Laman

Jumat, 01 Juli 2011

Kelelahan yang Mulai Menyergap


Secara jujur harus saya akui bahwa pada akhir minggu ke-3 penyelenggaraan Diklatpim II, rasa lelah telah menghinggapi fisik dan pikiran saya. Indikasi kelelahan ini nampak sekali dari menurunnya daya konsentrasi, semakin seringnya menguap terutama pada sessi-sessi ceramah yang kurang atraktif dan provokatif, serta menurunnya minat dan semangat untuk berperan secara optimal dalam setiap aktivitas di kelas maupun di kelompok. Tanpa maksud menggeneralisasi, saya melihat bahwa kelelahan juga sudah menyambangi peserta yang lain dengan cirri-ciri yang sama.

Jika melihat proses selama tiga minggu ke belakang, dapat dimaklumi mengapa kelelahan itu sudah menjangkiti banyak peserta meski diklat baru berjalan seperempat bagian. Tugas-tugas yang harus diselesaikan begitu banyak dan beragam. Sebelum masuk program, peserta sudah harus menulis kasus administrasi negara. Begitu masuk program, tugas individu maupun tugas kelompok sudah antri panjang menunggu sentuhan peserta. Tugas individu yang harus dituntaskan hingga akhir minggu ketiga dan awal minggu keempat antara lain berupa penulisan jurnal harian, laporan DIT (diskusi issu terpilih), dan pengajuan TOR untuk KTP2 (Karya Tulis Prestasi Perseorangan). Adapun tugas kelompok yang harus digarap meliputi DIT 1 s/d 7, integrasi DIT 1 s/d 3, integrasi DIT 4 dan 5, dan pengajuan TOR untuk KKT (Kertas Kerja Tema). Total tugas yang harus diselesaikan adalah 16 tugas individual dan 10 tugas kelompok. Itulah sebabnya, pada minggu pertama kami sudah harus kerja marathon hingga larut malam, bahkan menjelang subuh. Ketika kelas selesai jam 16.30, selepas shalat Isya’ kami sudah harus berkumpul untuk mengerjakan tugas kelompok hingga tengah malam. Setelah kerja kelompok selesai, barulah kami harus memikirkan tugas harian menyusun jurnal.

Tugas yang begitu menggunung, tentu memiliki dampak positif untuk pembelajaran kami semua. Akan tetapi ada juga sisi negatifnya, yakni menyedot energi peserta secara sangat cepat. Kurva diklat semestinya bergerak dari arah kiri bawah ke kanan atas, ibarat mesin diesel yang semakin panas semakin bertenaga. Namun yang justru terjadi adalah kurva terbalik yang bergerak dari titik kiri atas ke kanan bawah, seperti pemain bola yang semakin lama bermain semakin terkuras energinya. Fenomena kelelahan diatas mencerminkan secara nyata terjadinya penurunan daya tahan peserta diklat seiring berjalannya waktu.

Dampak terdekat dari kelelahan fisik adalah kelelahan mental. Dan ketika dimensi mental sudah terjangkiti kelelahan, maka akan menghasilkan umpan balik ke dimensi fisik berupa rasa malas dan hilangnya gairah. Kelelahan mental juga akan memicu berubahnya idealisme menjadi pragmatisme. Kualitas produk pembelajaran menjadi cenderung terabaikan dan tergantikan oleh pemenuhan tugas secara formalitas belaka. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka menjadi mudah untuk menjelaskan mengapa selalu hadir fenomena “Tuyul” dalam setiap penyelenggaraan diklat kepemimpinan.

Syukurlah, di tengah mulai berkeliarannya para tuyul, saya masih sanggup berdamai dengan tuyul. Artinya, saya tidak berkolaborasi dengan mereka, namun juga tidak memusuhinya, sehingga saya merasa tidak perlu menggunakan jasa tuyul-tuyul tadi, namun sayapun tidak akan mengganggu usaha mereka, meski saya tahu tuyul itu ada di depan mata saya. Saya pribadi percaya bahwa tidak ada gunanya sama sekali memusihi apalagi memerangi para tuyul, sebagaimana mustahilnya umat manusia memerangi penyakit masyarakat seperti pelacuran, perjudian, dan sebagainya. Baik pelacuran, perjudian, maupun tuyul-tuyul yang bergentayangan di semua lembaga diklat adalah penawaran (supply) dalam konsep ilmu ekonomi, yang selalu hadir sepanjang ada permintaan pasar (demand). Maka, strategi mengeliminasi berbagai penyakit tadi tidak akan pernah efektif jika ditempuh pada wilayah supply. Pelarangan, ancaman, atau sanksi apapun tidak akan menghasilkan efek jera bagi para penyedia jasanya (supplier, provider). Akan lebih bijaksana jika wilayah supply yang disentuh, dengan gerakan penyadaran bahwa jasa-jasa tadi hanya memberikan efek kesenangan sesaat namun merusak dalam jangka panjang. Dan ketika jumlah permintaan semakin sedikit, maka penawaran juga makin sedikit, dan secara alami akan mati pada saatnya.

Oleh karena itu, alangkah baiknya jika paradigma diklat aparatur pada umumnya dan Diklatpim II pada khususnya, diubah dari orientasi kuantitas menjadi kualitas. Artinya, lebih baik produk pembelajaran sedikit namun berbobot, dibanding produk pembelajaran yang menumpuk namun tidak bermakna. Konkritnya, saya pribadi menyarankan pemangkasan tugas kelompok menyusun 7 laporan DIT plus 2 DIT integrasi, hanya menjadi 3 DIT saja. Pengurangan jumlah produk ini perlu dilakukan tanpa harus mengurangi alokasi waktu pembelajaran, sehingga interaksi diskusi dalam kelompok dapat berlangsung lebih lama, tidak lagi dikejar-kejar deadline untuk segera menghasilkan laporan.

Hal ini sekaligus dimaksudkan untuk mencegah merebaknya virus kelelahan yang hanya menurunkan kualitas dan daya saing diklat.

Kampus Pejompongan Jakarta
Kamis, 30 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar