Laman

Jumat, 31 Desember 2010

Replikasi & Eskalasi Inovasi Pemerintahan Daerah di Era Otonomi


Tujuan utama otonomi daerah adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat (public welfare) yang lebih tinggi serta memberikan pelayanan yang lebih baik (public service delivery). Tujuan ini tidak mungkin dapat terwujud seketika, karena memang tidak ada hubungan langsung otonomi (desentralisasi politik) dengan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Otonomi hanya dapat menjelma dan berevolusi secara tepat menjadi kesejahteraan dan pelayanan masyarakat yang baik jika proses berjalannya otonomi juga dapat berlangsung dengan baik. Dengan kata lain, otonomi mengandung dalam dirinya variabel-variabel antara (intervening variables) yang merupakan prakondisi untuk mewujudkan tujuan hakiki otonomi tersebut.

Salah satu proses terpenting yang harus dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan dan pelayanan publik yang lebih baik tadi adalah konvensi untuk menciptakan kreativitas dan inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah secara berkesinambungan. Kreativitas disini diharapkan muncul dari 3 (tiga) faktor utama yang terkandung dalam kebijakan otonomi, yakni: fleksibilitas, responsibilitas, dan akuntabilitas. Selanjutnya, inovasi dan kreativitas yang ditopang oleh etika politik (etika birokrasi) yang baik, diharapkan akan melahirkan kinerja pemerintah daerah yang terbaik.

Pengertian inovasi sendiri sering disederhanakan sebagai teknologi baru. Pengertian ini didasarkan pada berbagai kajian yang menyatakan bahwa sebagian besar inovasi memang lahir di bidang teknologi. Namun menurut Purwanto (2000: 4) pada dasarnya suatu inovasi sulit dipisahkan dari adanya unsur-unsur pengetahuan baru (new knowledge), cara-cara baru (new practices), barang/objek baru (new product), teknologi baru (new technology), serta penemuan baru (new invention).

Fakta empiris di berbagai wilayah menunjukkan bahwa inovasi dan kreativitas kepemimpinan daerah sudah cukup bagus. Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan mereka membuat gebrakan (breakthrough) yang berujung pada diterimanya penghargaan pada berbagai bidang pembangunan. Berbagai inovasi tadi dapat ditemukan di daerah-daerah lain baik pada level propinsi maupun kabupaten/kota, baik di dalam maupun diluar wilayah Kalimantan Timur.

Di wilayah Kalimantan Timur, beberapa kisah sukses pengembangan paradigma baru administrasi pemerintahan ini antara lain terjadi di Kota Bontang yang mentransformasikan comparative advantage berupa komoditas pisang menjadi competitive advantage berupa pengembangan sentra industri mebelair berbasis bahan baku pelepah pisang. Sedangkan di Penajam Paser Utara, dikembangkan sentra industri mebelair dengan bahan dasar enceng gondok. Bontang juga telah menggagas konsep Dokter Keluarga yang menggantikan fungsi Puskesmas, sehingga Puskesmas dapat lebih berkonsentrasi pada fungsi pembinaan UKS dan Posyandu, supervisi toko obat, pemantauan penyakit menular dan tingkat kesehatan masyarakat, penyuluhan pola hidup sehat, serta fungsi-fungsi ”makro” lainnya yang lebih strategis. Pada saat bersamaan, Bontang dengan kreatif telah menggulirkan program distance learning sebagai faktor pengungkit baru dalam mendorong terwujudnya SDM yang berkualitas.

Selain itu, Kota Balikpapan telah menerapkan konsep pemukiman baru di atas air sebagai solusi terhadap keterbatasan lahan di perkotaan sekaligus untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya kayu lokal. Kota Tarakan juga tidak mau ketinggalan dengan menciptakan kebijakan-kebijakan stimulatif yang merangsang tumbuhnya investasi dan memacu PAD tanpa membebani masyarakat dan dunia usaha. Dampaknya, investasi berkembang pesat, sementara kebutuhan masyarakat dan dunia usaha terhadap pasokan energi listrik terpenuhi secara memuaskan. Disisi lain, Kabupaten Pasir mampu mereklamasikan eks tambang yang tidak lagi produktif menjadi pusat rekreasi alam yang berwawasan lingkungan. Adapun Kutai Kartanegara, telah membuktikan diri sebagai daerah yang pertama kali menyelenggarakan Pilkada Langsung di Indonesia secara damai dan sukses, disamping penerapan program pembangunan “Gerbang Dayaku” dan ZBPA (Zona Bebas Pekerja Anak) yang cukup atraktif. Selanjutnya, Kutai Timur menjadi pemegang rekor MURI terhadap kecepatan perizinan investasi, serta pelopor dalam pengembangan biodiesel tanaman jarak dan penetapan KTM (Kawasan Transmigrasi Mandiri).

Sementara itu diluar Kalimantan Timur, Jembrana cukup fenomenal dalam efisiensi birokrasi yang berujung pada pembebasan biaya pendidikan dasar 9 tahun. Kesuksesan serupa diukir oleh Kabupaten Tanah Datar. Kota Palangkaraya sendiri membuat terobosan penting di sektor pertanian dengan mengubah lahan rawa / gambut menjadi lahan pertanian yang sangat produktif, dan memiliki prospek sebagai ”lumbung padi” baru. Sejalan dengan yang terjadi di Palangkaraya, Kota Pontianak juga berhasil membudidayakan Aloe Vera di lahan Gambut.

Untuk lebih mempercepat proses replikasi inovasi tersebut, sharing pengalaman sebagai pengganti studi banding antar daerah, sangat layak untuk ditradisikan untuk mendorong tumbuhnya spreading effect (efek getol tular) dan menjadi benchmark bagi daerah-daerah lain untuk menghasilkan inovasi-inovasi baru pada bidang-bidang yang menjadi keunggulan komparatif daerah yang bersangkutan.


Samarinda, 3 April 2007

Penguatan Komoditas Unggulan Sektor Non-Migas Dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing Daerah di Era Otonomi Luas


Sebagai implikasi dari pemberlakuan otonomi daerah seluas-luasnya semenjak 1 Januari 2001, daerah memiliki beban urusan pemerintahan yang sangat berat. Secara filosofis, kebijakan ini diharapkan dapat menjadi instrumen yang ampuh untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, disamping untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah. Sedangkan secara politis, pemberian otonomi luas tadi menunjukkan adanya komitmen pemerintah pusat untuk menciptakan kemandirian daerah baik dalam hal pengambilan keputusan, penggunaan sumber-sumber daya, maupun penggalian potensi daerah. Namun secara teknis, desentralisasi yang “mendadak” dan dalam skala besar (big bang decentralization) ini menimbulkan beberapa kendala seperti surplus pegawai, atau terjadinya defisit anggaran yang selalu berulang setiap tahunnya.

Untuk mengurangi ketergantungan kepada Pusat sekaligus meningkatkan kapasitas keuangannya, banyak daerah yang lantas memberlakukan Perda yang berisi pungutan atau pembebanan finansial atas kegiatan ekonomi masyarakat. Alih-alih meningkatkan kemampuan keuangan daerah, kebijakan tadi justru banyak menimbulkan biaya tinggi (high cost economy) yang menghambat masuknya investasi ke daerah. Ironisnya lagi, berbagai regulasi daerah tadi banyak yang dibatalkan oleh Pusat karena dinilai tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah.

Di wilayah Kalimantan Timur sendiri, sebanyak 24 Perda yang dibuat kabupaten/kota menyangkut pajak dan retribusi bidang peternakan, kehutanan, ESDM, industri dan perdagangan, kelautan dan perikanan, ketenagkerjaan, perhubungan, lingkungan hidup dan pungutan lainnya telah “ditertibkan” karena dianggap melanggar Undang-Undang. Sementara itu, sebanyak 45 Perda lainnya sedang dalam tahap pengkajian atau evaluasi baik oleh Pemprov kaltim maupun oleh Pusat. Dalam hal ini, beberapa Perda yang dibatalkan Depdagri, antara lain adalah sebagai berikut:

Kab/Kota
PERDA
Kepmendagri yg Membatalkan
Pasir
No. 7/2003 tentang Ketenagakerjaan
No. 25/2001
PPU
No. 12/2001 tentang Pemberian Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang
No. 48/2004
Berau
No. 19/2002 tentang Retribusi Pemasukan dan Pengeluaran Hewan Ternak dan Produk Bibit
No. 7/2006
No. 10/2003 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan
No. 8/2006
Bontang
No. 6/2002 tentang Retribusi Pelayanan Ketenagakerjaan
No. 47/2004
No. 7/2002 tentang Perizinan Pendaftaran Usaha Peternakan
No. 15/2005
Nunukan
No. 25/2001 tentang Retribusi Perikanan
No. 39/2005
No. 24/2001 tentang Retribusi Izin Pemanfaatan Laut dan Sungai
No. 40/2005
Samarinda
No. 19/2000 tentang Usaha Perikanan, Pengawasan Pemotongan Ternak, Perdagangan Ternak dan Daging
No. 14/2005
No. 30/2000 tentang Retribusi Izin Pembuatan Bandar Kapal
No. 129/2005
No. 8/2001 tentang Izin Penyelenggaraan Angkutan Barang
No. 130/2001
No. 10/2001 tentang Retribusi Ketenagakerjaan
No. 47/2004
Sumber:   1)    Tribun Kaltim, Depdagri Cabut 24 Perda di Kaltim: Dianggap Bermasalah dan Melanggar UU, 1 Mei 2006.
                    2)    Kaltim Post, Perda, Kini Tak Bisa Langsung Berlaku, Selasa, 2 Mei 2006.

Secara umum, lahirnya Perda atau Keputusan Bupati/Walikota tentang pungutan tadi mendapat tentangan yang sangat keras bukan saja dari kalangan masyarakat biasa dan pelaku ekonomi lokal, namun juga dari kaum cendekiawan dan lembaga riset serta lembaga donor baik skala nasional maupun internasional. Sayangnya, kapasitas pemerintah untuk mengontrol seluruh Perda sangatlah terbatas. Tahun lalu, pemerintah melalui Kepala Badan Pengkajian Keuangan dan Hubungan Internasional Depkeu mengakui kesulitan untuk mengawasi atau mencabut perda yang dikeluhkan kalangan pengusaha telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi, karena pemda tidak menyampaikan perda tersebut ke pusat. Dari sekitar 15 ribu perda yang berlaku, baru 4 ribu perda yang disampaikan ke pusat. Berarti ada 11 ribu perda yang tidak disampaikan ke pemerintah (Media Indonesia, 8 Maret 2005).

Kondisi diatas secara umum menggambarkan bahwa kebijakan desentralisasi secara ideal belum mampu mencapai tujuan utamanya. Sebab, esensi otonomi lebih menghendaki agar daerah dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya dengan segenap kemampuan yang dimilikinya, sementara bantuan/subsidi Pusat semestinya hanya merupakan komponen pelengkap untuk mendukung kapasitas daerah. Namun dalam prakteknya, kapasitas asli daerah (terutama dibidang keuangan) sangatlah jauh dibanding kucuran yang diperoleh dari pemerintah pusat. Hal ini dapat diamati dari proporsi PAD terhadap APBD, yang sebagian besar daerah otonom di Indonesia hanya memiliki PAD dibawah 20% dari total APBD.

Pemerintah Pusat bukan berarti tidak memikirkan kondisi tersebut. Lahirnya UU Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah No 33 Tahun 2004 sebagai revisi terhadap UU No 25 Tahun 1999 mengggambarkan semakin besarnya proporsi dana perimbangan untuk daerah. Selain itu, UU tadi juga memberikan kepastian atas sumber-sumber dana pemerintah daerah dalam melaksanakan tupoksinya, serta kebebasan dalam menggunakan dana-dana tersebut sesuai dengan fungsinya (local discretion). Namun jika kondisi ketergantungan ini berlangsung terus, maka selama itu pula otonomi daerah di Indonesia akan menjadi kebijakan yang semu.

Mengingat fenomena yang kurang kondusif bagi perkembangan pembangunan ekonomi di daerah tadi, maka kemampuan membaca dan mengoptimalkan potensi unggulan daerah sangatlah penting. Dengan kata lain, tergalinya dan/atau termanfaatkannya komoditas unggulan daerah merupakan prasyarat mutlak bagi keberhasilan pembangunan ekonomi daerah di era otonomi.

Kalimantan Timur sendiri selama ini terkenal sebagai wilayah yang kaya dengan kekayaan sumber daya alam, khususnya minyak bumi dan gas alam (migas). Namun dalam konteks penguatan kapasitas keuangan daerah, maka kabupaten/kota di wilayah ini tidak dapat seterusnya mengandalkan dari sektor migas. Sebab, migas adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources).[1] Oleh karena itu, Pemerintah Daerah dituntut untuk segera membuat analisa potensi dan pemetaan komoditas unggulan beserta strategi yang dapat menjamin keseimbangan antara kepentingan ekonomis (target PAD) dengan kebutuhan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu, perlu kiranya dilakukan “penyadaran” bagi daerah, bahwa tingginya PAD tidak secara serta merta berarti tingginya kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan tidak berada pada aras material semata. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana Pemda bersama rakyat membangun potensi daerah demi kemajuan bersama pula. Jika hal ini dapat dilakukan, maka bukan hanya PAD yang dapat teroptimalkan, namun juga kesejahteraan masyarakat secara lebih progresif dan merata. Dan inilah hakikat yang sejati dari kebijakan otonomi daerah seluas-luasnya.

Dalam konteks pengembangan peluang dan potensi komoditas unggulan sendiri, Kalimantan Timur diyakini merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang sangat prospektif. Selain didukung oleh potensi SDA yang melimpah dan ketersediaan lahan yang sangat luas, Kalimantan pada umumnya dan Kaltim pada khususnya juga menjadi titik sentral dalam pembangunan ekonomi Kawasan Timur Indonesia. Hal ini mengandung pengertian bahwa keberadaan Kapet Sasamba (Sanga-Sanga, Samarinda, Balikpapan); pengembangan kawasan perbatasan Kasaba (Kalimantan, Sarawak, Sabah); Kerjasama Ekonomi Sub-Regional BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia and Philippines – East ASEAN Growth Area); Kerjasama Bilateral Sosek Malindo, dan sebagainya, hanya akan bermakna dan dapat memberikan manfaat bagi percepatan pembangunan sosial ekonomi daerah, jika kabupaten/kota di Kalimantan dapat mengoptimalkan keunggulan komparatif berbagai sektor yang dimiliki.

Dengan kata lain, penguatan sektor/komoditas unggulan (terutama sektor non-migas) akan mendorong keberhasilan kebijakan dan program pembangunan ekonomi daerah dalam skala luas. Eksplorasi pada sektor migas memang memberi nilai ekonomi tinggi namun hal ini juga menyebabkan terjadinya ketergantungan Pemda pada sektor ini semakin besar disamping memiliki dampak lingkungan yang cukup kronis. Karenanya penguatan pada sektor non-SDA sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada sektor migas yang jelas-jelas bersifat extractive, short-term dan unrenewable.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka mengoptimalkan potensi non-migas di era otonomi luas, sekaligus dalam rangka mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat, maka perlu adanya identifikasi potensi serta strategi penguatan komoditas unggulan sektor non-migas sebagai basis/fondasi ekonomi di masing-masing daerah. Untuk itu, secara lebih terukur perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

·         Identifikasi terhadap potensi-potensi daerah berdasarkan sektor dan komoditas unggulan, serta kebijakan dan strategi umum pemerintah kabupaten/kota dan provinsi dalam membangun komoditas unggulan di daerah (Kaltim). Untuk kepentingan identifikasi ini, perlu pula dipahami prinsip-prinsip perumusan dan implementasi kebijakan bidang ekonomi di daerah yang ramah investasi (investment-friendly) dalam kerangka penguatan kapasitas keuangan dan daya saing daerah.
·         Identifikasi berbagai regulasi daerah yang menghambat iklim investasi atau kehidupan ekonomi daerah, serta bentuk-bentuk kekeliruan dalam penyusunan Peraturan daerah (Perda).
·         Identifikasi terhadap arah kebijakan pemerintah pusat dalam bidang perimbangan keuangan serta upaya mengurangi dependensi anggaran atau antisipasi terjadinya defisit anggaran daerah.
·         Identifikasi tentang kendala-kendala dan prospek dalam mendorong tumbuhnya investasi di daerah, serta alternatif kebijakan yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah ini.


Samarinda, Agustus 2006


[1]     Sebagai ilustrasi, migas yang ada di Kota Tarakan telah dieksploitasi lebih dari 100 tahun dan diperkirakan hanya memiliki cadangan hingga 10-15 tahun yang akan datang. Lihat, Tribun Kaltim, 29 Mei 006, Jusuf: Cadangan Gas Tinggal 10 Tahun, PLTU akan Dibangun Tahun 2010. Senada dengan kondisi Tarakan, Asisten II Setdaprov Kaltim menyatakan bahwa krisis energi (listrik) yang terjadi di Kaltim antara lain disebabkan oleh semakin mahalnya BBM untuk sektor industri. Pembangkit energi yang akan dibangun Pemprov Kaltim sebesar 2 x 25 MW di PLTU Tanjung Batu dengan bahan bakar Batu Bara sangat tidak memadai dengan kebutuhan energi listrik di Kaltim tahun 2015 sebesar 5.800 MW. Untuk itu saat ini sedang dijajaki kemungkinan pengembangan PLTN yang melibatkan 4 provinsi di Kalimantan dan dipusatkan di Pontianak (Sambutan pada pembukaan Rapat Konsultasi Pemantauan Pelaksanaan Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, diselenggarakan oleh Sekretariat Wakil Presiden RI di R. Ruhui Rahayu Kantor Gubernur Kaltim, Samarinda, 29 Mei 2006).

Pemberantasan Korupsi Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara


Ketika euphoria reformasi total bergulir tahun 1998, tatanan makro sistem politik dan sistem pemerintahan RI turut berubah secara fundamental pula. Ide executive heavy yang terkandung dalam UUD 1945 pra-amandemen, tiba-tiba bermetamorfosis menjadi legislative heavy. Dampaknya, DPRD menjadi lembaga super body yang “kebablasan”, dimana perilaku politik para wakil rakyat di beberapa daerah cenderung over-acting melalui aksi-aksinya melengserkan kepala daerah secara kurang proporsional. Lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya fenomena korupsi yang makin mengakar dan menyebar, yang sebagian besar melibatkan para politisi lokal. Itulah sebabnya, kedudukan badan legislatif dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru disejajarkan kembali dengan kedudukan lembaga eksekutif. Ini berarti bahwa Kepala Daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD.

Sementara itu, maraknya kasus korupsi di daerah serta semangat untuk membangun tata kepemerintahan yang baik (good governance), telah mendorong Pemerintah untuk menciptakan sistem dan institusi hukum yang lebih kuat dalam rangka pemberantasan KKN. Implikasinya, lahirlah pranata hukum baru seperti KPK dan Timtastipikor, yang dalam prakteknya, pranata hukum tadi telah menjelma sebagai super body baru dalam tata hubungan antar lembaga negara di Indonesia. Artinya, fenomena legislative heavy telah bermetamorfosis kembali menjadi judicative heavy. Dan ironisnya, kewenangan yang amat besar yang dimiliki oleh institusi hukum baru tadi secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada “terganggunya” proses pelayanan publik dan pembangunan daerah.

Indikasi dari deselerasi pembangunan daerah ini antara lain nampak dari tingkat penyerapan anggaran publik yang hanya mencapai ± 10% hingga akhir triwulan ke-2 tahun 2006. Selain itu, di banyak daerah sering dijumpai kasus mundurnya pejabat dan keengganan pegawai untuk diangkat sebagai pengelola proyek atau panitia pengadaan barang dan jasa. Hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap kinerja makro pemerintahan serta kualitas pelayanan umum (public service delivery). Dengan kata lain, kekhawatiran, keragu-raguan, dan bahkan ketakutan di kalangan pejabat publik terhadap bayang-bayang sanksi pidana dalam pelaksanaan tugas pokoknya, dapat membawa kerugian terhadap masyarakat secara luas. Kondisi seperti ini jelas sangat bertolak belakang dengan semangat pemberatasan korupsi, yakni meningkatkan hak dan perlindungan hukum bagi masyarakat termasuk didalamnya aspek pelayanan publik.

Gambaran diatas secara tersirat mencerminkan adanya carut marut dan ketidakseimbangan dalam tata hubungan antar fungsi kenegaraan dan antar lembaga negara. Padahal, semangat reformasi (termasuk semangat pemberantasan korupsi) lebih menghendaki terjadinya mekanisme checks and balances yang seimbang dan mutualis antar lembaga negara, dan tidak dalam konteks saling merugikan atau saling mengalahkan (zero sum atau trade-off). Ini berarti pula bahwa reformasi fungsional kelembagaan negara saat ini belum berjalan dengan baik, serta masih sangat jauh dari output atau impact ideal yang diharapkan. Dengan demikian, proses reformasi lembaga negara harus dilanjutkan menuju terwujudnya keseimbangan baru (new equilibrium) terhadap peran dan fungsi lembaga eksekutif, legislatif, dan judikatif, baik di Pusat maupun di Daerah.

Dalam kerangka membangun keseimbangan antar lembaga negara tadi, maka wacana tentang perlunya upaya perlindungan bagi pejabat publik dalam menjalankan kewenangan dan diskresinya, menjadi sangat krusial. Hal ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk memberikan kekebalan (immunity) ataupun kewenangan yang berlebih (excessive power) bagi birokrat pemerintahan, melainkan lebih sebagai jaminan kepastian hukum terhadap kebijakan dan/atau keputusan yang diambil (asas het vermoeden van rechtmatigheid).

Selain itu, upaya untuk memisahkan secara tegas antara proses hukum (khususnya pidana) dengan proses administratif perlu pula dilakukan secara serius. Hal ini mengandung pemahaman bahwa jika terjadi kekeliruan, penyimpangan, maupun kekhilafan dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik (public policy) sebagai instrumen yang melekat pada jabatan publik, maka mekanisme administratif perlu ditempuh terlebih dahulu sebelum dilanjutkan dengan proses hukum. Sebagai contoh, dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan Gubernur Kaltim karena dikeluarkannya rekomendasi izin pelepasan / pembebasan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, sebelum dilakukan pemeriksaan berdasar UU Pemberantasan Korupsi, maka harus dilakukan dulu mekanisme administratif terhadap kebijakan/keputusan yang dikeluarkan, baik dengan revisi, pencabutan, pembatalan sebagian, atau pembatalan sepenuhnya.

Sayangnya, dalam berbagai kasus aparat penegak hukum lebih berkonsentrasi pada dimensi hukum pidana (khusus) dan cenderung mengabaikan upaya perbaikan terhadap kebijakan yang terlanjur ditetapkan (dimensi hukum administrasi negara). Hal ini tentu saja menjadi preseden kurang baik dalam konteks reformasi sistem hukum nasional. Dan jika hal ini terjadi, maka sesungguhnya telah berlangsung superordinasi sistem hukum yang satu terhadap sistem hukum yang lain, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan prinsip negara kesatuan (unitary state). Dengan kata lain, prinsip proporsionalitas dalam penanganan kasus-kasus hukum perlu dijunjung tinggi, terutama oleh aparat penegak hukum sendiri. Ini berarti bahwa persoalan kebijakan atau administrasi negara hendaknya diproses melalui pendekatan hukum administrasi negara, sebelum dibuktikan adanya unsur pidana atau perdata di dalam kebijakan tersebut. Jika tidak, maka sinyalemen beberapa pihak tentang adanya “kriminalisasi kebijakan” bisa jadi bukan isapan jempol semata.

Atas dasar pemikiran diatas, maka pemikiran-pemikiran alternatif mengenai upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, khususnya dalam optik hukum administrasi negara, diyakini masih akan bergerak sangat dinamis. Namun, diantara dinamika hukum yang ada tadi, diharapkan ada sebuah konsensus nasional tentang korelasi (konvergensi atau divergensi) antara upaya pemberantasan korupsi terhadap kinerja dan/atau kualitas pelayanan publik di daerah serta terhadap keberlangsungan pembangunan sosial ekonomi. Hal ini penting agar semangat dan komitmen memberantas korupsi tidak berefek negatif terhadap jalannya pemerintahan, pembangunan serta pelayanan publik. Untuk itu, beberapa point dibawah ini mungkin cukup berguna untuk mengurai hubungan diantara keduanya.

·        Identifikasi terhadap langkah-langkah dan kebijakan pemberantasan korupsi di beberapa negara tetangga sebagai sebuah benchmark reformasi hukum di Indonesia.
·         Klarifikasi tentang upaya penguatan diskresi dan upaya perlindungan pejabat publik di tengah gelombang aksi anti KKN.
·         Adanya benchmark model pemberantasan korupsi dan reformasi ketatanegaraan di beberapa negara tetangga.
·         Identifikasi atas perkembangan terkini kasus-kasus korupsi Legislatif di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
·         Upaya konkrit dan kontinyu menumbuhkan konsep checks and balances antar pilar lembaga negara dan/atau fungsi negara yang lebih egaliter, sinergis, dan harmonis.
·         Revitalisasi sistem dan kelembagaan pengawasan pembangunan dalam kerangka pemberantasan korupsi dan perwujudan good governance.

               
Samarinda, 13 September 2006

Pengembangan Kelapa Sawit Skala Besar: Perspektif Kebijakan & Kelayakan Pasar


Kebijakan pemerintah untuk membuka perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur pada skala besar (1,8 juta hektar), telah mengundang polemik yang cukup tajam di tengah masyarakat.

Pada satu sisi, kelompok yang pro dengan kebijakan ini berargumen bahwa pembukaan lahan kelapa sawit ini selain bermanfaat untuk mempertahankan wilayah NKRI, pemanfaatan kawasan perbatasan menjadi perkebunan juga dimaksudkan untuk mengurangi TKI illegal yang datang ke Malaysia. Selain itu, perkebunan kelapa sawit di kawasan perbatasan Kalimantan tidak akan mengganggu ekosistem setempat karena yang dimanfaatkan merupakan lahan terlantar sebagai prioritas utama. Langkah ini juga dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan ekonomi antar warga Indonesia dan Malaysia di wilayah perbatasan serta membantu percepatan pembangunan wilayah baru di perbatasan. Kemudian menanggapi pendapat mengenai kemungkinan terjadinya krisis air di daerah perbatasan karena banyak diserap oleh kelapa sawit, hal inipun dibantah dengan alasan telah dilakukan sesuai standar kelayakan ekologi. Dan akhirnya, kebijakan pembukaan lahan kelapa sawit diyakini dapat menambah devisa bagi negara dari sektor perkebunan sekaligus mencegah pencurian kayu dari negara asing karena berkembangnya jaringan infrastruktur di kawasan tersebut. Termasuk dalam kelompok yang setuju ini antara lain Menteri Pertanian, Menteri Negara BUMN, Pemprov Kaltim, Pemerintah Kabupaten yang terkena kebijakan ini, dan beberapa pengamat independen. Pangdam VI/Tpr termasuk yang mendukung penuh pembukaan kelapa sawit di perbatasan dengan empat alasan, yaitu: mensejahterakan masyarakat, mempermudah pengawasan terhadap pelintas batas, berfungsi sebagai garis batas sehingga menghindari terjadinya pergeseran batas-batas wilayah, serta mempermudah penjagaan keamanan perbatasan (Tribun Kaltim, 10/03/06).

Disisi lain, kelompok yang kontra mendasarkan diri pada kekhawatiran kawasan perbatasan justru menjadi terlantar dan tidak menutup kemungkinan dicaplok oleh negara tetangga (anggota DPR-RI). Selain itu, hasil penelitian Balitbangda Propinsi Kaltim (2005) menunjukkan bahwa di Kabupaten Nunukan dinilai tidak cocok untuk dikembangkan sawit baik dari aspek lingkungan maupun bisnis, karena terkait topografi tanah yang terjal, sehingga memerlukan biaya tinggi. Penolakan lain datang dari kalangan aktivis lingkungan dan mahasiswa. World WildLife Fund for Nature (Koran Tempo, 16/12/05) menyatakan bahwa rencana tersebut tidak cocok karena bertabrakan dengan banyak taman nasional dan hutan lindung, seperti Taman Nasional Kayan Mentarang, Batang Ai dan Betung Kerihun. Dan berdasarkan kesepakatan Roundtable Sustainable Plan, Pemerintah tidak boleh mengkonversi hutan alam dan hutan bernilai konservasi tinggi untuk perkebunan kelapa sawit. Selain itu, pengembangan perkebunan ini juga memiliki potensi konflik sosial antara penduduk asli (Dayak) dengan pekerja yang datang dari daerah lain. Sementara kelompok Greenomics (Tempo, 16/12/06) berpendapat bahwa kalau dilakukan alih fungsi hutan di perbatasan, nilai kayu yang akan hilang sekitar Rp 237,8 triliun dan nilai kerusakan lingkungan mencapai Rp 59 triliun per tahun. Ditambahkan oleh Walhi, pembukaan lahan dan perubahan peruntukan menjadi perkebunan kelapa sawit pada kawasan hulu akan menyebabkan pendangkalan pada sungai-sungai yang ada. Ini akan menimbulkan inefisiensi pada anggaran pembangunan daerah setempat. Banjir akan menjadi ritual baru di Kalimantan, disamping kebakaran hutan. Beberapa aksi demonstrasi yang digelar mahasiswa juga mencurigai adanya motif terselubung dibalik kebijakan ini, yakni nafsu mengincar “emas hijau” atau melakukan pembalakan. Bahkan sebanyak 16 orang anggota DPD-RI dari Kalimantan secara resmi telah mengirim surat penolakan kepada Presiden.

Terlepas dari adanya kontroversi yang berkembang, rencana kebijakan pemerintah Pusat ini nampaknya tidak terkomunikasikan secara efektif dengan berbagai pihak terkait, sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran yang cukup tajam serta mengandung potensi terjadinya kegagalan dalam tahapan implementasi.

Dalam perspektif kebijakan publik, harus diakui bahwa saat ini banyak sekali konsep kebijakan yang tidak didukung oleh komunikasi kebijakan yang baik. Akibatnya, terjadilah implementation gap, yakni suatu keadaan dimana dalam proses kebijakan selalu terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara yang diharapkan dengan yang senyatanya dicapai. Besar kecilnya kesenjangan yang bisa dikatakan sebagai kegagalan itu sendiri ditentukan oleh implementation capacity dari organisasi atau pihak yang diberi tugas melaksanakan kebijakan tersebut. Dalam hal ini, kegagalan kebijakan (policy failure) secara umum terdiri dari dua kategori, yaitu tidak dapat terimplementasikan (non implemented); dan tidak terimplementasi dengan sempurna (unsuccesful implementation).  

Setiap kebijakan selalu mengandung resiko kegagalan, termasuk kebijakan pembukaan lahan kelapa sawit skala besar di Kalimantan. Dalam hal ini, untuk dapat mengimplementasikan kebijakan negara secara sempurna (perfect implementation), diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:

1.       Kebijakan yang akan diberlakukan didasari oleh suatu kebutuhan dan hubungan kausalitas yang jelas. Artinya, suatu kebijakan harus mampu secara relatif mengatasi permasalahan aktual yang sedang dihadapi.
2.       Adanya pemahaman yang mendalam terhadap tujuan dan kesepakatan antar aktor kebijakan. Ini berarti bahwa suatu kebijakan harus mampu memberikan manfaat nyata secara positif dan konstruktif bagi semua pihak secara merata.
3.       Adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna sejak tahap formulasi hingga implementasi kebijakan.
4.       Dilengkapi dengan instrumen untuk memprediksi dampak-dampak negatif yang mungkin timbul beserta alternatif pemecahannya. Dengan kata lain, suatu kebijakan perlu diidahului oleh suatu kajian akademis yang cukup komprehensif.
5.       Harus memiliki daya akseptabilitas dan aplikasi yang tinggi, serta memiliki konsistensi dengan kebijakan terkait dan mampu menghindarkan kemungkinan terjadinya diskriminasi dalam implementasi.

Kembali kepada kasus kebijakan pengembangan kelapa sawit, kontroversi yang hingga saat ini belum menemukan titik temu menggambarkan bahwa kebijakan tadi tidak memenuhi ke-5 kriteria untuk sebuah kebijakan yang baik. Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah bukan menarik/membatalkan kebijakan yang ada, atau sebaliknya memaksakan kepada pihak-pihak yang tidak mendukung; tetapi bagaimana melakukan dialog kreatif atau komunikasi sejajar secara terbuka yang bermuara pada tercapainya pemahaman dan saling pengertian diantara berbagai pihak. Kondisi inilah yang diyakini merupakan prakondisi untuk berjalannya sebuah kebijakan secara produktif dan berkesinambungan.

Dalam konteks mendorong lahirnya kebijakan pengembangan kelapa sawit yang sinergis, maka beberapa prakondisi perlu disiapkan secara matang. Salah satu hal yang sangat strategis adalah adanya kejelasan dan ketegasan konsep tata ruang wilayah, sehingga pengembangan kelapa sawit benar-benar sesuai dengan peruntukan yang disusun berdasarkan karakteristik wilayah tanpa mengorbankan kepentingan lingkungan. Untuk itu, aspek AMDAL dalam pembukaan kelapa sawit skala besar juga harus diperhatikan dengan serius.

Sementara itu dilihat dari aspek ekonomis, harus diakui bahwa kebijakan pengembangan kelapa sawit ini akan memiliki prospek yang sangat besar, bukan hanya ekspor prospek peningkatan produk CPO (crude palm oil) dan pemasukan devisa negara, namun juga untuk mengakselerasi kesejahteraan masyarakat melalui pembukaan lapangan kerja, penciptaan industri hilir, serta dampak-dampak ikutan yang muncul dari kebijakan ini. Meskipun demikian, prospek bisnis yang besar bukan sesuatu yang bersifat otomatis, namun harus ditunjang oleh upaya yang sistematis, misalnya adanya pengkajian mengenai peluang pasar internasional, penerapan standarisasi mutu dan sistem keamanan produk kelapa sawit, sertifikasi dan proses pengujiannya, dan sebagainya.

Atas dasar pemikiran diatas, perlu diciptakan lingkungan yang kondusif dalam proses persiapan peluncuran kebijakan pengembangan sektor perkebunan di Kalimantan pada umumnya dan Kalimantan Timur pada khususnya. Adapun beberapa sasaran yang perlu teridentifikasi atau terpetakan secara lebih gamblang dalam konteks pengembangan kebijakan kelapa sawit skala besar meliputi hal-hal sebagai berikut:

·         Identifikasi rinci terhadap manfaat dan kerugian dari pengembangan / pembukaan lahan kelapa sawit skala besar. Termasuk dalam hal ini adalah identifikasi rinci tentang integrasi kebijakan sektor perkebunan, kehutanan, dan pertanian menuju pembangunan berkelanjutan di wilayah Kalimantan
·         Identifikasi rinci tentang kendala atau hambatan yang mungkin timbul dari pemberlakuan kebijakan tersebut, serta beberapa alternatif solusi yang dapat ditawarkan.
·         Komunikasi interaktif dan positif antar aktor / pihak serta meningkatnya saling pengertian (mutual understanding) dalam menyikapi kebijakan yang ada.
·         Adanya konsep pembangunan sektor perkebunan, pertanian, dan kehutanan yang terintegrasi dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), baik secara ekologis maupun ekonomis. Termasuk didalamnya adalah konsep pengembangan kelapa sawit dalam perspektif lingkungan, kesejahteraan masyarakat, serta pertumbuhan ekonomi daerah.
·         Adanya sosialisasi prospek bisnis (kelayakan pasar) kelapa sawit baik domestik maupun internasional dalam rangka memperkuat perekonomian bangsa.
·         Adanya sosialisasi upaya penerapan standarisasi mutu kelapa sawit (ISO 22000) guna meningkatkan produktivitas serta jaminan kualitas produk kelapa sawit.

Samarinda, 18 Mei 2006

Kebijakan Investasi, Kawasan Berikat & Kinerja Sektor Ekonomi di Kalimantan Timur


Belum lama ini, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan dalam rangka memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Salah satu langkah yang cukup penting adalah keluarnya Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Investasi, yang bertujuan untuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dan sinkronisasi peraturan di tingkat daerah dan pusat; pembenahan aspek kepabeanan, ketenagakerjaan, Usaha Kecil Menengah dan Koperasi, perpajakan, dan sebagainya. Pada saat yang bersamaan, telah lahir pula Perpres No. 42 tahun 2006 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) dengan tujuan untuk mendorong investasi asing dan domestik pada sektor infrastruktur.

Selain kedua produk regulasi diatas, upaya mendorong iklim investasi yang sehat dan kompetitif juga dilakukan melalui pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) atau Special Economic Zone (SEZ). Wilayah-wilayah di Kalimantan Timur sendiri sangat potensial untuk dikembangkan menjadi basis-basis pertumbuhan, seperti wilayah Kawasan Industri Kariangau, Teluk Balikpapan, Simanggaris (Nunukan), Kawasan Industri Pupuk Kaltim (Bontang), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sasamba (Sanga-sanga, Samarinda, dan Balikpapan), dan sebagainya. Ini belum termasuk kerjasama regional yang melibatkan propinsi lain bahkan negara lain, seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia and Philippines – East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA); kawasan berikat KASABA (Kalimantan, Sarawak, dan Sabah), dan sebagainya.

Berbagai pusat pertumbuhan atau “pusat investasi” tadi bukan saja dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia, namun juga untuk meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan masyarakat, dan mengurangi kemiskinan. Ini berarti pula, paket kebijakan investasi dan penetapan kawasan pertumbuhan sesungguhnya ditujukan untuk menghasilkan multiplier effect dan snowball effect secara sektoral, serta spreading effect secara spasial. Dengan kata lain, kebijakan tadi bukan tujuan, melainkan alat atau stimulan untuk menggerakkan perekonomian daerah menuju terciptanya kesejahteraan masyarakat yang makin baik.

Namun dalam prakteknya, banyak sekali ditemukan persoalan yang menghambat tumbuhnya investasi di daerah secara progresif. Kajian Ray and Redi (2003, dalam Effendi, 2006) menunjukkan 4 (empat) faktor yang menjadi penyebab lemahnya kinerja investasi, yakni faktor perijinan dan birokrasi, pungutan formal, pungutan informal, dan pelayanan. Dari 12 provinsi yang disurvei, 2 daerah buruk dalam proses perijinan usaha, 9 daerah berkinerja rendah dalam indikator pungutan formal dan 5 daerah indikator pungutan informal, serta 5 daerah menunjukkan performa buruk dalam aspek pelayanan. Kalimantan Barat sebagai satu-satunya provinsi di Kalimantan, memiliki skor negatif pada 2 (dua) indikator, yakni perijinan usaha dan pungutan formal.

Diluar variabel-variabel diatas, iklim investasi dan kinerja ekonomi daerah juga sangat dipengaruhi oleh variabel lainnya seperti kepastian hukum, kejelasan aturan, efektivitas kelembagaan perijinan, dikotomi dan benturan kewenangan Pusat dan Daerah, issu ketenagakerjaan, kinerja kepabeanan, kemanan dan stabilitas politik, dan sebagainya. Ironisnya, kinerja pemerintah pada variabel-variabel inipun menunjukkan fenomena yang sangat tidak menggembirakan. Tidaklah aneh jika kemudian Jetro (dalam Effendi, 2006) menemukan bahwa iklim investasi di Indonesia jauh lebih buruk dibanding China, Thailand, Vietnam dan negara ASEAN lainnya.

Tingkat kinerja yang rendah dalam menarik investasi dan menciptakan iklim berusaha yang kondusif tadi, secara langsung menghasilkan dampak negatif berupa rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah, cq. Kalimantan Timur. Hingga tahun 2003, di Kalimantan Timur juga masih terdapat penduduk miskin sebanyak 328.597 orang atau 12,15% dari total penduduk. Sementara itu, tingkat pengangguran di Kalimantan Timur telah mencapai 7% dari total angkatan kerja (1.155.770 orang). Pengangguran tersebar di 6 Kabupaten/Kota; tertinggi terdapat di 4 Kota masing-masing Balikpapan, Samarinda, Tarakan dan Bontang. Kondisi tadi belum termasuk kesenjangan pembangunan antar wilayah dan kesenjangan pendapatan yang menyolok antar komponen masyarakat.

Predikat Kaltim sebagai salah satu daerah terkaya di Indonesia, ternyata tidak dapat menjelma menjadi kemakmuran bagi penduduknya. Ini berarti pula, keunggulan berbanding (comparative advantage) daerah ini tidak mampu ditransformasikan menjadi keungulan bersaing (competitive advantage). Dan kegagalan mengubah keunggulan berbanding menjadi keungulan bersaing ini tidak terlepas dari rendahnya kinerja institusional pemerintah daerah, yang ditopang pula oleh rendahnya kinerja para pelaku ekonomi dan lembaga-lembaga khusus seperti manajemen kawasan berikat.

Dalam kondisi seperti ini, maka sangat dibutuhkan adanya sebuah evaluasi yang komprehensif. Dari unsur pemerintahan daerah, perlu dilakukan reformasi birokrasi perijinan investasi yang diarahkan pada beberapa prakondisi antara lain: 1) mampu menyediakan formula kebijakan yang memberikan insentif bagi investor; 2) mampu meningkatkan efisiensi birokrasi melalui pengurangan pungutan tidak resmi, pengkajian perda yang tidak ramah investasi, dan penyederhanaan perijinan investasi; serta 3) mampu membuat masterplan jangka panjang pengembangan investasi dan promosi daerah. Sementara itu dari unsur pelaku usaha (termasuk di dalamnya manajemen kawasan berikat), perlu terus dilakukan revitalisasi manajemen untuk mencapai 2 (dua) prakondisi, yakni kemampuan meningkatkan kapasitas produk unggulan dan memperkuat daya saing daerah, serta kemampuan untuk menghasilkan multiplier effect bagi masyarakat daerah.

Atas dasar pemikiran diatas, maka perlu adanya upaya menyamakan persepsi dalam rangka mencari dan/atau merumuskan bahan kebijakan percepatan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah, khususnya di wilayah Kalimantan Timur, yang hasilnya diharapkan dapat mengurai persoalan yang selama ini dihadapi, sekaligus melahirkan alternatif kebijakan dan strategi terobosan dalam merangsang tumbuhnya investasi yang progresif dan berkesinambungan di Kalimantan Timur. Untuk dapat mencapai hal tersebut, paling tidak beberapa sasaran berikut perlu direalisasikan:

·         Teridentifikasikannya berbagai kebijakan yang telah ditempuh Pemprov Kaltim dalam mendorong tumbuhnya iklim investasi yang kondusif, serta berbagai kendala yang dihadapi selama ini, termasuk menemukan faktor-faktor kunci pengembangan sektor ekonomi dan investasi di Kalimantan Timur
·         Teridentifikasikannya dampak penerapan Inpres No. 3/2006 dan Perpres No. 42/2006 terhadap percepatan investasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah.
·         Teridentifikasikannya kinerja dan permasalahan pengembangan zona ekonomi terpadu (kawasan berikat) di Kalimantan Timur, serta alternatif pembenahannya pada masa-masa yang akan datang.
·         Teridentifikasikannya kontribusi Kapet Sasamba dalam pengembangan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur sebagai studi kasus.

Samarinda, Juli 2006