironis. Sebab, dengan komposisi potensi sumber-sumber penerimaan yang dimiliki Daerah, sesungguhnya tidak perlu terjadi kekhawatiran bahwa suatu daerah akan kekurangan anggaran untuk membiayai aktivitas pemerintahan dan pembangunannya. Adapun potensi sumber penerimaan daerah berdasarkan kebijakan desentralisasi fiskal adalah sebagai berikut:

1.      Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pajak dan retribusi daerah merupakan salah satu komponen dari pendapatan asli daerah (PAD) disamping hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, serta lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah seperti hibah (pasal 79 UU Nomor 22 tahun 1999 jo. Pasal 3 dan 4 UU Nomor 25 tahun 1999). Dalam UU Nomor 34 Tahun 2000, baik Propinsi maupun Kabupaten / Kota memiliki jenis pajak yang lebih bervariasi namun dengan tarif maksimal yang sama. Jenis pajak untuk Daerah Propinsi bertambah dari 3 menjadi 4, sedangkan untuk Kabupaten / Kota berkembang dari 6 menjadi 7 jenis pajak. Ketentuan baru ini mengandung makna bahwa UU Nomor 34 Tahun 2000 lebih menganut strategi ekstensifikasi / diversifikasi dari pada intensifikasi sumber. Dengan strategi ini diharapkan terjadi pemerataan terhadap obyek atau aktivitas ekonomi kemasyarakatan yang potensial dikenakan pajak, dan pada saat yang bersamaan tidak menjadikan beban masyarakat semakin berat.

2.      Dana Perimbangan (Balance Funds)

Disamping potensi penerimaan yang berasal dari jenis-jenis pajak dan retribusi, Kabupaten / Kota masih memiliki sumber penerimaan lain yaitu Dana Perimbangan. Menurut pasal 6 UU Nomor 25 tahun 1999, Dana Perimbangan terdiri dari : bagian Daerah dari penerimaan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), dan penerimaan dari sumber daya alam ; Dana Alokasi Umum (General Allocation Fund) ; serta Dana Alokasi Khusus (Special Discretionary Fund).

Disamping perimbangan keuangan Pusat – Daerah, UU Nomor 34 tahun 2000 secara implisit mengatur juga tentang perimbangan keuangan Propinsi – Kabupaten / Kota. Dalam hal ini, sebagian hasil pajak Propinsi harus diperuntukkan bagi Kabupaten / Kota di wilayah propinsi yang bersangkutan, dengan ketentuan mengenai jenis pajak dan besaran tarif sebagai berikut :

a.      Hasil penerimaan PKB dan Kendaraan di Atas Air dan BBNKB dan Kendaraan di Atas Air diserahkan kepada Kabupaten / Kota paling sedikit 30 %.
b.      Hasil penerimaan PBBKB diserahkan kepada Kabupaten / Kota paling sedikit 70 %.
c.       Hasil penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan diserahkan kepada Kabupaten / Kota paling sedikit 70 %.

3.      Pinjaman

Dalam hal pendapatan Daerah yang berasal dari PAD maupun Dana Perimbangan tidak mencukupi, Daerah dimungkinkan mengadakan transaksi peminjaman uang / dana dari pemerintah Pusat, Lembaga Keuangan Bank atau Bukan Bank, serta masyarakat, baik dalam maupun luar negeri, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Meskipun demikian, untuk menjaga agar Daerah tidak terjebak kepada perangkap hutang (debt trap), perlu diatur secara hati-hati (prudent). Dalam hubungan ini, PP Nomor 107 tahun 2000 memberi batasan bahwa jumlah kumulatif pokok pinjaman jangka panjang tidak melebihi 75 % dari jumlah Penerimaan Umum APBD tahun sebelumnya. Sementara jumlah maksimum pinjaman jangka pendek adalah 1/6 dari jumlah belanja APBD tahun sebelumnya. Disamping itu, pembatasan administratif yang diatur antara lain adalah bahwa pinjaman Daerah membutuhkan persetujuan DPRD, dan pinjaman luar negeri membutuhkan persetujuan pemerintah Pusat.

4.      Bagian hasil penerimaan Pajak Penghasilan

Menurut SK Menteri Keuangan Nomor 6/KMK.04/2001, mulai tahun fiskal 2001, pemerintah Daerah memperoleh 20 % dari hasil penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Perseorangan, yang terdiri atas PPh Orang Pribadi Dalam Negeri (pasal 25 dan 29) serta PPh Karyawan (pasal 21). Dari jumlah yang diperoleh, 40 % diberikan kepada Propinsi sedangkan 60 % diberikan kepada Kabupaten / Kota.

Disorientasi Pengalokasian Anggaran


Paparan diatas menyimpulkan bahwa potensi keuangan daerah sesungguhnya amatlah besar, sehingga keinginan beberapa Daerah untuk terus menggali dan menggali penerimaan dengan cara membebani masyarakat, jelas merupakan strategi yang tidak akan populer di mata publik. Hal terpenting yang harus disikapi justru adalah upaya mengalokasikan potensi penerimaan tadi secara tepat. Dalam hal ini, pendapatan Daerah yang besar tersebut secara normatif semestinya diarahkan untuk membiayai pembangunan masyarakat lokal. Sayangnya, hal itu tidak terwujud, malahan sebaliknya pembiayaan rutin menjadi membengkak. Hasilnya, struktur pembiayaan pemerintahan daerah menjadi tidak seimbang.

Namun nampaknya hal ini tidak dapat dihindarkan karena terdorong oleh interpretasi yang keliru dalam memahami UU Nomor 22 tahun 1999. Dalam praktek, otonomi lebih dipandang sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, bukan kepada masyarakat daerah. Dengan kata lain, otonomi daerah hanya dianggap sebagai mekanisme G to G (government to government) semata dari pada G to C (government to citizens / customers). Akibatnya, Pemda merasa memiliki otoritas yang sangat kuat untuk menentukan berbagai kebijakan yang diyakini untuk mendukung keberhasilan otonomi itu sendiri. Pada saat yang bersamaan, otoritas yang sangat massive ini mengesankan bahwa Pemda dapat berbuat apapun (can do no wrong) tanpa harus memperhitungkan secara detail kepentingan umum. Lebih parah lagi, lembaga legislatif daerah yang seharusnya menjadi representasi rakyat tidak bisa diharapkan banyak. Justru sebaliknya, para anggota DPRD banyak mewarisi tradisi masa lalu yakni KKN, bahkan kasus-kasus di berbagai daerah menggambarkan bahwa mereka “lebih rakus” dibanding rezim sebelumnya (Laode Ida, 2001).

Seiring dengan kelirunya interpretasi diatas, Daerah lantas membangun kelembagaan yang cenderung “gemuk” serta menetapkan berbagai pungutan melalui Perda. Khususnya dalam hal pembentukan kelembagaan, banyak Dinas maupun Lembaga Teknis Daerah yang dibentuk tanpa memperhitungkan efektivitas ataupun cost and benefit-nya. Pertimbangan “kemanusiaan” nampaknya lebih disukai, dimana pembentukan formasi hanya sekedar untuk mewadahi pegawai daerah serta pegawai Pusat yang dialihkan. Banyaknya dan gemuknya susunan organisasi daerah ini pada akhirnya akan berimplikasi kepada perlunya pembiayaan rutin dalam jumlah yang besar pula.

Disisi lain, terdapat indikasi bahwa pemerintah Daerah menganggap paket UU dan PP tentang desentralisasi fiskal masih kurang memadai untuk mendukung implementasi UU Nomor 22 tahun 1999. Memang kebijakan tersebut memberi kewenangan yang besar kepada Daerah untuk memungut beberapa jenis pajak potensial yang dimilikinya seperti pajak kendaraan di atas air untuk wilayah Kalimantan serta pajak sarang burung Walet untuk Jawa Tengah. Namun jenis-jenis pajak tersebut umumnya bukanlah pajak “kelas kakap” atau hanya berpotensi kecil. Dengan kata lain, revisi UU Nomor 18 tahun 1997 tidak akan mengubah banyak kemampuan fiskal daerah, sehingga daerah akan tetap bergantung kepada subsidi Pusat, khususnya dari DAU dan bagi hasil SDA (Raksaka Mahi, 2000).

Mencermati beberapa hal diatas, terlihat adanya ambivalensi dalam implementasi kebijkan otonomi dan desentralisasi fiskal. Pertama, meskipun sumber penerimaan daerah jauh meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun pengalokasiannya belum mampu mendorong akselerasi kesejahteraan masyarakat. Kedua, meskipun persentase dana perimbangan menunjukkan bahwa bagian Daerah jauh lebih besar dibanding bagian Pusat, namun ketergantungan Daerah terhadap Pusat masih tetap tinggi. Hal ini membuktikan bahwa masih ada masalah atau sesuatu yang salah dalam sistem kebijakan pengelolaan keuangan dalam hubungannya dengan perimbangan antara Pusat dan Daerah. Dan hal tersebut semestinya menyadarkan Daerah bahwa otonomi daerah tidak identik dengan harta karun atau durian runtuh. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan sekarang adalah mempersiapkan diri baik secara konseptual maupun legal formal.


Tulisan ini dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar