Kamis, 11 April 2013

Diklat Sebagai "Melting Pot"


Diantara banyaknya materi yang disampaikan narasumber dari Bappenas, saya memberi perhatian khusus pada fenomena terputusnya rantai proses antara fungsi perencanaan yang menjadi domein Bappenas dan biasa dilakukan pada periode Januari-Mei, dengan fungsi penganggaran yang menjadi domein Kemenetrian Keuangan yang biasa berlangsung pada periode Juni hingga Desember. Dengan adanya gap antara perencanaan dengan penganggaran ini, Bappenas sering “kehilangan jejak” untuk menjaga konsistensi perancanaan dengan dukungan anggaran. 

Bagi saya, fakta diatas adalah sebuah ironi besar dalam sistem pembangunan nasional. Ada sebuah ungkapan dari Miguel de Cervantes Saavedra yang berbunyi to be prepared is half of the victory”, yang maknanya kurang lebih bahwa ketika kita telah memiliki perencanaan yang baik, maka kita sudah menuju setengah dari kemenangan. Namun jika hanya perencanaan yang baik, sementara pada implementasinya terjadi gap yang lebar antara perencanaan (Bappenas) dengan penganggaran (Kementerian Keuangan), maka perencanaan tersebut bisa menjadi sia-sia. Dan faktanya, memang terjadi deviasi RPJM ketika dijabarkan dalam Renstra K/L. Selanjutnya, deviasi terjadi secara beruntun pada saat Renstra K/L diterjemahkan dalam RKP, RKP diturunkan menjadi Renja K/L, Renja K/L dioperasionalisasikan dalam DIPA K/L, dan DIPA diimplementasikan dalam realisasi fisik dan anggaran. Dengan banyaknya deviasi pada mata rantai perencanaan dan penganggaran tersebut, bisa dibayangkan berapa besarnya deviasi dari RPJM menjadi realisasi fisik dan anggaran?  

Tingginya deviasi tersebut diperparah dengan rendahnya konsistensi indikator dan target RKP 2013 dengan RPJM 2010-2014. Sebagai contoh, jumlah indikator outcome RKP 2013 yang sama dengan indikator outcome RPJM 2010-2014 hanya sebesar 75,61%, sementara target outcome RKP 2013 yang sama dengan target outcome RPJM hanya sebesar 48,78 %. Di tingkat output, jumlah indikator output RKP 2013 yang sama debgan indikator output RPJM hanya sebesar 21,58 %, sementara target output RKP 2013 yang sama dengan RPJM hanya sebesar 11,37 % (Bappenas, Perspektif Perencanaan Dalam Sistem Manajemen Pembangunan Nasional, 2013) 

Terjadinya deviasi dan lemahnya konsistensi itu sendiri tidak lepas dari sinergi yang kurang optimal dari Bappenas dan Kementerian Keuangan. Kedua institusi ini memiliki kewenangan yang spesifik namun sesungguhnya memiliki keterkaitan yang erat. Ketika koordinasi gagal dilakukan dan ketika egoisme institusi terus dipertahankan, maka yang terjadi adalah inefisiensi dan inefektivitas sistem pembangunan nasional kita. Sungguh saya miris melihat situasi seperti ini. 

Lantas, terpikir oleh saya bahwa perlu ada suatu forum yang bisa mempertemukan berbagai pihak yang terkait dengan situasi problematik tertentu secara intens tanpa sekat jabatan, institusi, maupun hambatan ruang dan waktu. Nah, satu-satunya forum yang memenuhi kriteria tadi menurut saya adalah Diklat. Maka, diklat by design dapat dijadikan sebagai melting pot yang mempertemukan berbagai pihak untuk membahas masalah bersama hingga menemukan solusinya. Dalam hal ini, melting pot didefinisikan sebagai “a metaphor for a heterogeneous society becoming more homogeneous, the different elements melting together into a harmonious whole with a common culture” (Wikipedia). 

Konsekuensinya sebagai melting pot, maka diklat diselenggarakan dengan maksud tertentu (purposive training), dan tidak dibuka peluang yang sama bagi peserta dari instansi yang tidak terkait dengan masalah yang hendak diselesaikan. Disini, “inti masalah” akan dijadikan sebagai tema dalam pelaksanaan diklat dengan tujuan khusus tadi. Dalam kasus fragmentasi fungsi perencanaan dengan penganggaran tadi, misalnya, maka (calon) peserta yang dipanggil mengikuti diklat adalah yang berasal dari Bappenas, Kementerian Keuangan, dan beberapa dari K/L/Pemda untuk case study terjadinya fragmentasi kebijakan. Atas dalam kasus konflik horizontal yang dipicu oleh perbedaan agama/keyakinan, maka (calon) peserta dari Kementerian Dalam Negeri, Kemenetrian Agama, dan Pemda tempat terjadinya konflik, harus menjadi prioritas. Dengan demikian, peserta kertas kerja bersama yang berisi konsensus atau general agreement untuk menerapkan solusi terhadap masalah yang dihadapi bersama. 

Dengan memfungsikan diklat sebagai melting pot tadi, bukan hanya permasalahan aktual yang dapat diselesaikan, namun juga mendobrak mekanisme formal yang kaku dalam hubungan antar lembaga. Sebagaimana lazimnya, sesama alumni biasanya memiliki ikatan batin yang lebih erat sehingga komunikasi interpersonal akan dapat mengatasi communication barrier yang selama ini dalam hubungan kedinasan. Dengan modal kedekatan emosional inilah, egoisme sektoral dapat diminimalisir sehingga akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas dan fungsi seorang pejabat. 

Sebenarnya diklat yang sekarang juga sudah mencerminkan terjadinya proses peleburan berbagai potensi dan latarbelakang yang berbeda dari setiap peserta. Hanya saja, melting pot yang ada saat ini tidak didesain secara terfokus untuk memecahkan situasi problematik yang dihadapi instansi asal peserta. Artinya, kurang jelas output dan outcomes apa yang ingin dicapai dengan bahan dasar atau material yang beragam tadi. Ibaratnya sebuah industri peleburan, harus jelas apakah material yang dilebur akan menghasilkan keramik, besi baja cor, emas batangan, atau hanya onggokan yang tidak bernilai strategis? Sama halnya dengan Diklat Kepemimpinan, akan jauh lebih baik jika produk pembelajaran tidak hanya yang berhubungan dengan instansinya, namun juga hasil yang lebih strategis menyangkut masalah dan kepentingan yang lebih luas, baik secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan seterusnya. Jika produk utama Diklat Kepemimpinan hanya KTP-2, sementara KKT/KKA disusun hanya sekedar untuk “menggugurkan kewajiban”, maka KTP-2 tadi hanya akan menjadi onggokan di perpustakaan yang tidak terlalu signifikan sebagai produk intelektualitas dalam memecahkan permasalahan bangsa. Diklat adalah “industri peleburan” yang akan mengkonversi bahan dasar menjadi bahan jadi, mereformulasi inkompetensi menjadi kompetensi, dan mentransformasi onggokan menjadi sesuatu yang serba sistem. 

Jika pola melting pot ini tidak diterima, maka dapat pula dicoba cara lain untuk mengatasi gap, barrier, dan kebuntuan komunikasi antar instansi, yakni dengan membudayakan courtesy call atau undangan kehormatan. Sebagai contoh, Menteri Keuangan mengundang Bappenas dan beberapa pimpinan K/L dalam sebuah coffee morning untuk membicarakan secara “hati ke hati” masalah yang dihadapi bersama. Hal yang sama dapat dilakukan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas atau pimpinan K/L manapun sesuai dengan ruang lingkup tugasnya. Dengan kata lain, untuk melakukan koordinasi tidak harus menunggu forum resmi seperti Musrenbangnas, Rakorpannas, dan yang sejenisnya. 

Pertanyaannya, maukah kita membuat tradisi yang lebih smooth and soft dalam komunikasi lintas kementerian? Semua akan kembali kepada komitmen pimpinan K/L yang bersangkutan. Namun sebagai orang LAN, ada baiknya LAN memelopori hal ini sebagai konvensi baru dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan.  

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 12 April  2013

Tidak ada komentar: