Laman

Rabu, 03 Agustus 2011

Hari Pertama Puasa di Kelas


Hari ini adalah hari kedua puasa, yang menjadi hari pertama puasa di kelas Diklatpim II (hari pertama puasa diisi dengan belajar mandiri). Ada sedikit situasi yang berbeda dibanding hari-hari sebelumnya, yakni suasana kelas yang lebih sepi karena ada beberapa kawan yang mengambil ijin. Selebihnya, peserta terlihat tetap enerjik dan semangat, tidak nampak raut-raut muka lesu. Entah karena baru dua hari berpuasan atau alasan lain, yang pasti semangat peserta dalam belajar sehari penuh membuat saya salut dan berbangga hati.

Hari pertama pembelajaran pada bulan Ramadhan ini juga ditandai dengan kejutan menyenangkan dari peserta yang baru kembali dari daerah. Saya sangat terkejut ketika waktu berbuka tiba, ternyata di ruang makan telah terhampar begitu banyak makanan khas daerah, yang paling banyak adalah empek-empek Palembang. Ada juga kawan yang membawa Bolu Meranti khas Medan, jojorong khas Banten, dan sebagainya. Sangat mungkin situasi ini tidak akan terulang besok dan hari-hari berikutnya. Pemandangan di ruang makan tadi, sekali lagi, meyakinkan saya bahwa bangsa kita teramat kaya dengan aneka ragam budaya, yang salah satu wujudnya berupa aneka ragam makanan tradisional.

Seketika saya terinspirasi oleh jurnal #33 tentang warisan budaya berupa sarung yang selayaknya mendapat perhatian serius dari pimpinan nasional. Demikian pula, potensi kuliner dari berbagai daerah juga harus dipromosikan secara optimal, misalnya dengan menjadikannya sebagai menu pilihan pada program diklat yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Selama ini saya mencermati bahwa kebijakan pemerintah belum cukup membuka ruang bagi pengembangan produk unggulan lokal. Wacana keberpihakan begitu gencar namun realisasi sering tidak sesuai dengan wacana yang didengung-dengungkan. Karena bangsa kita lebih pandai berwacana, maka ketahanan pangan sulit sekali terwujud meski Indonesia adalah negara agraris; kelangkaan air bersih terjadi dimana-mana meski tingkat curah hujan sangat tinggi hingga menimbulkan bencana banjir; pemasukan devisa sektor pariwisata rendah sementara potensi atraksi budaya dan keanekaragaman wisata melimpah ruah; rakyat dan pemerintah miskin meski kekayaan alam nyaris tak terbatas. Lebih ironis lagi, ketika kekayaan kita di-claim oleh negara tetangga, baru kita merasa kecolongan dan bertindak reaktif. Artinya, kesadaran sebagai bangsa akan kekayaan dirinya sangat terlambat sebagai akibat kebijakan publik yang seringkali tidak berpihak kepada diri sendiri dan lebih banyak melihat keluar (outward looking).

Padahal, kebijakan pemerintah sesungguhnya tidak hanya berfungsi regulatif untuk menciptakan ketertiban ditengah masyarakat, namun juga untuk menggali dan memberi nilai tambah terhadap potensi anak bangsa, sekaligus untuk menciptakan keberdayaan rakyat kecil, komoditas yang berdaya saing lemah, serta melindungi kelompok masyarakat yang tidak beruntung secara sosial ekonomi maupun politik (disadvantaged groups). Perkara sebuah kebijakan harus berpandangan jauh melampaui spectrum (out of the box), adalah sebuah kebutuhan. Namun jangan sampai pandangan keluar tadi kemudian melenakan diri dari kewajiban untuk berpikir kedalam (inward looking). Dengan kata lain, harus ada keseimbangan antara berpikir global dengan bertindak lokal (think globally, act locally).

Satu hal lagi yang saya amati pada hari ini adalah “kemanjaan” peserta yang meminta dilakukan penyesuaian jadual pembelajaran. Kemanjaan pertama sudah terjadi minggu lalu ketika minta kepada penyelenggara untuk menetapkan hari senin, 1 Agustus, sebagai aktivitas belajar mandiri. Implikasi dari penetapan sebagai belajar mandiri tadi, maka pada hari Selasa dan Rabu ada tambahan jam belajar malam hari. Namun, pengurus kelas – atas nama peserta – sekali lagi meminta dispensasi agar jam malam tadi ditarik ke sore hari, sehingga jam 18.00 seluruh rangkaian belajar sudah dapat diakhiri.

Sebagai peserta, tentu saja saya sangat tidak keberatan dengan opsi tersebut. Namun sebagai bagian dari organisasi publik yang dituntut untuk mampu menunjukkan konsistensi atas pilihan, ketaatan terhadap aturan, serta keteladanan bagi orang lain, saya cenderung memilih untuk berpegang teguh pada jadual semula. Jika seorang pemimpin atau calon pemimpin tidak memegang janjinya, apa yang akan terjadi dengan orang-orang yang dipimpinnya? Jika pemimpin tidak mau bekerja keras dan berkorban diri, bagaimana mungkin orang lain akan meneladaninya? Sikap manja dan upaya untuk selalu mencari dispensasi jelas tidak mencerminkan jiwa kepemimpinan yang kokoh.

Saya jadi mengerti kata pepatah: guru kencing berdiri, murid kecing berlari. Pepatah serupa dari Arab mengatakan: saya lebih takut 1000 pasukan itik yang dipimpin seekor singa, dari pada 1000 pasukan singa yang dipimpin oleh seekor itik. Pelajaran yang terkandung dalam kedua pepatah tadi adalah, baik buruknya suatu organisasi, maju mundurnya sebuah negara, dan berhasil tidaknya sebuah misi, akan sangat tergantung pada pemimpinnya. Nah, jika dalam temporary system saja peserta sudah manja, bagaimana ketika kembali ke permanent system nantinya?

Kampus Pejompongan Jakarta
Selasa, 2 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar