Laman

Jumat, 22 Maret 2013

Refleksi Kebangsaan (Calon) Pemimpin


Saya sungguh beruntung mendapat penugasan mengikuti Diklat Kepemimpinan Tingkat I. Sebagai seorang yang selalu mengaku sebagai pembelajar dan haus dengan kebaruan diberbagai bidang, saya sangat antusias untuk menjalani seluruh agenda yang ditawarkan penyelenggara. Sayapun telah menyiapkan diri 100 persen baik secara fisik maupun mental untuk mengambil manfaat terbesar bagi diri saya. Dari kemanfaatan diri ini, saya berharap akan dapat berbuat jauh lebih baik untuk institusi yang telah membesarkan saya selama 20 tahunan terakhir.
 
Pada saat upacara pembukaan, kami dapat informasi bahwa salah satu agenda yang didalami pada Diklatpim Tingkat I adalah Kajian Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, dan Kepemimpinan Nasional. Bukan berarti agenda lain tidak penting, namun saya memberi perhatian lebih untuk soal kebangsaan. Dan setelah mendengarkan ceramah Dr. Yudi Latif tadi pagi, saya semakin yakin bahwa pembangunan nilai-nilai kebangsaan (cinta tanah air, pride sebagai warga negara, tekad untuk mendarmabaktikan diri demi negeri) semakin urgen di era globalisasi dan demokrasi sekarang ini.
 
Banyak alasan yang mendasari pemikiran saya mengapa soal kebangsaan ini penting, terutama dalam konteks penyelenggaraan Diklatpim I. Pertama, peserta Diklatpim I adalah para pegawai yang hampir mendekati puncak karier. Artinya, cara pandang yang dimiliki tidak lagi berada pada level institusi apalagi unit kerja. Kapasitas (calon) pemangku jabatan Eselon I tentu tidak lagi pada tataran operasional, namun telah berpindah ke wilayah yang lebih strategis, yang menuntut keluasan perspektif dalam melihat suatu masalah serta kemampuan menganalisis kompleksitas permasalahan secara substansial.
 
Kedua, ada kecenderungan permasalahan kebangsaan dewasa ini semakin membesar. Di tingkat elite politik, terlihat secara kasat mata pertikaian antar politisi baik dalam parpol yang sama ataupun antar parpol. Koalisi yang tidak pernah sehati dan saling menyandera juga mewarnai perjalanan politik nasional 5 tahun terakhir. Di lingkungan eksekutif diwarnai oleh pertikaian para pembantu Presiden yang saling mengancam, misalnya terkait issu kongkalikong anggaran. Para Gubernur se Kalimantan juga pernah bersatu untuk memboikot pengiriman batu bara ke pulau Jawa sebagai bentuk kebijakan pembatasan kuota BBM bersubsidi. Di tataran akar rumput, konflik jauh lebih massive dan beragam, sejak kasus Sampit, Poso, dan Ambon, hingga kasus Ahmadiyah dan Gereja Yasmin. Singkatnya, konflik di Indonesia tidak hanya terjadi antara rakyat vs rakyat, namun juga rakyat vs negara, dan bahkan negara vs negara.
 
Belum lagi persoalan generasi muda yang semakin jauh dari nilai-nilai kebangsan dan religiositas sebagaimana terlihat dari kasus-kasus penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dan yindakan hedonism lainnya. Hal inipun masih diperparah dengan semakin merebaknya kriminalitas di sekitar kita.
 
Berbagai fenomena diatas memberi alarm yang kuat bahwa ke-Indonesia-an kita sudah mulai retak dan semakin rapuh. Padahal, kurang apa dengan negeri yang terkenal gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja ini? Dalam bahasa Jawa sering kita dengan ungkapan murah kang sarwa tinuku, tukhul kang sarwa tinandur, yang mengilustrasikan bahwa negeri ini diberkahi Sang Pencipta dengan karunia berlimpah. Perjuangan melawan kolonialisme Portugis, Belanda, dan Jepang, juga telah membentuk semangat kesatuan sebangsa dan setanahair, serta menumbuhkan rasa senasib sepenanggungan kebangsan yang begitu kuat, hingga terwadahi dalam prinsip Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa,
 
Jika dilacak jauh ke masa silam, bibit-bibit nasionalisme sudah terlihat ketika Kertanegara (Raja Singasari) pada tahun 1275 M memperkenalkan konsep Cakrawala Mandala Dwipantara. Inilah embrio awal dari “nusantara” yang kita kenal dewasa ini. Konsep Kertanegara tersebut diperkuat lagi dengan Sumpah Palapa dari Mahapatih Gadjah Mada tahun 1336 M yang tidak akan melepaskan puasanya sebelum seluruh nusantara bersatu. Di awal abad 20, Ki Hajar Dewantara telah melontarkan semboyan  Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" (satu untuk semua, tetapi semua untuk satu juga, 1913). Ini jelas sekali merujuk pada aneka ragam suku dan budaya yang tersebar dan terbentang di seluruh penjuru nusantara. Jika dewasa ini kita sering mendengar semboyan The Three Musketeers yakni “One for All, All for One”, maka jauh hari sebelumnya bangsa kita telah mempraktekkannya.
 
Tidak ketinggalan dengan para pendahulunya, para pemuda di tahun 1928 telah mendeklarasikan Sumpah Pemuda yang semakin memperkuat tekad mewujudkan kesatuan tumpah darah, kesatuan bangsa, dan kesatuan bahasa, Indonesia. Akhirnya, berbagai tautan historis tadi diukir dengan tinta emas dalam naskah Proklamasi 17-8-1945 dan UUD 1945 tanggal 18-8-1945.
 
Menjadi pertanyaan bagi seluruh pewaris kemerdekaan, mengapa perjuangan yang sedemikian panjang dan telah berhasil membentuk identitas kebangsaan bernama Indonesia, tiba-tiba goyah dan limbung? Apakah gejala dekadensi nilai kebangsaan adalah hal yang lumrah dalam iklim globalisasi, sebagaimana juga dialami oleh India? Menurut Yudi Latif dalam ceramahnya, India adalah negara yang memproduksi Doktor terbanyak di dunia, namun tidak memiliki nilai kebangsaan yang kuat. Bahkan untuk menetapkan pakaian tradisional sebagai pakaian nasional harus dikatakan oleh orang lain (khususnya Inggris sebagai bekas penjajahnya). Erosi dan krisis kebangsaan telah begitu dalam mwabah di India, hingga akhirnya muncul gagasan untuk menulis ulang sejarah mereka (Re-write Indian History).
 
Sayangnya, Yudi Latif tidak menjawab pertanyaan saya, apakah Indonesia juga harus melakukan penulisan kembali sejarah kebangsaannya? Jika ya, bagaimana melakukan penulisan ulang sejarah itu, dan apa muatan yang harus ditulis? Namun meski tidak mendapat jawaban, saya pribadi yakin bahwa harus ada Rewriting Indonesia history. Ini adalah bagian dari proses nation building and character building, agar Indonesia dapat mengembalikan semangat kebangsaan dan bersatu padu menatap masa depan mewujudkan cita-cita bersama, yakni Indonesia yang adil dan makmur. Bagaimana menulis ulang sejarah Indonesia itu, semoga saya dapat meng-explore pada kesempatan yang lain …
 
Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 22 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar