Laman

Senin, 02 Agustus 2010

Catatan Kecil tentang Filsafat Ilmu


Pengertian Filsafat dan Filsafat Ilmu

Secara etimologis kata filsafat berasal dari bahasa Yunani ialah filosofis. Dalam bahasa Yunani kata ini merupakan kata majemuk yang terdiri dari dari filo dan sofia. Filo artinya "cinta-senang" dan sofia berarti "kebijaksanaan". Dengan demikian filosofia artinya "cinta terhadap kebijaksanaan". Secara harfiah filsafat bisa dijelaskan bahwa filsafat ialah usaha manusia yang selalu mencari kebijaksanaan tingkah laku, pikiran maupun perasaannya bagi kepentingan hidup manusia.

Secara definisi filsafat menurut Leighton (1973: 24) bisa diartikan sebagai cara memandang dunia atau pengkajian konsep dari jagat raya, pandangan hidup, doktrin dari nilai, pengertian dan tujuan hidup manusia. Jadi filsafat merupakan usaha manusia secara rasional yang bertujuan untuk mengkaji pikiran manusia sendiri yang bersifat menyeluruh dan radikal tentang sesuatu, tujuan hidup, konsep, nilai. Sedangkan Filsafat ilmu secara sederhana didefinisikan oleh Terry Page and Thomas (1979: 342) sebagai teori yang mempermasalahkan asal-usul, ruang lingkup dan batasan-batasan pengetahuan. Pada dasarnya filsafat ilmu didasarkan pada runtunan peng­ertian yang merupakan usaha manusia untuk mencari hakekat ilmu dalam asal-usul, ruang lingkup  dan  batas-batasnya,  tujuan, metode, sistematika, nilai, kegunaan dan masalah-masalah yang melingkupinya.

Selain itu filsafat ilmu bertugas untuk menguji eksistensi ilmu sehingga dipero­leh esensi yang utuh. Usaha ini diperlukan untuk mengatasi eksistensi manusia itu sendiri, mengingatkan ilmu akan fungsi normatifnya bila dihadapkan dengan kepentingan manusia. Hakekat ilmu perlu dipertanyakan keberadaannya secara terus menerus karena dari waktu ke waktu selalu terjadu tafsiran-tafsiran terhadap ilmu, sehingga filsafat ilmu berperan sebagai pemberi arah terhadap pencapaian tujuan ilmu bagi kepetingan manusia.

Di sisi lain pun filsafat ilmu bisa menjadi penghubung antara data-data yang ada dalam ilmu dengan data di luar ilmu. Filsafat ilmu ialah interaksi dengan data di luar ilmu, suatu interaksi  yang  tidak  hanya mempengaruhi ahli-ahli ilmu pengetahuan, sesuatu hal yang kiranya diterima oleh semua, struktur ilmu juga (Van Peursen, 1985:3).

Esensi Ilmu

Faktor yang mendorong manusia mengembangkan pengetahuannya tidak hanya untuk mengatasi kebutuhan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Manusia senantiasa memikirkan hal-hal baru, menjelajah cakrawala baru, untuk memperoleh hakikat hidup dan kehidupannya. Manusia mengembangkan kebudayaan dan memberikan makna pada kehidupannya dalam rangka memanusiakan diri dalam hidupnya. Hakikatnya manusia mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi

Dalam rangka mencapai tujuan hidup yang lebih tinggi itulah manusia mengembangkan pengetahuan. Manusia memiliki bahasa sebagai alat komunikasi informasi dan jalan pikiran manusia serta kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu, karena itulah manusia mampu mengembangkan pengetahuan lebih jauh lagi. Untuk kemudian pengetahuan tersebut disusun secara sistematis dengan menggunakan metode-metode tertentu dan dapat diuji kebenarannya yang disebut ilmu.

Sumber pengetahuan itu sendiri terdiri dari:
1.        Penalaran. Pengetahuan  yang bersumber pada pada rasio dan fakta. Hal ini telah melahirkan dua aliran yaitu rasionalisme yang percaya sumber pengetahuan dan kebenaran adalah rasio/akal manusia; dan aliran empirisme yang percaya bahwa sumber kebenaran adalah fakta pengalaman manusia.
2.        Instuisi yaitu pengetahuan yang didapat tanpa melalui penalaran, secara tiba-tiba menemukan jawaban pertanyaan, bersifat personal dan tidak dapat diramalkan.
3.        Wahyu, merupakan pengetahuan yang disampaikan Tuhan kepada manusia. Agama merupakan pengetahuan lewat Nabi-nabi yang diutus. Dasar penyusunannya adalah kepercayaan kepada Tuhan, Nabi dan kepada Wahyu.

Yang menjadi bidang pengkajian ilmu adalah pengetahuan yang bersumber dari penalaran  ilmiah. Karena pada dasarnya ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diamalkan. Berpikir memang bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian juga ilmu bukan satu-satunya produk dari proses berpikir. Ilmu merupakan produk dari proses berpi­kir  menurut  langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah (Suriasumantri, 1993: 273).

Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir dengan karakteristik mempercayai rasio, jalan pikirannya logis, didukung oleh fakta empiris, bersifat obyektif, dapat diuji kebenarannya, kritis dan terbuka terhadap koreksi. Agar kegiatan berpikir ilmiah ini menghasilkan pengetahuan maka penarikan kesimpulannya harus dengan logika tertentu yang  disempurnakan melalui observasi baik secara induksi maupun secara deduksi (Soekadijo, 1991: 133).

Dengan cara deduksi penalaran ditarik dari suatu teori tertentu atau dari kejadian yang bersifat umum kepada kejadian yang bersifat khusus. Sebaliknya secara induksi penalaran ditarik dari fakta-fakta atau kenyataan yang ada melalui observasi yang dikem­bangkan atau digeneralisasikan kepada hal-hal yang bersifat umum.

Kebenaran  suatu  ilmu  itu  sendiri banyak  kriterianya,  ada  tiga  teori  tentang kebenaran suatu ilmu yaitu:

1.        Teori Koherensi: Pernyataan dianggap benar apabila konsisten dengan pernyataan sebelumnya.
2.        Teori Korespondensi: Pernyataan dianggap benar bila materi pengetahuan yang dikandung pernyataan tersebut berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju.
3.        Teori Pragmatis: Kebenaran  diukur  dengan  kriteria apakah pernyataan itu  bersifat  fungsional  dalam kehidupan praktis.

Cara berpikir ilmiah menggunakan teori koherensi dan teori korespondensi, sedang untuk proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tertentu digunakan teori pragmatis.


Tinjauan Aksiologis Ilmu Bagi Manusia

Tujuan dan Fungsi Ilmu

Ilmu ditujukan untuk meningkatkan kemajuan peradaban manusia. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi, pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat, lebih mudah dan lebih baik. Tujuan utama mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan manusia untuk bisa memecahkan masalah hidup dan kehidupannya sehari-hari. Sedangkan fungsi ilmu adalah sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup itu berkaitan erat dengan hakekat kemanu­siaan itu sendiri, bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh ilmiah.

Dalam kaitannya dengan kebudayaan, ilmu merupakan bagaian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi saling tergantung dan saling mempengaruhi. Menurut Talcot Parsons, ilmu terpadu secara intim dalam keseluruhan sistem dan struktur sosial serta tradisi kebudayaan dan saling mendukung satu sama lainnya.

Dalam rangka pengembangan kebudayaan ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya perkembangan kebudayaan. Disamping itu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak. Kedua fungsi tersebut terpadu dan sulit dibedakan. Selain itu ilmu berfungsi pula untuk dapat digunakan dalam menawarkan berbagai kemudahan kepada manusia, sehingga dapat diibaratkan sebagai alat manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi.

Nilai Ilmu

Dalam sejarah perkembangan ilmu para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang didasarkan pada penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan ilmu yang bebas nilai. Hal tersebut memberikan keleluasaan kepada ilmu untuk mengembang­kan dirinya. Konsep ilmiah yang diterapkan kepada masalah praktis, menjelma dalam bentuk konkrit berupa teknologi.

Teknologi diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang beruapa perangkat keras maupun perangkat lunak. Dalam tahap ini ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang  terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi.

Dalam tahap manipulasi inilah timbul keterkaitan antara penggunaan ilmu dan moral. Masalah teknologi yang mengakibatkan dampak bagi hakekat  kemanusiaan yang menimbulkan dehumanisasi sebenarnya lebih merupakan masalah kebudayaan. Artinya teknologi tidak bertanggung jawab langsung terhadap adanya dampak-dampak negatif terhadap manusia selama masyarakat/manusia mampu memilih teknologi yang akan digu­nakan, jadi masyarakatlah yang harus menentukan sendiri strategi pengembangan teknolo­ginya agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dijunjungnya.

Ilmuwan sendiri dalam menghadapi keterkaitan antara moral dan penggunaan ilmu terpecah menjadi dua. Sebagian menghendaki ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai. Tugas ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang yang menggunakannya. Sebagian lagi berpendapat bahwa netralisasi ilmu terhadap nilai hanya terbatas kepada metafisik keilmuan, sedang dalam penggunaannya bahkan dalam memilih obyek penelitian kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas moral.

Dasar pemikiran Golongan kedua ini adalah sebagai berikut:
1.        Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya Perang Dunia yang mempergunakan teknologi keilmuan
2.        Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui  tentang  dampak-dampak yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgu­naan.
3.        Ilmu telah  berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki pada kasus revolusi genetika dan teknik rekayasa sosial (Soeriasumantri, 1993: 235).

Memang tujuan dari Ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan atau mengubah hakekat kemanusiaan. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran dan mempertahankannya. Tanpa landasan moral ilmuwan akan mudah tergelincir dalam melakukan prostitusi intelek­tual.

Secara aksiologis ilmu sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, baik ilmu murni maupun ilmu terapan, bahka sampai pada ilmu agama. Ilmu dapat digunakan manusia untuk tujuan-tujuan baik, yakni membantu manusia dalam kelangsungan hidup­nya. Disisi lain ilmupun sebenarnya bisa digunakan manusia untuk menghancurkan atau memusnahkan manusia.

1.        Ilmu untuk Mencari Kebenaran
Ilmu bisa dimanfaatkan untuk mencari kebenaran yang  sifatnya  relatif,  yaitu kebenaran yang selalu dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Yaitu bahwa suatu saat ilmu itu benar, namun pada saat lain ilmu tidak benar lagi yang kemudian diganti dengan ilmu lain. Thomas  S. Kuhn dalam buku "Peran Paradigma dalam Revolusi Sains" yang pada intinya bahwa ilmu itu pada waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma ter­tentu, yaitu suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoa­lan  dari  suatu cabang ilmu. Kuhn beranggapan bahwa perkembangan ilmu bukanlah terjadi secara kumulatif, tetapi terjadi secara revolusi.
Seperti telah diuraikan  di  atas sumber ilmu dalam mencari kebenaran tidak hanya berdasar pada instuisi juga padda rasio dan empiris manusia yang sifatnya relatif. Sedangkan ilmu yang bersumber pada wahyu Tuhan bersifat absolut. Kebenaran yang didasarkan pada rasio dan empiris diperoleh dari kenyataan-kenyataan yang ada, kejadian-kejadian yang dikumpulkan melalui metode-metode tertentu dan hasilnya dapat diuji kembali sehingga bersifat obyektif. Dengan demikian kebenaran relatif dapat diperoleh, baik dengan cara deduktif maupun induktif, baik bersumber pada rasio maupun empiris bahkan bersumber pada intuisi.

2.        Ilmu Untuk Mengembangkan Ilmu
Ilmu pun bermanfaat untuk menjaga eksistensi suatu ilmu, dengan mengantisipasi perubahan-perubahan  yang terjadi yang mengakibatkan suatu ilmu menjadi usang dan tidak berlaku lagi. Menghadapi perubahan-perubahan dan perkembangan dunia maka kewajiban ilmuwan untuk segera menciptakan atau mengembangkan ilmu baru yang berdasar ilmu yang telah usang tersebut. Hal tersebut diperlukan untuk mengan­tisipasi munculnya masalah-masalah baru yang dihadapi manusia. Karena pada intinya ilmu digunakan untuk membantu manusia dalam memecahkan permasalahan-permasalahan dalam hidup dan kehidupannya. Ilmuwan sejati tidak pernah berhenti  dalam penyempurnaan ilmu-ilmu  yang sudah usang, yang tidak berlaku dan tidak cocok dengan keadaan sekarang. Khusus­nya ilmu terapan harus senantiasa melakukan proses pencarian, tidak pernah bosan dalam melakukan revisi. Contoh sekarang adalah teknologi bidang elektronika dan komputer yang terus menerus menciptakan produk-produk baru yang disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan manusia.
Disisi lain pengembangan ilmu yang dilakukan oleh seorang ilmuwan mendapat kritikan dari ilmuwan yang lain, hal ini bukanlah merupakan suatu halangan atau hambatan justru merupakan tantangan bagi percepatan perkembangan ilmu itu sendiri. Yang berarti selalu ada koreksi menuju kesempurnaan yang diharapkan. Apalagi menurut paham falsificationisme dalam ilmu selalu ada ketidakcocokan dengan realita yang ada. Hegel dengan teori "Dialektika" mengemukakan adanya tesis (ilmu yang telah ada), yang kemudian dihadapkan pada Antitesis (kritikan terhadap ilmu yang ada) yang memunculkan adanya Sintesis (ilmu baru sebagai hasil penyempurnaan ilmu lama). Untuk kemudian ilmu baru tersebut menjadi tesis yang baru demikian seterus­nya suatu proses penciptaan ilmu baru. Karena itu ilmu yang ada merupakan landasan untuk mengembangkan ilmu berikutnya, begitu seterusnya. Dalam suatu ilmu semakin banyak ketidakcocokannya menurut faham falsification itu semakin baik dan secara praktis semakin bermanfaat bagi umat manusia dalam pencapaian tujuan, maka ilmu tersebut semakin baik.

3.        Ilmu untuk Membantu Manusia dalam Mencapai Tujuan.
Yang menjadi tujuan akhir dari pada pengembangan ilmu adalah ia bisa mem­bantu manusia dalam mencapai tujuan. Tujuan penggunaan ilmu itu sendiri sifatnya bisa berguna dalam membangun kehidupan manusia (konstruktif) tapi bisa juga bersi­fat merusak atau menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri atau destruktif. Lebih jelas lagi tujuan itu bisa bersifat positif juga bisa bersifat negatif.

a.      Ilmu Untuk Tujuan Positif
Dalam hal ini ilmu diterapkan untuk memberikan keuntungan-keun­tungan, kepuasan kepada umat manusia. Biasanya ilmu yang diterapkan ini berupa teknologi yang mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, baik teknologi yang sederhana maupun teknologi mutakhir. Misalnya teknologi transportasi mulai dari sepeda sederhana sampai pada pesawat luar angkasa. Dari segi ilmu terapan berkat tenggang teoritis, ilmu dapat meresap masuk dunia seharian secara praktis dan teknis dalam kehidupan manusia. Teknologi sebagai hasil dari suatu kebudayaan yang dimiliki  suatu bangsa bisa merupakan cerminan dari peradaban bangsa itu. Semakin maju penguasaan teknologi suatu bangsa, maka semakin tinggi peradaban bangsa terse­but. Misalnya Jepang negara yang mampu menjadi kebudayaan dan tradisi sebagai bagian utuh dalam masyarakatnya, disatu sisi mampu mengembangkan berbagai macam terobosan teknologi. Memang tidak semua bangsa bisa seperti Jepang, bisa menciptakan teknologinya sendiri, tapi dengan cara mentransformasikan teknologi yang telah ada dari suatu bangsa kepada bangsa lain. Apalagi dalam era globalisasi dewasa ini trasnformasi  ilmu dan teknologi bukan lagi hal yang sulit. Kemajuan bidang transportasi, teknologi komunikasi dan informasi telah memudahkan suatu bangsa untuk melakukan alih teknologi dari bangsa lain.

b.      Ilmu Untuk Tujuan Negatif
Banyak contoh dewasa ini betapa ilmu tidak hanya dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan positif, yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hakikat hidup dan kehidupannya. Dengan kata lain ilmu pun bisa dipakai untuk tujuan-tujuan negatif. Ilmu yang telah diciptakan dan dikembangkan tersebut pada akhirnya dipakai hanya untuk menghancurkan kehidupan umat manusia itu sendiri. Baik secara cepat atau lambat, langsung maupun tidak langsung ilmu digunakan dengan dampak yang merusak manusia.
Dalam konteks tujuan yang negatif ini ilmu sengaja diciptakan manusia sebagai mesin perusak, penghancur dalam perang, perusak moral umat manusia, perusak lingkungan alam. Yang pada akhirnya menimbulkan terjadinya dehumanisasi manusia, sehingga menimbulkan perdebatan di antara berbagai kalangan dalam hal penggunaan ilmu ini. Seperti telah diuraikan sebelumnya, adanya keterkaitan antara ilmu dan moral sebenarnya merupakan masalah budaya. Dampak yang ditimbulkan oleh suatu teknologi sangat tergantung dari para pemakai teknologi itu sendiri, dalam arti manusianyalah yang harus mampu mengendalikan teknologi itu sendiri. Bukan sebaliknya teknologi sangat mengua­sai kehidupan manusia. Sebab ilmu maupun teknologi hanyalah alat bagi manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.
Ilmu menjadi negatif sebenarnya bila ilmu tersebut dipegang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, orang yang lebih menyalahgunakan ilmu untuk kepentingannya sendiri, mencapai kepuasan dan ambisi pribadi. Manusia yang demikian itu sudah tidak mengindahkan norma-norma dan nilai etika. Tapi bisa juga ilmu menjadi efek bumerang bagi manusia bila manusia itu sendiri tidak tahu cara penggunaan teknologi sehingga bisa membahayakan orang lain dan dirinya sendiri.

Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan Sebagai Implikasi Etis

Adanya penggunaan ilmu untuk tujuan-tujuan negatif itu berimplikasi pada adanya tanggung jawab moral dan sosial dari suatu ilmu, baik yang harus ada pada ilmu­wan sebagai pencipta ilmu maupun pada masyarakat sebagai pemakai ilmu. Tanggung jawab sosial muncul dituntut dari seorang ilmuwan karena ilmu itu umumnya merupakan hasil perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Penciptaan ilmu itu sendiri sifatnya individual tapi komunikasi dan penggunaan ilmu itulah yang bersifat sosial.

Karena itu proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis. Di bidang etika, tanggung jawab moral dan sosial bagi seorang ilmuwan, bukan lagi memberikan informasi namun memberi contoh. Ilmuwan harus tampil kedepan dengan caranya yang obyektif, terbuka, rasional dan logis, sanggup menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar dan bila perlu berani mengakui kesalahan. Semua sifat tersebut merupakan implikasi etis dari semua proses penemuan kebenaran secara ilmiah. Dan kenyataanya sekarang banyak aspek etika yang entah sengaja atau tidak sengaja terlupakan oleh kaum pendidik maupun kalangan ilmuwan sendiri. Timbul ke­cenderungan untuk mencerdaskan generasi penerus tanpa dilengkapi dengan nilai-nilai moral yang luhur. Dan hal inilah yang bisa menimbulkan penyalahgunaan suatu ilmu.


Tinjauan Aksiologi Ilmu Dalam Filsafat Jawa

Ngelmu Iku,
Kalakone kanthi Laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyatosani
setya budaya pangekese dur angkara

(Ilmu adalah,
dijalankan dengan perbuatan
dimulai dengan kemauan
kemauan adalah penguat
budi setia penghancur kemurkaan)

Syair diatas adalah cuplikan dari Serat Wedhatama pupuh 33 karangan KGPAA Mangkunagara IV yang digubah dalam tembang Pocung yang sangat akrab di telinga masyara­kat Jawa. Arti kata Wedha adalah pengetahuan atau ajaran; sedang tama berarti utama, baik, luhur, atau tinggi nilainya.

Dari pengertian tersebut dapatlah dikatakan bahwa tembang tersebut berisi ajaran-ajaran "high-class", termasuk permasalahan tentang Ilmu, apa ilmu itu, bagaimana cara kita memperoleh ilmu, apa manfaat ilmu, dan hal-hal apa saja yang harus kita perhatikan sehubun­gan dengan ilmu yang kita miliki. Pendeknya, dalam tembang itu terkandung nilai-nilai tentang Filsafat Ilmu yang bersumber dari adat dan budaya asli bangsa Indonesia.

Pada prinsipnya metode-metode, pengertian-pengertian dan permasalahan filsafat ilmu dalam perspektif budaya Jawa sama dengan yang kita dapatkan dari buku-buku karangan Sarjana Barat. Akan tetapi paling tidak ada dua manfaat yang bisa diperoleh dari penelusuran aspek-aspek nativistik yang berhubungan dengan filsafat ilmu. Pertama adalah mengembalikan kesadaran kita bahwa sesungguhya secara ilmiah kita memiliki kekayaan terpendam yang belumdikembangkan secara maksimal. Dan kedua adalah adanya penekanan segi-segi religius, moralitas, dan humanisme dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Para penafsir mengemukakan bahwa tembang tersebut mengidamkan tercapainya manusia yang utama, baik lahir maupun batin. Manusia utama ialah orang yang suka menghen­ingkan cipta, menyucikan jiwa, mawas diri dan dapat berpikir logis, serta bersikap satria dalam tingkah  lakunya, berbuat baik, pandai bergaul, dapat memikat hati sesama, dan dapat menye­nangkan orang lain. Itulah manusia utama yang sekaligus sebagai santri yang baik.

Apa sebenarnya yang menarik dari isi tembang diatas? Banyak sekali sebenarnya kawruh yang bisa diungkapkan, ditelaah dan dihayati secara lebih mendalam, baik tentang ilmu dan  keilmuan  itu  sendiri maupun tentang kebijaksanaan pada umumnya. Akan tetapi untuk membatasi scope yang berkaitan dengan makalah ini, maka disini hanya akan diuraikan sebagian kecil dari samudera kawruh tersebut.

Secara eksplisit dikatakan bahwa suatu ilmu akan kelakon/tercapai jika didahului oleh laku. Yang menjadi pertanyaan adalah apa pengertian laku itu, dan bagaimana cara orang menjalani laku?

Harus diakui bahwa Ilmu yang berkembang pada masyarakat Jawa Lama sangat berbeda dengan kondisi pada jaman modern sekarang ini. Pada masa lampau, pewarisan ngelmu hanya mungkin dilaksanakan di pesantren-pesantren, padepokan-padepokan, perguruan-perguruan, dan terutama di lingkungan Keraton. Dan substansi pengajaran yang diberikan oleh para Kyai, Empu, Pandita maupun para Pujangga sebagian besar berkenaan dengan kebatinan, kejiwaan, serta kawicaksanan (kebijaksanaan) dan kawaskithan (kewaspadaan). Ini sangat kontras sekali  dengan kenyataan sekarang yang lebih mengutamakan ilmu-ilmu murni dan terapan (pure and applied science) bahkan cenderung mengabaikan ilmu-ilmu agama dan moral.

Untuk mencapai tingkat kebatinan tertentu dan taraf kejiwaan tertentu, para siswa, santri, atau cantrik harus menempuh teknik dan metode tertentu yang disebut laku. Dalam kepustakaan historiografi tradisional disebutkan bahwa siswa, santri dan cantrik tersebut melakukan askese, sehingga  proses pencapaian tujuan dengan melakukan askese itu disebut asketisme. Arti harfiah askese adalah latihan berat, tetapi secara terminologis askese berarti lati­han-latihan laku tapa untuk meninggalkan pelbagai kecenderungan nafsu dan kesenangan jasmaniah. Aliran Stoisisme yang didirikan Zeno dari Kition pada sekitar tahun 315 SM adalah salah  satu  aliran  yang mempraktekkan cara askese dalam penyebaran ajarannya, terutama ajaran mengenai etika.

Aliran ini berpendapat bahwa tugas utama manusia adalah berusaha homologoumenos zen, artinya selaras dengan logos yang berupa pengatur bahkan penentu nasib dan takdir manusia. Oleh karenanya manusia seharusnya tunduk dan takluk kepada takdir, manusia hendaknya jangan diganggu dan dibingungkan oleh beraneka ragam peristiwa yang menimpa­nya, jangan terlalu gembira dan jangan terlalu sedih. Hendaknya manusia hidup dalam apatheia (tanpa nafsu atau perasaan yang mendorongnya secara buta agar keinginan-keinginannya dibiarkan  masuk),  meniadakan perasaan, dan hidup tak acuh terhadap segala pengaruh dari luar. Dengan kata lain, hiduplah sesuai dengan logos dan bukan dengan pathos. Itulah tempat manu­sia didalam kosmos, satu-satunya alasan kepuasan dan kegembiraan yang sejati.

Kembali kepada asketisme Jawa, metode-metode dan teknik pencapaian ilmu biasanya dilakukan dengan laku tirakat seperti tapa (bersamadi atau kontemplasi), pasa (puasa), atau bentuk-bentuk nglakoni yang lain seperti meng-hindarkan diri dari suatu perbutan atau benda-benda tertentu (pantangan), keharusan melakukan suatu perbuatan dengan syarat-syarat terten­tu,  dan  sebagainya.  Dalam  banyak Kitab/Serat, berbagai laku tadi disimpulkan dengan kalimat angirangi dhahar lan nendra (mengurangi makan dan tidur).

Tentu saja, ilmu yang dihasilkan dari askese semacam itu bukanlah ilmu-ilmu yang bisa memberikan manfaat secara nyata dalam kehidupan sehari-hari umat manusia seperti ilmu ekonomi, pertanian ataupun teknik; melainkan ilmu-ilmu yang mengolah penajaman perasaan (angulah lantiping ati), sehingga mendatangkan kepuasan batin dan ketenangan jiwa. Sebagian orang menyebutnya sebagai ngelmu kabagjan/ karahayon (ilmu yang ditujukan untuk  mewujudkan  kebahagiaan dan keselamatan). Mengapa demikian? Sebab, apalah artinya ilmu yang bertumpuk jika akan mengakibatkan manusia menjadi asing terhadap lingkungannya, individualis, mendatangkan bencana bagi sesama, serta lupa akan prinsip aja dumeh dan pepatah sang­kan paraning dumadi?

Disinilah arti pentingnya unsur-unsur religi, moral dan nilai-nilai humanisme dalam pengembangan dan penerapan sebuah ilmu. Dalam tembang diatas ketiga unsur tersebut di­rangkum  dalam istilah setya budaya. Ilmu yang tidak diimbangi sifat-sifat setya budaya, maka hukum rimba akan tumbuh subur bagaikan cendawan dimusim hujan. Teori the struggle of the fittest yang memberi legitimasi kepada si kuat untuk berkuasa dan menindas si lemah, akan berkembang sangat leluasa. Lalu, peringatan Vilfredo Pareto tentang golongan kuat sebagai the lion  dan  the fox adalah golongan yang mencari kesempatan untuk berkuasa, akan menjelma menjadi kenyataan.

Ilmu harus mampu menjadikan seseorang sebagai satria (baca: ilmuwan) yang sanggup membela kebenaran dan meluruskan ketidakadilan. Satria yang berwatak setya budaya harus berani menghancurkan keangkaramurkaan, bahkan kalau perlu rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan prinsip yang mereka anggap benar. Sejarah kemanusiaan dan sejarah intelektual khususnya pernah secara tragis menyaksikan Socrates yang dipaksa minum racun serta  John Huss yang dibakar karena berpegang pada keyakinannya. Namun usaha-usaha untuk mencari kebenaran yang berlandaskan moral tidak akan pernah berhenti hanya karena ancaman dari pihak-pihak yang menentang kebenaran itu sendiri. Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha telah memprediksikan akan timbulnya jaman edan yang penuh kemunafikan, keserakahan dan keangkaramurkaan. Jaman edan memudahkan manusia tergelincir dalam godaan surga dunia berupa harta, tahta dan wanita. Akan tetapi yang akan merasakan surga yang hakiki adalah mereka yang beriman, yang eling lan waspada.

Diatas telah disebutkan bahwa sistem pengajaran Jawa Lama lebih menitikberatkan pada ilmu yang berkenaan dengan kepuasan batin dan ketenangan jiwa. Hal ini tidak lantas berarti bahwa tokoh-tokoh intelektual Jawa masa itu tidak menghasilkan ilmu-ilmu lainnya. Paling tidak, kita mencatat ada empat ilmu yang sangat berkembang bahkan berada pada puncak kejayaannya. Ilmu-ilmu itu adalah kesusastraan, kesenian, agama, dan ilmu peramalan.

Dalam hal ramal-meramal dapat kita tunjuk Prabu Jayabaya dengan Jangka Jayabaya-nya,  Yasadipura dan Ranggawarsita. Dua nama terakhir juga sangat berprestasi dalam bidang kesusastraan, disamping empu-empu yang telah mendahului mereka seperti Empu Panuluh, Empu Kanwa, dan sebagainya. Dalam bidang kesenian kita lihat prestasi dan kreativitas para Sultan di Yogyakarta dan Sunan di Surakarta dalam menciptakan berbagai tarian, langgam, maupun  tembang. Para penguasa keraton bersama para Wali dan Raja-raja sebelumnya seperti Raden Patah, Sultan Tranggono, Sultan Hadiwijoyo, dan sebagainya adalah juga para pendekar agama yang tangguh dan tidak diragukan ke-khalifatullah-annya.

Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa menurut paham budaya Jawa pencapaian, pengembangan dan penerapan suatu Ilmu haruslah memenuhi syarat-syarat dan nilai-nilai sebagai berikut:

1.        Melewati tahap-tahap, teknik-teknik dan metode tertentu (laku).
2.        Ilmu harus menjadikan manusia lebih manusiawi, dan bukan sebaliknya menjadikan manusia takabur, memuja ilmu bagaikan agama, dan lupa kepada Pencipta-nya yang justru merupakan sumber segala sumber ilmu.
3.        Ilmu tidak dapat dipisahkan dengan norma-norma keagamaan.


Penutup

Filsafat keilmuan pada dasarnya bersifat universal. Maka, meskipun  ada  segi-segi yang spesifik tentang filosofi keilmuan berhubung dengan perbedaan lokal dan  kultural,  nilai-nilai, manfaat atau tujuan dan pengertian-pengertian keilmuan mestinya juga bersifat universal. Akan  tetapi semuanya akan kembali kepada faktor manusianya, apakah akan bertindak secara positif ataukah negatif?

Satu hal yang perlu kita renungkan adalah, jika ternyata kita memiliki harta karun berupa filsafat keilmuan yang masih terpendam, maka sebelum kita menengok milik orang lain, mengapa tidak kita coba untuk membongkar dan mengembangkan milik kita sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar