Laman

Selasa, 26 Juli 2011

Sisi Lain Diklatpim II


Dibalik proses pembelajaran yang terstruktur, Diklatpim II sesungguhnya menawarkan banyak keuntungan lain. Keuntungan tadi jelas bukan keuntungan material, namun lebih banyak keutungan immaterial, dari bertambahnya kawan yang membentuk jaringan, kesempatan untuk menunjukkan jati diri kita dihadapan pejabat dari berbagai kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah, serta ilmu-ilmu, hikmah, dan semangat yang kita peroleh dari sesame peserta. Pendeknya, keberadaan kawan-kawan peserta adalah sumber ilmu dan kearifan yang semestinya kita manfaatkan untuk meningkatkan ilmu dan kearifan kita. Dalam konteks inilah saya menulis jurnal ini.

Salah seorang peserta yang saya panggil “ustadz” sering sekali memberikan nasihat-nasihat yang menjadikan suasana Diklatpim II menjadi tidak garing. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya dunia ini tidak ada nilai. Jika dunia bernilai, maka orang kafir akan diharamkan oleh Allah SWT mendapatkannya. Hal yang paling bernilai di dunia ini adalah agama, yang hanya diberikan kepada yang beriman. Ironisnya, dalam kehidupan kita sehari-hari, kita terlalu disibukkan untuk membicarakan memamerkan sampah (analogi untuk dimensi duniawi yang tidak bernilai), sementara intan berlian (analogi untuk agama dan kehidupan di alam nanti) malah tidak banyak dibicarakan dan dipamerkan. Ini mencerminkan bahwa mata manusia tertipu oleh hal yang nampak (material). Hal-hal yang tidak nampak tertutup oleh hujjah, yang hanya akan terbuka jika kita dekat dengan agama dan mencari sesuatu yang immaterial (transedental). Contoh orang yang terbutakan adalah pejabat tinggi yang tidak bisa nyenyak meski tidur di istana, sementara orang biasa tidur pulas meski hanya di asrama.

Pada kesempatan lain sambil menunggu penceramah yang datang terlambat, sang ustadz juga menceritakan bahwa sesuatu yang pasti, namun karena tidak diulang-ulang, maka menjadi seolah-olah tidak pasti. Sebagai contoh, adalah maut. Entah kapan dan dimana, maut akan datang kepada segala hal yang hidup. Sayangnya, meski maut adalah hal yang mutlak kebenarannya, banyak orang yang tidak menyiapkan diri untuk menghadapinya, seolah-olah mereka masih belum yakin bahwa maut akan menjemputnya. Hal ini karena jarang sekali kita membicarakan soal maut dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, sesuatu yang tidak pasti, karena diulang-ulang, maka terlihat seolah-olah menjadi pasti. Contohnya adalah kehidupan dunia soal karir, pendidikan, kekayaan, atau juga kondisi masa depan. Apa yang kita lakukan dengan kerja keras dari pagi hingga malam seolah-olah sudah pasti akan memberi keuntungan dan nilai tambah bagi hidup kita. Padahal, dunia adalah kehidupan yang sesungguhnya semu, bahkan cenderung “menipu”, kecuali bagi mereka yang tidak mau terjerumus kedalam permainan dunia yang penuh jebakan dan senda-gurau.

Dalam kasus lain, karena AS berkali-kali disebut sebagai negara super power baik secara militer maupun ekonomi, maka orang membayangkan jika suatu negeri diserbu AS maka pasti hancur lebur dalam hitungan hari. Namun dia tidak berpikir bahwa bencana tsunami yang meluluhlantakkan Aceh (2004) dan Jepang (2011) hanyalah setitik abu dari kekuasaan Allah yang begitu besar tak terbatas. Dalam kenyataannya, orang justru mengagumi kehebatan AS dibanding kekaguman kepada Sang Pencipta alam semesta.

Berbagai ilustrasi tadi menyiratkan sebuah kondisi dimana nilai-nilai agama sudah mulai tergerus oleh pragmatisme keduniawian. Saking pendeknya pemikiran manusia, orang tua selalu menasihati anaknya agar menggantungkan cita-cita setinggi langit. Padahal, langit hanyalah setitik ciptaan Allah yang teramat luas diluar kemampuan akal pikiran manusia. Oleh karena itu – menurut ustadz teman saya tadi – seharusnya kita menggantungkan cita-cita semata-mata hanya untuk menuju kepada pencipta kita, yakni Allah SWT, dan meraih ridho-Nya.

Kondisi serba keduniawian tadi sedikit banyak dikontribusikan oleh sistem pendidikan formal, pendidikan informal, maupun pendidikan aparatur yang sangat sekuler dan kurang sekali memberi porsi pendidikan akhlak, budi pekerti, etika, dan keagamaan. Oleh karena itu, paradigma pendidikan di Indonesia semestinya lebih memberi porsi terhadap muatan-muatan spiritualitas dan keagamaan.

Selain teman yang ustadz tadi, saya juga beruntung mengenal seseorang yang telah cukup sepuh (57 tahun) yang sudah saya anggap sebagai saudara bahkan orang tua bagi saya. Ciri khas beliau adalah sangat kocak, baik hati, dan suka memotivasi orang lain. Saya adalah salah seorang yang didukung oleh beliau untuk menjadi yang terbaik dalam kelas kami. Beliau mengatakan bahwa pegawai seusia saya memang harus memiliki target-target yang tinggi dan tidak boleh kendor. Beliau juga memiliki keyakinan bahwa saya memiliki kemampuan memadai untuk menjadi yang terbaik.

Dengan lingkungan sosial seperti si ustadz atau teman yang sudah saya anggap sebagai bapak tadi, maka saya merasa keberadaan saya dalam program Diklatpim II begitu tidak sia-sia. Banyak keuntungan yang benar-benar saya dapatkan, dan saya yakini sangat bermanfaat bagi diri saya pribadi. Tentu saja, saya juga berusaha agar keberadaan saya membawa keberuntungan dan manfaat buat teman-teman yang lain.

Kampus Pejompongan Jakarta
Selasa, 26 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar