Laman

Rabu, 02 Juni 2010

Pergeseran Peran dan Fungsi Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Umum


Berbagai fenomena yang kini muncul, seperti krisis ekonomi, krisis politik, dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, memberikan kesan tidak sempurnanya teori dan paradigma yang selama ini dianut dan dijadikan rujukan dalam menjelaskan berbagai kejadian tersebut. Selain itu berbagai sistem dan sub sistem yang ada dalam tatanan kehidupan suatu negara, juga seolah-olah tidak mampu lagi mengakomodasi berbagi fenomena itu. Demikian juga, sistem pelayanan umum yang semula diciptakan untuk memberikan keteraturan dan pelayanan kepada masyarakat, yang selama ini dianggap mapan dalam mengakomodasi berbagai tuntutan, kini seolah-olah sudah jenuh dan perlu dilakukan perubahan.

Fenomena yang paling mengemuka dan berimplikasi menyeluruh akhir-akhir ini adalah globalisasi dan liberalisasi, krisis ekonomi yang melanda beberapa negara, dan tingginya ketergantungan negara-negara dunia ketiga terhadap bantuan luar negeri. Isu-isu ini berakibat kepada tuntutan untuk makin perlunya efisiensi dalam proses penyelenggaraan pelayanan umum. Oleh karena sektor pemerintah sering dituding sebagai biangnya inefisiensi, dan sektor private sering dianggap sebagai sektor yang mampu menciptakan efisiensi, maka bersamaan dengan itu, gagasan privatisasi pun menjadi hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan pelayanan umum dan penyediaan barang publik lainnya.

Privatisasi, pada dasarnya adalah proses pengalihan pengelolaan sebagian (kalau tidak seluruhnya) aktivitas pembangunan yang semula dilaksanakan oleh pemerintah kepada pihak swasta. E.S. Savas mendefinisikan privatisasi sebagai the act of reducing the role of government, or increasing the role of the private sector, in an activity or in the ownership of assets. Di sini nampak jelas terjadi suatu pergeseran peran dan fungsi pemerintah. Implikasi lebih lanjut, privatisasi mengakibatkan perlunya penyesuaian-penyesuaian dalam sistem pelayanan umum yang selama ini dianut.

Permasalahan yang kemudian muncul, meluas kepada aspek-aspek lain, termasuk kepada masalah ideologi dan kesiapan sektor private itu sendiri dalam meningkatkan efisiensi yang diharapkan. Karena, seperti kita saksikan dewasa ini, sektor private yang berkembang di dunia ketiga umumnya dan di Indonesia khususnya belum mampu menunjukkan kemampuannya untuk bekerja secara efisien dan kompetitif. Bahkan tidak sedikit, sektor swasta yang tumbuh menjadi besar karena mendapat berbagai fasilitas dari pemerintahan yang berkuasa. Sehingga masalah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) juga menjadi mengemuka dan diidentifikasi sebagai faktor utama yang merongrong efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, sebagaimana pengalaman hampir di semua negara berkembang (Coralie Bryant & Louise G. White, 1987).

Suatu premis yang argumentatif dan relevan dalam tinjauan ini adalah bahwasannya meningkatnya peran dan fungsi pemerintah dalam perekonomian dan paran pelayanan umum dilatarbelakangi oleh kegagalan pasar (market failure) dalam mengatasi berbagai masalah seperti penyediaan barang publik termasuk pelayanan umum, eksternalitas, dan adanya monopoli. Sementara itu, inefisiensi yang terjadi pada sektor pemerintah mendorong munculnya kembali gagasan privatisasi atau penyerahan kembali dominasi ekonomi kepada sektor private (Musgrave & Musgrave, 1987).

Alasan historis atas premis tersebut dapat dijelaskan bahwa, sejak munculnya pemikiran Adam Smith Tahun 1776 dengan bukunya yang monumental berjudul “An Inquiry Into The Nature Causes of The Wealth of Nations”, mekanisme pasar dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menciptakan kemakmuran yang optimal bagi seluruh rakyat. Dalam pandangan ini, campur tangan pemerintah akan menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian.

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa tidak semua aktivitas ekonomi dapat diatasi melalui “invisible hands”-nya mekanisme pasar. Ternyata pasar tidak mampu menyelesaikan semua persoalan yang muncul. Bahkan mekanisme pasar tidak mampu memberikan jawaban terhadap masalah pengangguran, rendah daya beli masyarakat, dan sebagainya. Hal ini dirasakan saat depresi berat melanda Ameriika Serikat. John Maynard Keynes (1883-1946) tampil dengan bukunya The General Theory of Employment, Interest And Money. Keynes mengusulkan perlunya peran pemerintah yang lebih besar dalam merangsang permintaan dan mengatasi masalah-masalah yang muncul.

Berakhirnya perang dunia ke-2 mengakibatkan negara-negar yang baru terlepas dari cengkraman penjajah, perlu melakukan pembangunan. Dan sesuai dengan kebutuhan yang mendesak waktu itu, maka sektor ekonomi mendominasi perencanaan pembangunan di negara-negara dunia ketiga (Bryant & White, 1989). Oleh karena kelembagaan sektor swasta belum mampu untuk melaksanakan tugas pembangunan tersebut, maka peran dan fungsi pemerintah dituntut lebih banyak.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah diberi kewenangan yang besar dalam proses pembangunan ekonomi, kini mengemuka kembali tudingan kepada pemerintah sebagai penyebab terjadinya inefisiensi. Pemerintah dengan organisasi birokrasinya yang gemuk dan tidak gesit, sumber daya manusia yang tidak berkualitas, kurangnya iklim persaingan, serta menjamurnya korupsi, kolusi dan nepotisme, menyebabkan terjadinya berbagai pemborosan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Atas dasar itu, gagasan privatisasi pun semakin gencar dipersoalkan. Dalam kondisi ini peran dan fungsi pemerintah kembali berkontraksi, sedangkan peran swasta diharapkan kembali meningkat. Dalam konteks ini, paradigma pelayan umum kembali dituntut untuk melakukan berbagai penyesuaian.


Konsepsi Restrukturisasi dan Privatisasi


Usaha untuk memperbaiki kinerja suatu unit organisasi usaha dapat dilakukan melalui restrukturisasi dan privatisasi. Restrukturisasi pada prinsipnya bertujuan untuk efisiensi dan peningkatan produktivitas melalui perubahan keorganisasian, dengan cara: perubahan status hukum, mengadakan kerja sama operasi dan kontrak manajemen, konsolidasi atau merger, pemecahan unit usaha, atau pembentukan unit usaha patungan. Sedangkan ruang lingkup kegiatan restrukturisasi meliputi penataan kembali rumusan missi, tujuan, disain, serta sistem pengelolaan perusahaan baik dari segi organisasi, proses, maupun pekerjaan.

Privatisasi dapat diartikan secara luas dan secara sempit. Privatisasi dalam arti luas adalah pergeseran kembali dalam komposisi alokasi sumber ekonomi dimana pasar bebas mendapat peran yang jauh lebih besar dari pada periode sebelumnya. Berdasarkan pada pengertian ini maka privatisasi mencakup:

·         Deregulasi, yaitu peniadaan peraturan-peraturan yang dinilai menghambat perkembangan sektor swasta;
·         Liberalisasi, yaitu upaya meningkatkan atau mewujudkan iklim persaingan yang sehat, sehingga semua pelaku ekonomi dapat berkiprah sejalan dengan pertimbangan-pertimbangan rasional;
·         Mengundang sektor swasta untuk berpartisipasi dalam pemilikan (patungan).

Dalam arti sempit privatisasi diartikan sebagai pengurangan campur tangan pemerintah secara langsung, seperti yang dikemukakan terakhir tersebut. Sementara itu, privatisasi menurut Savas (1987: 3) berarti “ … the act of reducing the role of government, or increasing the role of private sector, in activity or in ownership of assets”. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengurangi peranannya, yaitu dari peranan yang lebih bersifat teknis dan memusatkan perhatiannya pada peranan yang lebih bersifat strategis. Di samping itu, diperlukan deregulasi untuk mengurangi atau menghilangkan berbagai aturan yang menghambat peran-serta masyarakat dalam sektor publik.

Mengenai kebijakan privatisasi ini, terdapat dua bentuk umum dari kecenderungan peningkatan peran serta masyarakat dalam pelayanan umum. Pertama, terjadi peralihan bidang tugas tertentu, baik sebagian atau seluruhnya tugas-tugas yang selama ini ditangani oleh pemerintah kepada sektor swasta, tanpa adanya peralihan hak milik. Kedua, terjadinya peralihan bidang tugas tertentu, baik sebagian atau seluruh tugas-tugas yang selama ini ditangi oleh pemerintah kepada sektor swasta, dengan adanya peralihan hak milik.

Indikator keberhasilan reformasi suatu unit usaha, dalam hal ini restrukturisasi atau privatisasi suatu pelayanan umum, dari aspek ekonomi perusahaan dapat dilihat dari financial performance, productivity, saving-investment defisit. Sementara itu dilihat dari aspek ekonomi politik dapat dilihat dari total cost and benefit dari pihak-pihak yang menjadi winner dan loser, serta ditinjau dari politically desirable, politically fesible, dan politically credible.

Satu konsep yang berlawanan dengan privatisasi adalah regulasi. Bahwasannya dalam perekonomian dewasa ini pemerintah berperan dalam menentukan aktivitas perekonomian negara, antara lain melalui penetapan pajak/retribusi/tarif, pengeluaran, dan pertumbuhan supply uang. Demikian juga kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan suatu unit usaha termasuk institusi penyelenggara pelayan umum yang dapat memberikan sumbangan pendapatan kepada pemerintah (Pemerintah Daerah). Kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap suatu unit usaha akan berdampak kepada kesejahteraan dan prilaku manajemen unit usaha tersebut. Bahkan dalam peranannya sebagai regulator, pemerintah dapat membatasi pilihan pengeluaran unit usaha tersebut. Dalam konteks ini, regulasi didefinisikan sebagai tindakan negara dalam membatasi discresion (kebebasan memilih) yang dapat dilakukan oleh perorangan maupun organisasi, yang didukung oleh ancaman sangsi (Viscusi, at all, 1995; 307).

Regulasi juga dapat didefinisikan sebagai penggunaan kekuasaan pemerintah untuk membatasi tindakan/keputusan agen ekonomi (manajemen perusahaan). Regulasi ekonomi secara khas mengacu kepada pembatasan keputusan-keputusan perusahaan dalam hal harga, kuantitas, dan keluar-masuk industri. Apabila suatu industri dikenai regulasi, maka performance industri dalam hal efisiensi alokasi dan efisiensi produksi ditentukan oleh kekuatan pasar dan proses-proses administratif. Apabila pemerintah tidak dapat melakukan regulasi terhadap perusahaan yang secara fisik tidak mungkin pemerintah dapat memonitor perusahaan dan konsumen-konsumen secara sempurna, maka kekuatan pasar diharapkan dapat memainkan peran yang signifikan tanpa mempertimbangkan tingkat intervensi pemerintah (Viscusi, at all, 1995; 307).

Teori regulasi timbul dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan; siapa yang akan memperoleh benefit dari regulasi? Perusahaan-perusahaan apa saja yang pantas untuk diregulasi? Dan bentuk regulasi bagaimana yang akan diterapkan? Sebagai contoh, apabila regulasi ditujukan untuk memberikan benefit kepada produsen (perusahaan-perusahaan) maka harga atau tarif secara signifikan harus berada dia atas biaya industri yang diregulasi. Implikasinya adalah bahwa regulasi tersebut meningkatkan keuntungan industri daripada social welfare (Viscusi, at all, 1995; 322-323).

Salah satu bentuk regulasi perusahaan (termasuk fungsi-fungsi pelayanan umum sektor publik) adalah dengan mendorong organisasi tersebut untuk melakukan restrukturisasi. Program restrukturisasi ini perlu dilakukan karena adanya faktor-faktor internal maupun eksternal yang jika tidak diatas, akan menimbulkan dampak kurang positif terhadap produktivitas organisasi.

Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa untuk terus maju dan tetap bertahan pada waktu yang akan datang, maka salah satu aspek yang perlu dibenahi oleh suatu organisasi saat ini yaitu menata ulang organisasinya untuk menjadi “perusahaan masa depan”. Untuk keperluan ini, upaya restrukturisasi dalam suatu organisasi dapat dilakukan melalui upaya manajemen, dengan cara melakukan penataan ulang atau rekayasa ulang (reengineering), sehingga diharapkan perusahaan dapat melakukan adaptasi terhadap pengaruh perubahan lingkungannya, sehingga perusahaan akan tetap hidup.

Dalam kaitan ini, Bennis dan Mische mengemukakan arti pentingnya restrukturisasi dan reengineering, sebagai berikut:

Dengan demikian, rekayasa ulang (reengineering) pada dasarnya adalah menata ulang perusahaan dengan menantang doktrin, praktek, dan aktivitas yang ada, kemudian secara inovatif menyebarkan kembali modal dan sumber daya manusianya kedalam proses lintas fungsi. Penataan ulang ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan posisi bersaing organisasi, nilainya bagi para pemegang saham, dan kontribusinya bagi masyarakat (Bennis, dan Mische, 1995: 13).

Dari definisi tersebut, terdapat 4 (empat) kata kunci yaitu: fundamental, radical, dramatic, dan processes. Kata kunci pertama fundamental mengandung arti bahwa perubahan yang dilakukan dalam suatu unit organisasi bisnis (atau organisasi apapun, termasuk pemerintahan) harus dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat mendasar (basic/fundamental), misalnya tentang misi, tujuan, maupun aturan yang mendasari beroperasinya organisasi tersebut.

Sedangkan kata kunci kedua radical mengandung arti bahwa proses perekayasaan ulang organisasi itu haruslah mengenai akar permasalahannya, dan bukan bersifat atau “bedah muka” agar organisasi tersebut terlihat “baik” dari luar saja, padahal di dalamnya kurang baik. Dengan istilah “radical” ini, Hammer dan Champy melakukan “business reengineering” dengan mengabaikan atau menghapuskan segala struktur organisasi dan prosedur kerja yang ada, dan menggantinya dengan yang baru.

Kemudian dengan kata kunci ketiga dramatic reengineering the cooperation tidak dimaksudkan untuk menghasilkan perubahan yang sifatnya marjinal atau bertahap, sebaliknya justru menghasilkan perubahan yang sifatnya merupakan terobosan baru yang berorientasi ke masa depan. Dan dengan kata kunci keempat: processes, reengineering ini harus berorientasi kepada proses kerja suatu organisasi (process oriented), tidak berorientasi kepada tugas, pekerjaan, orang maupun struktur organisasi. Proses ini artinya adalah sekumpulan kegiatan yang membutuhkan satu atau beberapa jenis input untuk menghasilkan otuput yang memiliki nilai tambah bagi pelanggan. (Hammer dan Champy, 1994: 31-35)

Pemberdayaan suatu organisasi dapat dilakukan dengan cara melakukan revitalisasi semua sumber daya yang dimiliki organisasi, sehingga memberikan energi baru secara optimal, agar dapat menghasilkan organisasi lebih berdaya guna dan berhasil guna. Konsepsi pemberdayaan sendiri dapat diartikan sebagai upaya menghilangkan batasan birokratis yang mengkotak-kotakan orang dan membuat mereka menggunakan seefektif mungkin keterampilan, pengalaman, energi dan ambisinya. (Bennis dan Mische, 1995: 45).

Selanjutnya, untuk dapat merealisasikan pemberdayaan organisasi tadi, Devrye memberikan tujuh cara yang harus ditempuh manajemen. Konsep Devrye yang terkenal dengan Seven Key Points of Empowerment ini terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:

1.   Mengurangi hambatan-hambatan birokrasi yang tidak perlu untuk membuat karyawan lebih bertanggung jawab dan memiliki daya tanggap (Eliminate unecessary bureucracy to make employees more responsible and response-able).
2.   Membiasakan karyawan untuk menanggapi permasalahan pelanggan dengan berkata “ya” dari pada menolaknya (Look at reactive wasy to say “yes” to customer problems, rather than simple justification to say “no”).
3.   Memberikan keberanian kepada karyawan untuk mengambil resiko dan belajar dari kesalahan (Encourage sensible risk-taking and learning from mistakes).
4.   Memberikan dukungan kepada karyawan untuk bekerja dengan benar (Support employees and catch people doing things right).
5.   Memperkenalkan teknik bekerja dan memberikan penghargaan terhadap karyawan yang bekerja dengan baik (Recognise and reward employees for a job well done. Say “thank you” more often).
6.   Menciptakan kondisi atau perasaan dibutuhkan diantara karyawan, baik dalam pelayanan intern maupun pelayanan kepada masyarakat luar (Make everyone feel an important part of the overall customer team, whether serving internal or external customers).
7.   Dalam organisasi saya sendiri, akan ditempuh peningkatan pelayanan melalui ...... (In my own organization, I will improve service through empowerment by.....). (Devrye, 1994: 159).
               
Pada saat yang bersamaan, upaya pendayagunaan organisasi BUMN/BUMD harus diimbangi pula oleh penyempurnaan organisasi pemerintahan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merupakan badan publik yang mengatur tujuan, arah maupun strategi yang harus ditempuh oleh BUMN/BUMD. Hakekat dari penyempurnaan organisasi pemerintahan ini diperkenalkan oleh Osborne dan Gaebler dengan konsep reinventing government yang intinya berisi upaya untuk mewirausahakan birokrasi, meliputi:

1.    Pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh.
2.    Pemerintahan milik masyarakat: memberi wewenang ketimbang melayani.
3.    Pemerintahan yang kompetitif: menyuntikan persaingan ke dalam pemberian pelayanan.
4.    Pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan.
5.    Pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil, bukan masukan.
6.    Pemerntah yang berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi.
7.    Pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan.
8.    Pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati.
9.    Pemerintah desentralisasi.
10. Pemerintah berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar. (Osborne dan Geabler, 1996: v).

Dengan demikian, reinventing government mencoba melihat kesanggupan aparatur untuk menyikapi fungsi pemerintah melalui sistem baru, yaitu transformasi semangat wirausaha kedalam sektor publik. Hal ini menitik beratkan pada tumbuhnya pemberdayaan masyarakat dengan mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat (dalam hal ini BUMN/BUMD) kepada pemerintah sehingga tumbuh kemandirian. Dengan kata lain karena lingkungan berubah sedemikian cepatnya, maka untuk merealisasikan konsep tersebut, perlu ada redefinisi fungsi pemerintahan yang selama ini berlaku sehingga masyarakat yang semakin kompleks dan meningkat, apabila tidak mendapat tanggapan yang memadai akan berdampak negatif.


Tuntutan Privatisasi dan Efisiensi Pada Pelayanan Publik


Kondisi internal masyarakat Indonesia yang semakin sadar akan hak dan kewajibannya, iklim demokratisasi yang semakin menguat, serta tuntutan akan otonomi yang semakin tinggi merupakan tantangan yang harus cepat ditanggapi oleh sektor publik. Tanpa adanya upaya-upaya untuk merespon berbagai kecenderungan ini, maka kecemberuanlah yang akan berkembang, serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Banyaknya perusahaan negara yang mengalami kerugian dan tidak mampu bersaing di pasaran, serta rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan oleh institusi-institusi pemerintah merupakan indikator lemahnya sektor pemerintah dalam bertindak sebagai pelaku pembangunan. Kenyataan tersebut memperkuat munculnya gagasan privatisasi, bahkan masalah privatisasi dan pelayanan sektor publik pada dasa warsa terakhir ini telah menjadi tema kajian yang populer di hampir semua negara sebagai bagian utama program Reinventing Government Management (Darsono H, 1998). Di Indonesia, kerugian PT PLN yang tidak sedikit akhir-akhir ini, Perusahaan-perusahaan Daerah yang tidak mampu memberikan pelayanan yang memuaskan kepada konsumen, dan lain-lain, merupakan beberapa contoh yang menunjukkan ketidakmampuan sektor publik dalam mengelola penyediaan barang / jasa bagi masyarakat.

Menanggapi kenyataan ini, sementara pihak melontarkan gagasan perlunya privatisasi. Kendatipun ada juga pendapat bahwa untuk beberapa jenis badan usaha, privatisasi bukanlah jawaban satu-satunya untuk menuju efisiensi, efektivitas dan accountabilitas manajemen sektor publik. Alternatif lain seperti penyempurnaan ekonomisasi biaya transaksi atau economizing merupakan pilihan yang perlu dipertimbangkan.

Di lain pihak, juga dapat dikatakan bahwa gagasan privatisasi muncul sebagai konsekuensi wajar dari berhasilnya pembangunan di banyak negara, serta persaingan antar bangsa pada skala global. Perkembangan teknologi, demografi, dan karakteristik konsumsi, di satu segi telah meningkatkan kesejahteraan umat manusia, tetapi di lain segi juga membawa konsekuensi perubahan institusional di dalam masyarakat. Salah satu perubahan yang significant adalah pergeseran sifat barang dan jasa-jasa, yakni dari barang publik berubah menjadi barang private atau sebaliknya dari barang private berubah menjadi barang publik.

Dengan perubahan barang atau jasa publik menjadi barang atau jasa private, maka konsumen yang semula menikmati barang atau jasa tersebut tanpa dikenakan biaya (non excludable) menjadi tidak bebas menikmati kecuali harus membayar harga barang atau jasa tersebut (excludable). Sebagaimana dikemukakan Savas, barang (goods) dapat dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu:

1.       Barang-barang yang dikonsumsi secara individual, penggunaannya dapat dibagi-bagi, dan untuk memperolehnya diperlukan biaya (private goods). Termasuk dalam kelompok ini misalnya makanan, pakaian, rumah, ikan, air minum botolan, dan sebagainya.
2.       Barang-barang yang dikonsumsi secara bersama-sama, pengguna-annya dapat dibagi-bagi, dan untuk memperolehnya diperlukan biaya (toll goods). Contoh dari toll goods ini dapat ditunjuk seperti pesawat telepon, pipa air minum, kabel dan satelit TV, dan sebagainya.
3.       Barang-barang yang dikonsumsi secara individual dan penggunaannya tidak dapat dibagi-bagi, dan untuk memperolehnya tidak diperlukan biaya (common pool goods), misalnya kekayaan laut, udara, dan sebagainya.
4.       Barang-barang yang dikonsumsi secara bersama-sama dan penggunaannya tidak dapat dibagi-bagi, dan untuk memperolehnya tidak diperlukan biaya (collective goods). Termasuk didalamnya adalah urusan pertahanan, patroli polisi, pemadam kebakaran, pemasyara-katan residivis, dan sebagainya.

Dari klasifikasi jenis-jenis barang dan jasa pelayanan tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa jenis barang pertama dan kedua termasuk barang privat; sedangkan jenis barang ketiga dan keempat termasuk barang publik.

Namun dalam prakteknya, sering terjadi variasi-variasi, dimana suatu barang tidak selalu merupakan bentuk murni dari salah satu dari keempat jenis barang tersebut. Variasi itu terjadi misalnya jika suatu barang memiliki gabungan sifat antara private goods dengan toll goods, antara private goods dengan common pool goods, antara toll goods dengan collective goods, serta antara common pool goods dengan collective goods.

Sementara itu, pergeseran dari barang / jasa private menjadi barang / jasa publik, mengharuskan pemerintah untuk campur tangan dalam pengelolaannya (Savas, 1986). Artinya, semakin banyak barang / jasa swasta yang tidak dapat dihindari berubah sifat menjadi barang / jasa publik, maka beban pemerintah akan semakin tinggi. Pertumbuhan beban pemerintah ini akan semakin berlebihan bukan hanya karena berubahnya barang swasta menjadi barang publik saja, tetapi terutama juga bila pemerintah tidak secara selektif menentukan batas-batas pekerjaannya. Ada kalanya barang atau jasa yang sebenarnya bercirikan barang atau jasa swasta masih diproduksi atau disubsidi pemerintah.

Ilustrasi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan beban pemerintah semakin tidak dapat dihindari, terlebih lagi bila pemerintah tidak secara selektif mengidentifikasi barang-barang atau jasa-jasa apa yang dikategorikan publik dan apa yang dikategorikan swasta. Bila barang atau jasa yang sebenarnya bercirikan barang / jasa swasta masih juga diproduksi atau terlalu banyak disubsidi oleh pemerintah maka pertumbuhan beban pemerintah semakin tidak dapat dikendalikan. Dengan kata lain di tengah kecenderungan munculnya beban tambahan pemerintah yang tidak dapat dihindari, maka efisiensi, efektivitas dan accountabilitas penyelenggaraan pemerintahan dengan sendirinya semakin menjadi kebutuhan yang penting. Atas dasar argumentasi ini, gagasan privatisasi semakin kuat dan diperjuangkan.


Daftar Bacaan

Adamolekun, Ladipo dan Coralie Bryant (1996), Governance Progress Report: The Africa Region Experience; Capacity Building and Implementation Division Study Paper, Africa Technical Paper (Washington DC: World Bank).
Bhatta, Gambhir (1996), Capacity Building At The Local Level For Effective Governanc e: Empowerment Without Capacity Is Meaningless; Paper presented in The International Conference On Governance Innovation: Building the Government - Citizen - Business Partnership; October 20-23, Manila, Philippines.
Civil Service College, Prior Option Review (POR), Seminar Handouts, UK, 1998.
Flynn, Norman, Public Sector Management, (1990), London: Harvester Wheatsheaf.
Institute Of Governance (1996), Trampling the Turf: Enhancing Collaboration in the Public Service of Canada, a Case Study presented in The International Conference On Governance Innovation: Building the Government - Citizen - Business Partnership; October 20-23 , Manila, Philippines.
Lovelock, Christoper H., 1992, Managing Service, Marketing, Operations and Human Resources, Prentice - Hall Inc.
Mc.Kevitt, David, and Alan Lawton, 1994, Public Sector Management: Theory, Critique, and Practice, the Open University, London.
Osborne, David and Ted Gaebler, 1992: Reinventing Government, New York: Addision Wesley Publishing Company.
Ramelan, Rahardi, Kemitraan Pemerintah – Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia, Jakarta: LPPN INDES, 1997;
Savas, E.S., Privatization, The Key to Better Government, New Jersey: Chatam House Publisher, 1987.
Zeithaml, Valerie A. Parasuraman A and Leonard LI Berry, 1990, Delivering Quality Service, Balancing Customer Perceptions and Expectations, New York, The Free Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar