Laman

Sabtu, 05 Juni 2010

Inikah Mentalitas Lembaga Publik Kita?


LEMBAGA publik di Indonesia kembali ternoda. Belum reda kasus uang kadeudeuh bagi anggota DPRD Propinsi Jawa Barat, muncul makian Bupati terhadap DPRD Bogor. Seperti diberitakan Republika (19/07), Bupati Bogor Agus Utara Effendi melontarkan kata-kata 'goblok', 'tolol' dan ‘premanisme’ didepan anggota DPRD, yang secara serta merta disikapi dengan permintaan “pertanggungjawaban” karena dianggap telah melecehkan lembaga legislatif. Bahkan mereka juga berancang-ancang untuk balas dendam dengan mengatakan bahwa ‘Bupati telah menggali lubang kuburnya sendiri’. Meskipun pada akhirnya Bupati telah meminta maaf (Suara Pembaruan, 30/7), namun masalah ini telah terlanjur mencoreng kredibilitas lembaga publik di tanah air.

Umpatan yang sangat mudah kita temukan di jalanan, dan di kalangan preman ini, makin menambah panjang daftar buram potret birokrasi di tanah air. Sebagaimana kita ketahui, beberapa waktu yang lalu terjadi saling caci di lembaga judikatif antara jaksa dengan pengacara pada kasus Akbar Tandjung, dengan menggunakan kata-kata ‘bangsat’.

Rentetan kejadian diatas melengkapi kebobrokan moralitas dan etika dari lembaga publik di tanah air. Kebobrokan yang terjadi tidak saja merambah dimensi spiritualitas, namun juga telah mengejawantah kedalam dimensi perilaku badaniah dan tradisi lisan. Kasus-kasus KKN ditingkat Pusat dan Daerah, politik dagang sapi, permufakatan jahat, serta berbagai bentuk kebohongan publik, bisa kita klasifikasikan sebagai wujud degradasi dari kualitas ruhaniah dan relijiusitas aparatur. Sedangkan perilaku badaniah yang tidak terpuji pernah ditunjukkan oleh beberapa anggota MPR/DPR yang nyaris berbaku hantam beberapa waktu silam. Dan sekarang, tradisi lisan kita pun sudah lepas dari kendali nilai-nilai dan norma sosial yang ada. Ketiga aspek tersebut secara kumulatif menggambarkan kondisi mentalitas dari lembaga publik Indonesia pasca reformasi. Dengan lapang dada namun menyedihkan, harus berani kita akui bahwa sosok birokrasi publik kita dewasa ini sudah rusak luar dalam.

Ironisnya, berbagai peristiwa diatas terjadi ditengah-tengah komunitas yang selama ini terkenal memiliki kehalusan budi pekerti, kerendahan hati, ketinggian akhlak, dan ke-adiluhung-an budaya. Sungguh bangsa Indonesia patut menangis jika predikat yang telah melekat berabad-abad tiba-tiba ternegasikan oleh fenomena yang sebenarnya ‘kecil’. Adalah ironis pula bahwa proses reformasi yang mestinya menghasilkan tatanan masyarakat yang lebih egaliter serta hubungan antar lembaga yang lebih terbuka dan seimbang, justru dinodai oleh kecenderungan unjuk kekuatan dan arogansi kekuasaan.

Lebih dari itu, yang paling memilukan hati adalah adanya upaya mencari pembenar dan kambing hitam dari para politisi maupun aktor pemerintahan, dengan sama-sama mengklaim bahwa mereka berada dibalik kepentingan masyarakat. Disatu sisi, pihak eksekutif selalu berdalih bahwa apapun yang mereka lakukan semata-mata demi pelayanan umum (public service). Namun disisi lain, DPRD juga dapat berkelit bahwa mereka adalah wakil dan penjelmaan rakyat, sehingga menghina wakil rakyat berarti menghina rakyat. Disini terdapat tarik menarik antara dua kepentingan, yakni pelayanan dengan perwakilan, dengan menjual rakyat sebagai komoditas unggulan.

Kalau mau jujur, barangkali rakyat tidak merasa lebih terlayani dengan adanya konflik struktural tersebut. Demikian juga, agaknya tidak satupun masyarakat atau kelompok masyarakat yang ikut merasa terhina dengan makian yang dilontarkan Bupati. Fenomena yang ada selama ini justru menunjukkan bahwa masyarakat sering tidak puas dengan pelayanan dari pemerintah daerah serta penyerapan aspirasi dari badan perwakilan. Alih-alih merasa tersinggung, yang lebih mungkin terjadi adalah bahwa rakyat semakin malu dan antipati terhadap kedua aktor utama dari proses pembangunan di level daerah tersebut.

Berkaca pada banyaknya konflik antar lembaga publik yang lebih didasari oleh emosi preman dan mentalitas jalanan, hampir mustahil dapat dibangun hubungan harmonis antara pemerintah dengan masyarakat. Akibatnya, konsep good local governance tidak tercapai, sementara manajemen pemerintahan selalu amburadul dan kinerja pembangunan tetap stagnan. Secara lebih makro, program reformasi berjalan ditempat, sedang implementasi kebijakan otonomi daerah menjadi terhambat. Dapat kita bayangkan betapa dahsyatnya dampak yang ditimbulkan dari kondisi mentalitas lembaga publik terhadap tata perikehidupan berbangsa dan bermasyarakat secara luas.

Dalam perspektif kedepan, diperlukan adanya upaya konkrit untuk memperbaiki mentalitas yang sedang memburuk. Langkah pertama adalah menumbuhkan rasa malu dikalangan pejabat dan politisi. Rasa malu ini meliputi malu berbuat kesalahan, malu tidak dapat menunaikan amanah dan kewajiban, malu menjadi kaya karena posisi, serta bentuk malu yang lain. Rasa malu juga harus ditujukan tidak hanya kepada masyarakat, namun juga kepada mitra kerja, keluarga, diri sendiri, serta kepada Tuhan. Bahkan dalam ajaran agama manapun, rasa malu ini sangat ditonjolkan, misalnya dalam HR. Imam Malik yang mengatakan bahwa "sesungguhnya semua agama itu punya moral, sedang moral Islam itu adalah malu". Dengan kata lain, mentalitas malu inilah yang harus kita bangun bersama untuk menggantikan mentalitas preman.

Kedua, secara prosedural, pemilihan Kepala Daerah, wakil rakyat, atau pejabat publik lainnya perlu diperketat dengan menekankan kepada calon yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, serta spiritual sekaligus. Fit and proper test perlu dilaksanakan oleh orang yang memiliki 3 macam kecerdasan tadi, sehingga dapat menghasilkan orang (pejabat/politisi) dengan kualitas yang lebih baik, atau minimal sama.

Akhirnya, untuk menjaga kewibawaan, perlu kiranya dibentuk suatu aturan, kode etik, atau semacam ‘tata tertib’ yang memberikan sanksi kepada setiap subyek hukum (individu maupun badan) yang melecehkan lembaga publik. Selama ini, aturan semacam itu baru diberlakukan untuk lembaga kepresidenan (termasuk simbol-simbol negara lainnya) dan lembaga peradilan (sebagai simbol keadilan dengan konsep contempt of court). Namun perlu digarisbawahi bahwa gagasan ini hanya layak untuk diperjuangkan sepanjang ada definisi dan cakupan yang tegas tentang konsep ‘pelecehan lembaga publik’ ini. Inilah beberapa agenda kita kedepan yang perlu dijalankan sebagai kelengkapan dari program reformasi secara total.

Tulisan ini dipublikasikan di Harian Suara Pembaruan, 13 Aagustus 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar