Laman

Selasa, 30 April 2013

"Trade Off" Dalam Diklat


Wikipedia menerjemahkan trade off sebagai a situation that involves losing one quality or aspect of something in return for gaining another quality or aspect. Intinya, kita tidak mungkin memperoleh segala yang kita inginkan dengan kadar kualitas dan kuantitas yang sama. Kita harus memutuskan mana diantara berbagai kondisi atau pilihan yang ada, yang memberikan manfaat terbaik untuk diri kita. Pemikiran seperti inilah yang barangkali menjadi dasar munculnya ungkapan “hidup adalah pilihan”. Keterbatasan tenaga, waktu, dan kemampuan kita, menjadi alasan mengapa kita tidak mungkin meraih segala mimpi, ambisi, dan visi kita. Orang Sunda ulah ngarawu ku siku, yang makna harfiahnya adalah jangan mengambil segala sesuatu dengan siku karena akan berceceran diantara kedua tangan kita. Lebih baik mengambil dengan tangan kita, meski dapatnya sedikit namun tidak akan jatuh atau hilang. 

Dalam dunia diklat, trade off ini juga sering muncul dengan tiba-tiba, terutama ketika ada situasi tidak terduga atau pada situasi beban tugas yang memuncak (overload). Seperti yang saya alami, pada awal penyelenggaraan saya sangat optimis untuk menyelesaikan tugas diatas target yang ditetapkan penyelenggara. Jika produk pembelajaran individual yang resmi hanya KTP-2, saya sudah merancang sebuah buku hasil kompilasi jurnal harian. Jika jurnal cukup ditulis tangan sepanjang setengah halaman, saya selalu menulis minimal 1,5 halaman ketik rapat (1 spasi). Jika KTP-2 cukup ditulis dengan standar minimal, saya mencanangkan dalam hati agar KTP-2 saya tidak sekedar mencerminkan sebuah laporan, namun harus menjadi karya tulis ilmiah yang berbobot dan berstandar jurnal terakreditasi, meski tetap memperhatikan kaidah penulisan dari penyelenggara. Meski waktu yang tersedia kadang tidak seimbang dengan beban yang ada, namun saya telah berniat untuk memanfaatkan weekend sebagai waktu tambahan dalam menyelesaikan berbagai tugas. 

Namun, idealisme itu lama kelamaan agak tergerus. Apalagi ketika tiga anak saya sakit, maka Jum’at malam hingga Minggu malam sepenuhnya saya abdikan untuk menemani dan melayani keluarga. Resikonya, saya tidak memiliki waktu tambahan untuk penyelesaian target, yang akhirnya mempengaruhi kinerja saya. Dalam situasi seperti inilah, saya harus memilih, dan saya harus rela membayar pilihan saya dengan menurunkan kualitas dan kuantitas dari satu atau lebih produk pembelajaran saya.  

Situasi trade off juga saya alami antara KTP-2 dan jurnal. Hingga minggu ketujuh saat ini, terus terang saya belum menyelesaikan penulisan KTP-2. Namun jika saya mencurahkan energi untuk menulis KTP-2, saya agak menyayangkan jika saya kehilangan kesempatan menulis jurnal, yang sejujurnya bagi saya jauh lebih prestisius dibanding KTP-2. Situasi yang sama juga “menjebak” saya ketika saya selalu dijadikan sekretaris kelompok dan diberi tugas membuat paparan kelompok dan mencatatan hasil diskusi. Artinya, begitu diskusi kelompok selesai, faktanya saya masih harus membuat slide powerpoint untuk kelompok. Terlebih lagi, saya juga koordinator seksi akademik kelas, sehingga produk-produk kelas juga harus saya tangani, seperti merancang framework KKA agar menjadi panduan ketiga kelompok, membuat laporan simulasi, mengumpulkan bahan-bahan belajar untuk didistribusikan kepada seluruh peserta, dan seterusnya. Tugas selaku seksi akademik dan tiga kali selaku sekretaris pada tiga kelompok yang berbeda mau tidak mau menyita waktu saya paling banyak.  

Dalam situasi lain, saya sering sekali berkeinginan untuk menjalani hidup secara seimbang, misalnya dengan olahraga pagi secara teratur. Saya sering iri melihat teman-teman melakukan jalan pagi atau senam sambil bersenda-gurau. Namun bagi saya, dibanding target akademik, olahraga tidak masuk dalam prioritas saya. Ini sama artinya bahwa tidak turut olahraga adalah trade off atau “harga” yang harus saya bayar untuk bisa menghasilkan karya akademik. Jika “hidup yang seimbang” kita jadikan sebagai prioritas utama, maka sebaiknya kita bisa membatasi diri dari tumpukan tugas yang menumpuk.  

Nah, dalam konteks kediklatan, ada baiknya penyelenggara memiliki instrumen pengukuran dan pemantauan beban kerja masing-masing peserta. Hasil pengukuran dan pemantauan beban kerja ini selanjutnya akan menjadi dasar untuk melakukan treatment kepada peserta, apakah perlu diberi penugasan tambahan bagi yang beban kerjanya rendah, atau sebaliknya akan diberi dispensasi tertentu dalam hal memiliki beban kerja diatas rata-rata. Dari beban kerja ini pula perlu dipikirkan cara meredistribusi beban kerja agar kinerja kolektif (kelompok atau kelas) menjadi lebih menonjol dibanding kinerja individual peserta. 

Terlepas dari situasi trade off yang saya ungkapkan diatas, saya mencoba tetap positive feeling bahwa saya masih bisa menyelesaikan seluruh target idealisme saya. Dasar keyakinan saya adalah bahwa manusia dianugerahi oleh YMK sebuah potensi istimewa untuk bisa melakukan hal-hal yang tidak mungkin, untuk memikirkan hal-hal yang mustahil dan tidak terpikirkan (think the unthinkable). Jumlah jam dalah sehari tidak pernah melampauai 24 jam, namun hasil kerja manusia selalu bisa ditingkatkan. Maknanya, saya harus lebih meningkatkan kualitas kerja, kualitas diri, dan kualitas cara/metode dalam bekerja. Dengan demikian, saya berharap dapat sebesar mungkin menekan kemungkinan terjadinya trade off diatas, meski tidak dapat dihindari sama sekali. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 29 April  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar