Laman

Sabtu, 05 Juni 2010

INDEPENDENSI LEMBAGA PEMERINTAHAN


AKHIR-akhir ini, kata “independensi” menjadi kata yang sangat sakti. Lembaga kenegaraan maupun pemerintahan yang obyektif, mandiri, kuat, dan berkinerja tinggi, selalu dianalogikan dengan independensi atau keterbebasan lembaga bersangkutan dari pengaruh pihak manapun. Jika pandangan seperti ini sudah mengkristal menjadi opini publik, pada suatu ketika kalimat “independensi” dapat dijadikan sebagai alat politik untuk menjatuhkan kredibilitas suatu lembaga. Hal ini jelas perlu dicegah sedini mungkin.

Merebaknya masalah itu sendiri pada awalnya dipicu oleh kasus ‘intervensi’ pemerintah terhadap Bank Indonesia, sehingga pada gilirannya menjangkiti pula lembaga kenegaraan dan pemerintahan lainnya. Jadilah gagasan independensi tadi dilekatkan tidak saja pada BI sebagai lembaga keuangan, tetapi juga BPK sebagai lembaga pengawasan, DPR sebagai lembaga kontrol, TNI sebagai lembaga pertahanan, Polri sebagai lembaga kamtibmas, MA dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga yudikatif, sampai dengan badan-badan ekstra struktural bentukan Presiden seperti Komnas HAM, BPPN, DEN, dan sebagainya. Singkatnya, “independensi” seolah-olah menjadi tuntutan dan pilihan tunggal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Tuntutan kemandirian, kebebasan atau kemerdekaan (sebagai padanan kata independensi) sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat alamiah dan kodrati. Dalam skala makro, hubungan antar bangsa dapat ditunjuk suatu kasus. Artinya, dengan alasan apapun suatu negara tidak membenarkan upaya mencampuri – apalagi menjajah – negara lain. Dalam hal ini, pepatah lama yang mengatakan bahwa walaupun hujan emas di negeri orang, tetap lebih enak hujan batu dinegeri sendiri, menemukan aktualisasinya. Sementara dalam skala mikro kita lihat fenomena dalam keluarga bahwa kebanyakan pasangan suami istri baru lebih memilih hidup pas-pasan secara mandiri, dari pada hidup berlimpah atas belas kasihan dan bantuan orang tua atau mertuanya.

Disisi lain harus kita sadari pula bahwa secara alamiah dan kodrati, selalu terdapat pihak-pihak yang terus berusaha agar pihak lain tergantung kepadanya. Sikap ketidakikhlasan atas kemandirian pihak lain ini dapat dilihat dari sikap negara donor terhadap negara penerima, negara maju terhadap negara berkembang, pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Beberapa kasus tertentu juga membuktikan adanya upaya menciptakan ketergantungan bawahan kepada pimpinan, istri terhadap suami, serta rakyat (massa) terhadap penguasa (elite).

Pola hubungan yang terjalin bercorak zero-sum, dimana kekuatan pihak pertama berbanding terbalik dengan pihak kedua. Tujuannya sangat jelas, yaitu bagaimana mempertahankan hegemoni pihak yang berkuasa (patront) terhadap pihak yang dikuasai (client). Secara teoretis, eksistensi pihak kedua dapat dimanfaatkan sebagai instrumen politis untuk memperkuat posisi dan kepentingan pihak pertama, sepanjang hegemoni tersebut masih diakui.

Fakta yang cenderung negatif inilah agaknya yang mendorong derasnya tuntutan pemandirian dan pemberdayaan lembaga pemerintahan maupun kelompok-kelompok masyarakat. Sebab, independensi sangat identik dengan demokratisasi yang sarat dengan nilai-nilai equality (kesetaraan), transparency (keterbukaan), serta equity (keadilan). Pertanyaannya adalah, 1) apakah independensi benar-benar merupakan kebutuhan dasar umat manusia? Atau, 2) apakah independensi mampu menjamin adanya pengaruh positif terhadap kehidupan bermasyarakat atau dinamika berorganisasi? Dalam konteks Indonesia, 3) sejauhmana tuntutan independensi lembaga pemerintahan relevan untuk dipenuhi?

Berkaitan dengan pertanyaan pertama, Aristoteles berpendapat bahwa manusia adalah zoon politicon yang berarti menurut kodratnya manusia hidup berkelompok. Secara empirik sosiologis, ajaran ini sangat sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia lama yang bercorak kolektif (gemeinschaft) dengan ciri utama gotong royong dan toleransi antar warganya. Hal ini mengandung pengertian bahwa individu-individu yang tergabung dalam suatu komunitas, akan lebih mendahulukan kepentingan kelompoknya dibanding kepen­tingan pribadi, sehingga setiap tindakan anggota kelompok tersebut diarahkan kepada terciptanya keharmonisan dan keserasian bersama.

Contoh konkrit penerapan ajaran harmoni ini misalnya masyarakat Jawa tempo doeloe yang mengembangkan konsep-konsep lingga-yoni, kawula-gusti, warangka-curiga, mikrokosmos-makrokosmos, dan sebagainya. Unsur yang satu membutuhkan unsur yang lain, sehingga jika salah satu unsurnya hilang, maka hilang pulalah keharmoni­san komunitas. Dari penelurusan historis tadi terlihat bahwa independensi bukan suatu konsep parsial dalam arti melekat pada dimensi individual, melainkan melekat pada dimensi kolektif secara utuh.

Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan kedua dan ketiga, perlu kiranya diingat kembali ajaran Trias Politika dari Montesquieu. Menurut ajaran ini, kekuasaan dalam suatu negara harus dipisahkan menjadi tiga poros, yakni kekuasaan untuk membuat UU (legislatif), melaksanakan UU (eksekutif), dan mengawasi pelaksanaan UU (yudikatif). Diantara ketiga poros tadi terdapat pemisahan secara tegas serta tidak terdapat hubungan sama sekali, sehingga ajaran ini sering disebut pemisahan kekuasaan (separation of power).

Dalam perspektif administrasi negara, paham pemisahan kekuasaan dapat disetarakan dengan paradigma dikotomi politik – administrasi. Menurut Woodrow Wilson (dalam Miftah Thoha, 1991: 55) administrasi negara atau birokrasi pemerin­tah berfungsi melaksanakan kebijaksanaan politik. Artinya, administrasi atau birokrasi berada diluar  kajian politik, dan persoalan administrasi  / birokrasi bukanlah kajian politik. Bidang kajian administrasi / birokrasi merupakan kajian business yang harus terpisah dengan segala macam "tetek bengek" politik (the hurry and strife of politics). Keuntungannya, tertutup kemungkinan bagi kekuatan politik praktis untuk berebut jabatan publik dan memanfaatkan birokrasi sebagai building blocks guna membesarkan partainya. Namun kelemahannya, membedakan antara pelaksana dengan pembuat kebija­kan merupakan tindakan yang menyebabkan  tidak  adanya sambung  tanggung jawab serta tidak ada rasa memiliki. Sebaliknya, sistem birokrasi yang terlibat proses membuat keputusan politik akan membuat birokrasi menjadi kuat dan menimbulkan rasa tanggungjawab dalam melaksanakan keputusan yang dibuatnya sendiri.

Atas dasar alasan itu, maka sistem pemerintahan Indonesia tidak menerapkan Trias Politika secara murni. Ajaran pemisahan kekuasaan dimodifikasi sebagai pembagian kekuasaan (division of power), yang mengandung makna bahwa diantara lembaga pemerintahan tidak terpisah secara tegas, sebaliknya saling terkait melalui mekanisme koordinasi. Dalam konteks kordinasi inilah, peluang-peluang “intervensi” lembaga yang satu terhadap lembaga lainnya, terbuka lebar. Dan harus diakui bahwa sistem yang dianut dalam UUD 1945 sebelum amandemen memberikan kesempatan yang tak terbatas kepada Presiden untuk melakukan “koordinasi” dengan semua lembaga kenegaraan / pemerintahan yang ada. Bahkan dalam penjelasan umum dinyatakan bahwa Presiden adalah penyelenggara pemerintahan yang tertinggi di bawah Majelis. Disinilah barangkali pangkal tolak dari dominasi dan hak intervensi lembaga kepresidenan yang masih berlarut-larut meski rezim lama telah tumbang.

Dari uraian diatas kiranya dapat ditentukan jalan tengahnya, yakni bahwa independensi bagi lembaga-lembaga pemerintahan mutlak dibutuhkan, namun harus dijaga agar tidak menjurus menjadi egoisme sektoral yang berlebihan. Untuk itu, koordinasi dan hubungan antar lembaga tetap harus dijalankan. Dengan adanya koordinasi ini diharapkan kelemahan pada suatu lembaga dapat diisi atau diatasi oleh lembaga lain. Bahkan sesungguhnya, koordinasi dapat pula dimanfaatkan sebagai wahana kontrol eksternal secara timbal balik.

Sedangkan untuk menjamin agar tidak terjadi hubungan koordinasi yang tidak seimbang (asymetris), yang diperlukan adalah kejelasan hak dan kewenangan setiap lembaga serta tata cara koordinasi antar lembaga. Sebagai contoh, dalam UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia semestinya diperjelas tentang definisi campur tangan (intervensi), substansi yang merupakan kompetensi absolut BI secara internal, substansi yang perlu dikoordinasikan secara eksternal, lembaga lain yang boleh melakukan koordinasi, bentuk koordinasi, dan seterusnya.

Satu hal lagi yang perlu dikaji adalah, pemberdayaan suatu lembaga hendaknya tidak sampai mengurangi tingkat keberdayaan lembaga lainnya. Dengan kata lain, pola hubungan antar lembaga harus didasarkan pada karakter positive-sum, yang secara timbal balik membawa manfaat positif bagi mitra kerjanya. Sebagai contoh, reposisi peran DPRD yang sangat kuat menurut UU Nomor 22 tahun 1999, hendaknya tidak digunakan semena-mena untuk “menekan” Kepala Daerah. Masalahnya kemudian adalah, dalam pelaksanaan koordinasi antar lembaga pemerintahan (baik Pusat maupun Daerah), adakah dorongan moral dan etis dari para pimpinan lembaga yang bersangkutan untuk menerapkan prinsip positive-sum itu? Atau sebaliknya, adakah para elit birokrasi dan elit politik kita masih keasyikan memamerkan “keakuan” dan keagungannya dengan mengintervensi lembaga lain? Jawabannya ada dihati kita masing-masing.


Tulisan ini dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar