Laman

Senin, 02 Agustus 2010

Visi Kepemimpinan Sunda Ideal Dalam Memperkuat Good Government


Pengantar

Sebagaimana kita saksikan bersama, dinamika lingkungan sektor publik dewasa ini sangat bergejolak (turbulence) dan tidak menentu (unpredictable). Disatu pihak, kondisi tersebut perlu disyukuri sebagai wujud konkrit meningkatnya kesadaran hukum dan politik dari masyarakat untuk berpartisipasi secara langsung dalam penyelenggaraan kehidupan berpemerintahan di daerah. Namun pada pihak lain, kita harus menghadapi wind of change tadi dengan kesiapan yang matang, baik secara struktur kesisteman, manajemen pemerintahan, maupun aspek sumber daya manusianya. Tanpa persiapan yang baik dan matang, dapat dipastikan bahwa tugas dan fungsi pemerintahan daerah tidak akan berjalan dengan optimal. Dan apabila fungsi pemerintahan daerah mengalami kemandegan, maka kesejahteraan dan pelayanan masyarakat jelas tidak dapat ditingkatkan secara signifikan.

Dalam konteks perubahan dan semangat untuk melakukan reformasi secara total tersebut, salah satu kebijakan yang perlu dicermati adalah perubahan UU Nomor 5 tahun 1974 menjadi UU Nomor 22 tahun 1999. Semangat dan hakikat UU Nomor 22 tahun 1999 sendiri harus diakui sebagai UU Pemerintahan Daerah yang paling demokratis – jika tidak dikatakan liberal. Hal ini terlihat dari ketentuan pasal 7, 9 dan 11 yang secara eksplisit mengamanatkan bahwa kewenangan Daerah Kabupaten / Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal serta kewenangan bidang lain yang diatur kemudian oleh Peraturan Pemerintah (PP Nomor 25 Tahun 2000). Dengan ketentuan ini, struktur kewenangan pemerintahan menjadi terbalik, yakni dari piramida terbalik menjadi piramida normal. Artinya, kewenangan daerah sangat luas sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi yang luas, bulat dan utuh ; sementara kewenangan Pusat dan Propinsi sangat limitatif. Inilah sesungguhnya makna dari penerapan paradigma baru, yakni demokratisasi, pemberdayaan masyarakat, serta peningkatan pemerataan dan keadilan daerah.

Perubahan paradigma dalam manajemen pemerintahan tersebut, tentu membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Garis kebijakan lama yang lebih bernuansa sentralisasi, menempatkan pemerintah pusat sebagai “pemain tunggal” yang memiliki otorisasi sangat kuat. Namun adanya the new paradigm yang lebih mengedepankan proses otonomisasi dan desentralisasi, jelas tidak tepat jika gaya kepemimpinan lama yang bersifat paternalistik dan cenderung otoriter masih dipraktekkan.

Dengan memimjam istilah Sarwono Kusumaatmadja[1], peran dan tanggung jawab pemerintah harus beralih dari ing ngarsa sung tuladha dan ing madya mangun karsa, menjadi lebih berat pada fungsi tut wuri handayani. Inilah barangkali yang diinginkan oleh Osborne dan Gaebler[2] bahwa peran baru bagi pemerintah hendaknya lebih diarahkan sebagai pengatur dan pengendali daripada sebagai pelaksana langsung suatu urusan dan pemberi layanan (steering rather than rowing).

Dari sedikit uraian diatas kiranya dapat ditarik suatu benang merah adanya hubungan yang tegak lurus antara perubahan kondisi lingkungan dengan tuntutan terhadap gaya kepemimpinan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Permasalahannya sekarang adalah, jika telah diketahui bentuk perubahan lingkungan suatu organisasi (cq. penggantian UU pemerintahan daerah), bagaimana seharusnya gaya – termasuk visi – kepemimpinan diarahkan untuk memberikan nilai tambah terhadap perubahan tersebut ?

Untuk menjawab permasalahan diatas, sebelumnya harus dipahami tentang visi nasional dibidang aparatur negara sebagaimana tercantum dalam GBHN. Hal ini penting mengingat bahwa visi kepemimpinan di daerah harus merupakan penjabaran dari visi pembangunan sebagai payung kebijakan yang harus dioperasionalisasikan pada tingkat daerah.


Visi Aparatur Negara dan Konsep Good Governance

Menurut GBHN 1999 – 2004, visi Pendayagunaan Aparatur Negara adalah mewujudkan aparatur negara yang netral, profesional, bertanggungjawab, produktif, transparan dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme untuk melayani dan memberdayakan masyarakat. Dalam kaitan tersebut, maka misi yang harus diemban diarahkan kepada terciptanya tiga kondisi utama sebagai berikut :

1.      Membersihkan penyelenggara negara dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dengan memberikan sanksi seberat-beratnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, meningkatkan efektivitas pengawasan internal dan fungsional serta pengawasan masyarakat, dan mengembangkan etika dan moral.
2.      Meningkatkan kualitas aparatur negara dengan memperbaiki kesejahteraan dan keprofesionalan serta memberlakukan sistem karir berdasarkan prestasi dengan prinsip memberikan penghargaan dan sanksi.
3.      Meningkatkan fungsi dan keprofesionalan birokrasi dalam melayani masyarakat dan akuntabilitasnya dalam mengelola kekayaan negara secara transparan, bersih dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan.

 

Visi dan misi Pendayagunaan Aparatur Negara tersebut jelas merupakan kondisi ideal yang memerlukan kerja keras untuk merealisasikannya. Bahkan harus diakui bahwa fakta-fakta obyektif yang ada mengindikasikan bahwa birokrasi Indonesia masih dihadapkan pada penyakit-penyakit (patologi) yang menghambat kinerjanya. Secara lebih konkrit dapat dikatakan bahwa kondisi aktual maupun faktual selama ini menunjukkan bahwa organisasi pemerintah masih cenderung bersifat organik dengan mekanisme kerja yang tidak efisien serta kurang memiliki daya saing yang memadai dibanding sektor privat atau swasta, apalagi dibandingkan dengan pihak luar negeri.

 

Dengan kata lain, citra birokrasi dimata masyarakat dewasa ini sangat jatuh, bahkan cenderung menjurus kepada terciptanya suatu krisis kepercayaan. Padahal, variabel ‘citra aparatur’ yang merupakan refleksi dari kemampuan, loyalitas, dan tanggung jawabnya, mempunyai pengaruh besar terhadap kepuasan masyarakat atas pelayanan umum yang menjadi tugas / kewajiban aparatur. Dalam hal ini terdapat hubungan tegak lurus, dimana kemerosotan citra aparatur selalu identik dengan tingkat pelayanan publik yang rendah. Sebaliknya, kemampuan aparatur untuk memberikan pelayanan secara prima akan berdampak terhadap perbaikan citra pemerintah secara keseluruhan.[3]


Dalam upaya untuk meningkatkan citra birokrasi pemerintahan itulah, dewasa ini telah disosialisasikan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN. Dengan UU ini, jajaran pemerintahan pada seluruh lapisan harus benar-benar menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Ini berarti, dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pendekatan yuridis formal bukan merupakan satu-satunya pegangan / pedoman, tetapi yang lebih penting lagi adalah pendekatan etika. Konsekuensinya, pemberlakuan suatu kebijakan publik dan upaya penegakannya tidak sekedar mempertimbangkan nilai benar – salah, tetapi juga nilai baik – buruk.

Dalam khazanah akademik, pemerintahan yang berpegang pada etika disamping aspek hukum ini sering disebut sebagai clean government. Sebab, kejujuran, kewibawaan dan kekuatan pemerintah tidak hanya bergantung kepada sejauhmana suatu aturan ditegakkan tanpa pandang bulu, namun juga sejauhmana para pelaku kebijakan menyertakan pertimbangan hati nurani atau etika.

Pada perkembangan selanjutnya, tuntutan akan terwujudnya clean government dan strong government saja ternyata tidak cukup. Yang menjadi tuntutan berikutnya adalah terciptanya good governance. Tuntutan terhadap good governance saat ini menjadi salah satu tema utama dalam reformasi pemerintahan – termasuk di Daerah. Dalam konsepsi governance sendiri terkandung unsur utama yang terdiri dari akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), keterbukaan (openness), dan aturan hukum (rule of law). Terhadap keempat unsur tersebut, Adamolekun dan Bryant (1994) menambahkan dua unsur lainnya yaitu kompetensi manajemen (management competence) dan hak-hak asasi manusia (human rights). Hak-hak asasi manusia pada dasarnya merupakan bagian dari unsur governance (meskipun pada tingkatan pengertian umum atau global). Sedangkan kompetensi manajemen lebih cenderung merupakan akibat atau symptom dari adanya good governance, daripada sebagai bagian dari unsur utamanya.[4]

Dalam hubungan ini, menurut Institute On Governance (1996) konsep good governance dapat ditempuh dengan menciptakan hal-hal sebagai berikut :

1.      Kerangka kerja tim (teamworks) antar organisasi, departemen dan antar wilayah;
2.      Hubungan kemitraan (partnership) antara pemerintah dengan setiap unsur dalam masyarakat negara yang bersangkutan (jadi tidak hanya sekedar kemitraan internal di antara sesama jajaran instansi pemerintahan saja);
3.      Pemahaman dan komitmen akan manfaat dan arti pentingnya tanggung jawab bersama dan kerjasama (cooperation) dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan;
4.      Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai untuk mendorong terciptanya kemampuan dan keberanian menanggung resiko (risk taking) dan berinisiatif secara realistik;
5.      Adanya kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai internal (values) administrasi publik, juga terhadap nilai-nilai etika dan moralitas yang diakui dan dijunjung tinggi secara bersama-sama dengan masyarakat yang dilayani;
6.      Adanya pelayanan administrasi publik yang :
  • Berorientasi kepada masyarakat yang dilayani (client centered);
  • Mencerminkan layanan yang mencakup secara merata seluruh masyarakat bangsa yang bersangkutan, tanpa ada perkecualian (inclusive);
  • Administrasi pelayanan publik yang mudah dijangkau (accessible) masyarakat;
  • Bersifat bersahabat (user friendly);
  • Berasaskan pemerataan yang berkeadilan (equitable) dalam setiap tindakan dan layanan yang diberikan kepada masyarakat;
  • Mencerminkan wajah pemerintah yang sebenarnya (tidak bermuka dua) atau tidak menerapkan standar ganda (double standards) dalam menentukan kebijaksanaan dan memberikan layanan terhadap masyarakat;
  • Berfokus pada kepentingan masyarakat dan bukannya kepentingan internal organisasi pemerintah (outwardly focused);
  • Bersikap profesional; dan
  • Bersikap tidak memihak (non-partisan).[5]

Dalam konteks mewujudkan konsep good governance tersebut, maka kepemimpinan yang ideal adalah tata cara memerintah yang memperhatikan secara sungguh-sungguh ciri-ciri yang ada, serta sungguh-sungguh melaksanakan berbagai upaya yang mengarah kepada terwujudnya good governance.


Teori Kepemimpinan dan Konsep Kepemimpinan Sunda

Menurut Weber, konsep kepemimpinan paling tidak dapat dibedakan menjadi tiga jenis ideal (ideal type), yaitu :

1.      Kepemimpinan tradisional yang tuntutan keabsahannya didasarkan atas suatu kepercayaan yang telah ada (established) pada kesucian tradisi kuno.
2.      Kepemimpinan rasional yang berdasarkan kepada hukum atau legalitas peraturan.
3.      Kepemimpinan kharismatik yang didapatkan dari pengabdian diri terhadap kesucian, kepahlawanan tertentu atau sifat yang patut dicontoh dari seseorang.[6]

Mengacu kepada tipe ideal kepemimpinan Weber diatas, dapat diamati bahwa para pimpinan nasional maupun daerah yang ada selama ini lebih mengandalkan kepada tipe ketiga, yaitu pemimpin yang kharismatik, meskipun tidak mengabaikan aspek rasionalitasnya. Implikasi yang kurang positif dari penerapan gaya kepemimpinan ini antara lain adalah :

1.      Pemimpin dianggap sebagai orang yang setengah suci dan tidak bisa salah (the king can do no wrong), sehingga setiap kebijakannya harus dilaksanakan (sumuhun dawuh) ;
2.      Bawahan atau orang yang dipimpin berusaha mendekati pemimpinnya dengan cara apapun, sehingga melahirkan banyak pengikut yang munafik dan bersikap ABS.
3.      Karena kedua faktor tersebut, maka kepemimpinan terlihat langgeng tanpa menimbulkan permasalahan di tingkat bawah. Dengan kata lain, pemimpin kurang dapat memahami realitas sosial yang berkembang pada tingkat grass root.

Gelombang reformasi yang menghendaki perombakan total dalam sistem pemerintahan telah menyeret pula tuntutan terhadap pemimpin yang rasional. Rasionalitas kepemimpinan disini dicirikan oleh beberapa aspek, misalnya :

1.      Sejauhmana pemimpin tadi mendapat legitimasi formal baik secara yuridis maupun politis
2.      Besarnya tuntutan akan perlunya keterbukaan dalam merumuskan serta mengimplementasikan setiap kebijakan.
3.      Partisipasi masyarakat untuk terlibat langsung maupun melaksanakan hak kontrolnya semakin besar, dengan asumsi bahwa pemimpin sesungguhnya adalah wakil rakyat. Dengan kata lain, kedudukan pemimpin dengan pengikut adalah sejajar dan sederajat.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di tatar Sunda, konsep kepemimpinan rasional itulah yang semestinya dikembangkan, meskipun tidak berarti menghilangkan sama sekali karakteristik ketradisionalan maupun kekharismatisan. Sebagaimana kita ketahui bersama, konsep kepemimpinan Sunda yang telah lama terbentuk, mensyaratkan 10 karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau calon pemimpin, yang sering disebut dasa pasanta atau 10 cara untuk memberikan ketenteraman hati bagi masyarakat yang dipimpinnya. Dasa pasanta tersebut meliputi (Hidayat Suryalaga, PR, 29 Juli 2000) :

1.      Guna, artinya pemimpin memberikan pengertian kegunaan perintahnya kepada bawahan agar terjadi kesamaan persepsi.
2.      Ramah, artinya perintah disampaikan dengan ramah tamah dan halus budi sehingga yang diperintah merasa dihargai sebagai manusia.
3.      Hookeun, artinya kepercayaan diri orang yang diperintah dapat ditumbuhkan dengan cara menghargai prestasi kerjanya.
4.      Pesok, artinya pemimpin perlu sering melakukan silaturahmi untuk memikat hati orang-orang yang dipimpinnya serta menimbulkan perasaan tenang.
5.      Asih, artinya agar orang yang diperintah ikut memiliki rasa tanggung jawab, pemimpin harus menunjukkan rasa sayang kepada bawahannya.
6.      Karunia / karunya, artinya pemimpin harus memiliki sifat penyayang dan memberi nilai lebih kepada bawahannya.
7.      Mukpruk, artinya pemimpin perlu memberi kepercayaan kepada bawahan, sehingga mereka merasa dihargai kemampuannya.
8.      Ngulas, artinya pemimpin dituntut menumbuhkan kesadaran kepada bawahan agar tidak melaksanakan pekerjaan karena terpaksa.
9.      Nyecep, artinya pemimpin dalam mengkritik pekerjaan bawahan harus dilakukan dengan cara arif, teliti dan bijaksana.
10. Ngala angen, artinya pemimpin perlu pula berbasa basi untuk menarik simpati bawahan, misalnya dengan menanyakan keadaan keluarga.

Dasa pasanta diatas dapat dikatakan sebagai kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau calon pemimpin. Namun untuk menumbuhkan kharisma dan pamor yang kuat, pemimpin memerlukan persyaratan lainnya, yaitu : emet (hemat), imeut (teliti), rajeun (rajin / pro aktif), leukeun (tekun / semangat tak gampang menyerah), paka pradana (berani tampil karena berkualitas), morogol-rogol (teguh pendirian, etos kerja tinggi), purusa ning sa (berjiwa pahlawan), widagda (bijaksana), gapitan (berani berkorban untuk keyakinannya), karawaleya (dermawan, setia kawan), cangcingan (aktif, inovatif), langsitan (terampil, mempunyai nilai tambah). Untuk melengkapi syarat-syarat tersebut, seorang pemimpin juga harus mengindari sifat-sifat buruk yang menjadi pantangan atau hal yang ditabukan (paharaman). Pantangan bagi pemimpin ini meliputi empat hal, yaitu : pundungan (merajuk, mengisolasi diri), babarian (mudah tersinggung), humandeuar (keluh kesah), serta kukulutus (menggerutu). (Hidayat Suryalaga, PR, 29 Juli 2000)

Dari konsep dan visi kepemimpinan Sunda diatas, harus diakui bahwa rasionalitas kepemimpinan Sunda sesungguhnya telah lama dipraktekkan, yang secara nyata tercermin dari semboyan “Masyarakat Yang Adil Dan Makmur Gemah Ripah, Repeh, Rapih Dilandasi Tradisi Sunda Silih Asih, Silih Asah Dan Silih Asuh”. Dengan semboyan ini, antara pemimpin dan pengikut, antara daerah yang kuat dan daerah yang kurang kuat, antara golongan masyarakat mampu dengan golongan masyarakat lemah, akan saling membantu serta dengan senang hati bekerjasama dalam wadah kekeluargaan (gemeinschaft).


Bandung, 18 Juli 2000


[1]     Sapta Nirwandar dan Ibrahim Tadju, (ed)., Birokrasi dan Administrasi Pembangunan”Jakarta : Sinar Harapan, 1992
[2]     David Osborne and Ted Gaebler, Reinventing Government (How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector), Addison-Wesley Publishing company, Inc, 1992
[3]     Noorsyamsa Djumara, Refungsionalisasi Analis Manajemen Dalam Rangka Optimalisasi Pelayanan Umum, Jurnal Wacana Kinerja No. 7 Tahun II, 1999.
[4]     Perwakilan LAN Jawa Barat dan Setwilda Tingkat I Jawa Barat, Kesiapan Daerah Dalam Menghadapi Pelaksanaan UU Nomor 22 tahun 1999 Tentang pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, 1999.
[5]     Ibid.
[6]     Sartono Kartodirdjo (ed)., Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial, Jakarta : LP3ES, 1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar