Laman

Senin, 02 Agustus 2010

Konsep Ekososialisme dan Ekopolitik: Sebuah Distorsi Ekologis?


Pengantar


Kehidupan manusia dan kehidupan alam semesta dapat diibaratkan sebagai dua sisi dari satu keping mata uang. Atau dengan kata lain, fokus pembangunan yang dilaksanakan harus selalu memperhatikan kepentingan pada dua dimensi, yaitu mencapai peningkatan kesejahteraan dalam kehidupan manusia, sekaligus menjamin keberlangsungan dan kelestarian kehidupan alam semesta. Sehubungan dengan hal tersebut, pemanfaatan salah satu dimensi untuk keperluan dimensi lain, jelas tidak dapat dimaklumi, serta merupakan distorsi bagi kehidupan manusia dan kehidupan alam semesta itu sendiri.

Sebagaimana diketahui, saat ini telah terjadi superordinasi manusia terhadap alam semesta. Artinya, alam semata-mata dianggap sebagai asset potensial yang harus dipergunakan seoptimal mungkin bagi kemajuan peradaban manusia. Dengan kata lain, alam mengalami proses exploitation de ’lhomme par lhomme baik secara ekonomis, sosial, maupun politik.

Secara ekonomis dapat dilihat sangat jelas bahwa pengurasan sumber-sumber kekayaan alam untuk kepentingan devisa dan perdagangan telah menjadikan alam kehilangan daya dukungnya (carrying capacity). Padahal sesungguhnya, hasil ekonomis yang dicapai ini tidaklah sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar kerugian sosial (social cost) maupun biaya perbaikan (recovery cost) yang diderita alam.

Aspek ekonomis dalam konteks pembangunan lingkungan seperti tersebut diatas, telah banyak dikaji dan diungkapkan oleh para peneliti,  penulis maupun pemerhati lingkungan. Namun aspek sosial dan politik, agaknya masih jarang diekspose secara luas. Untuk itu, penulis tertarik membahas permasalahan sosial dan politik dalam kaitannya dengan masalah lingkungan hidup, karena ternyata hal inipun dapat menimbulkan distorsi ekologis atau menurunkan mutu dan daya dukung lingkungan.


Konsep Ekososialisme dan Ekopolitik


Munculnya pemahaman Sosial Ekologi atau Ekososialisme didasari oleh keyakinan bahwa segala permasalahan lingkungan hidup berakar pada masalah sosial, baik yang bersifat institusional, ideologis, psikologis dan budaya (Bookchin, dalam Sidharta, 1997: 60).

Dengan kata lain, munculnya masalah lingkungan selalu diakibatkan oleh sifat manusia yang ingin menguasai alam semesta. Namun sesungguhnya, sifat tersebut bersumber pada kehendak untuk menguasai manusia lainnya dan struktur alam. Untuk mengantisipasi dan mencegah hasrat penguasaan terhadap alam ini dapat ditempuh melalui penciptaan suatu masyarakat tanpa kelas dan tanpa hierarki, yang mengunggulkan aturan-aturan dan kepatuhan-kepatuhan, baik dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat.

Ekososialisme memandang evolusi manusia belum selesai karena manusia memiliki dua alam, yaitu “alam sejarah evolusi biologi” dan “alam sosial manusia”.

Adapun konsep Ekopolitik dipergunakan Pirages (dalam Sidharta, 1997: 61) untuk merujuk pada kebangkitan kesadaran manusia terhadap isu lingkungan serta kaitannya dengan etika dan ekonomi. Pada perkembangan-nya, istilah ini kemudian lebih erat dengan persoalan politik praktis lingkungan, terutama dengan terbentuknya beberapa partai politik yang “mengatasnamakan” lingkungan, seperti Partai Hijau (Green Party).


Dari Kosmosentris ke Antroposentris


Diatas telah disinggung bahwa masalah lingkungan selalu diakibatkan oleh sifat manusia yang ingin menguasai, mengalahkan dan mengeksploitasi alam semesta. Padahal jika dirunut dari sejarah alam pikir kosmologis, keinginan manusia tersebut sesungguhnya belum lama berkembang. Artinya, pada tahap sebelumnya manusia justru menganggap alam sebagai sesuatu yang sakral dan dipuja-puja serta ditempatkan diatas eksistensi kemanusiaan. Inilah yang sering disebut dengan pola pikir Kosmosentris, dimana alam merupakan pusat dari kehidupan manusia.

Pandangan kosmosentris ini selalu menganggap proses sejarah sebagai proses alam yang siklis dan berulang meliputi waktu yang abadi, tidak ada akhir dan tujuannya (jadi merupakan ewige wiederkehr). Tidak ada hal yang baru, yang ada hanya kejadian purba yang berulang. Dalam suasana pikiran kosmosentris ini tidak ada arti bagi setiap tindakan atau perbuatan manusia, yang hanya menjalankan sesuatu yang senantiasa terjadi dalam peredaran kejadian. Oleh karena itu, tidak dikenal historisitas manusia, dan kejadian kemanusiaan direduksikan menjadi kejadian alam. Disamping itu, antara manusia dan dunia sekitarnya disatukan dan tidak ada pemisahan sama sekali (Kartodirdjo, 1986).

Dilain pihak ada pandangan yang membedakan manusia dan alam semesta. Manusia disadari dan dipandang sebagai pusat kejadian. Kesadaran ini tidak akan pernah berkembang selama manusia dan kosmos dipandang sebagai satu totalitas, yang dengan demikian manusia adalah identik dengan alam. Sebab, dalam pandangan kosmosentris manusia hanya diberi sifat pasif sehingga dalam melakukan partisipasi dengan proses kosmis, manusia tidak membuat sejarah. Namun akhirnya manusia meninggalkan pandangan ini dan cenderung menguasai alam. Ia tidak menyerah kepada fatum (nasib) saja, tetapi ingin menghadapi alam dengan kekuataannya. Disini manusia berperan aktif. Suatu kejadian dianggap bukan lagi akibat tindakan supranatural, melainkan akibat perbuatan manusia sendiri. Kejadian siklis berubah menjadi kronologis, dan alam pikiran siklisme berubah menjadi historisme. Inilah inti dari perubahan pola pikir kosmosentris kearah antroposentris.


Beberapa Praktek Ekososialisme dan Ekopolitik


Contoh-contoh mengenai keterlibatan politik dan politikus dalam masalah lingkungan dapat ditunjukkan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di Amerika Serikat, sebuah perusahaan rokok terkemuka Philip Morris Inc. (PMI), pernah menjadi sponsor utama rapat Partai Republik pada 1992. Perusahaan ini kemudian merekrut Craig Fuller – pemimpin rapat waktu itu – menjadi eksekutif puncak PMI. Selain itu, PMI menyediakan dana sebesar US $ 17 juta untuk dihibahkan kepada warga kulit hitam dan hispanik. Semua ini ditujukan agar para politikus (dan juga masyarakat) yang telah mendapat dana PMI mendukung rencana perubahan UU Anti Tembakau yang sangat ketat, sehingga beberapa perusahaan rokok harus membatasi produksi (Hawken, dalam Sidharta, 1997: 61).

Sementara itu untuk kasus dalam negeri dapat ditunjuk secara umum mengenai suatu proyek pembangunan yang menggunakan sarana lingkungan dengan alasan kepentingan umum. Dalam kaitan ini, pengertian “kepentingan umum” menurut lampiran Inpres RI No. 9 tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya pada pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut: kepentingan bangsa dan negara, dan/atau kepentingan masyarakat luas, dan/atau kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan pembangunan”.

Selanjutnya dalam pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa: Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum.

Dari rumusan diatas belum terlihat definisi dan kriteria kepentingan umum, sehingga  masih memungkinkan terjadinya penafsiran yang amat luas. Tanpa itikad baik, kebijaksanaan dan keadilan dalam menafsirkan kalimat tersebut, “kepentingan umum” justru akan menghambat kepentingan pembangunan dan sekaligus melanggar hak asasi rakyat.  Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami peningkatan dalam 30 tahun terakhir – khususnya yang menyangkut hak hidup, hak beragama, dan hak milik – namun hak untuk berserikat, mengeluarkan pendapat atau menyalurkan aspirasi, masih banyak pihak-pihak yang memprtanyakan.

Kasus tewasnya beberapa warga di Nipah, Madura, menunjukkan bahwa suara arus bawah masih belum begitu terpedulikan. Kedudukan rakyat masih ibarat pelanduk ditengah-tengah sekawanan gajah, sehingga dalam segala gerak-geriknya, si pelanduk harus ekstra hati-hati agar tidak terinjak oleh Sang Gajah. Dalam kasus pembangunan waduk di Nipah ini, banyak pihak akan kesulitan menjawab pertanyaan, manakah yang termasuk kepentingan umum, pembangunan waduk itu sendiri ataukah rakyat yang tergusur tanahnya? Kalau disepakati bahwa pembangunan waduk itu adalah untuk kepentingan umum, mengapa harus dibeli dengan empat nyawa masyarakat yang sekedar ingin memperjuangkan nasibnya? Adakah dipertimbangkan aspek keadilan, itikad baik dan kebijaksanaan dalam kasus tersebut?

Yang pasti, hampir tidak ada seorangpun yang menyangkal teori bahwa pembangunan haruslah menghasilkan maanfaat yang betul-betul dinikamati rakyat. Jadi, jika ada suatu proyek pembangunan yang ditolak oleh rakyat, mana yang harus dikaji kembali, sifat dan implikasi pembangunan ataukah sikap rakyat? Mungkin kedua-duanya harus dipertimbangkan, namun berdasarkan asas salus populi suprema lex (keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi) dan prinsip Kedaulatan Rakyat yang dianut oleh Negara Indonesia, mestinya kepentingan rakyat diletakkan diatas segalanya.

Kasus-kasus diatas menunjukkan bahwa kepentingan lingkungan atau ekologis, benar-benar tidak memiliki bargaining power terhadap kepentingan politik manusia.


Penutup


Alam pada hakikatnya diam, sementara manusia pada hakikatnya selalu bergerak. Oleh karena itu, wajarlah jika manusia seolah-olah mampu menguasai dan mengalahkan alam. Padahal sesungguhnya, alampun memiliki hukum atau norma (sunatullah) yang tidak mungkin dilanggar oleh manusia. Dengan kata lain, alam sesungguhnya juga memiliki gerakan, bahkan memiliki mekanisme peringatan dini (early warning system) bagi setiap aktivitas kemanusiaan. Terjadinya banjir berkepanjangan, menipisnya lapisan ozon, mencairnya es di kutub utara dan selatan, kebakaran hutan yang dramatis, sampai terjadinya pengungsi lingkungan, menunjukkan bahwa alam sudah mulai tidak kuat menanggung beban kegiatan politik dan sosial manusia. Jadi dapat disimpulkan bahwa aspek politis (ekopolitik) maupun sosial (ekososialisme) akan sangat berpengaruh negatif terhadap alam atau menimbulkan distorsi, jika pembangunan kedua aspek tersebut tidak memperhatikan kelestarian dan keberlangsungan lingkungan.


Daftar Pustaka

Sidharta, B. Rahardjo, Wacana Sosial Budaya Persoalan Lingkungan Hidup, Prisma Nomor 6 Juni-Juli 1997.
Kartodirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Tradisional: Suatu Alternatif, Jakarta: Gramedia, 1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar