Laman

Sabtu, 05 Juni 2010

Management by Pressure dan Subordinasi Birokrasi


JIKA kita cermat mengamati praktek pelayanan publik dewasa ini, ada satu fenomena unik yang secara normatif kurang pantas, namun secara empiris sangat efektif untuk membangun kinerja pelayanan umum. Fenomena itu adalah adanya tekanan, untuk tidak mengatakan ancaman, dari masyarakat kepada pemerintah untuk berbuat sesuatu dalam proses pelayanan.

Kasus pertama terjadi di Karawang. Ratusan orang dari Kecamatan Telukjambe dan Pangkalan berunjuk rasa ke DPRD Karawang, menuntut Pemkab Karawang segera memperbaiki dan meningkatkan kualitas jalan yang menghubungkan kota Karawang dengan Kecamatan Pangkalan sepanjang 35 km. Dalam aksi tersebut, para pengunjuk rasa mengancam jika pemkab tidak mengabulkan tuntutannya, mereka akan mengusulkan agar Pangkalan bisa masuk bergabung dengan Kab. Bogor. Setelah bermusyawarah dengan legislatif, Wakil Bupati menyatakan bahwa tuntutan perbaikan dan peningkatan jalan dikabulkan dan bahkan akan dilaksanakan secepat mungkin (PR, 12/12/03).

Kasus selanjutnya terjadi di Bantar Gebang, Bekasi. Sebagaimana dilaporkan berbagai media, setelah tiga hari memblokade jalan masuk ke TPA Bantar Gebang, warga Desa Sumur Batu, Cikiwul, dan Ciketing Udik hari Sabtu (3/1/04) sore akhirnya mengakhiri penghadangan dan membolehkan truk-truk pengangkut sampah dari DKI Jakarta kembali membuang sampah ke Bantar Gebang. Sebagai kompensasi, Pemkot Bekasi akan memberikan dana Rp 50.000/bulan kepada 12.000 keluarga yang bermukim di sekitar lokasi TPA itu, pemberian layanan kesehatan gratis di puskesmas, pemberian beasiswa pendidikan dari SD, SMP, hingga SMU, pembebasan biaya pembuatan kartu tanda penduduk dan kartu keluarga, pembuatan jet pump untuk mendapatkan air bersih, serta penyertaan dan pemberdayaan warga dalam pengelolaan Bantar Gebang (Kompas, 4/1/04).

Ada lagi kasus unik yang berkaitan dengan “ancaman” sebagai metoda mengakselerasi perubahan. Di Bengkulu, Forum Komunikasi Kepala Desa se Bengkulu Utara meminta kepada Bupati untuk menaikkan insentif dengan nilai nominal sebagai berikut: Kades Rp. 750.000, Sekdes Rp. 500.000, dan Kaur Desa Rp. 400.000. Mereka memiliki lima alasan pokok atas tuntutan itu, yakni: 1) Kades adalah ujung tombak pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat; 2) Kades bekerja sepenuh waktu yaitu 1 x 24 jam; 3) Kades menangani semua urusan dalam masyarakat; 4) insentif Kades tidak sesuai lagi dengan kondisi perekonomian saat ini; dan 5) merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi maka seluruh Kades se Bengkulu Utara akan melakukan pengembalian stempel Kades yang akan diikuti dengan tidak akan melakukan koordinasi terhadap program-program pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung (www.indonesia-house.org).

Bisa jadi, kasus-kasus tekanan publik terhadap pemerintah juga banyak terjadi di daerah lain dengan variasinya masing-masing. Iklim reformasi agaknya sangat kondusif bagi merebaknya aksi-aksi semacam ini. Pertanyaannya, apa yang bisa kita cermati dari fenomena diatas?
* * *

BANYAK interpretasi yang bisa dimunculkan atas fenomena tersebut. Namun satu hal yang pasti adalah bahwa reformasi birokrasi dan reformasi politik nampaknya belum berhasil menciptakan hubungan yang harmonis dan egaliter antara pemerintah dengan masyarakat. Keberanian warga untuk melakukan tekanan memang suatu yang patut disyukuri, setelah sekian lama terkooptasi oleh rejim pemerintahan yang sentralistis dan represif. Hal ini tidak saja mengindikasikan bangkitnya kekuatan civil society, namun juga menjadi modal yang sangat positif untuk membangun sistem kontrol sosial terhadap birokrasi. Dalam konteks seperti ini, public management by pressure seperti yang ditunjukkan pada kasus-kasus diatas perlu dipertahankan secara konsisten.

Namun perlu disadari pula bahwa prinsip local good governance sesungguhnya lebih mencitakan adanya sinergi antar pilar: government, civil society dan pilar-pilar lainnya seperti kelompok bisnis, asosiasi profesi, dll. Artinya, penguatan posisi tawar rakyat hendaknya tidak mengarah pada terbentuknya arogansi massa atau menjerumuskan birokrasi menjadi subordinasi massa (mass ascendancy). Dalam sebuah organisasi modern seperti negara, prinsip manajemen harus lebih berbasis pada rasionalitas dan intelektualitas dari pada emosionalitas belaka.

Lagi pula, jika subordinasi massa terhadap birokrasi ini terjadi, maka fungsi pelayanan birokrasi akan semakin melemah. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah, telah terjadi adanya subordinasi politik eksekutif oleh legislatif. Pemecatan Kepda (kepala daerah), penarikan kembali mandat atau dukungan kepada Kepda terpilih, pembatalan sepihak Pilkada yang sah, dan politisasi penunjukan jabatan Sekda, hanyalah beberapa kasus yang menggambarkan betapa determinatifnya kekuatan DPRD saat ini. Secara tidak langsung, hal ini menyiratkan pula bahwa kebebasan Pemda untuk membuat kebijakan (vrij bestuur) sudah sangat terbatasi oleh hasrat politik dari berbagai kelompok yang bersemayam di tubuh DPRD.

Kedua, subordinasi birokrasi oleh DPRD dan oleh massa secara berlebihan akan menciptakan mekanisme pembangunan daerah yang lebih dikendalikan oleh kehendak individu atau kelompok, dari pada oleh sebuah sistem yang merupakan hasil kesepakatan bersama (collectively institutionalized development planning). Dengan kata lain, relasi sosial yang asimetris antar pilar di daerah, akan sangat membahayakan proses pembangunan yang berkelanjutan. Akibatnya, hal ini justru akan menghambat upaya percepatan pembangunan ekonomi dan sosial di daerah, serta peningkatan mutu pelayanan umum.
* * *

PALING tidak ada dua hal yang diperlukan untuk menjaga kualitas pelayanan umum tanpa harus melakukan kooptasi terhadap birokrasi. Pertama, masyarakat perlu terus mempertahankan upaya-upaya menekan pemerintah secara sopan dan proporsional. Harus diakui bahwa tanpa adanya tekanan, pemerintah sering terbuai dan terjerumus pada peran eksekutor (rowing) dari pada fasilitator (steering). Lagi pula, public pressure sebagai alat kontrol yang partisipatif, sudah terbukti mujarab untuk “memaksa” pemerintah mantaatia azas-azas pelayanan umum. Namun akan lebih baik lagi jika tekanan publik ini juga diarahkan kepada lembaga legislatif, yang fungsi representasinya saat ini sudah amat diragukan.

Kedua, dari pihak pemerintah, perlu pembaharuan komitmen dan strategi meningkatkan mutu pelayanan umum. Pertanyaan sederhana bisa diajukan disini: kalau pemerintah mampu menunjukkan kinerja pelayanan yang tinggi setelah adanya tekanan, kenapa tidak pada masa-masa yang lain?

Sesungguhnya harus diakui bahwa pemerintah tidak habis-habisnya berusaha untuk meningkattkan kualitas pelayanan umum. Pencanangan “Bulan Pelayanan Publik” adalah salah satu contoh konkritnya. Penyediaan layanan langsung melalui internet (Kompas, 31/7/03) juga sebuah terobosan penting untuk memangkas birokrasi pelayanan yang sangat tidak efisien. Bahkan saat ini tengah digodok RUU Pelayanan Publik yang mengatur hak masyarakat untuk mengajukan class action kepada birokrasi pemerintah yang dinilai buruk dalam melaksanakan tugas pelayanan, serta tindakan hukum bagi aparat yang diduga terlibat penyelewengan dalam proses pemberian layanan.

Tapi sayangnya, kebijakan dan upaya yang sedemikian bagusnya tidak mampu mendorong kinerja pada tahap implementasinya. Pelayanan tetap saja memprihatinkan. Itulah sebabnya, RUU Pelayanan Publik perlu dipercepat pengesahannya agar masyarakat segera memiliki landasan hukum yang kuat. Disamping itu, diluar YLKI, lembaga pengawas dan advokasi seperti Public Service Watch nampaknya perlu diciptakan dan dioptimalkan. Yang pasti, tanpa dedikasi aparat pelaksananya, prospek pelayanan publik tidak akan membaik dimasa mendatang, sehingga management by pressure dan subordinasi birokrasi agaknya masih akan terus berlangsung.


Tulisan ini dipublikasikan di Harian Kompas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar