Laman

Rabu, 03 April 2013

Antara Harapan dan Realita


Adalah sebuah kewajaran ketika seseorang berharap mendapat tambahan ilmu-ilmu baru dari Diklatpim I yang akan diikuti. Justru patut dipertanyakan eksistensi seseorang yang merasa tidak ada tantangan dan antusiasme dalam mengikuti program ini. Harapan memperoleh wawasan, konsep, maupun teori-teori baru ini seringkali melampaui kemampuan penyelenggara maupun widyaiswara untuk memenuhinya. Akibatnya, timbullah kekecewaan ketika harapan yang melambung ternyata tidak terpenuhi.  

Ini pulalah yang terjadi di penghujung Kajian Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, dan Kepemimpinan Nasional. Salah seorang teman yang kebetulan menjadi ketua kelompok mengungkapkan kekecewaannya dalam jurnal harian selama dua hari berturut-turut. Pada catatan pertama ia menyebutkan bahwa pembelajaran pada hari Kamis, 28 Maret 2013, kurang efektif dan produktif, untuk tidak menyebut tidak bermanfaat. Argumentasinya adalah bahwa sepanjang hari itu, peserta harus melakukan diskusi kelompok secara marathon dengan menggunakan metode SSM, yang disusul dengan pemaparan hasil diskusi. Bukan proses dan hasil diskusi yang sesungguhnya “digugat” oleh rekan tadi, melainkan keraguan terhadap kebenaran dari kerja kelompok. Memang hampir semua anggota kelompok memiliki pandangan yang berbeda-beda, namun karena tuntutan harus melakukan presentasi, maka jadilah hasil kerja kelompok yang seadanya atau sekedar mengugurkan kewajiban. Keraguan semakin besar saat hasil kerja kelompok yang masih diragukan tadi justru selalu dibenarkan dan diapresiasi oleh widyaiswara.

Pada catatan kedua, teman tadi menulis bahwa alokasi yang tersedia untuk mempelajari SSM (sejak ceramah, pendalaman, hingga presentasi) adalah 8 sessi atau ekuivalen dengan 24 jam pelajaran. Ini dianggap terlalu lama dan membuang waktu secara sia-sia, apalagi jika dibandingkan dengan hasilnya yang kurang memuaskan dirinya maupun peserta lain secara keseluruhan. Ia mengatakan bahwa 3 sessi sudah lebih dari cukup untuk mempelajari SSM. Alasannya, seorang (calon) pejabat Eselon I tidak perlu menguasai hingga detail metode ini, namun cukup pada kaidah kelimuan atau prinsip-prinsipnya, tahapannya, serta contoh aplikasinya dalam menganalisis situasi problematik tertentu. Pada praktek pengambilan keputusan di instansinya, ia cukup memberikan arahan dan melakukan kontrol terhadap tugas-tugas yang didistribusikan kepada bawahannya.

Sebagaimana yang dirasakan kawan tadi, sayapun merasakan kegalauan yang sama. Dan meski banyak teman lain yang tidak berani mengungkapkan secara tertulis, namun perasaan teman yang sudah menduduki Eselon I-b ini ternyata juga dirasakan oleh banyak peserta yang lain. Kegundahan semacam ini sering terungkap dalam jawaban eksplisit seseorang di forum penyajian, maupun dalam perbincangan informal antar peserta di ruang makan, di sela-sela istirahat, atau dimanapun dan kapanpun ada kesempatan. 

Saya pribadi pernah mencoba mengurangi rasa penasaran dengan melempar pertanyaan kepada kelompok lain, yang sesungguhnya saya tujukan untuk para widyaiswara. Sayangnya, tidak ada jawaban yang memuaskan saya, bahkan cenderung semakin membingungkan karena beberapa kali widyaiswara memberi jawaban yang bertolak belakang. Maka, hingga saat inipun saya masih tidak yakin bahwa aplikasi SSM bisa dilakukan semudah dan sesederhana yang kami lakukan di kelompok. Saya masih ragu bahwa mengurai situasi masalah yang kompleks cukup diselesaikan dalam dua hingga tiga jam melalui tujuh tahap SSM, sebagaimana yang kami lakukan di kelompok untuk tiga issu yang berbeda. Bagi saya, metode apapun termasuk SSM, adalah alat untuk mendapatkan kebenaran ilmu. Inilah pandangan filsafat ilmu yang saya yakini. Jika saya masih ragu dengan kebenaran ilmu yang saya peroleh, maka kemungkinan besar ada kesalahan pada alat analisis yang digunakan.  

Mengingat tingginya potensi ketidakpuasan peserta terhadap dimensi kediklatan, maka penyelenggara harus menyusun dan mengembangkan instrumen untuk mengukur Indeks Kepuasan Peserta Diklat. Evaluasi yang selama ini dilakukan hanya menyentuh aspek persepsi, namun tidak bisa menjadi alat ukur kinerja penyelenggara dan widyaiswara. Selanjutnya, survey untuk mengukur kepuasan peserta selaku pelanggan (costumer) ini perlu dilakukan baik pada setiap tahap pembejalaran maupun pada akhir program. Dengan mengetahui secara dini tingkat kepuasan peserta, maka dapat segera diambil langkah-langkah untuk memperbaiki, sebelum semuanya terlambat. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 3 April  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar