Laman

Kamis, 07 Juli 2011

Tentang Fenomena "Ghost Writer"

Di jurnal #12 dan #13 saya telah menyinggung soal fenomena “tuyul” atau ghost writer. Kebetulan sekali minggu ini peserta sudah harus mulai menulis TOR KTP-2 (Karya Tulis Prestasi Perseorangan), yang didahului oleh penjelasan teknik penulisan lengkap dengan etikanya. Dalam sessi penjelasan penulisan KTP-2 tersebut, diingatkan kembali oleh penyelenggara bahwa menggunakan jasa pihak lain dalam penulisan KTP-2 adalah perbuatan tidak etis yang dapat dikategorikan sebagai tindakan plagiasi atau plagiarism. Untuk memagari kemungkinan plagiasi tadi, peserta bahkan diharuskan membuat “Pakta Integritas” yang berisi pernyataan bahwa KTP-2 yang dihasilkan adalah benar-benar karya pribadinya.

Namun, nampaknya himbauan tinggal sebagai himbauan, dan pakta integritas-pun hanya menjadi formalitas belaka. Hingga saat ini belum ditemukan formula yang manjur untuk menghapuskan fenomena ghost writer ini. Penyakit ini rupanya sudah mengakar dalam tradisi pendidikan di Indonesia, sehingga tidak aneh jika jasa pembuatan karya tulis terjadi di seluruh lini pendidikan sejak tingkat Sarjana (S1), Master (S2), Doktor (S3), hingga pemenuhan syarat sebagai Profesor atau jabatan fungsional tertentu. Jika di lembaga-lembaga pendidikan formal yang begitu terhormat masih dijumpai praktek menyimpang seperti itu, apalagi “hanya” di tingkat pendidikan dan pelatihan yang seringkali tidak memberikan civil effect bagi alumninya.

Munculnya fenomena ini, selain karena faktor pasar bertemunya permintaan dan penawaran, juga bisa dilihat sebagai sebuah simbiose mutualisme antara pengguna jasa dan penyedia jasa. Disatu pihak, pengguna jasa, yakni peserta diklat, sering dihadapkan pada permasalahan seperti kelelahan, konsentrasi yang terbelah karena masih menjalankan tugas-tugas kantor, keterbatasan dalam mengoperasikan komputer (gaptek) khususnya pemakaian aplikasi vensim atau supersim, atau memang kadar inteligensia yang pas-pasan. Untungnya, pihak yang mengalami permasalahan ini pada umumnya memiliki kemampuan finansial menengah keatas. Pada pihak lain, terdapat sekelompok terpelajar yang memiliki kemampuan akademis cukup tinggi namun belum memiliki sumber penghasilan yang permanen dan memadai kebutuhan hidupnya. Maka, ibarat botol ketemu tutupnya, atau keris ketemu warangkanya, atau mur ketemu bautnya, terjadilah interaksi dan transaksi yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Yang mengejutkan, tarif jasa intelektual ini lumayan murah, “hanya” berkisar antara 3 hingga 3,5 juta untuk seluruh produk individual, mulai dari TOR KTP-2, DIT 3 kajian (paradigma, kebijakan publik, dan manajemen strategis), serta KTP-2 itu sendiri. Tentu, peserta juga akan dibantu dalam hal penyiapan slide presentasinya. Dengan harga yang sangat kompetitif ini, orang yang tadinya tidak berminat-pun jadi tergoda untuk memanfaatkan jasa si “hantu penulis”. Godaan akan semakin besar ketika kita tahu bahwa para “hantu” tadi bukanlah orang sembarangan, namun dapat dikatakan professional baik dalam manajemen operasionalnya maupun SDM pelakunya. Bukti bahwa mereka bukan orang biasa, mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengaplikasikan tools dan teknik-teknik analisis manajemen yang diajarkan pada Diklatpim II, padahal mereka tidak pernah mengikuti Diklatpim II sebelumnya. Lebih hebatnya lagi, mereka tidak hanya melayani peserta selama berada di kampus, namun juga setelah kembali ke instansinya masing-masing. Alumni yang karirnya meningkat dan menjadi kandidat Sekretaris Daerah, atau balon (bakal calon) Kepala Daerah, biasanya akan kembali minta bantuan jasa si “hantu” untuk pembuatan kertas kerja yang berisi tentang visi misi calon Sekda atau Kepala Daerah.

Mencermati peta situasi seperti itu, akan sangat sulit bagi penyelenggara diklat untuk mencegah peserta agar tidak tergoda oleh ghost writer tersebut. Dari pengamatan sehari-hari di asrama maupun di kelas, saya pribadi memperkirakan bahwa pengguna jasa “illegal” ini mencapai 60 persen dari total peserta.

Meskipun fenomena ini sangat sulit dibasmi, bukan berarti tidak ada hal yang tidak bisa dilakukan. Penyelenggara harus mengindentifikasi secara cermat faktor-faktor pendorongnya, kemudian menentukan strategi yang jitu untuk mengatasinya. Sebagai contoh, jika sejak awal sudah diketahui bahwa seorang peserta memiliki kendala dalam mengoperasikan komputer, maka bisa saja penyelenggara menyediakan jasa resmi pengetikan. Atau, penugasan apapun bagi peserta dengan jenis kesulitan ini tidak perlu diketik, namun cukup dikerjakan dengan tulisan tangan. Sementara itu jika peserta mengalami kesulitan dalam memahami materi yang diberikan, maka kepadanya dapat diberikan penugasan lain dengan kadar kesulitan yang lebih rendah, atau diberikan tambahan waktu untuk make-up, atau dikelompokkan dengan peserta lain yang memiliki jenis kesulitan yang sama agar menghasilkan produk pembelajaran secara kolektif (tidak dipaksa bekerja secara individual). Intinya, setiap jenis kesulitan yang berbeda harus di-treatment dengan cara yang berbeda pula.

Dengan pola penugasan yang didasarkan pada case per case seperti ini, diharapkan para “hantu” yang bergentayangan dapat ditekan secara signifikan. Wallahualam bissawab …

Kampus Pejompongan Jakarta
Selasa, 5 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar