Kamis, 30 Desember 2010

Pentingnya BUDAYA KERJA dalam ORGANISASI


Semenjak lebih dari satu abad yang lalu, birokrasi di seluruh belahan dunia telah memiliki stigma yang negatif. Hal ini nampak dari pernyataan Kanselir Jerman periode 1870-1890, Otto von Bismarck, pada tahun 1891 bahwa “birokrasi adalah apa yang mendatangkan kesengsaraan bagi kita”. Keluhan-keluhan tentang inefisiensi, pelayanan yang lambat, biaya siluman, sampai KKN sudah menjadi rahasia umum. Pada skala yang lebih makro dapat dilihat fenomena-fenomena berupa tingginya indeks korupsi versi Transparency International yang menempatkan Indonesia di posisi ke tujuh terkorup diantara 102 negara, atau country risk (indeks tingkat risiko) Indonesia yang berada pada posisi ke-150, dari 185 negara yang di survei. Dari aspek pembangunan SDM, Human Development Report 2003 yang dipublikasikan oleh UNDP melaporkan bahwa dari 173 negara di dunia, Indonesia ternyata berada di posisi 110, di bawah Philipina, Cina, dan bahkan Vietnam. Selain itu, World Investment Report (WIR) 2003 membuat peringkat indeks kinerja Foreign Direct Investment (FDI) 1999-2000, diantara 140 negara, Indonesia ternyata menempati urutan ke-138, dua di bawahnya adalah Gabon dan Suriname.

Tidak aneh jika kemudian berbagai negara gencar melakukan program reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi sendiri memang sebuah proses dan tuntutan yang tidak bisa ditunda lagi. Sebab, birokrasi pada hakekatnya adalah mesin negara (the machine of the state) yang berfungsi menjalankan seluruh tugas pemerintahan dan pembangunan dalam rangka merealisasikan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam konstitusi negara. Selanjutnya, inti dari birokrasi adalah SDM aparatur. Hal ini mengandung pengertian bahwa peningkatan kompetensi individual pegawai dan kompetensi jabatan (struktural maupun fungsional), serta pembenahan perilaku dan etika pejabat publik perlu mendapat perhatian serius sebagai bagian integral dari proses reformasi birokrasi.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan birokrasi dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya tidak hanya tergantung pada kemampuan intelektual dan kompetensi manajerialnya saja, namun juga sangat ditentukan pada aspek sikap perilaku (behavior) dan budaya kerja di lingkungan tempat tugasnya (organizational culture). Itulah sebabnya, upaya membangun kompetensi intelektual dan manajerial harus diimbangi dengan upaya mendorong penerapan budaya kerja secara tepat dan optimal.

Dalam rangka memperkuat dimensi budaya dalam sektor publik ini telah ditempuh beberapa langkah konkrit antara lain penataran P4, Gerakan Disiplin Nasional (GDN), penerapan instrumen penilaian dengan DP3, implementasi Waskat (pengawasan melekat) dan Tim Anti Korupsi, dan sebagainya. Namun sejauh ini belum nampak hasil seperti yang diharapkan, bahkan dalam era otonomi ini cenderung ditemukan banyak fenomena penyimpangan yang bersumber dari lemahnya budaya kerja seperti KKN, kasus-kasus asusila, rendahnya tingkat kehadiran pegawai pada waktu-waktu tertentu seperti lebaran, konflik kepentingan antar instansi (contoh: antara eksekutif dan legislatif), dan sebagainya.

Pada tataran kesisteman juga telah dilakukan berbagai upaya dengan berbagai pendekatan teoretis / konseptual seperti privatisasi dan perubahan ekonomi perencanaan menjadi ekonomi pasar (Savas, 1987; World Bank, 1996); reinventing government (David Osborne dan Ted Gaebler, 1992); knowlegde-creating organization (Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi, 1995); learning organization sebagai disiplin ke-5 (Peter Senge, 1995); banishing bureaucracy (David Osborne dan Peter Plastrik, 1996); dan lain-lain. Namun nampaknya, kondisi dan kinerja birokrasi masih belum menampakkan hasil positif.

Paparan diatas menyiratkan bahwa ada sesuatu yang salah pada organisasi pemerintahan di Indonesia, termasuk para aparatnya. Salah satu yang patut diperhatikan adalah masalah budaya kerja organisasi, termasuk pula masalah sikap profesionalisme, etika, semangat pengabdian, komitmen terhadap tugas, serta motivasi dari setiap insan pelayanan publik. Dalam kaitan ini, MENPAN telah merumuskan 17 perilaku (persepsi, sikap dan cara kerja) sebagai indikator peningkatan budaya kerja yaitu perilaku-perilaku yang dianggap perlu ditingkatkan untuk peningkatan fungsi pelayanan aparatur negara (baik kepada masyarakat, maupun ke dalam instansi sendiri dan antar instansi pemerintah). Ke-17 perilaku tersebut adalah:

1.        Komitmen terhadap visi, misi, organisasi, tujaun dan konsistensinya dalam pelaksanaan kebijakan negara serta peraturan perundangan yang berlaku.
2.        Wewenang dan tanggung jawab.
3.        Keikhlasan dan kejujuran.
4.        Integritas dan profesionalisme.
5.        Kreativitas dan kepekaan (sensitivitas) terhadap lingkungan tugas.
6.        Kepemimpinan dan keteladanan.
7.        Kebersamaan dan dinamika kelompok/organisasi.
8.        Ketepatan (keakurasian) dan kecepatan.
9.        Rasionalitas dan emosi.
10.    Keteguhan dan ketegasan.
11.    Disiplin dan keteraturan bekerja.
12.    Keberanian dan kearifan dalam mengambil keputusan/menganai konflik.
13.    Dedikasi dan loyalitas.
14.    Semangat dan motivasi.
15.    Ketekunan dan kesabaran.
16.    Keadilan dan keterbukaan.
17.    Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untk melaksanakan tugas/pekerjaannya.

Namun dari berbagai fenomena yang ada, sering ditemukan adanya 2 (dua) permasalahan utama berkenaan dengan budaya kerja organisasi pemerintah, yakni:

·         Masih ditemuinya praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan yang tidak sesuai dengan budaya kerja organisasi sehingga kurang dapat berkontribusi secara optimal untuk menciptakan efektivitas, efisiensi, dan kinerja organisasi pemerintahan daerah secara optimal.
·         Adanya indikasi bahwa kebijakan pemerintah daerah selama ini kurang terprogram secara sistematis untuk menciptakan budaya kerja yang kondusiif di lingkungannya masing-masing.

Belum optimalnya penerapan budaya kerja bagi organisasi perangkat daerah ini nampaknya bersumber dari beberapa kondisi, antara lain belum adanya pemahaman secara utuh diantara jajaran aparatur daerah mengenai esensi dan manfaat budaya kerja. Selain itu upaya sosialisasi dan diseminasi dari instansi Pusat tentang tahapan dan teknik penerapan budaya kerja juga belum terprogram secara sistematis.

Mengingat hal tersebut, maka perlu diidentifikasi kondisi obyektif dan implementasi budaya kerja di setiap organisasi pemerintahan, serta profil penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan prinsip-prinsip budaya kerja. Dari hasil identifikasi tadi, diharapkan dapat dirumuskan alternatif kebijakan yang lebih operasional dalam menumbuhkan dan membangun budaya kerja organisasi pemerintah daerah, sehingga dapat memacu kinerja pelayanan sektor publik secara lebih baik.

Samarinda, April 2005

Tidak ada komentar: