Jumat, 02 Juli 2010

Kajian Teoretik dan Kebijakan Pengentasan Kemiskinan


Secara mendasar dapat dikatakan bahwa masalah kemiskinan berawal dari adanya kesenjangan ekonomi (economic inequality) antara sekelompok masyarakat tertentu dengan dengan sekelompok masyarakat lainnya.[1] Hal ini dicirikan dengan masih ditemuinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan, ketimpangan produksi dan jaringan pemasaran antara pengusaha kecil dan menengah dengan pengusaha besar, serta ketimpangan dalam memperoleh akses-akses tertentu.[2] Ini dapat diartikan pula bahwa apabila dalam suatu komunitas negara tidak ditemui atau sedikit terjadi ketimpangan-ketimpangan seperti disebut terdahulu, bisa diyakini bahwasanya tidak terdapat masalah kemiskinan yang serius di negara bersangkutan.

Dalam kaitan ini perlu disepakati bahwa kebijakan publik dalam rangka mengatasi kesenjangan ekonomi tidak diarahkan kepada upaya bagaimana menghambat laju pertumbuhan pengusaha besar atau kuat, melainkan bagaimana mempercepat pertumbuhan usaha kelompok masyarakat kelas menengah kebawah, sehingga jurang pemisah antara kedua kelompok ini dapat lebih didekatkan. Atau dengan kata lain, kesungguhan pemerintah untuk memberikan kesempatan, peluang, fasilitas, kemudahan dan dukungan nyata kepada masyarakat, merupakan jiwa (spirit) yang harus selalu melandasi kebijakan pengentasan kemiskinan.

Inilah hakekat pemberdayaan masyarakat yang penulis maksudkan dalam konteks kebijakan pengentasan kemiskinan. Artinya, kondisi sosiologis maupun ekonomis masyarakat yang terbelakang, malas, bodoh, tuna modal, masih digunakannya teknologi tradisional, lemahnya daya saing dan semacamnya, akan dirubah menjadi sebaliknya dengan memberikan kesempatan, peluang, fasilitas, kemudahan dan dukungan nyata tersebut. Semuanya ini bertujuan untuk membangkitkan motivasi dan kepercayaan diri (inner power) masyarakat, bahwa sebenarnya mereka dapat melepaskan diri dari belenggu lingkaran setan kemiskinan (poverty vicious circle) yang membelit mereka.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebijakan pengentasan kemiskinan pada dasarnya bukan hanya persoalan teknis semata tentang bagaimana memenuhi kebutuhan fisik dan atau kalori masyarakat secara berkesinambungan, terlebih lagi adalah bagaimana memberikan “energi” yang lebih besar kepada masyarakat melalui proses pemberdayaan (empowerment). Sebab sebagaimana dikemukakan oleh Chambers (1983: 113-114), kemiskinan merupakan suatu kompleksitas dari hubungan sebab akibat yang saling berkaitan antara ketidakberdayaan (powerlessness), kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik (physical weaknesses), kemiskinan (poverty) dan keterasingan (isolation). Saling keterkaitan inilah yang disebut sebagai konsep perangkap deprivasi (concept of deprivation trap), dimana ketidakberdayaan akan membatasi akses terhadap sumber daya negara, mempersempit keadilan hukum bagi penyelewengan (abuses), menyebabkan hilangnya kekuatan tawar menawar (bargaining power), membuat rakyat semakin rapuh terhadap permintaan mendadak untuk pembayaran pinjaman atau terhadap permintaan uang suap dalam suatu persengketaan.

Oleh karena itu, Chambers mengajukan pemikiran bahwa upaya untuk mengatasi masalah ketidakberdayaan masyarakat adalah melalui “…. enabling and empowering the poor through ‘reversals in management’ of dominant paradigms of development which involves shifting power and initiatives downwards and outwards” (memberikan kesempatan/wewenang dan memberdayakan kaum miskin melalui ‘pertukaran manajemen’ dalam paradigma pembangunan. Artinya, diperlukan pemindahan atau pengoperan kekuatan dan inisiatif berusaha dari kelompok kuat kepada kaum miskin tersebut –  terjemahan bebas penulis).

Pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah orde baru selama 30 tahun telah memperlihatkan kemajuan-kemajuan luar biasa, yang dapat ditunjukkan melalui indikator-indikatornya. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai, bahkan World Bank pernah menjuluki pembangunan Indonesia sebagai suatu keajaiban atau mukjizat (miracle).

Adapun beberapa indikator keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia ini dapat diketahui dari berkurangnya jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan, yaitu dari 40,08% penduduk pada tahun 1976 menjadi 17,42% pada tahun 1987, serta menjadi hanya 11,39% pada tahun 1996 (Suara Karya, 23-4-1997). Disamping itu, dilihat dari aspek GNP, pada tahun 1960-an pendapatan perkapita Indonesia termasuk paling rendah di dunia, yaitu sebesar US $ 50. Jumlah ini hanya separuh dari GNP negara-negara India, Nigeria, dan Bangladesh. Namun mulai tahun 1980-an, GNP Indonesia meningkat hampir mencapai US $ 500 per kapita. Ini berarti 30% lebih tinggi dari pada GNP India, 49% lebih tinggi dari pada GNP Nigeria, dan 150% lebih tinggi dari pada GNP Bangladesh (Husken, 1996: 3).

Keberhasilan-keberhasilan tersebut mengindikasikan bahwa proses pembangunan yang dilakukan telah secara nyata mengurangi angka kemiskinan penduduk. Padahal, pada tahun-tahun sebelum 1980-an, belum ada kebijakan yang khusus ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan. Secara umum pembangunan dilaksanakan berdasarkan sektor-sektor dengan orientasi terjadinya laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Inilah agaknya yang menyebabkan lahirnya fenomena pengurangan kemiskinan penduduk tetapi belum menghilangkan kesenjangan ekonomi yang ada.


Kerangka Teoretik Pengentasan Kemiskinan

Kemiskinan pada hakekatnya merupakan masalah yang bersifat multidimensional. Artinya, jika kita hendak menganalisis faktor kausalitas dari masalah kemiskinan, jelas tidak mungkin ditemukan dimensi tunggal yang paling dominan sebagai faktor penyebabnya. [3]  Atau dengan kata lain, terdapat banyak variabel yang secara langsung maupun tidak langsung memberi kontribusi bagi terciptanya masalah kemiskinan. Secara riil, meskipun kebijakan dalam rangka penanggulangan kemiskinan telah dan sedang dilaksanakan secara simultan dan lintas sektoral atau inter departemental, namun masalah klasik ini masih tetap menjadi problema besar dalam proses pembangunan nasional.

Sehubungan dengan hal tersebut, secara teoretis, untuk memecahkan masalah kemiskinan, perlu pula dilakukan pendekatan secara interdisipliner dengan memanfaatkan teori-teori atau paradigma yang erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah dibidang kesejahteraan rakyat, terutama mengenai pengentasan kemiskinan. Dalam kaitan ini, grand theory yang melandasi kajian tentang masalah kemiskinan adalah teori kebijakan publik (public policy). Disamping sebagai grand strategy, penulis bahkan menganggap bahwa kebijakan publik ini dapat lebih diimplementasikan sebagai grand strategy. Sementara itu, teori-teori lain yang relevan untuk menganalisis masalah kemiskinan adalah teori tentang peranan, fungsi atau tugas negara; teori modernisasi serta pemberdayaan masyarakat.

Dilihat dari peranan atau fungsi negara, maka jelaslah bahwa setiap kebijakan publik otomatis merupakan bentuk campur tangan atau intervensi pemerintah dalam kehidupan masyarakat. Atau dengan kata lain, makin banyaknya kebijakan menandakan bahwa peranan negara semakin berfungsi. Dan peranan ini mestinya akan mampu menghasilkan output berupa kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun, peranan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan publik akan menemui banyak kesulitan jika masyarakat sendiri tidak memiliki kekuatan yang memadai untuk berswakarsa dan berswasembada. Oleh karena itulah, peranan pemerintah bisa dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan keberdayaan masyarakat. Jadi, pada tahap tertentu, masyarakat tidak lagi menjadi obyek pembangunan semata, tetapi lebih sebagai pelaku utama pembangunan.

Khususnya pada masyarakat pedesaan yang relatif tradisional kehidupannya, maka peranan pemerintah diharapkan mampu memicu terjadinya perubahan kearah yang lebih maju dan modern, baik dalam konteks pola pemikiran, manajemen kehidupan dan usaha, maupun pola-pola hubungan kelembagaan.

Uraian dibawah ini selanjutnya akan mencoba untuk mengemukakan pokok-pokok ajaran dari tiap-tiap teori beserta relevansinya bagi program pengentasan kemiskinan.

Teori Kebijakan Publik (Public Policy)

Kebijakan publik pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu konsep yang mandiri, dalam arti memiliki makna yang secara khusus mengarah kepada pengertian dari konsep tersebut. Namun dilihat dari asal katanya, maka istilah kebijakan publik terdiri dari dua kata dasar yaitu “kebijakan” dan “publik”.

Mengacu kepada pendapat Hogwood dan Gunn sebagaimana dikutip Sunggono (1994: 15-20), kebijakan (policy) dapat dikelompokkan menjadi 10 (sepuluh) pengertian, yaitu kebijakan sebagai merek bagi suatu bidang kegiatan tertentu (as a label for a field activity), kebijakan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan tertentu yang dikehendaki (as an expression of general purpose or desired state of affairs), kebijakan sebagai usulan-usulan khusus (as specific proposals), kebijakan sebagai keputusan pemerintah (as decision of government), kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal (as formal authorization), kebijakan sebagai program (as programme), kebijakan sebagai keluaran (as output), kebijakan sebagai hasil akhir (as outcome), kebijakan sebagai suatu teori atau model (as a theory or model), serta kebijakan sebagai proses (as process).

Dari ke-10 pengertian tersebut, kebijakan publik lebih merujuk kepada pengertian yang keempat dan keenam, yaitu bahwa kebijakan publik merupakan keputusan pemerintah dan juga sebagai sebuah program. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Edwards dan Sharkansky (dalam Islamy, 1988: 20) yang mengartikan kebijakan publik sebagai “…. what the government say to do or not to do. It is the goals or purpose of government programs”. Atau menurut Jones (1996: 49), kebijakan adalah unsur-unsur formal atau ekspresi-ekspresi legal dari program-program dan keputusan-keputusan.[4] Dengan demikian dapat disederhanakan bahwa kebijakan publik merupakan keputusan (formal) pemerintah yang berisi program-program pembangunan sebagai realisasi dari fungsi atau tugas negara, serta dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Untuk dapat memecahkan berbagai masalah publik tadi, maka sebelum sampai kepada penetapan kebijakan, terlebih dahulu disyaratkan adanya proses perumusan kebijakan (policy formulations). Atau mengikuti pendapat Clay dan Schaffer (dalam Arifin, 1997), penetapan kebijakan merupakan tahap terakhir dari perumusan kebijakan. Selanjutnya, perumusan kebijakan dilanjutkan dengan proses implementasi kebijakan (policy implementations).

Dunsire sebagaimana dikutip oleh Wahab (1991: 47-48), memperkenalkan istilah implementation gap, yaitu suatu keadaan dimana dalam proses kebijakan selalu terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara yang diharapkan dengan yang senyatanya dicapai. Adapun besar kecilnya perbedaan/kesenjangan yang bisa dikatakan sebagai kegagalan tersebut antara lain ditentukan oleh implementation capacity dari organisasi atau pihak yang diberi tugas melaksanakan kebijakan itu. Kegagalan kebijakan (policy failure) sendiri terdiri dari dua kategori, yaitu tidak terimplementasikan (non implemented) dan implementasi yang tidak sempurna (unsuccesful implementation).

Oleh karena setiap kebijakan mengandung resiko kegagalan, maka dalam implementasinya perlu diperhatikan beberapa hal untuk meminimalisir kemungkinan kegagalan tersebut. Sehubungan dengan hal ini, Hogwood dan Gunn (dalam Wahab, 1991: 57-64) mengembangkan model yang terkenal dengan the top down approach. Ajaran ini mengemukakan bahwa untuk dapat mengimplemtasikan kebijakan negara secara sempurna (perfect implementation), diperlukan sepuluh syarat sebagai berikut:

·         Kondisi eksternal yang dihadapi oleh instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.
·         Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.
·         Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.
·         Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal.
·         Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit matarantai penghubungnya.
·         Hubungan saling ketergantungan harus kecil.
·         Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
·         Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
·         Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
·         Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Peranan, Fungsi dan atau Tugas Negara/Pemerintah

Lahirnya birokrasi pemerintahan, semenjak awal pada hakekatnya dimaksudkan untuk melayani dan melindungi kepentingan masyarakat, membebaskan penduduk dari rasa takut, sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.[5] Bahkan Suseno (1988: 305) mengatakan bahwa raison d’etre atau alasan satu-satunya bagi eksistensi negara adalah kepentingan umum.[6] Dalam konteks ke-Indonesia-an, birokrasi pemerintahan harus mampu mewujudkan tujuan pembangunan nasional yaitu tercapainya masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera, atau masyarakat yang adil makmur merata materiil dan spirituil.

Adanya fungsi kesejahteraan (dan juga fungsi pelayanan) yang diemban oleh negara, jelas tidak dapat dipisahkan dari filsafat kerakyatan sebagai inti ajaran kontrak sosial yang dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau.

Dalam bukunya yang sangat terkenal Du Contract Social (1762), ia mengajarkan bahwa manusia pada fase masyarakat primitif pada dasarnya memiliki sifat kesamaan. Namun dengan timbulnya hak milik perseorangan (propriete privee), sifat tadi berubah menjadi ketidaksamaan, yang pada gilirannya menimbulkan bentrokan (conflict) dan peperangan antar manusia yang mengakibatkan suatu keadaan kacau (social disorder). Untuk memperoleh ketenteraman dan kebebasan, maka masyarakat mengadakan perjanjian bersama (kontrak sosial) yang membentuk suatu pemerintahan dengan tugas-tugas pelayanan dan kesejahteraan. (Poerbopranoto, 1987: 17).

Untuk merealisasikan fungsi kesejahteraan dan pelayanan tersebut, birokrasi pemerintahan harus menjalankan “kebijakan-kebijakan negara”, dan untuk keperluan itu, ia dilengkapi dengan berbagai instrumen maupun sarana untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan secara baik dan lancar (discretion of power). Sehubungan dengan hal tersebut, maka sisi normatif yang melekat pada setiap tindakan pejabat publik (sebagai unsur pelaksana birokrasi) adalah bahwa tindakan atau keputusan atau kebijakan tadi haruslah selalu mengacu kepada upaya mencapai kesejahteraan publik.

Tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum ini merupakan tugas atau fungsi negara yang berbentuk Welfare State, atau Negara Hukum Baru, atau Negara Hukum Material, atau Negara Administratif (Siagian: 1988: 104). Namun sebelum konsep Negara Kesejahteraan ini lahir, yang muncul dalam praktek kenegaraan adalah konsep Political State (Negara Politik) dan Legal State (Negara Hukum Statis atau Negara Hukum Formal).

Menurut Siagian, pada tahap political state, suatu pemerintah dianggap sebagai “tuan” dari rakyat dan hanya mempunyai empat fungsi pokok (the classical functions of government) yaitu fungsi memelihara ketenangan dan ketertiban (maintenance of piece and order), fungsi diplomatik atau internasional, fungsi pertahanan keamanan, dan fungsi perpajakan. Selanjutnya pada tahap legal state, kekuasaan absolut ditangan raja sudah mulai dibatasi. Pelopor tentang pembatasan atau pemisahan kekuasaan (separation of power) ini adalah Locke (1632 – 1704) yang menganjurkan agar kekuasaan dalam suatu negara diserahkan kepada tiga badan yaitu eksekutif, legislatif dan federatif. Tokoh lain yang sangat berpengaruh juga adalah Montesquieu (1689 – 1755) yang dengan teori Trias Politika-nya memisahkan secara ketat kekuasaan negara kedalam tiga badan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam konsep Negara Hukum Statis ini pemerintah bersifat pasif, artinya negara hanya menjadi wasit dan melaksanakan berbagai keinginan masyarakat yang telah disepakati bersama melalui pemilihan atas berbagai alternatif yang diputuskan secara demokratis liberal. Dengan demikian negara lebih bersifat sebagai “penjaga malam” atau penjamin keamanan jika terjadi gangguan terhadap keamanan (watch dog atau nachtwchterstaat).

Baik konsep political state maupun legal state, saat ini tidak memungkinkan lagi untuk diterapkan mengingat tuntutan yang besar dari masyarakat kepada pemerintah untuk dapat memberikan pelayanan sebaik mungkin. Disisi lain, masyarakat juga tidak bisa lagi dipimpin secara otoriter, melainkan harus diberikan kesempatan seluas mungkin untuk menyalurkan aspirasi, gagasan maupun tindakannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya, konsep yang paling tepat adalah pemberdayaan masyarakat. Dan ini hanya mungkin dimiliki oleh negara yang berbentuk Welfare State.

Pentingnya peranan atau fungsi negara dalam penyelenggaraan kesejahteraan umum terutama dalam sistem ekonomi menurut Rachbini (1994: 12-13) didasarkan paling tidak pada dua alasan. Pertama, timbulnya kegagalan pasar (market failure) dalam sistem ekonomi, membuka kemungkinan masuknya peranan negara untuk mendorong terwujudnya mekanisme pasar yang efektif sehingga kesejahteraan para pelaku ekonomi bisa tercapai secara lebih baik. Kedua, kenyataan terdapatnya kegagalan distribusi pendapatan dan ketimpangan kesejahteraan masyarakat, sehingga peranan pemerintah lebih tertuju untuk melakukan kebijakan redistribusi atau pengalokasian kembali sumber-sumber ekonomi. Inilah dasar teoritis dari mazhab Welfare Economics yang menjadi basis pembenaran terhadap intervensi pemerintah dalam kehidupan masyarakat.

Dari paparan diatas nampaklah bahwa teori fungsi, peranan dan tugas negara/pemerintah relevan untuk dijadikan alat analisis dalam memecahkan masalah kemiskinan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat.

Modernisasi

Modernisasi, pembangunan dan industrialisasi pada dasarnya merupakan proses perubahan, yaitu perubahan dari keterbelakangan kearah kemajuan, dari kemiskinan kearah kemakmuran atau kesejahteraan, dari tradisionalisme kearah sesuatu yang serba sophisticated, bahkan juga dari pola pikir mitis – ontologis kearah pemikiran yang bersifat fungsional.[7]

Hal ini sesuai pula dengan salah satu asumsi teoritis dari modernisasi, yaitu bahwa modernisasi merupakan suatu proses bertahap, dari masyarakat primitif, sederhana, sampai kepada masyarakat yang modern. Artinya, perubahan menuju bentuk masyarakat modern melalui tahapan-tahapan tertentu, sesungguhnya merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, dan pasti akan dialami oleh setiap masyarakat atau negara (Suwarsono dan So, 1994: 21-22).

Dari pengertian diatas, secara tersirat terdapat dikotomi antara masyarakat tradisional (sederhana) dengan masyarakat modern (maju). Penciptaan dikotomi tersebut menurut penulis merupakan upaya untuk menjelaskan bahwa keterbelakangan yang terjadi di negara-negara berkembang (dalam skala kecil masyarakat tertinggal), lebih disebabkan oleh keterbelakangan kelembagaannya. Disamping itu, kemiskinan juga terjadi sebagai akibat masyarakat yang belum memiliki jiwa atau semangat yang berorientasi kepada kerja keras, serta belum dimilikinya motivasi atau dorongan untuk berprestasi (need for achievement).

Dengan kata lain, menurut teori modernisasi, kemiskinan teutama disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negeri negara atau masyarakat yang bersangkutan (Budiman, 1995: 18). [8] Beberapa teori modernisasi yang menganut paham demikian adalah teori Harrod – Domar mengenai Tabungan dan Investasi, teori Max Weber tentang Etika Protestan, serta teori David Mc Clelland tentang Dorongan Berprestasi (n-ach).

Dari ajaran-ajaran teori modernisasi, secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa untuk membantu dunia ketiga (dalam skala kecil masyarakat tertinggal) lepas dari lingkaran kemiskinan, perlu ditempuh cara atau strategi. Pertama, negara atau masyarakat miskin perlu diberikan bantuan modal; kedua, perlunya meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional; dan ketiga, perlunya dilakukan pemberdayaan kelembagaan. Dengan melakukan tiga strategi ini, diharapkan dapat merubah tingkatan mereka dari pinggiran (periphery) ke pusat (central). 

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa teori modernisasi inipun memiliki relevansi yang kuat untuk menganalisis permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh suatu kelompok masyarakat. Artinya, implementasi program IDT yang dilakukan lewat pemberian bantuan modal, pada gilirannya juga dimaksudkan untuk menghidupkan mekanisme kelembagaan di tingkat desa yang terkait dengan kebijakan pengentasan kemiskinan (misalnya LKMD, Pokmas, Pendamping, dan sebagainya).

Pemberdayaan Masyarakat

Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat, dalam rangka menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan dan tugas pembangunannya, telah memiliki pilar yang jelas mengenai konsep pemberdayaan. Kelima pilar pemberdayaan tersebut adalah Gerakan Disiplin Nasional, Gerakan Jum’at Bersih, Gerakan Rereongan Sarupi, Gerakan Kemitraan Usaha Ekonomi, dan Gerakan Santri Raksa Desa.[9] Keseluruhan upaya pemberdayaan ini merupakan upaya integral untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di pedesaan, termasuk masalah kemiskinan.

Pemberdayaan (empowerment) sendiri adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat, khususnya Eropa. Konsep ini bisa dipandang sejiwa dengan aliran-aliran baru yang berkembang pada paruh kedua abad 20 seperti post modernisme, dengan titik berat sikap dan pendapat yang orientasinya adalah anti sistem, anti struktur, dan anti determinisme (Pranarka, 1996: 44-45).

Pada prinsipnya, konsep pemberdayaan merupakan gagasan yang ingin menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri. Oleh karena itu, wajarlah jika konsep ini menampakkan dua kecenderungan. Pertama, pemberdayaan menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan (power) kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini sering disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan sekunder, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong dan memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya (Pranarka, 1996: 56-57).

Elliot (dalam Pranarka, 1996: 102-103) mengemukakan bahwa upaya untuk menciptakan keberdayaan masyarakat – khsusnya yang dilakukan oleh lembaga/organisiasi non pemerintah – terdiri dari tiga macam strategi pendekatan. Pendekatan pertama, the welfare approach, merupakan kegiatan pemberian bantuan kepada kelompok-kelompok tertentu, misalnya yang sedang terkena musibah. Akan tetapi, pendekatan kemanusiaan ini belum mampu mencapai tujuan untuk memberdayakan rakyat dalam menghadapi proses politik dan pemiskinan rakyat. Itulah sebabnya muncul pendekatan kedua, the developmental approach, yang memusatkan program kegiatannya pada pengembangan proyek pembangunan yang bertujuan meningkatkan kemampuan, kemandirian dan keswadayaan masyarakat. Adapun pendekatan ketiga, the empowerment approach, melihat kemiskinan sebagai akibat dari proses politik dan berusaha untuk memberdayakan atau melatih masyarakat guna mengatasi ketidakberdayannya.

Hal ini sangat bersesuaian dengan pendapat Sethi seperti dikutip oleh Moeljarto (dalam Pranarka, 1996: 131) bahwa masalah kemiskinan di pedesaan, tidak dapat dipecahkan oleh siapapun kecuali oleh masyarakat yang bersangkutan, dan upaya-upaya solidaritas harus diarahkan untuk meningkatkan kapasitasnya sendiri dalam rangka melaksanakan tindakan-tindakan mandiri (the problems of the rural poor, in the final instance, cannot be solved by anyone but themselves, and all solidarity efforts must be aimed at strengthening their own capacity for independent action). Dalam bahasa Sumahdumin dan Zulkarnain (dalam Ruswita, hlm. 129), model penanggulangan kemiskinan hendaknya ditumpukan pada potensi masyarakat sendiri (community based development).

Dalam konteks pemberdayaan ini, maka blue print program IDT sedikit banyak telah mengimplementasikannya. Misalnya dalam pendekatannya, program IDT memuat dua aspek penting, yaitu partisipatif dan terdesentralisasi. Aspek partisipatif berarti memberikan kemungkinan bagi keterlibatan masyarakat atau kelompok sasaran dalam pengambilan keputusan sejak dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian hingga pemanfaatan hasil-hasilnya. Sedangkan aspek terdesentralisasi mementingkan penurunan wewenang pembuatan keputusan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kepada pemerintah (desa) yang terdekat dengan penduduk miskin. Pelaksanaan kedua pendekatan ini terlihat dengan dipasrahkan sepenuhnya pemanfaatan dana IDT kepada penduduk miskin (Pranarka, 1996: 139).

Dari sedikit penjelasan mengenai konsepsi pemberdayaan serta keterkaitannya dengan masalah kemiskinan, dapatlah dimengerti bahwa teori pemberdayaan memiliki relevansi yang sangat tinggi untuk mengkaji setiap upaya atau kebijakan pengentasan kemiskinan (dalam hal ini Inpres Desa Tertinggal). Artinya, program pengentasan kemiskinan melalui IDT dapat dilihat dari dua sisi. Pada sisi pertama, kebijakan ini mempunyai tujuan akhir hapusnya kemiskinan dari bumi Indonesia. Namun disisi lain, kebijakan ini juga membawa dampak lain yakni meningkatkan keberdayaan masyarakat. Selanjutnya, masyarakat yang memiliki keberdayaan dalam berbagai aspeknya, sudah barang tentu akan mempercepat upaya menghapus kemiskinan.

Kemiskinan dan Fakta Empiris Pelaksanaan Program IDT di Jawa Barat

Menurut panduan pelaksanaan program IDT dari Bappenas, kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang dibalut oleh berbagai kondisi yang menekan kehidupan. Faktor-faktor yang mengkondisikan kemiskinan satu sama lain saling mempengaruhi yang terjadi bukan atas kehendak si miskin, melainkan karena tidak bisa dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Sementara itu Suparlan (1995: xi) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan umum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dilihat dari jenis-jenis atau bentuk-bentuknya, kemiskinan dapat digolongkan sebagai berikut. Berdasarkan tingkat pendapatannya, menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah keadaan serba kurang yang diukur berdasarkan indikator pengeluaran minimum, sedangkan kemiskinan relatif keadaan perbandingan antara kelompok pendapatan dalam masyarakat, atau dikenal pula dengan istilah ketimpangan distribusi pendapatan.

Sementara itu berdasarkan pola waktunya, kemiskinan dapat dipisahkan menjadi persistent poverty yakni kemiskinan yang telah kronis atau turun menurun; cyclical poverty yakni kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan; seasonal poverty yakni kemiskinan musiman yang sering dijumpai pada kasus nelayan atau petani tanaman pangan; serta accidental poverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan turunnya kesejahteraan masyarakat. Selain itu kemiskinan juga dapat dibedakan atas dasar keadaan penduduk dan potensi wilayahnya menjadi kemiskinan yang dialami penduduk dan ketertinggalan wilayah (Kartasasmita, 1996: 234-235).

Untuk menentukan apakah seseorang atau sekelompok orang termasuk yang berstatus miskin atau tidak, ditetapkan beberapa tolok ukur kemiskinan..Tolok ukur yang paling umum digunakan adalah yang berdasarkan tingkat pendapatan per waktu kerja (Amerika menggunakan setahun sebagai waktu kerja, sedangkan Indonesia sebulan). Pada tahun 1976/1977, pemerintah Indonesia telah menetapkan tingkat pendapatan per waktu kerja sebagai tolok ukur kemiskinan adalah Rp. 30.000 per bulan (Sajogyo, 1977).

Disamping itu, dipakai pula tolok ukur pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau kebutuhan relatif per keluarga yang batasannya dibuat berdasarkan atas dasar kebutuhan minimal yang harus dipenuhi sebuah keluarga agar dapat melangsungkan kehidupannya secara memadai. Termasuk dalam tolok ukur ini adalah biaya pemeliharaan kesehatan, biaya sekolah untuk anak, dan biaya sandang yang sewajarnya. Pada tahun 1993, angka pengeluaran minimum sebagai garis kemiskinan absolut ditetapkan rata-rata sebesar Rp. 27.905 per kapita per bulan untuk daerah perkotaan, dan Rp. 18.244 untuk daerah pedesaan.

Selanjutnya tolok ukur kemiskinan adalah jumlah kalori minimal yang dikonsumsi per orang, yang diambil persamaannya dalam beras,  yaitu 320 kilogram (untuk desa) dan 420 kilogram (untuk kota). Dan tolok ukur terakhir sebagaimana di populerkan oleh Lewis, adalah kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan, yakni yang sering kita sebut sebagai kebudayaan kemiskinan (Suparlan, 1995: xx – xix).

Analisis lain yang perlu dikemukakan untuk memahami masalah kemiskinan secara utuh adalah faktor penyebab timbulnya kemiskinan. Dalam konteks ini – seperti telah disinggung diatas -- Wirasasmita (1997) lebih banyak berpendapat bahwa kemiskinan merupakan kondisi yang tidak berujung pangkal, tetapi merupakan akibat dari keterkaitan berbagai variable yang kurang menguntungkan dan membentuk lingkaran setan.

Dari model tersebut dapat dijelaskan bahwa titik tolak (tentatif) masalah kemiskinan di Indonesia diawali oleh fakta berupa rendahnya pendapatan per kapita masyarakat, yang secara langsung berakibat pada rendahnya gizi dan kesehatan masyarakat serta sempitnya kesempatan pendidikan. Masyarakat miskin di Indonesia pada umumnya menggunakan pendapatannya untuk pemenuhan kebutuhan primer sehar-hari, itupun dengan tingkat kandungan gizi yang kurang terjamin. Dengan demikian sudah barang tentu masyarakat miskin ini tidak mampu menyisihkan pendapatannya untuk menabung (public saving accumulation), untuk pemeliharaan kesehatan atau untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

Rentetan berikutnya dari rendahnya tingkat tabungan adalah tingkat investasi yang rendah juga, yang pada gilirannya menyebabkan sempitnya lapangan pekerjaan, khususnya pada sektor industri. Sempitnya lapangan pekerjaan membawa pengaruh langsung berupa tingkat pengangguran yang tinggi (baik terbuka maupun tersembunyi), serta produktivitas kerja yang rendah, yang bermuara kembali kepada rendahnya penghasilan masyarakat. Disisi lain, tingginya angka pengangguran dan rendahnya pendapatan, bisa menimbulkan dampak-dampak lain (externalities) seperti munculnya perkampungan kumuh di perkotaan (slum), kriminalitas, dan sebagainya.

Dari sudut pandang yang berbeda, Kartasasmita (1996: 239-241) menganalisis penyebab terjadinya kemiskinan dengan terlebih dahulu membedakan antara kemiskinan struktural dengan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan sebagai akibat pembangunan yang belum seimbang dan hasilnya belum terbagi merata. Artinya, kemiskinan merupakan konsekuensi logis dari keadaan pemilikan sumber daya yang tidak merata, kemampuan masyarakat yang tidak seimbang, dan ketidaksamaan kesempatan dalam berusaha dan memperoleh pendapatan. Kondisi ini pada gilirannya mengakibatkan perolehan pendapatan tidak seimbang, dan akhirnya menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Adapun kemiskinan kultural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya.

Melihat faktor-faktor penyebab kemiskinan seperti tersebut diatas, Kartasasmita (1996: 241-243) mengajukan pemikiran tentang tiga arah kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan, sebagai berikut:

Pertama, kebijaksanaan tidak langsung yang diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya penanggulangan kemiskinan; kedua, kebijaksanaan langsung yang ditujukan kepada golongan masyarakat berpenghasilan rendah; dan ketiga, kebijaksanaan khusus yang dimaksudkan untuk mempersiapkan masyarakat miskin itu sendiri dan aparat yang bertanggung jawab langsung terhadap kelancaran program, dan sekaligus memacu dan memperluas upaya untuk menanggulangi kemiskinan.
Berbagai kebijaksanaan tersebut dituangkan kedalam berbagai program pembangunan sektoral, regional dan khusus, baik secara langsung maupun tidak langsung, dirancang untuk turut memecahkan tiga masalah utama pembangunan, yakni pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan, dan kemiskinan.
Salah satu program khusus yang diarahkan untuk mempercepat dan memperluas upaya penanggulangan kemiskinan adalah Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang secara formal tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 1993. Filosofi dasar dari penetapan kebijakan (publik) ini meliputi tiga dimensi yakni: 1) bahwa pembangunan bersumber dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat; 2) merupakan pemihakan yang nyata kepada penduduk paling miskin di desa tertinggal, serta 3) untuk memecahkan perangkap ketertinggalan dan meningkatkan peran serta dan produktivitas rakyat dalam kegiatan sosial ekonomi.

Sebagai upaya pengembangan sosial ekonomi rakyat, program IDT dilaksanakan sendiri oleh masyarakat atau kelompok masyarakat yang menjadi sasaran, dengan tujuan utama adalah: 1) agar bantuan yang diberikan berjalan efektif sesuai kehendak dan kebutuhan masyarakat; 2) meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan dan mempertangggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. Dengan kata lain, kunci keberhasilan program IDT untuk menaikkan taraf hidup penduduk miskin di pedesaan adalah diberikannya kepercayaan kepada mereka untuk mengelola sumber daya pembangunan. Dengan adanya kepercayaan ini, akan mengembangkan rasa percaya diri penduduk miskin bahwa mereka mampu melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi (Kartasasmita, 1996: 249, 258).

Dalam implementasi empirisnya, program IDT diawali dengan permbentukan kelompok masyarakat yang akan memperoleh bantuan, yang terdiri dari anggota masyarakat yang paling lemah dan paling tertinggal dalam ekonominya (the poorest of the poor).

Selanjutnya dalam setiap desa yang diidentifikasikan sebagai desa tertinggal, akan diberikan bantuan dana sebesar Rp 20 juta sebagai modal usaha pengembangan ekonomi rakyat. Dana ini akan disalurkan melalui bank yang ditunjuk di tingkat kecamatan dan dilakukan berdasarkan DIKK (Daftar Isian Kegiatan Kelompok). DIKK sendiri berasal dari DUK masing-masing kelompok masyarakat yang telah disetujui dalam forum diskusi UDKP dan telah diketahui oleh lurah/kepala desa.

Dana program IDT pada hakekatnya merupakan revolving grant (hibah bergulir) atau dana abadi. Artinya, dana tersebut merupakan pinjaman yang harus dikembalikan kepada kelompok, dan dapat dipinjam kembali oleh anggota yang bersangkutan atau kepada anggota dari kelompok lain yang belum memperoleh kesempatan menerima dana IDT. Berdasarkan musyawarah desa, dana Rp 20 juta dapat dibagi menurut kondisi dan kebutuhan tiap-tiap anggota kelompok..

Untuk lebih menjamin keberhasilan program IDT, maka dibentuklah lembaga pendamping, yang berperan membantu masyarakat meningkatkan kegiatan sosial ekonomi penduduk miskin. Dalam hal ini pendamping diutamakan yang berasal dari petugas penyuluh lapangan dan tenaga sukarela seperti Sarjana Pendamping Purna Waktu (SP2W), Tenaga Kerja Mandiri Profesional (TKMP), Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan (SP3), Petugas Sosial Kecamatan (PSK), dan Sarjana Pelaksana Konsultasi Manajemen Koperasi (SPKMK).  Khususnya di Jawa Barat, pelaksanaan program IDT dimulai dengan sosialisasi program, yakni suatu kegiatan-kegiatan berupa penyuluhan, temu wicara, pertemuan koordinatif, ceramah, orientasi program, dan kegiatan lainnya dalam rangka memperkenalkan dan atau memasyarakatkan program IDT. Setelah itu dilakukan proses menemukenali penduduk miskin melalui aktivitas pendataan penduduk miskin.
Dari hasil inventarisasi atau identifikasi mengenai desa/kelurahan tertinggal dan keluarga/penduduk miskin tadi, dilanjutkan dengan pembentukan Pokmas IDT (paling banyak 30 KK), yang didasarkan kepada pendekatan wilayah dimana penduduk miskin tersebut bertempat tinggal. Pembentukan Pokmas ini dibantu oleh pendamping IDT, tokoh masyarakat dan LKMD, yang pada saatnya memilih Ketua, Sekretaris dan Bendahara kelompok. Adapun mengenai pendampingan, telah dibentuk dan ditetapkan sebanyak 8.385 anggota dengan perincian sebagai berikut: unsur masyarakat setempat (5.102 orang), aparat pemerintah (2.622 orang), eks penerima Supersemar (23 orang), SP3 (55 orang), TKMP (105 orang), PSK (80 orang) dan SPKMK (398 orang).

Pentahapan diatas menurut penulis dapat dikatakan sebagai tahap persiapan, sedangkan pada tahap pelaksanaan masih terdapat tiga kegiatan pokok, yaitu penetapan jenis kegiatan usaha, pencairan dana bantuan langsung, serta perkembangan kegiatan usaha oleh Pokmas IDT.

Jenis kegiatan usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan anggota kelompok dengan berorientasi pada keahlian dan kemampuan masyarakat yang bersangkutan. Jenis kegiatan usaha yang dikelola pada umumnya menyangkut bidang-bidang pertanian, ternak domba atau itik, perdagangan/industri kecil, dan lain-lain. Sedangkan mengenai pencairan dana, baik pada tahun 1994/1995 (Rp 31.200.000.000 untuk 1560 desa) maupun tahun 1995/1996 (Rp 32.380.000.000 untuk 1619 desa), telah terealisasikan seluruhnya (100%).

Dari pelaksanaan program IDT di Jawa Barat yang telah dilaksanakan selama ini, masih didapati permasalahan sebagai berikut (Kantor PMD Propinsi Jabar, 1996: 7):
·       Pemahaman mengenai arti pinjaman dana IDT oleh anggota kelompok, pengembalian dana IDT ke kelompok, dan penggulirannya masih belum sama, baik pemahaman oleh aparat dan pendamping maupun masyarakat sendiri.
·       Cara pendataan penduduk miskin yang berhak menerima dan mengelola dana IDT secara ekonomis produktif masih banyak mengundang masalah/reaksi.
·       Masih belum dipahaminya apa yang dimaksud dengan keputusan/wewenang yang harus disepakati dalam musyawarah kelompok baik untuk menghadapi masalah yang timbul maupun dalam rangka mengembangkan usaha kemandirian anggota serta kemandirian kelompok masyarakat penerima IDT.
·       Pada umumnya masyarakat penerima IDT baik pengetahuan maupun keterampilan dalam mengelola kegiatan usahanya masih kurang.
·       Pembinaan terhadap para pendamping Pokmas dirasakan kurang, khususnya yang dilaksanakan oleh aparat di Daerah Tingkat II.
·       Penyebarluasan program peningkatan penanggulangan kemiskinan perlu disampaikan kepada pihak swasta agar kepedulian mereka terhadap orang miskin bisa lebih ditingkatkan.


Daftar Pustaka

Arifin, Bustanul, 1997, Proses Perumusan Kebijakan Publik, Diktat Kuliah “Analisis Kebijakan Publik”, Bandung: PPS Unpad - LAN
Budiman, Arief, 1996, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia
____________, 1996, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia
Chambers, Robert, 1983, Rural Develompment: Putting the Last First, New York: Longman
Collier, William L., (et.al.), 1996, Pendekatan Baru Dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa: Kajian Pedesaan Selama 25 Tahun, Jakarta: Yayasan Obor
Dunn, William N., 1995, Analisa Kebijakan Publik: Kerangka Analisa dan Prosedur Perumusan Masalah, terjemahan Muhadjir Darwin, Cet. Kelima, Yogyakarta: Hanindita.
Husken, Frans, (et.al.), 1997, Indonesia Dibawah Orde Baru, Jakarta: Grasindo
Islamy, Irfan, 1988, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bina Aksara
Jones, Charles O., 1996, Pengantar Kebijakan Publik, terjemahan Ricky Istamto, Cet. Ketiga, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kartasasmita, Ginandjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: CIDES.
Kartodirdjo, Sartono, 1986, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Tradisional: Suatu Alternatif, Jakarta: Gramedia.
Kumorotomo, Wahyudi, 1992, Etika Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Lembaga Penelitian UNPAD, Upaya Percepatan Penanggulangan Kemiskinan di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat: Daftar Komoditas Potensial pada Setiap Desa Tertinggal di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Bandung, Maret 1996
Peursen, van, 1988, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius.
Poerbopranoto, Koentjoro, 1987, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Bandung: Eresco
Prijono, Onny S. dan AMW. Pranarka, (ed.), 1996, Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Jakarta: CSIS
Rachbini, Didik J., 1994, Teori Tentang Birokrasi dan Peranan Negara Dalam Sistem Ekonomi, Diktat Kuliah “Ekonomi Politik”, Jakarta: FISIP UI
____________, (ed.), 1995, Negara dan Kemiskinan di Daerah, Jakarta: Sinar Harapan
Ruswita, Atang, (ed.), Pemberdayaan Masyarakat Jawa Barat, penerbit (?), tahun (?).
Sagir, Soeharsono, H.., 1992, Strategi Pembangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Pengembangan Pemikiran Tentang Trilogi Pembangunan), makalah pada Sarasehan Pokok-pokok Pikiran Golkar untuk GBHN 1993, Padang, 7 Februari 1992.
Siagian, Sondang P., 1988, Administrasi Pembangunan, Jakarta: CV Haji Masagung
Sunggono, Bambang, 1994, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta: Sinar Grafika.
Suparlan, Parsudi, (ed.), 1995, Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta: Obor.
Suriawikarta, Bay, 1997, Pengertian Policy dan Policy Analysis, Diktat Kuliah “Analisis Kebijakan Publik”, Bandung: PPS Unpad – LAN
Suseno, Frans Magnis, 1988, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Suwarsono dan Alvin Y. So, 1994, Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta: LP3ES, Cet. Kedua.
Wahab, Solichin Abdul, 1991, Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara
Wirasasmita, Yuyun, H., Ekonomi, Penganggaran, Investasi dan Keuangan Negara, Materi Kuliah Bandung: PPS Unpad, 1997



[1]     Dalam terminologi Ginandjar Kartasasmita, kemiskinan dipandang sebagai bagian dari masalah-masalah yang lebih besar, yaitu masalah ketimpangan antar sektor, antar wilayah dan antar golongan penduduk. Lihat Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan pemerataan, Jakarta: CIDES, 1996, hlm. 234.
[2]     Soeharsono Sagir menggambarkan tingkat kesenjangan ekonomi antara pengusaha kecil menengah dengan pengusaha besar ibarat pesawat Dakota dengan pesawat Chalenger. Pengusaha besar yang memiliki akses-akses ekonomi dalam bentuk modal, keahlian, keterampilan, monopoli, teknologi, lobby dan sebagainya, peningkatan kesejahteraan atau pendapatannya melesat sangat pesat seperti Chalenger. Sebaliknya, pengusaha kecil menengah yang “serba tuna” (tuna keahlian, keterampilan, modal teknologi, tuna lobby dan tuna monopoli), peningkatan kesejahteraannya tersendat-sendat seperti pesawat Dakota. Periksa, Soeharsono Sagir, Strategi Pembangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Pengembangan Pemikiran Tentang Trilogi Pembangunan), makalah pada Sarasehan Pokok-pokok Pikiran Golkar untuk GBHN 1993, Padang, 7 Februari 1992.
[3]     Yuyun Wirasasmita berpendapat bahwa paling sedikit terdapat delapan variabel yang bersinggungan dengan masalah kemiskinan, yakni pendapatan perkapita, tabungan, investasi, pendidikan, kesehatan, fertilitas, pertambahan penduduk dan pengangguran. Lihat, Wirasasmita, Materi Kuliah Ekonomi, Penganggaran, Investasi dan Keuangan Negara, Bandung: PPS Unpad, 1997
[4]     Dalam pengertian yang serupa, Eulau dan Prewitt mendefinisikan kebijakan sebagai a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide it (keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut). Lihat Charles O. Jones, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), Jakarta: Rajawali, Cet. Ketiga, 1996, hal. 47 
[5]     Secara teoretis banyak sekali buku-buku atau jurnal yang membahas mengenai fungsi atau tugas negara ini. Beberapa diantaranya adalah: Faisal Basri, Ekonomi Politik Kemiskinan, dalam Analisis No. 17 Th. 4 September – Oktober 1996, hlm. 40; Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia, 1996, hlm. 29; Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992, hlm. 62; dan sebagainya.
[6]     Selanjutnya ia juga menandaskan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi dalam suatu negara (salus populi suprema lex). Lihat, Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, Cet. Kedua, 1988, hlm. 305.
[7]     Mengenai perubahan pola pikir mitis – ontologis – fungsional, baca: van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1988. Pada pokoknya adalah bahwa pada tahap alam pikiran mitis, manusia masih terbenam ditengah-tengah dunia sekitarnya, kemudian pada tahap alam pikiran ontologis, manusia sudah mengambil jarak baik terhadap alam raya maupun terhadap dirinya sendiri. Dan pada tahap pemikiran fungsional, manusia mulai menyadari relasi-relasi, lalu mendekati tema-tema tradisional seperti alam, Tuhan, sesama dan identitas dirinya dengan cara yang baru. Bandingkan dengan konsep Sartono Kartodirdjo mengenai “kosmosentrisme” dan “antroposentrisme” dalam bukunya Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Tradisional: Suatu Alternatif, Jakarta: Gramedia, 1986.
[8]     Sebaliknya menurut Teori Struktural, kemiskinan lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal, yakni bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang menyebabkan negara atau masyarakat yang bersangkutan gagal melakukan pembangunannya. Lihat Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1995, hal. 18
[9]     Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai konsep pemberdayaan masyarakat di Jawa Barat, lihat Atang Ruswita (ed.), Pemberdayaan Masyarakat Jawa Barat, penerbit (?), tahun (?).

Tidak ada komentar: