Laman

Jumat, 10 Mei 2013

Senam 4 Dimensi


Menulis jurnal harian selama Diklatpim I itu gampang-gampang susah. Gampang, karena kita bisa menulis apapun yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kediklatan, bisa menulis tentang ide-ide besar hingga perasaan sentimental, bisa menulis fakta atau fiksi, juga bisa menulis tentang siapapun dengan gaya tulisan apapun. Namun, menulis juga susah, karena menulis itu butuh inspirasi. Tanpa inspirasi, penulis sekaliber Gunawan Mohammad sekalipun akan kesulitan merangkai kata-kata penuh makna. Nah, ketika kita sedang blank alias tidak punya ide apapun yang akan ditulis sementara kita dibatasi deadline harus menyetor satu catatan harian, kita tidak bisa menunggu sang ide untuk datang. Kita harus menjemput, mencari, bahkan kalau perlu mengais-ngais di setiap sudut dan di sepanjang jalanan kompleks asrama. Ini pula yang saya lakukan. Begitu kehabisan ide, maka saya “turba” (dalam arti denotatif benar-benar turun ke bawah dari lantai 3 asrama) untuk menemukan ide yang tak kunjung datang. Tapi lucunya, saya baru bisa meralisasikan eksplorasi saya pada saat keberangkatan dan selama observasi lapangan. 

Sasaran saya adalah ingin menggali apakah motif dari teman-teman yang rajin jogging setiap hari. Hal ini saya anggap penting untuk saya explore karena saya sangat tidak tertarik untuk melakukannya. Sehabis shalat Subuh berjamaah yang dilanjutkan dengan kultum (kuliah tujuh menit), saya jauh lebih memilih untuk membuat jurnal harian dari pada capek dan keringatan jalan-jalan. Toh selama ini saya merasa sehat, dan beberapa kali general checkup juga menunjukkan hasil yang menggembirakan. 

Hasil eksplorasi saya cukup mengejutkan. Ternyata teman-teman melakukan olahraga ringan di pagi hari bukan sekedar melatih otot agar lebih kuat dan mampu menghasilkan reflex secara lebih cepat. Mereka melakukan itu juga untuk memperkuat pikiran atau melatih konsentrasi, karena mereka menghitung berapa putaran yang telah diselesaikan, dan setiap putaran bisa menghasilkan berapa ratus dzikir. Mereka juga melatih perasaan karena dalam setiap gerakan dilakukan dengan perasaan bahagia. Dan yang paling mengejutkan, dalam setiap langkahnya,mereka sertai dengan dzikrullah. Saking khusyuknya berdzikir, mereka mengaku kadang lupa bahwa mereka sedang berjalan. Kaki-kaki mereka telah berjalan seolah tanpa perintah dari pusat kendali manusia, yakni otak. Baik fisik, hati, pikiran, dan jiwa mereka sudah menyatu kedalam kalimat-kalimat dzikir yang mereka lantunkan seiring dengan langkah yang mereka ayunkan. Itulah sebabnya, saya memberi istilah “senam 4 dimensi” untuk aksi kecil mereka di pagi hari. 

Dari temuan hasil eksplorasi saya ini, kemudian memberi dua inspirasi kepada saya. Pertama, saya ingin mengikuti langkah mereka untuk “senam religi” di hari-hari terakhir Diklatpim I. ketidaktertarikan saya terhadap senam fisik tetap tidak berubah, namun saya ingin mencoba melakukan senam religi tadi. Intinya adalah beribadah, namun kemasannya saja yang berbeda. Jika selama ini ibadah dilakukan dengan memperbanyak shalat sunah atau dzikir secara bersila seperti orang sedang bermeditasi, sekarang dilakukan dengan gerak yang lebih dinamis dan secara berpindah-pindah sesuai track yang kita inginkan sendiri. Inilah “meditasi” gaya baru yang sangat menantang untuk dicoba dan ditradisikan. Kedua, apapun yang kita lakukan, sejak pergi ke kantor hingga pulang ke rumah, sejak bangun pagi hingga terlelap di malam hari, bisa terjadi dalam satu dimensi atau dalam empat dimensi sekaligus. Semuanya tergantung kepada diri kita sendiri, apakah kita cukup puas hanya hidup dalam satu dimensi saja, ataukah kita ingin memberi nilai tambah terhadap segala aktivitas kita, kapanpun dan dimanapun. 

Menulis jurnal inipun sesungguhnya juga mengandung empat dimensi, ketika kita mengeluarkan tenaga/energi untuk menghasilkan tulisan, melakukan olah pikiran, menikmati dan terdorong untuk terus menulis, serta menjadikan aktivitas menulis sebagai bagian dari menunaikan perintah agama untuk menuntut ilmu. Maka, merugilah peserta diklat yang hanya menghasilkan catatan harian sebagai olah fisik belaka tanpa landasan intelektual, emosional, dan spiritual. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 8 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar