Minggu, 17 Juli 2011

Gaya dan Persaingan Antar Widyaiswara

Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, sebuah persaingan adalah hal yang lumrah dan bahkan dianjurkan. Namun, lazimnya persaingan itu terjadi antar siswa atau peserta diklat, dan kurang lazim jika terjadi diantara para pendidik. Disamping itu, persaingan juga akan menjadi indah jika dilakukan dengan cara-cara sehat dan terhormat.

Nah, ada hal baru yang saya temui dan ketahui tentang psikologi widyaiswara. Ternyata, mereka tidak sekedar menyampaikan materi, membimbing, atau menjadi mitra pembelajaran bagi peserta Diklatpim II. Lebih dari itu, mereka juga memiliki “ambisi” untuk menjadi yang terbaik dibanding widyaiswara lainnya, baik dimata peserta maupun penilaian penyelenggara. Dengan kata lain, ada persaingan tersembunyi dibalik kekompakan para widyaiswara tersebut. Uniknya, hasrat menjadi yang terbaik tadi dikemas dengan target menjadikan kelompok yang dibimbing agar lebih baik dibanding kelompok bimbingan widyaiswara yang lain. Lebih unik lagi, empat widyaiswara pembimbing memiliki semangat yang sama untuk menjadi yang terbaik melalui penampilan terbaik dari kelompok binaannya. Hal ini saya ketahui dari hasil bincang-bincang dengan anggota kelompok yang lain dalam kesempatan informal seperti makan malam, foto copy, dan lain-lain.

Tentu saja, target menjadikan peserta didiknya menjadi yang terbaik adalah sebuah misi yang sangat mulia dari seorang pendidik, asalkan jalan menuju yang terbaik tadi benar-benar ditempuh melalui proses pembelajaran yang terbaik pula. Namun yang kami alami tidaklah seperti itu. Untuk mewujudkan dirinya sebagai yang terbaik melalui penampilan kelompok yang terbaik tadi, seorang widyaiswara sampai merasa perlu memberikan trik cara menjawab pertanyaan kelompok lain, atau memberikan seluruh materi ajarnya di awal-awal pertemuan, atau bahkan turut mengoreksi hasil kerja kelompok meski terhitung koreksi tidak bermakna. Saya sempat terhenyak ketika slide powerpoint kelompok tertentu masih ada footer bertuliskan: “Created by … (nama salah seorang widyaiswara)”. Maknanya jelas, peserta meng-copy file widyaiswara dan tinggal mengganti bagian-bagian tertentu sesuai kebutuhan. Seorang teman di kelompok lain juga mengeluh dengan “intervensi” widyaiswara yang hanya merubah penulisan B4 (misalnya) menjadi B-4. Disisi lain, ada widyaiswara yang mengkritik pertanyaan anggota kelompok lain yang dinilainya tidak tepat. Masih banyak lagi penggalan-penggalan cerita yang menarik dibalik persaingan terselubung tadi.

Singkatnya, peserta diklat pada fase pembelajaran Kajian Kebijakan Publik saat ini merasa agak “bergairah” dibanding pada tahap pembelajaran sebelumnya yakni Kajian Paradigma. Peserta terlihat sangat enjoy mengikuti irama widyaiswara pembimbingnya masing-masing dan memberikan tepuk tangan setiap kali mereka memuji kelompok sendiri dan merendahkan kelompok lain. Jika didalami lebih cermat, yang terjadi bukanlah widyaiswara yang memanfaatkan peserta untuk membangun citra dirinya, melainkan pesertalah yang mendapatkan tontonan dan permainan yang menyegarkan ditengah-tengah himpitan tugas yang makin menggila.

Selain aura persaingan tadi, saya melihat peserta agak merasa janggal ketika di akhir presentasi DIT (Diskusi Issu Terpilih), hanya koordinator widyaiswara yang memberikan komentar umum terhadap paparan keempat kelompok, sementara ketiga widyaiswara lainnya tetap duduk di barisan belakang peserta dan tidak diberikan hak untuk memberi komentar, tanggapan atau saran perbaikan. Kesan yang muncul, sang koordinator memiliki kemampuan lebih dibanding widyaiswara lainnya dan memanfaatkan posisinya untuk memperkuat diri pada peta persaingan yang ada. Saya sendiri langsung mengasosiasikan pemandangan ini dengan cara kerja birokrasi yang sangat menghormati struktur dan jabatan, bukan kompetensi dan profesionalitas. Mestinya, dunia widyaiswara yang notabene adalah jabatan fungsional tidak lagi terjangkiti penyakit birokrasi, namun faktanya masih saja ada widyaiswara yang bergaya birokrat murni.

Situasi seperti ini sangat kontras dibanding gaya yang diperagakan empat widyaiswara pada sessi Kajian Paradigma. Kekompakan mereka bukan lagi di permukaan, namun nampaknya lebih merasuk dalam bentuk penjiwaan profesi. Jikapun diantara merea masih ada persaingan, peserta tidak bisa mendeteksi sekecil apapun. Koordinator widyaiswara waktu itu juga memberi kesempatan yang sama kepada seluruh widyaiswara untuk memberi komentar terhadap hasil kerja kelompok binaannya maupun kelompok lainnya. Komentar-komentar mereka juga sangat berimbang, memberi apresiasi terhadap prestasi namun juga memberi koreksi terhadap kekurangan disana-sini. Mereka juga kompak dan saling memperkuat dalam memberi tanggapan, tidak terlihat adanya hasrat saling mengungguli, saling menggurui, atau saling memotong.

Dalam upaya transfer of knowledge, mereka cenderung membiarkan peserta untuk melakukan segala upaya dan menggali kreativitasnya masing-masing. Maka, bahan-bahan ajar dalam bentuk soft-files baru mereka berikan di akhir pembelajaran. Meski peserta saat itu merasa seperti tidak diarahkan sebagaimana mestinya, ternyata cara itu saat ini dirasakan jauh efektif dalam menumbuhkan semangat belajar. Hasilnya-pun ternyata relatif lebih baik dibanding pola yang saat ini berlangsung, yakni widyaiswara menyediakan template dan peserta tinggal melengkapinya.

Meskipun gaya widyaiswara di Kajian Kebijakan Publik ini sangat kontras dengan widyaiswara sebelumnya, dan meskipun kebanyakan peserta merasakan adanya shock therapy, namun semuanya kami sikapi sebagai bentuk pembelajaran. Perubahan kelompok, perubahan widyaiswara, perubahan gaya belajar, perubahan materi, dan berbagai perubahan lainnya, kami yakini sebagai bentuk latihan yang sangat baik guna mempersiapkan diri kembali ke permanent system nantinya. Seringkali, kita justru akan dapat banyak mengambil kebaikan dari situasi dimana kita tidak menginginkannya. Yang terpenting adalah mental model kita yang harus siap menghadapi perubahan, apapun bentuknya, dan seberapa pun tinggi intensitasnya. Dengan mental model yang baik, jangankan sebuah kebaikan, suatu kondisi yang tidak diharapkanpun akan selalu menjelma menjadi peluang meraih kebaikan. Inilah esensi seorang pembelajar, sekaligus tantangan seorang pemimpin …

Kampus Pejompongan Jakarta
Kamis, 14 Juli 2011

Tidak ada komentar: