Laman

Selasa, 07 Mei 2013

Dokumentasi Diklatpim I di Arsip Nasional


Di awal penyelenggaraan Diklatpim I, khususnya pada saat pengarahan program, saya menyampaikan usulan agar proses pembelajaran selama Diklatpim I dapat didokumentasikan secara digital/elektronik, dan disimpan di Arsip Nasional. Dasar pemikiran saya adalah bahwa dari 30 peserta yang ada, dapat dipastikan diantaranya akan menduduki posisi-posisi strategis di berbagai Kementerian/Lembaga dan instansi lainnya. Apapun yang terjadi di sepanjang proses pembelajaran, saya yakini memiliki nilai historis yang cukup tinggi. Pemikiran-pemikiran individual, kesepakatan dalam kelompok, pro dan kontra dalam memandang sebuah situasi, jurnal-jurnal yang dibacakan secara harian, dan sebagainya, sangat boleh jadi adalah mutiara-mutiara yang dibutuhkan generasi mendatang.  

Bagi generasi era 2050 atau sesudahnya, tentu keberadaan kami adalah para pendahulu yang dianggap berkontribusi atas baik buruknya situasi negara pada tahun 2050-an tersebut. Dengan demikian, baik buruknya masa depan akan sangat ditentukan oleh cara berpikir para pelaku kebijakan di era sekarang. Sebagaimana bunyi salah satu hukum dalam learning organization, masalah saat ini datang dari keputusan masa silam (today’s problem comes from yesterday’s solution or decision). Ini sama artinya, masalah pada masa depan adalah hasil dari solusi atau keputusan hari ini.  

Nah, jika dinamika para pejabat tidak direkam, akan terjadi keterputusan informasi, mengapa sebuah keputusan lahir dan bagaimana prosesnya dijalankan, siapa yang bertanggungjawab terhadap kebijakan tersebut, adakah vested interest dalam perumusan kebijakan tersebut, dan sebagainya. Tanpa adanya dokumentasi, sangat sulit bagi generasi mendatang untuk memahami dan melacak masa silam. 

Intinya, apapun yang terjadi selama Diklatpim I, adalah sebuah rangkaian mengukir sejarah. Maka, kesadaran tentang nilai historis (historical sense and awareness) dari program diklat ini harus dimiliki oleh penyelenggara. Dengan kesadaran ini, penyelenggara akan melakukan segala upaya untuk menempatkan diklatpim kedalam simpul-simpul sejarah pembangunan aparatur. Tanpa adanya kesadaran historis ini, maka diklatpim jenjang apapun dan berapapun angkatan yang dilakukan, hanya berhenti sebagai proyek yang tidak bermakna apa-apa, bahkan hanya menjadi by product dari sistem administrasi negara. Disisi lain, peserta secara individual juga harus memiliki kesadaran sejarah bahwa dirinya adalah pelaku sejarah. Apalagi jika seseorang ingin menulis biografi, maka setiap aktivitas dalam diklat dan interaksi antar peserta rasanya sangat layak untuk dituangkan dalam biokrafi tersebut. 

Sekilas memang tidak ada yang istimewa dengan aktivitas peserta selama Diklatpim I, Namun seiring dengan berlalunya waktu, sesuatu yang biasa-biasa saja bisa berubah menjadi luar biasa. Bayangkan pada masa lalu ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, yang disusul oleh hasrat yang menggebu-gebu dari kalangan pemuda agar Soekarno segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu, para pemuda yang terlibat pastilah tidak berpikir bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah sejarah besar negeri ini. Sayangnya, negeri ini tidak punya dokumentasi siapa saja para pemuda itu selengkapnya dan peran apa saja yang mereka jalankan, apa yang telah mereka lakukan dan ungkapkan, faktor apa yang menginspirasi mereka sehingga memiliki keinginan merdeka begitu kuat, rumah-rumah siapa saja yang pernah mereka gunakan untuk menggelar rapat atau merencanakan aksi, bagaimana rencana detil dari gerakan mereka, dan sebagainya. Karena tidak ada dokumentasi tadi, maka terjadilah “keterputusan sejarah” seperti saya katakan diatas. Ini hanyalah satu contoh kecil, tentu saja masih banyak contoh-contoh lain yang lebih besar yang bisa diangkat. 

Belajar dari sejarah masa lalu, maka mestinya kita yang hidup masa kini tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. Keterputusan sejarah masa silam dapat dipahami karena masih terbatasnya teknologi komunikasi dan informatika, namun jika hal itu terjadi pada masa kini rasanya hanya menunjukkan kebodohan kita. Apalagi, merekam persitiwa pada masa sekarang tidak membutuhkan tumpukan kertas yang jika ditumpuk bisa setinggi gedung bertingkat 10, namun cukup disimpan dalam sekeping CD. Pada saat yang bersamaan, ANRI siap untuk memfasilitasi penyimpanan dokumen penyelenggaraan Diklatpim I dalam folder/depo/group series khusus.  

Jadi, yang harus dilakukan LAN (cq. Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan) hanyalah menjalin kerjasama dengan ANRI dan menyiapkan memorandum of understanding berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Semoga saja, apa yang saya pandang sebagai nilai strategis dan nilai historis dari program Diklatpim I ini sama seperti pandangan pimpinan LAN atau pandangan para peserta dan alumni Diklatpim I, sehingga ide saya untuk mendokumentasikan setiap dinamika pada Diklatpim di ANRI mendapat dukungan dari berbagai pihak. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 4 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar