Laman

Jumat, 22 Maret 2013

Untuk Apa Saya Disini?


Pertanyaan diatas muncul tak terbendung ketika saya mendapat tugas untuk mengikuti Diklat Kepemimpinan Tingkat I, mulai hari ini, Rabu, 20 Maret 2013 hingga 22 Mei nanti. Ini adalah pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab, namun harus direnungkan. Sebab, ketika pertanyaan ini dijawab, maka jawabannya begitu mudah, yakni bahwa saya menjalankan penugasan Kepala LAN, atau sekedar mencari kelengkapan persyaratan sebagai seorang calon pemangku jabatan eselon I, atau mungkin juga jawaban yang sedikit idealis bahwa saya ingin terus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan agar mampu membangun kinerja organisasi yang lebih baik. 

Namun ketika direnungkan, terlalu banyak hal yang justru tidak terjawab. Apalagi, ketika keberadaan saya di kampus dan asrama Pejompongan ini didukung dengan fasilitas yang begitu tinggi layaknya orang penting. Saya mendapat fasilitas 1 kamar dengan kelengkapan AC, air panas, spingbed, bahkan juga layanan laundry harian dan mingguan. Belum lagi soal materi diklat, fasilitas olahraga, hingga layanan kesehatan, yang semuanya free of charge. Itupun belum seberapa. Anggaran yang harus disediakan negara untuk mengirim saya mengikuti Diklatpim I tentu teramat besar, melebihi SPP Program Doktor selama 1 tahun! Saya juga masih terus menerima gaji dan tunjangan jabatan meski saya tidak bekerja secara efektif, bahkan dibebaskan sementara dari tugas kedinasan. Maka … pertanyaan yang menggelisahkan adalah: nilai tambah apa yang harus saya hasilkan dari Diklat ini agar anggaran negara dan sederet fasilitas tadi tidak sia-sia? Kinerja seperti apa yang harus saya bangun agar saya menjadi orang yang lebih banyak “memberi” dari pada “menerima”?  

Sebagai seorang pemangku jabatan Eselon II, saya percaya bahwa jabatan bukan hanya wujud penghargaan dan kepercayaan dari pimpinan organisasi, namun lebih merupakan kedudukan yang didalamnya melekat tanggungjawab dan kewajiban untuk menjadikan jabatan sebagai media/sarana mencapai tujuan berorganisasi. Saya masih terngiang dengan jelas statement Kepala LAN pada saat pelantikan jabatan struktural di LAN, Jum’at, 15 Maret 2013, bahwa jabatan bukanlah luxury atau kemewahan. Maka, semakin tinggi jabatan seseorang, semakin berat pula tanggungjawab yang diembannya. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin jauh pulalah mestinya orang tersebut dari kemewahan. Sebab, semakin luas wewenang yang dimiliki, semakin besar tanggungjawabnya, dan semakin banyak fasilitas yang diterima, maka semakin besar pula kewajiban dia “membayar” kepada organisasi, kepada negara, dan kepada rakyat, dalam bentuk pengabdian yang semakin tulus, kinerja yang semakin baik.  

Pertanyaan lain yang sulit terjawab adalah: benarkah saya berhak mengikuti Diklatpim ini? Benarkah selama ini saya sudah memiliki kinerja yang patut dibanggakan, sehingga pimpinan memberi reward kepada saya untuk mengikuti Diklatpim? Apa sesungguhnya kontribusi saya yang nyata dan terukur untuk institusi, bangsa, dan negara? Apakah tumpukan laporan penelitian yang pernah saya kerjakan sejak 1994 adalah bukti autentik dari prestasi saya? Bagaimana jika itu justru dilihat dari perspektif sebaliknya sebagai sebuah kesia-siaan? 

Dan pertanyaan paling sulit adalah: tahukah rakyat bahwa yang kita lakukan sehari-hari dalam mengemban amanah jabatan adalah untuk kemaslahatan mereka? Yakinkah bahwa apa yang kita lakukan adalah untuk kepentingan masyarakat dan kemajuan bangsa?  

Saya sering membayangkan sebuah situasi dimana masyarakat tiba-tiba datang di depan peserta dan penyelenggara Diklatpim (dimanapun dan pada jenjang apapun), kemudian membuat pernyataan sikap sebagai berikut: Bapak/ibu yang terhormat, dapatkan bapak/ibu meyakinkan kepada kami bahwa program yang bapak/ibu ikuti akan membawa manfaat bagi kami? Dalam hal apa hidup kami bisa menjadi lebih baik dengan keikutsertaan bapak/ibu dalam Diklatpim ini? Dan jika bapak/ibu gagal menjelaskan kepada kami, relakah bapak/ibu untuk menutup program ini dan mengalihkan anggaran untuk memenuhi kebutuhan dasar kami? 

Tentu situasi semacam itu hanya imajiner belaka, dan teramat kecil kemungkinan untuk menjadi kenyataan. Namun bagi saya, kontemplasi semacam ini tetaplah diperlukan untuk menyadarkan saya dan seluruh PNS bahwa kesempatan mengikuti Diklat, atau kesempatan menduduki jabatan, atau kesempatan turut mencicipi fasilitas negara, bukanlah kesempatan untuk dinikmati, disia-siakan, apalagi disalahgunakan. Itu semua adalah amanah yang harus ditunaikan, tantangan yang harus dijawab, ujian yang harus dipertanggung jawabkan, serta pembuktian yang harus dikonkritkan. 

Bagi saya pribadi, perenungan dengan mengangkat pertanyaan-pertanyaan retorik tadi adalah upaya saya melakukan zero mind process, atau proses pengosongan pikiran agar dapat membuang belenggu-belenggu yang dapat mempersulit penerimaan dan penghayatan saya terhadap materi pembelajaran yang diberikan. Dalam konteks penyempurnaan kurikulum Diklat Kepemimpinan, ice breaking saja tidak cukup. Untuk itu, saya menyarankan agar zero mind process ini diberikan diawal pembelajaran. Bagaimana metode pengosongan pikiran ini, tentu dapat didiskusikan dan disepakati oleh para ahli pendidikan. 

Jika hingga sekarang saya belum mampu menjawab pertanyaan “untuk apa saya disini” – dan ini membuat saya merasa sedikit bersalah – maka biarkan saya mengurangi rasa bersalah saya dengan mencoba menyerap sebanyak mungkin ilmu-ilmu dan manfaat lain dari Diklat Kepemimpinan Tingkat I ini … 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 20 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar