Laman

Jumat, 10 Mei 2013

Pembulatan


Di dua minggu terakhir Diklatpim I yang tidak lagi ada keharusan menulis jurnal harian, saya mencoba untuk tetap menulisnya, terutama untuk mengangkat issu-issu yang cukup penting namun terlewat karena terkalahkan oleh agenda lain yang lebih penting. Sama seperti catatan saya sebelumnya (#36 Kasus), jurnal yang saya tulis kali inipun juga upaya me-recall kembali pengalaman yang telah lewat pada kajian pertama hingga ketiga. Kali ini saya ingin bicara soal Pembulatan. 

Pembulatan adalah elemen terakhir dari sebuah tahap yang disebut dengan kajian. Dari namanya saja kita bisa menebak bahwa pembulatan dimaksudkan untuk merangkum dan mencari keterhubungan antara satu elemen dengan elemen lainnya, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh dan tepat terhadap seluruh agenda pembelajaran. Dengan pembulatan, yang masih bengkok dapat diluruskan, kesalahan tafsir dapat diperbaiki, dan kekurangan pemahaman dapat ditutupi.  

Namun faktanya, pembulatan justru sering memunculkan konsep baru, pemahaman baru, dan bahkan kebingungan baru. Hal ini bermula dari ketiadaan panduan yang jelas tentang makna pembulatan, cara/teknik melakukan pembulatan, dimensi substansial yang dibulatkan, serta output dan format pembulatan. Sebagaimana pada penulisan “analisis kasus”, widyaiswara-pun memiliki pandangan yang berbeda tentang pembulatan, sehingga materi paparan kelompok berbeda-beda meski elemen yang dipelajari sejak awal hingga akhir sama. Selain itu, muncul juga “protes” dari salah seorang peserta yang menyatakan bahwa pembulatan tidak sama dengan “kasus”. Jika dalam pembulatan hanya bicara satu issu spesifik dan dengan tool of analysis yang spesifik pula, apa bedanya dengan analisis kasus? 

Bagi saya, pembulatan hakikatnya adalah upaya untuk mengevaluasi apakah seluruh rangkaian materi yang diberikan dapat dipahami oleh peserta. Dalam melakukan evaluasi ini, penyelenggara dan/atau widyaiswara mencari umpan balik (feedback) dari peserta, antara lain melalui kuis yang terstruktur, menanyakan issu-issu utama secara acak (random), atau dengan diskusi interaktif antara peserta dengan penyelenggara/widyaiswara. Selain melakukan evaluasi, penyelenggara/widyaiswara juga dapat meggali sejauhmana peserta memiliki rencana untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh kedalam praktek kepemimpinan dan organisasional di instansinya. Dengan demikian, pembulatan sesungguhnya bukan aktivitas sepihak peserta, namun lebih merupakan aktivitas segi tiga (triangle activity) antara peserta, widyaiswara, dan penyelenggara. Tercapainya tujuan instruksional diklat bukan hanya urusan dan kebutuhan peserta semata, namun juga menyangkut kepentingan penyelenggara. 

Sehubungan dengan hal tersebut, agar pembulatan benar-benar bisa “kunci” terakhir dalam memahami ilmu secara benar, beberapa prakondisi berikut ini sangat mungkin harus dipenuhi. Pertama, harus tersedia kerangka pikir logis (logical framework) tentang diklat secara keseluruhan. Konsep besar ini singkatnya berisi alasan mengapa diklat diperlukan, dan apa yang akan terjadi jika diklat tersebut tidak dilakukan. Selanjutnya, pada level messo diperlukan pula framework yang menjadi dasar mengapa sekelompok materi pembelajaran diberikan pada kajian tertentu, dan bagaimana berbagai materi tersebut secara bersama-sama dapat membangun kompetensi yang diharapkan. Kemudian pada level mikro-pun harus ada framework mengapa sebuah materi/mata diklat/agenda diberikan dan seperti apa posisinya terhadap rancang bangun program diklat secara holistik? 

Kedua, ketiga framework tadi harus dikomunikasikan sejak awal diklat dan dipahami secara sama oleh peserta, widyaiswara, dan penyelenggara. Tanpa adanya kesamaan dalam memahami kerangka pikir ini, maka pembulatan tidak akan pernah terwujud, dan selalu menjadi bangun persegi yang asimetris. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 13 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar