Laman

Jumat, 02 Juli 2010

Dimensi Strategis dan Dimensi Teknis Rancangan Otonomi Satu Tingkat


Latar Belakang


Penyelenggaraan pemerintahan di daerah berdasarkan UU Nomor 5/1974 yang telah berjalan 24 tahun, diakui masih menyisakan berbagai permasalahan, baik dalam dimensi legalitas atau kebijakan maupun dimensi operasional. Disisi lain, UU Nomor 5/1974 sendiri mengamanatkan bahwa titik berat otonomi diletakkan pada Daerah Tingkat II, sementara dalam praktek masih terlihat adanya ketergantungan daerah kepada daerah yang lebih atas atau kepada pemerintah Pusat.

Permasalahan yang ada tersebut – tentu – akan mempengaruhi kinerja birokrasi dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Apalagi dengan maraknya fenomena terhadap tuntutan reformasi menyeluruh akhir-akhir ini, maka keberadaan UU Nomor 5/1974 dirasakan kurang memberikan kelincahan bagi aparatur untuk mengaktualisasikan tugas-tugas umum pemerintahan dan tugas-tugas pembangunannya.

Sehubungan dengan hal tersebut, wajarlah jika sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di daerah juga tidak luput dari sorotan masyarakat untuk direformasi. Dengan kata lain, isi dan makna UU Nomor 5/1974 selama ini telah dianggap ketinggalan jaman dan kurang mampu merespon aspirasi aktual masyarakat; sehingga oleh karenanya perlu ditinjau kembali. Dalam kaitan ini, Kantor Menko Wasbang PAN (LAN, BAKN dan BPKP) serta Departemen Dalam Negeri telah melakukan kajian secara mendalam, yang salah satu hasilnya adalah merekomendasikan perlunya pembentukan Otonomi Daerah Satu Tingkat, sebagai alternatif dari sistem Dua Tingkat yang selama ini berlaku.

Namun tentu saja bahwa konsepsi pembentukan Otonomi Daerah Satu Tingkat ini perlu dipertimbangkan dari berbagai sisi dan dimensinya, sehingga implementasinya pada waktu yang akan datang diharapkan tidak banyak menemui kendala dan distorsi sebagaimana yang dialami saat ini. Dalam kaitan itulah maka kajian singkat ini mencoba memberikan gambaran tentang keterkaitan dengan aspek-aspek strategis, serta rekomendasi teknis jika kebijakan otonomi daerah satu tingkat ini direalisasikan. Yang perlu dicatat disini bahwa semangat dari tulisan ini adalah memberikan solusi yang terbaik dalam rangka sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, berdasarkan fakta-fakta yuridis empiris yang obyektif. Dengan demikian, apapun kebijakan yang ditempuh nantinya, semata-mata adalah untuk tujuan tercapainya efisiensi administrasi di satu pihak; serta terakomodasikannya partisipasi dan semangat demokratisasi masyarakat di pihak lain.


Dimensi Strategis

Bahwa penyelenggaraan pemerintahan di daerah, pada hakekatnya merupakan salah satu sub sistem dari sistem penyelenggaraan negara kesatuan RI. Oleh karena itu, menganalisis kondisi dan implikasi suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah, juga akan terkait dengan sistem-sistem lain seperti sistem politik, ekonomi, dan sebagainya. Dengan kata lain, sistem pemerintahan disatu pihak harus berjalan seiring (prinsip konformitas) dengan sistem-sistem lainnya.

Sebagai konsekuensi dari prinsip konformitas ini, maka gagasan Otonomi Daerah Satu Tingkat otomatis harus diletakkan pula pada kerangka Asumsi Sistemik yang ada. Adapun asumsi sistemik yang ada disini meliputi alasan pemberian otonomi dan kesesuaian dengan sistem lain yang terkait. Kedua asumsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1.     Alasan Pemberian Otonomi
Alasan pemberian otonomi pada setiap negara di dunia tentunya berbeda-beda. Namun pada intinya mengacu pada kehendak politik negara yang tertuju pada penggerakan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Keikutsertaan masyarakat dalam proses pemerintahan ini merupakan wujud bahwa suatu negara menerapkan asas demokrasi. Namun asas demokrasi ini meminta bukti yang lebih konkret, yaitu lebih banyaknya masyarakat untuk turut menentukan setiap kegiatan dan kebijakan pemerintah.
Oleh karena itulah, beberapa negara menggunakan sistem desentralisasi dengan cara memberikan beberapa hak kepada masyarakat pada banyak wilayah untuk menentukan sendiri kebijaksanaan serta pelaksanaannya. Inilah latar belakang lahirnya daerah otonom. Pada masa lalu (berdasar UU Desentralisasi 1903), daerah-daerah tadi disebut Propinsi (Provincie), Kabupaten (Regentschap), dan Kotamadya (Gemeente).
Keberadaan Gemeente didorong oleh adanya penduduk Eropa dan Timur Asing yang memiliki hukum dan syarat kehidupan sosial yang berbeda dengan hukum untuk warga pribumi (bumiputera). Masyarakat Eropa dan Timur Asing ini tunduk pada hukum yang berlaku di Kerajaan Belanda, sedang masyarakat tunduk pada hukum adatnya masing-masing. Dengan demikian, penduduk bumiputera diperintah oleh Pemerintah Kabupaten, sedang penduduk Eropa dan Timur Asing diperintah oleh Pemerintah Kotamadya. Baik Kabupaten maupun Kotamadya memiliki Dewan Rakyat, yaitu Regentschapsraad dan Gemeenteraad. Jadi, dalam melihat otonomi di Indonesia pada masa yang akan datang, perlu diketahui apakah pandangan yang membedakan golongan penduduk ini dilanutkan atau tidak, dan apakah masih perlu adanya pembedaan otonomi Kabupaten dengan Kotamadya? Dalam kerangka trend kedepan, tentu dikotomi ini tidak dapat diterapkan. Sebab, dasar pemberian otonomi kepada daerah lebih ditekankan pada perkembangan dan dinamika masyarakat daerah yang bersangkutan, dengan segenap kebutuhan dan tuntutannya.
Alasan lain yang mendorong diterapkannya sistem desentralisasi di Indonesia adalah politik balas budi dari para pelopor politik di negeri Belanda, untuk berterimakasih kepada masyarakat Indonesia yang menjadikan Belanda kaya raya. Mereka menghendaki agar Indonesia pun menjadi maju dan memiliki paham demokrasi, yang auh berbeda dengan paham feodalisme masa kerajaan. Jadi, alasan pertama dari otonomi pada awalnya adalah alasan politik, kemudian alasan sosial ekonomi. Namun ternyata, alasan politik menjadi lebih dominan dibanding alasan lainnya.
Pada masa pasca revolusi, alasan politik menjadi lebih dominan lagi untuk melawan kampanye Belanda yang akan memberikan otonomi luas kepada bangsa Indonesia seandainya mereka tetap berkuasa. Karena itulah pada awal kemerdekaan otonomi di Indonesia sangat luas, dengan hanya menyatakan bahwa Daerah boleh mengatur apa yang belum diatur oleh pemerintah Pusat, padahal yang diatur oleh Pusat tentunya sangat terbatas. Dalam hal ini, syarat utama diberikannya otonomi adalah bila masyarakat Daerah yang memiliki kesamaan budaya dan sosial ekonomi berkehendak untuk memiliki pemerintahan Daerah. Aliran demokratis di Indonesia tambah merasuk kedalam jiwa bangsa Indonesia, sehingga banyak masyarakat daerah yang meninginkan otonomi. Jika semula hanya ada 8 propinsi sebagai daerah otonom (atas dasar Maklumat PPKI dan UU No. 1/1945), maka berdasarkan UU Nomor 22/1948 dan UU Nomor 1/1957, menjadi begitu banyak Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya baru yang dibentuk. Saat ini yang disebut daerah otonom hanyalah Daerah Tingkat I dan II, sedang Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya adalah wilayah kerja (kekuasaan) perangkat Pusat.
Alasan lain didirikannya daerah otonom adalah karena Indonesia merupakan negara maritim, yang terdiri atas ribuan pulau dengan perbedaan budaya yang beraneka ragam. Letak daerah yang berjauhan dari Pusat dan banyaknya perbedaan dari berbagai golongan masyarakat, akan lebih sesuai bila masyarakat ini memiliki otonomi pemerintahan sendiri, sehingga kebijaksanaan pemerintah daerahanya juga akan lebih cocok dengan lingkungan masyarakatnya.
Dari kenyataan diatas jelaslah bahwa alasan ekonomi kurang mendapat perhatian, padahal kemampuan ekonomis ini akan lebih dominan dalam menentukan kesanggupan masyarakat untuk berpemerintahan daerah sendiri. Disamping itu, alasan teknologi juga kurang diperhatikan atau belum terpikirkan. Akibat kurang kuatnya alasan ekonomi ini, maka tampak bahwa Daerah yang terbentuk sebenarnya kurang mampu berdiri sendiri, kecuali bila sumber ekonomi Daerah sendiri tidak diintervensi oleh Daerah Tingkat atasnya maupun oleh Pusat.

2.     Kesesuaian dengan Sistem Lainnya (Lingkungan Strategis)
Menurut UU Bidang Politik yang berlaku saat ini (UU Pemilu, UU Kepartaian dan Ormas, UU Susunan dan Kedudukan DPR/MPR), serta menurut UU Bidang Ekonomi (UU Pajak dan Retribusi Daerah), kedudukan Daerah Tingkat I diakui keberadaannya. Artinya, baik UU bidang politik maupun bidang ekonomi, telah memenuhi prinsip konformitas dengan sistem pemerintahan yang berlaku selama ini.
Oleh karena itu, dilihat dari konformitas UU Bidang Politik/Ekonomi dengan sistem pemerintahan yang berlaku saat ini, gagasan Otonomi Daerah Satu Tingkat dengan menghapuskan Daerah Tingkat I, adalah tidak relevan.
Sebaliknya, jika gagasan ini tetap akan diberlakukan, maka dalam waktu yang sama harus dilakukan penyesuaian (perubahan) terhadap UU Bidang Politik/Ekonomi ini. Disamping itu, UU Nomor 5 Tahun 1974 sendiri harus direformasi secara keseluruhan (total), yang menyangkut:
a.      Filosofi, ide dasar, sistem, dan strukturnya. Dalam hal ini, penekanan asas yang digunakan dapat berupa desentralisasi atau dekonsentrasi. Namun sesuai dengan semangat reformasi, maka konsep perundangan yang baru hendaknya ditekankan kepada pengembangan desentralisasi dan kemampuan otonomi daerah.
b.      Reformasi pasal per pasal (telah disusun dan disampaikan konsepnya terdahulu).
Disamping UU bidang Politik dan Bidang Ekonomi, aspek strategis yang harus dipertimbangkan juga menyangkut UU Pembentukan Daerah (tahun 1950-an). Menurut UU ini, propinsi adalah daerah yang bersifat otonom. Oleh karena itu, jika konsep Otonomi Daerah Satu Tingkat akan diberlakukan, otomatis perlu pula dilakukan peninjauan kembali (pencabutan) terhadap UU pembentukan Daerah Tingkat I dan II. Sementara dalam kaitan dengan UU Pemilu, pemberlakuan konsep Otonomi Daerah Satu Tingkat harus memperhitungkan sistem pemilu yang akan digunakan pada masa mendatang.
Jika sistem distrik yang dipakai, sangat dimungkinkan pembentukan Otonomi Daerah Satu Tingkat. Dalam kaitan ini, kepentingan daerah akan terwakili di DPR (Pusat) oleh sistem pemilihannya (Sistem Distrik). Sebab, wakil rakyat yang terpilih akan menyuarakan kepentingan distrik asalnya. Akan tetapi jika sistem proporsional yang tetap dipakai, maka Otonomi Daerah Satu Tingkat dapat dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Gubernur bertanggungjawab langsung kepada Presiden, sebab kedudukannya adalah sebagai unsur dekonsentrasi dan pengawasan.
2.      Gubernur ditunjuk langsung oleh Presiden (appointed), dan tidak dicalonkan dari daerah. Gubernur berkedudukan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, tidak lagi melalui Menteri Dalam Negeri. Oleh karena itu, pelantikan Gubernur-pun dilakukan oleh Presiden.
3.      Aspirasi masyarakat daerah otonom akan tertampung dalam DPRD dan disalurkan langsung kepada DPR (karena tidak ada DPRD Propinsi). DPR sendiri merupakan bagian dari keanggotaan MPR yang melaksanakan kedaulatan rakyat.
4.      KDH Swatantra bertanggungjawab kepada Gubernur sebagai representasi Pemerintah Pusat.
Kedudukan Gubernur yang langsung dibawah Presiden ini menggambarkan representasi dari asas kewilayahan, dan asas keahlian yang termanifestasikan dalam bentuk Departemen (Menteri). Adapun jika Pemilu menggunakan sistem gabungan distrik dengan proporsional, maka pelaksanaannya adalah sistem proporsional dilaksanakan untuk pemilihan anggota DPRD, sedangkan sistem distrik diterapkan untuk pemilihan anggota DPR.
Meskipun demikian, apapun sistem pemilu yang dipergunakan, tetap muncul satu masalah krusial, yakni bagaimana aspirasi masyarakat daerah tertampung (terakomodasikan) di tingkat Propinsi? Atau dengan kata lain, bagaimana Gubernur dapat mengakses kepentingan masyarakat daerah otonom, dan tidak semata-mata menyuarakan kepentingan Pusat? Sebab jika hal ini diabaikan, tidak menutup kemungkinan bahwa kebijakan Otonomi Daerah Satu Tingkat justru akan menjauhkan proses demokratisasi di tingkat daerah.


Dimensi Teknis Otonomi Daerah Satu Tingkat

Dengan memperhatikan asumsi sistemik sebagaimana disebutkan diatas, maka kebijakan Otonomi Daerah Satu Tingkat dapat diimplementasikan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1.      Filosofi Penyelenggaraan Pemerintahan (di) Daerah
·         Kenyataan adanya kemajemukan masyarakat, sehingga pemerintahan di daerah harus selalu mengingati kesatuan dalam keanekaragaman (Bhinneka Tunggal Ika) berdasarkan unitarisme.
·         Filosofi ini berbeda secara prinsip dengan filosofi UU Nomor 5/1974 yang lebih menganut kesatuan (unity) melalui penyeragaman (uniformity).
·         Bahwa sesuai dengan amanat alinea keempat UUD 1945 dan sila kelima Pancasila, maka kesejahteraan dan atau keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya dapat dicapai dengan memberikan pelayanan secara langsung kepada masyarakat.
·         Bahwa penyelenggaraan pemerintahan di daerah harus didasari pada sikap profesionalisme serta diarahkan pada terciptanya efisiensi administrasi dan partisipasi penuh masyarakat (demokratisasi).

2.      Tujuan Penyelenggaraan Pemerintahan (di) Daerah
Tujuan penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah adalah untuk mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera, dengan cara mengedepankan kemampuan daerah dalam penyelenggaraan pembangunan yang berkelanjutan, sehingga tercapai otonomi yang nyata dan berdaya saing.

3.      Asas-Asas (Rule of Conduct) Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
·         Desentralisasi, yaitu penyerahan sebagian urusan pemerintah kepada pemerintah daerah menjadi otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan (unitaristis).
·         Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang dalam kaitan dengan fungsi pemerintahan wilayah (Propinsi), serta dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas departemen teknis di daerah, terutama yang mencakup urusan lintas batas antara dua atau lebih daerah otonom.
·         Pemberdayaan Daerah, yakni kebebasan bertindak daerah untuk mengatur urusan-urusan yang belum ditentukan pemerintah. Dengan demikian, asas ini memungkinkan terjadinya ketidaksewragaman suatu urusan antar daerah sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.
Dalam kaitan ini, perlu dipertegas mengenai pengertian “daerah” dan “urusan”. Daerah, adalah pemerintah daerah bersama-sama masyarakat daerah dalam suatu teritorial tertentu dan menyelenggarakan urusan-urusan otonom tertentu. Sedangkan pengertian urusan, adalah sebagian pekerjaan Pusat yang diserahkan kepada dan menjadi urusan otonom daerah.

4.      Bentuk Pemerintahan di Daerah
Dengan sistem Otonomi Daerah Satu Tingkat, maka bentuk pemerintahan menjadi sebagai berikut:
·         Kota Raya: yakni wilayah pemerintahan ibukota Negara.
·         Kota Madya: yakni wilayah pemerintahan ibukota Propinsi.
·         Daerah Swatantra: yakni daerah otonom sebagai pengganti Daerah Tingkat II.

5.      Kewenangan Pemerintahan di Daerah
Sebagai daerah otonom, maka kepada Daerah Swatantra diberikan kewenangan pengelolaan atas hal-hal sebagai berikut:
·         Sumber Daya (personalia/kepegawaian, material, keuangan, dan sebagainya).
·         Sebagian urusan-urusan Pembangunan, khususnya pembangunan Daerah.
·         Sebagian urusan-urusan Pemerintahan.


Penutup

Demikianlah beberapa catatan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan adanya rencana penerapan Otonomi Daerah Satu Tingkat. Tentu, gagasan dan ide yang dikembangkan disini masih memerlukan gagasan lain sebagai antitesisnya, sehingga pada akhirnya dapat ditemukan suatu “kesepakatan nasional” mengenai sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan (di daerah) yang lebih efektif dan efisien, serta sesuai dengan keinginan dan semangat reformasi seluruh masyarakat Indonesia.


Bandung, September 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar