Senin, 25 Maret 2013

Jasmerah


Jasmerah! Adakah warga negara Indonesia yang tidak mengetahui istilah ini? Ini adalah judul pidato Bung Karno memperingati HUT RI pada tahun 1966.  

Istilah “Jasmerah” sendiri sudah begitu memasyarakat, namun tidak banyak yang paham esensinya, sejarahnya, serta nilai-nilai intrinsik yang terkandung di dalamnya. Kebetulan, agenda Diklatpim I hari ini adalah visitasi ke Arsip Nasional (ANRI). Deputi Konservasi Kearsipan yang menerima kami juga sempet mengingatkan bangsa ini agar tidak menjadi bangsa yang terjangkit penyakit amnesia, yakni lupa dengan sejarah bangsa sendiri. 

Pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: mengapa kita harus ingat sejarah? Pasti akan banyak jawaban sesuai persepsi dan penghayatan seseorang terhadap kandungan sejarah bangsanya. Namun bagi saya, mengingat-ingat sejarah kebangsaan akan menjamin masyarakat memiliki jati diri dan identitas bangsa. Jika masa silam (sejarah) adalah “sangkan” (asal muasal), dan masa depan adalan “paran” (arah tujuan), maka kedua dimensi waktu tersebut sesungguhnya membentuk sebuah garis lurus secara imajiner. Dalam filsafat Jawa dikenal ungkapan sangkan paraning dumadi. Artinya, manusia harus tahu dari mana berasal, dan kemana dia akan menuju. Tidak masuk akal seseorang dapat mengkonstruksi masa depannya tanpa merekonstruksi masa silamnya. Kalaupun hal seperti itu terjadi, maka yang terjadi sesungguhnya adalah amnesia sejarah, yakni hilangnya kesadaran manusia dalam dimensi ruang dan waktu. 

Sangat boleh jadi, bangsa Indonesia dewasa ini mengalami gejala hilangnya kesadaran kolektif akan akar sejarah kemanusiaan. Sebagai contoh, ketika sekelompok orang Papua menginginkan berpisah dari Republik dengan mendirikan OPM, semestinya tidak dihadapi dengan kekuatan militer, namun cukup ditunjukkan dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969, yang membuktikan bahwa masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan Indonesia. Bukti keinginan dari masyarakat Irian Barat itu adalah dengan adanya pernyataan tekad secara tertulis dan dikuatkan oleh tanda tangan atau cap jempol dari para Kepala Suku di Irian Barat. Selanjutnya hasil Pepera itu dibawa ke Sidang Umum PBB pada tanggal 19 November 1969, yang memutuskan menerima dan menyetujui hasil Pepera. Nah, jika saat ini ada generasi baru Papua yang menuntut merdeka, maka sebenarnya mereka adalah orang-orang yang amnesia, karena tidak pernah menengok pada sejarah para pendahulunya. 

Demikian pula dengan terjadinya hingar-bingar politik 10 tahun terakhir, rasanya teramat sulit bagi para elite politik di Pusat maupun Daerah untuk bersatu padu, merapatkan barisan, menyingsingkan lengan, saiyeg saeka praya, menyatukan kekuatan untuk membangun bangsa yang besar dan mensejahterakan rakyatnya. Yang terjadi adalah fakta sebaliknya, dimana rakyat disuguhi oleh berbagai tontotan berupa pertarungan kepentingan dan keserakahan menjadi penguasa, yang semuanya itu hanya akan melunturkan jiwa-jiwa kebangsaan. Mengapa mereka tidak bisa belajar dari sejarah, misalnya pada saat perumusan naskah Proklamasi di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Jalan Meiji Doori (sekarang Jl. Imam Bonjol No. 1). Sejak malam tanggal 16 Agustus 1945 hingga ditandatanganinya naskah tersebut oleh Soekarno Hatta menjelang fajar menyingsing tanggal 17 Agustus 1945, berkumpul 29 tokoh pergerakan yang berasal dari berbagai suku dan berbagai latang belakang, namun semuanya menyatukan diri hanya demi Indonesia Merdeka. 

Uniknya, ketika rezim Orde Baru tumbang dan masuklah era reformasi, tokoh-tokoh yang mengaku reformis juga sempat kumpul di gedung yang sekarang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi itu. Namun sayangnya, begitu pertemuan bubar, mereka kembali kepada kepentingannya masing-masing yang sempit dan melupakan kepentingan negara secara utuh (sumber: bapak Lutfi, pemandu museum). Tentu saja mereka selalu mengatasnamakan setiap langkah dan perilakunya sebagai perpanjangan suara dan mandat rakyat, namun rakyat pula yang dapat menilai apakah mereka benar-benar tulus dalam perjuangannya atau dilandasi pamrih-pamrih tertentu. Dalam konteks seperti inilah, kita sangat layak menyimak kembali sepenggal pidato Bung Karno sebagai berikut: 

Abraham Lincoln, berkata: “one cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah”, tetapi saya tambah: “Never leave history”. Inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah historymu. Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah AKUMULASI dari pada hasil SEMUA perjuangan kita dimasa lampau. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap.

Bercermin pada kondisi kekinian tentang centang-perenang politik nasional yang gaduh dan menjengahkan, nampaknya itu semuanya bukti bahwa bangsa ini sudah terlalu jauh dan terlalu lama melupakan sejarah, sehingga terjadi berbagai disharmoni sosial antar komponen bangsa. Nampaknya para elite jaman “reformasi” ini tidak mampu mengambil moment of truth ketika berada di tempat yang disebut sebagai “Titik Nol Republik”. Mereka juga gagal menjawab pertanyaan: sudah seberapa jauhkah Republik ini berjalan sejak langkah pertama di titik nol? Ketika mereka gagal memanfaatkan moment of truth sekaligus menjelaskan kepada rakyat tentang jejak langkah Republik, maka pada hakekatnya langkah mereka tidak pernah beranjak maju, alias hampa dalam dinamika politik yang tidak produktif. 

Dalam konteks Diklatpim I, saya tiba-tiba khawatir bahwa kunjungan ke ANRI maupun Museum Naskah Proklamasi ini tidak akan membekas apapun dalam hati dan sanubari para peserta. Menanamkan nilai-nilai kejuangan seperti rela berkorban, mendahulukan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi, semangat mengabdi bukan hasrat memimpin, adalah persoalan pembangunan karakter bangsa (nation building and character building), yang membutuhkan proses panjang dan berkesinambungan. Maka, kunjungan sehari dapat dipastikan tidak menimbulkan deep impact bagi peserta. Repetisi (pengulangan) untuk menggaungkan pidato pada tokoh kemerdekaan, kisah-kisah heroik para pejuang, promosi nilai-nilai kepahlawanan, dan  sebagainya, menjadi kata kunci untuk mengembalikan rasa kebangsaan (sense of nationality) yang mulai hambar. 

Metode pengajaran sejarah perjuangan bangsa untuk anak-anak SD, SMP, dan SMA pun, perlu ditinjau kembali. Menghapal saja tidaklah cukup. Mereka juga harus mampu “menurunkan” hapalan sejarah (dimensi kognitif) menjadi penghayatan (dimensi afentif), hingga akhirnya akan mempengaruhi perilaku kolektif generasi penerus bangsa (dimensi psikomotorik). Untuk itu, pembelajaran di kelas juga tida memadai lagi. Anak-anak itu harus sering-sering dibawa ke lokasi riil terjadinya peristiwa bersejarah, agar mereka tidak lupa sejarah nenek moyangnya, sekaligus menumbuhkan daya imajinasi dan visualisasi masa silam guna menangkap “roh” para pejuang dan kemudian me-utilisasi untuk merancang pembangunan nasional di masa depan berbasis karakter bangsa.  

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 25 Maret 2013

Tidak ada komentar: