Mengikuti
Diklatpim II selama bulan Ramadhan mengandung pergulatan batin yang tidak akan
ditemui diluar bulan suci umat Islam ini. Pergulatan itu adalah antara
keinginan untuk mengisi bulan puasa dengan ibadah-ibadah tambahan seperti
shalat tarawih, I’tikaf (berdiam diri di masjid), membaca surat-surat suci
Al-Quran, dan sebagainya. Maklumnya, pahala ibadah sunah selama bulan Ramadhan
disamakan dengan pahala ibadah wajib, sementara ibadah wajib dilipat gandakan
pahalanya.
Namun,
apakah hal tersebut dapat menjadi pembenar bagi kita untuk meninggalkan
kewajiban dalam program diklat? Pantaskah kita mengatakan bahwa tugas-tugas
selama diklat hanyalah urusan dunia belaka yang tidak penting karena tidak akan
kita bawa mati? Bukankah Islam mengajarkan keseimbangan antara urusan dunia dan
akherat? Bukankah urusan dunia adalah ladang untuk bekal menuju akherat?
Terus
terang saya sering merasa iri dengan orang-orang yang berpandangan seperti itu.
Mereka begitu gampangnya meninggalkan kelompok dengan dalih ibadah. Sayapun
ingin sekali rasanya meninggalkan kelompok dan bertafakur khidmat dalam sujud
dan doa kepada-Nya. Tapi terus terang, saya tidak bisa dan tidak tega. Ketika
saya membayangkan untuk meninggalkan kelompok, saya merasa seperti seorang
pejuang yang mundur sebelum sampai di medan perang. Saya seperti seorang
pecundang yang takut gagal dengan mencari segudang alasan. Saya seperti seorang
yang mau berbuat namun tidak mau menerima akibat. Maka, akhirnya saya putuskan
bahwa saya tidak akan pernah meninggalkan kelompok. Bahkan saya pernah bekerja
seorang diri pada saat SL di Kalsel untuk memilah-milah jawaban kuesioner dari
para responden, untuk didistribusikan kepada kelompok masing-masing. Kenyataannya,
saat itu semua angkat tangan dan tidak ada satupun yang menyentuh dokumen
tersebut!
Konsekuensinya
jelas, saya kehilangan kesempatan untuk duduk termenung memikirkan soal
kematian, soal dosa yang menggunung, soal pengakuan dosa dan pertaubatan, soal muhasabah
untuk memperbaiki diri, dan sebagainya dan seterusnya. Ironisnya, ketika saya
melakukan urusan “duniawi” tadi, ada saja teman yang menasihati agar saya tidak
terlalu memikirkan urusan duniawi. Bukankah apa yang saya lakukan adalah juga
urusan yang mereka tinggalkan? Saya yakin benar bahwa merkapun sadar bahwa apa
yang saya kerjakan bukanlah semata-mata urusan pribadi saya. Namun tetap saja
mereka merasa sebagai orang suci yang sedang meluruskan jalan seorang pendosa.
Pengalaman
ini terus berjalan sejak tahap Studi Lapangan hingga penulisan akhir KKT
Kelompok dan KKT Kelas. Dan pengalaman seperti inilah yang saya katakan
menimbulkan pergulatan batin. Untunglah bahwa saya mampu mengendalikan emosi
untuk tidak membalikkan omongan sok suci dari seseorang. Saya juga menilai diri
saya beruntung tetap dapat mengerjakan tugas-tugas kelompok meski dalam dasar
hati sering berontak dan protes keras dengan sikap egois beberapa teman. Lebih
dari itu, saya juga merasa beruntung bahwa saya memiliki pemahaman yang saya
pegang teguh bahwa meskipun saya sedang mengerjakan urusan duniawi, namun nilai
ibadahnya tidak kalah dengan ibadah teman-teman lain. Sebab, bagi saya ibadah bukanlah
urusan ritual belaka, namun lebih kepada pemberian makna kebaikan dan ketulusan
terhadap apapun yang kita lakukan, disertai dengan harapan bahwa apapun yang kita
lakukan akan memberi kemudahan dan kemanfaatan bukan hanya bagi diri pribadi kita,
namun juga bagi kelompok yang lebih luas.
Dengan
kata lain, saya mencoba tidak membuat dikotomi antara tugas kedinasan (termasuk
tugas mengikuti Diklatpim) dengan ibadah keagamaan. Keduanyapun dapat menjadi ibadah
tergantung kepada niat kita: tugas kedinasan adalah ibadah dalam dimensi horizontal,
sedangkan ibadah keagamaan lebih pada dimensi vertikal. Saya sering mendengar ceramah
bahwa tugas-tugas sosial kadang lebih penting dibanding ibadah ritual. Kisah-kisah
tentang seorang anak sholeh yang sulit melewati sakaratul maut karena belum ada
maaf dari Ibunya, atau kisah seorang yang memberi minum anjing yang kehausan, atau
kisah Khalifah Umar yang memanggul beras untuk rakyatnya, dan sebagainya, adalah
sedikit contoh betapa kita harus memperhatikan dimensi horizontal selama hidup di
dunia. Penyakit bangsa kita adalah kesolehan individu yang tidak pernah menjelma
menjadi kesolehan sosial, karena setiap individu lebih mementingkan dimensi vertikalnya.
Maka, keduanya haruslah seimbang, sebagaimana keseimbangan sistem tata surya dalam
alam semesta raya ini.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Jumat,
19 Agustus 2011
Saya menikmati paparan Anda. Sementara ini saya hanya dapat mengatakan terima kasih atas pencerahannya
BalasHapusmakasih byk atas komen dan apresiasinya. jika ada yg bisa saya bantu, tentu dengan senang hati akan saya lakukan. namun alangkah indahnya jika anda mau membuka identitas agar silaturahmi kita bisa terjalin lebih dekat. thanks again.
BalasHapus