Ada
sebuah tradisi baru yang saya lakukan selama mengikuti Diklatpim II, yakni
menulis Jurnal Belajar Pribadi, atau lebih dikenal dengan sebutan jurnal
harian. Menurut Modul 1.A-1 (hal. 52), jurnal harian adalah suatu proses/teknik
memperdalam kesadaran diri sendiri ke alur proses kehidupan kita secara total,
atau sebuah proses belajar untuk mengerti diri sendiri dengan cara-cara baru.
Jurnal harian juga sebuah refleksi dari dalam diri kita, yang dapat memberi
stimulus atau dorongan untuk mencari banyak hal dari dunia luar. Adapun isi
jurnal dapat berupa kejadian atau peristiwa tertentu yang menarik perhatian
kita, kesan terhadap peristiwa tersebut, pembelajaran dan manfaat yang mungkin
ditarik dari kejadian yang dialami.
Dengan
demikian, sumber utama jurnal adalah pengalaman pribadi yang diendapkan. Dari
hasil pengendapan ini kemudian dilakukan refleksi, mengapa suatu
peristiwa/fenomena yang dialami tadi terjadi, apa hikmah atau lesson learned dari peristiwa/fenomena
tadi, serta siapa dan bagaimana memanfaatkan pelajaran yang berhasil diambil. Dengan
kata lain, proses refleksi yang mendalam akan menghasilkan konsepsi penulis
jurnal terhadap peristiwa/fenomena yang dialaminya. Selanjutnya, untuk
mematangkan konsepsi yang sudah terkonstruksi, kadang kala perlu adanya sebuah
proses pengujian konstruksi melalui sharing pengalaman, silang refleksi, atau
pengayaan konsepsi dengan jurnal yang ditulis orang lain. Proses dinamis dari
pengamatan atas peristiwa, yang membentuk pengalaman, lantas direfleksikan dan
membentuk konsepsi, untuk kemudian diuji ini sesungguhnya adalah sebuah siklus
pembelajaran (the wheel of learning).
Dengan roda pembelajaran seperti ini, tidak aneh jika menulis jurnal harian
pada hakekatnya adalah pembelajaran yang paling efektif.
Bagi
diri saya pribadi, saya sangat bersyukur dengan adanya kewajiban menulis jurnal
harian. Saya merasakan banyak sekali manfaat dari menulis jurnal. Pertama, jurnal adalah sarana untuk
mengikat ide-ide kita tentang sesuatu untuk kemudian mengembangkannya. Betapa
sering terpetik inspirasi dalam benak kita yang datang secara mendadak.
Inspirasi seperti ini, biasanya bersifat sekejap, namun memiliki kadar
originalitas tinggi. Jika ide seperti itu tiba-tiba lenyap, betapa ruginya kita
hanya karena kita malas menuliskannya dalam catatan kecil harian. Kedua, jurnal adalah sarana pembelajaran
yang sesungguhnya bagi seseorang, terutama peserta diklat. Fungsi jurnal ini
bukan sekedar menampung bahasa lisan (talking)
yang direkam dalam tulisan, namun juga bahasa pikiran (thinking), bahasa tubuh (being),
bahasa emosi (feeling), serta bahasa
tindakan (behaving). Maka, tidak aneh
jika jurnal merupakan satu-satunya produk pembelajaran dalam diklat aparatur
yang paling subyektif, namun paling jujur. Lebih hebat lagi, jurnal bukan
sekedar media komunikasi antara penulis dengan pihak diluar dirinya,
lebih-lebih ia adalah cermin sekaligus sparring
partner bagi dirinya sendiri.
Saya
sudah merasakan betul manfaat menulis jurnal. Ketika belajar soal proses
pembelajaran (learn, unlearn, relearn),
saya langsung bisa mengkaitkannya dengan kebijakan desentralisasi (lihat Jurnal
#3: Desentralisasi dalam Kacamata
Learning Organization). Atau,
ketika belajar tentang hukum disiplin kelima, tiba-tiba saya mendapat inspirasi
untuk mengaplikasikan dalam kasus nyata di lapangan (baca Jurnal #4: Sudah Belajarkah Pemerintahan Kita?). Terlalu
banyak konsep yang saya peroleh selama diklat dan sangat bermanfaat untuk
menganalisis peristiwa di permanent
system, namun sayang tidak semuanya mampu saya tuangkan dalam jurnal
harian. Andai saja agenda diklat tidak tersita oleh diskusi-diskusi kelompok
yang memakan waktu hingga larut malam – bahkan menjelang subuh – tentu
produktivitas menulis jurnal akan dapat berlipat.
Saking berkesannya saya
terhadap penulisan jurnal, saya sampai membayangkan alangkah bagusnya jika
penulisan jurnal dijadikan sebagai kurikulum wajib dalam seluruh jenis diklat
aparatur. Sudah waktunya penulisan jurnal ini menjadi mata diklat yang mandiri,
bukan sekedar penugasan tambahan yang tidak memiliki angka kredit memadai.
Jurnal dan pena bagi seorang cendekia, ibarat busur dan anak panah bagi seorang
pemburu, laksana syair dan melodi bagi seorang penyanyi, bagaikan kanvas dan
guratan bagi seorang maestro. Itulah media aktualisasi diri mereka. Cendekia
tanpa jurnal, pemburu tanpa busur, penyanyi tanpa syair, atau maestro tanpa
kanvas, adalah bukan siapa-siapa. Jurnal, busur, syair, dan kanvas, akan
mengubah sesuatu yang bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang penuh harga diri
dan kehormatan. Maka, diklat tanpa jurnal atau cendekia tanpa jurnal-pun
rasanya menjadi gersang seperti pohon tanpa dedaunan, hambar seperti canda
tanpa tawa, serta hampa seperti berjalan tanpa tujuan …
Kampus
Pejompongan Jakarta
Jum’at,
24 Juni 2011
SAYA MAHASISWA DARI UNISMA 45 BEKASI TERIMA KASIH INFO,.,
BalasHapus